Gadis chubby itu memutuskan untuk jalan kaki, jarak antara sekolah dan rumahnya lumayan jauh sekitar 12 KM. Irena sudah merasa lelah, sementara hari mulai gelap. Ia bahkan melihat teman-teman yang rumahnya sekitar sekolah sudah berganti baju, mereka berseliweran membawa motor lalu berhenti sejenak hanya untuk mengejek Irena, sungguh unfaedah.
“Gajah, lu belum pulang? Ati-ati entar diculik genderuwo.” Celetuk seorang anak bertubuh pendek sambil tertawa.
“Mana ada genderuwo mau nyulik dia, orang sejenis ha-ha-ha.” Timpal yang lainnya, Irena hanya diam, menjawab para bullyer cuma buang-buang waktu dan tenaga. Walaupun perkataan mereka memang minta dibogem mentah.
"Di sini ada ojeg enggak ya?" Irena bertanya pada salah satu warga yang hendak pergi ke mushola.
"Duh, kalau jam segini mana ada, Neng. Soalnya sudah malam, tapi coba sebentar lagi biasanya ada angkot terakhir." kata Bapak itu, Irena menghela napas panjang dia ingin menangis rasanya. Tungkai kakinya terasa pegal, rasanya tidak mampu lagi untuk bergerak. Keringat bercucuran membuat baju seragamnnya setengah basah, apalagi tadi sempat ada gerimis mengundang beberapa saat.
Suara adzan berkumandang dari kejauhan, Irena rasanya lelah dan beneran pengen nangis kejer, cacing di perutnya sudah meronta-ronta minta diisi nasi hangat atau teh manis hangat. Andai saja dia mempunyai saudara di daerah sana mungkin dia memilih menginap di rumah saudaranya. Terus uang jajannya juga habis, mau pesan gojek ponsel mati, poor Irena. Air mata menetes di pipi chubby miliknya, ia pun duduk di pinggir jalan. Ia berharap bapaknya segera pulang dari pasar dan menjemputnya.
“Lu berani juga datang ke sini!” telinga mendengar suara bentakan, sangat jelas.
“Enggak usah banyak tanya, apa maksud chat yang lu kirim?”
Irena mendengar suara dingin itu, suara milik si ketua OSIS sekaligus kakak kelasnya yang paling sadis. Siapa lagi kalau bukan kingkong wakanda. Dia tidak pernah ada keinginan sedikit saja dalam menghukum anak baru, belum lagi sorot matanya yang tajam dan membuat Irena tiba-tiba membayangkan wajah Jigsaw saat melenyapkan korbannya. Irena lupa siapa namanya, yang jelas kata Pie dia blasteran surga wajahnya seperti anggota boy band negeri ginseng, tapi galak dan sangat dingin. Mata Irena menyipit karena pencahayaan yang kurang, di sana dia melihat kakak kelasnya sedang berhadapan dengan beberapa pemuda bertampang garang.
“Jauhi cewek gue!”
“Gue enggak minta dideketin cewek lu.” ucapnya datar, mengundang emosi orang di hadapannya.
“Banyak bacot, hajar aja!” timpal teman yang lainnya, tak berapa lama mereka terlibat baku hantam. Irena seperti menonton film action dadakan live, dia jujur saja tidak menyukai film kekerasan apalagi melihatnya langsung. Dulu saat Hida sekolah SMU sempat terlibat tawuran, terus Hida kena bacok sampai dirawat di rumah sakit. Emaknya menangis karena kondisi Hida yang kritis. Beruntung Hida masih bisa selamat dan berjanji tidak akan mengulang kesalahan yang sama. Irena menangis tersedu-sedu, memejamkan matanya berharap bapaknya datang dan segera membawanya pulang. Dia langsung komat-kamit baca doa, berharap pertolongan datang. Mau teriak tapi enggak berani.
“Jangan nangis, lu bukan anak kecil. Malu sama badan gede.” Suara bariton itu menyapa telinganya. Irena masih ketakutan, dia pun perlahan menatap sosok yang berada di depannya. Si Kakak kelas ganteng tapi galak. Irena rasanya ingin tenggelam di rawa-rawa saat itu juga. Apakah kakak kelasnya akan marah karena dia mengintip perbuatan anarkisnya barusan atau bagaimana? Irena semakin ketakutan.
"Emang takut ada korelasi apa sama badan Kak? Hiks aku takut darah." ujar Irena enggak berani natap Sang kakak kelas. Dia juga takut menoleh pada beberapa pemuda yang tadi menyulut emosi sang ketua OSIS namun berakhir mengenaskan di bawah jembatan.
"Ya enggak ada sih, Lu ngapain di sini?" tanyanya.
“Maaf, Kak Arie. Maafin aku. Aku enggak maksud nguping kok.” Irena menutup kepalanya dengan tas selempang miliknya. Takut aja sama Arie, cowok tiang itu serem banget tadi pas berantem, 10 orang tumbang dalam 10 menit rasanya seperti menjadi tumpukan manusia berwajah babak belur. Irena kagum sisi kakak kelasnya tapi takut juga.
Ya, dia ingat nama kakak kelasnya itu Arie Lucas, cowok blasteran Asia-Eropa, tubuhnya tinggi dan badannya terlihat baik bak atlet. Padahal dia masih berumur 18 tahun, namun dia sering olahraga dan menjaga tubuhnya dengan baik. Arie jadi ketua OSIS sudah dua kali sejak kelas 2 SMU. Dia juga terkenal sebagai pemain voli terbaik di sekolah, wajahnya tampan dengan rambut lurus berwarna cokelat sedikit pirang. Memang benar apa kata Pie, dia mirip idol. Arie bahkan jadi pujaan gadis-gadis di sekolah, hanya saja karena Arie cuek dan dingin mereka lebih suka menyukai Arie diam-diam. Tapi sekali lagi itu enggak berlaku buat Irena yang memang belum dipanah sama malaikat Eros.
Irena takut jika Arie tiba-tiba memukul kepalanya seperti tadi ia memukul kepala lawannya. Irena mengernyit saat melihat kakak kelas galak bernama Arie itu sedang tertawa terbahak-bahak. Irena mengerutkan dahinya, bingung.
“Kok malah ketawa sih, Kak?”
“Lu tuh lucu, rumah lu di mana? Biar gue anterin pulang. Enggak baik anak gadis di luar rumah malam-malam.”
“Tapi Aku—”
“Buruan, gue lagi baik nih.” Arie naik ke motor ninja hitam metalik miliknya. Irena dengan ragu-ragu naik ke belakang, seakan dia takut motor kakak kelasnya itu tiba-tiba turun mesin karena berat badannya. Arie menarik tangan Irena ke pinggangnya dengan tidak sabaran, Irena terkejut dan merasa takut sementara Arie tersenyum penuh arti dan menjalankan motornya. Tangannya yang kekar merasakan sentuhan lembut tangan gadis itu, menjalankan mesin motornya lalu meninggalkan tempat itu dengan senyum mengembang di wajah tampan miliknya.
Sepanjang perjalana, tidak ada obrolan apa pun, Irena juga tidak enak pada kakak kelasnya, di dalam hati, dia terus berbicara sendiri, 'bagaimana jika kakak kelasnya protes soal berat badannya? Bagaimana jika nanti besok hukumannya lebih berat karena dia sudah melihat kejadian tadi? Bagaimana kalau ....' Lamunannnya terhenti tatkala motor yang dia tumpangi berhenti mendadak, rasa was-was mulai menggerayanginya.
"Loh kok berhenti Kak?" tanya Irena saat Arie berhenti di angkringan yang menyediakan banyak makanan. Dia pun turun dari motor sang kakak kelas, lalu tangan besar Arie menarik tangannya mengajak gadis chubby itu ke sebuah warung pecel ayam dan pecel lele. Harum ayam goreng dan nasi yang mengepul hangat terlihat menggiurkan, cacing di perutnya mulai menabuhkan genderang minta makan.
"Bang, pecel ayam 2 ya." Kata Arie memesan, dia pun duduk di bangku sementara Irena disampingnya. Irena mengigit bibir, takut air liurnya netes saking laparnya dia. Dia harus menjaga perilaku di depan sang ketua OSIS.
"Lu pasti laper makanya sebelum pulang kita makan dulu. Bagaimana pun juga gue enggak mau nanti lu sakit, lu masih siswa sekolah dan gue ketua OSIS."
"Makasih banyak Kak." Irena tersenyum manis, sementara Arie berusaha memalingkan wajahnya yang kini bersemu merah. Gadis chubby itu melihat luka di buku jari sang kakak kelas. Sepertinya akibat pertarungan tadi, dia pun berinisiatif membalut luka itu dengan plester luka yang selalu dia bawa di tas sekolahnya.
"Maaf, Kak. Tangannya terluka, boleh aku kasih plester ini? Supaya enggak infeksi." ucapnya sambil tersenyum. Arie mengangguk, lalu Irena pun menempelkan plester luka itu di tangan Arie yang terluka. Plester luka dengan gambar panda lucu. Tak lama, pesanan mereka datang, dan mereka pun makan dengan lahap, menghajar 10 orang membuat Arie Lucas lapar dan Irena tentu saja sudah lapar sejak tadi. Dia bersyukur bisa bertemu kakak kelasnya. Irena menyukai ayam, dia dan ayam adalah satu kesatuan. Arie curi-curi pandang melihat gadis di sampingnya. Di dalam hati dia merasa senang bisa makan bersamanya. Selesai makan, Arie membayar semuanya lalu melanjutkan perjalanan ke rumah Irena.
Dia melihat Irena yang setengah mengantuk dari kaca spion motornya.
‘Lucu sekali sih seperti baby bunny,’ batin Arie.
Motor Arie memasuki gerbang Kampung Bojong Kenyot, bapak-bapak sedang bermain gaple di pos ronda. Sepanjang perjalanan Irena hanya diam, enggak berani ngomong. Takut kalau omongannya salah terus Arie jadi benci sama dia. Bapak-bapak yang sedang gaple heboh karena ada motor bagus lewat depan mereka, kampung mereka jarang ada yang punya motor bagus atau mobil mewah.
“Sapa tuh? Anaknya si Tatang pan yak? Sama sape?”
“Hah, sama dedemenannya kali, lu udah tua juga dah kepoan ya.”
Sesampainya di depan rumah, Pak Tatang terlihat sedang kepo mondar-mandir gelisah. Saat melihat Irena turun dari motor, Pak Tatang segera menghampiri putrinya. Dia memeriksa Irena, dibolak-baliknya tubuh gempal Irena, seakan mencari-cari letak lecet anaknya di mana. Pak Tatang memang sangat over protectif terhadap gadisnya.
Dia menatap sang anak lalu beralih pada pemuda blasteran yang kini tersenyum ramah padanya.
"Selamat malam, Pak."
“ Selamat malam, Dek. Nak, maafkan Bapak ya, Mang Usep sakit encok makanya dia enggak bisa jemput kamu. Syukurlah kamu akhirnya pulang. Dek, ini ongkos ojeknya ya.” Pak Tatang mengeluarkan uang lima puluh ribu dan memberikannya pada Arie, Irena terkejut dan menarik tangan bapaknya.“Pak … itu bukan tukang ojek, itu Kakak kelas aku.”“Hah? Eh maaf atuh, mau mampir dulu? Sok atuh, hampura nya. Bapak kira teh kamu tukang ojek, terima kasih sudah mengantarkan putri kecil Bapak.”“Sama-sama, Pak. Saya pulang dulu ya, permisi Pak dan putri kecil Bapak.” Arie menekankan kata putri kecil bapak, membuat Irena malu setengah mati."Eh, jangan buru-buru. Masuk dulu, tadi Si Emak bikin comro sama bakwan udang, ayo masuk dulu. Sebagai ucapan terima kasih dari Bapak." kata Pak Tatang, Arie pun turun dari motornya dan masuk ke dalam rumah Irena. Rumah sederhana bergaya khas Betawi namun ada juga khas jawa ba
Semua siswa dan siswi sudah berkumpul di sebuah area perkemahan. Mereka semua sedang mendengarkan instruksi dari sang ketua OSIS.“Kalian buatlah tenda sesuai dengan kelompok yang sudah dibagikan kemarin. Jika sudah kalian bergabung di sana. Jika kalian butuh sesuatu panggil saja kami.” Jelas Arie panjang lebar.Tak butuh waktu lama, semua sibuk membangun tenda masing-masing. Irena beruntung malam ini satu tenda dengan Pie serta dua orang lainnya. Merek bahu membahu membangun tenda hingga selesai, semua ransel dimasukkan ke tenda dan mereka berbondong-bondong ke lapangan. Arie dan beberapa kakak kelas lainnya sedang memberi pengarahan. Membagi kelompok juniornya untuk mencari kayu di hutan sekitar perkemahan dan mengumpulkannya. Selesai memberi petunjuk dan pengarahan, mereka pun berangkat mencari kayu bakar. Irena berjalan bersama Pie, mereka mengobrol sambil mengumpulkan ranting-ranting kering.“Hei, kamu kemarilah! Bantu di sini!&rdquo
Rasanya baru kemarin, Irena meninggalkan acara camping penuh kesan. Bagaimana tidak, dua hari itu ia dan Tria dekat satu sama lain. Tria pribadi yang hangat, murah senyum dan juga suka membaca manga. Selama kegiatan camping, Tria banyak membantunya dan memberi kesan yang baik.Saat berangkat kemah, dia pikir bakalan menyebalkan melihat kakak kelasnya yang galak dan Rara yang menempel padanya. Tapi semua berubah sejak avatar Aang menyerang eh maksudnya saat Tria datang. Irena sering dibuat terkejut dan terheran-heran, bukan karena Tria makan daging ayam dengan sayur kol, tapi perbuatannya selalu sukses bikin si cewek melting tingkat dewa 19.“Capek? Ya udah kamu istirahat aja dulu. Biar aku saja yang bawa airnya,” sambil senyum ala iklan pasta gigi. Siapa coba yang enggak melting digituin, berasa jadi cewek-cewek di film superhero gitu. Lagi capek bawa air, napas Rabu-Kamis terus Tria datang nolongin sungguh nikmat mana lagi yang Irena dustakan?
“Irena Putri Wahyudi, jelaskan soal di papan tulis.”Irena yang sedang mengkhayal iya-iya pun terkejut, soalnya bukan CEO ganteng yang ada di depannya tapi Pak Yanto dengan kacamata melorot ke hidung terus kumis nyeremin ala Pak Raden. Irena buru-buru ngusap ilernya pakai sapu tangan terus melihat ke arah Pak Yanto dengan wajah kikuk. Pak Yanto tahu muridnya ini sejak tadi melamun bukannya belajar.“Hah?! Saya, Pak?”“Ya, iya kamu memang saya panggil siapa?”“Coba Bapak ingat-ingat mungkin yang Bapak maksud bukan saya,”“Loh, kamu malah tawar menawar. Dipikir ini lagi transaksi sayuran apa? Udah sini maju!” Pak Yanto kesal lama-lama.Irena beranjak dari mejanya, lalu ke papan tulis. Dia berkeringat dingin, sebenarnya dia tidak mendengarkan penjelasan Pak Yanto, Irena menggigit bibir bawahnya. Setahu dia Pak Yanto itu kalau marah suka gebrak meja, masih mending tapi gebrak meja
Semua orang menatap ke arah meja Irena, Bu Centini ketar-ketir soalnya pangeran sekolah udah lama enggak bad mood, sekalinya dia lagi kesel bikin orang ketar-ketir enggak karuan.“Enggak usah deh, aku udah enggak lapar.” Jawab Arie meninggalkan bangku Irena, Irena menatap kepergian kakak kelasnya itu dengan bingung, sementara kakak kelas yang lain serta teman-temannya menatap Irena, seolah cewek itu melakukan kesalahan besar membuat seorang Arie bad mood. Pie tergopoh-gopoh kembali ke meja dan melihat Irena yang masih bingung.“Maneh ada masalah apa sama si ketua OSIS itu?”“Sumpah, Pie. Aku enggak ngapa-ngapain, suer deh.” Irena benar-benar bingung kenapa Arie marah.“Duh, kalau Kak Arie bete semua orang pasti kena amuk deh.”“Hah, serius? Kamu tahu dari mana, Pie?”“Semua orang tahu itu, kamu saja yang sibuk liatin Tria.” Pie mendeng
Irena entah harus merasa bersyukur atau tidak, dia bisa seharian semalaman latihan bersama Satria, meski kenyataannya Satria berada jauh dari tempatnya. Irena satu kelompok dengan Arie dan Igna, sementara Satria dengan Rara. Sementara itu dadanya terasa sesak dan patah hati, melihat Rara begitu serasi dengan Satria. Pedih banget rasanya, melihat seseorang yang kita sukai bersama orang lain. Meskipun di hadapannya ada bakso enak dan es teh manis, tetap saja Irena enggak bakal tergoda.“Mereka sangat cocok dan serasi, ah Rara memang cantik dan Satria juga tampan, mereka cocok kalau jadi pasangan kekasih.” Celetuk salah satu temannya, membuat Irena semakin miris.‘Iya sih aku mah apa atuh hanya remahan rengginang di kaleng Khong Guan.’Bukan hanya Irena yang berpikir hidup tidak adil, coba lihat Igna. Wajahnya kusut dan lingkaran hitam menghias matanya, tanda beberapa hari ini tidak bisa tidur. Igna menyukai Rara, tapi sayangn
Irena tidak sanggup lagi, lebih baik segera ke toilet, untuk menyelesaikan urusannya yang mungkin bertambah dengan menangis. Di perjalanan, dia melihat Arie bersama dengan Mita. Ah, mengapa dunia tidak adil? Irena juga ingin seperti Rara dan Mitha. Apa benar apa kata orang, orang ganteng hanya untuk orang cantik? Irena ingin sekali mematahkan persepsi itu karena benar-benar membuat dirinya atau orang lain yang mengalami hal yang sama seperti dirinya merasa tidak nyaman.“Ra, harusnya lu tahu gue suka sama lu.” Irena baru saja menyelesaikan urusannya, ia duduk sebentar di toilet tapi ia mendengar suara seorang cowok yang sedang menangis.‘Apa hantu? Kenapa ada suara cowok di toilet cewek?’ “Ra, gue sayang sama lu, kenapa sih lu milih si Satria itu.”‘Suaranya kayak Kak Igna?’ Irena membuka pintu dengan takut-takut. Ia melirik ke kanan dan ke kiri, sosok cowok jangkung sedang m
Motor gede itu keluar dari tempat latihan, Irena duduk nyaman di belakang sang ketua OSIS dan Igna mendengkus sendirian di luar pagar, dia pun menelepon temannya buat datang menjemput lagipula otaknya butuh di refresh, barangkali nongkrong di base camp atau di tempat latihan band bisa membuatnya lebih segar.“Kak Arie kok ngajak saya, kenapa enggak ngajak Kak Igna aja?” tanya Irena di jalan. Arie fokus mengendarai motornya.“Karena aku pengennya kamu, bukan Igna.”“Hah?” Irena merasa pendengarannya berdengung dadakan, perkataan kakak kelasnya itu ambigu, dia jadi mikir aneh-aneh jadinya. Irena berusaha menormalkan detak jantungnya yang mendadak seperti bedug di malam takbiran. Motor Arie melaju di atas jalan kota Jakarta, Irena tanpa terasa memegang pinggang kakak kelasnya itu dan menyenderkan kepalanya di punggung Arie. Entah kenapa, bersama Arie segala kesedihan di dalam rongga dadanya perlahan hilang.“Ma