Share

The prince

“ Selamat malam, Dek. Nak, maafkan Bapak ya, Mang Usep sakit encok makanya dia enggak bisa jemput kamu. Syukurlah kamu akhirnya pulang. Dek, ini ongkos ojeknya ya.” Pak Tatang mengeluarkan uang lima puluh ribu dan memberikannya pada Arie, Irena terkejut dan menarik tangan bapaknya.

“Pak … itu bukan tukang ojek, itu Kakak kelas aku.”

“Hah? Eh maaf atuh, mau mampir dulu? Sok atuh, hampura nya. Bapak kira teh kamu tukang ojek, terima kasih sudah mengantarkan putri kecil Bapak.”

“Sama-sama, Pak. Saya pulang dulu ya, permisi Pak dan putri kecil Bapak.” Arie menekankan kata putri kecil bapak, membuat Irena malu setengah mati.

"Eh, jangan buru-buru. Masuk dulu, tadi Si Emak bikin comro sama bakwan udang, ayo masuk dulu. Sebagai ucapan terima kasih dari Bapak." kata Pak Tatang, Arie pun turun dari motornya dan masuk ke dalam rumah Irena. Rumah sederhana bergaya khas Betawi namun ada juga khas jawa baratnya. Pak Tatang mempersilakan Arie duduk di kursi rotan, lalu memanggil istrinya yang berada di dapur.

"Kak tunggu di sini saja, aku mau mandi." ucap Irena. 

"Baik Tuan Putri kecilnya bapak." Arie terkekeh pelan membuat Irena menggembungkan pipinya lucu. 

'you are so cute bunny' desisnya dalam hati.

Mungkin saat ini kakak galak itu sedang berpikir lucu, bagaimana bisa badan segede gaban disebut putri kecil? Irena buru-buru masuk ke kamarnya dan membersihkan diri. Irena menatap cermin di depannya, terus menyisir rambutnya yang panjang dan ikal. Dia membayangkan bagaimana  rasanya memiliki pacar? Apa ada yang mau jadi pacar dia? Tadi diantar Kak Arie berasa diantar pacar, ‘ah apaan sih kamu, Ir. Masa Kak Arie suka sama cewek kayak gajah.’ Irena berharap suatu ketika ada seseorang yang mencintai ia apa adanya, tak peduli berapa pon bobot tubuhnya.

Dia pun lekas memakai piyama berwarna merah, lalu keluar dari kamar dan melihat keluarganya sedang memakan comro sambil menonton tv namun, sang kakak kelas yang membawanya juga masih ada, sedang mengobrol dengan kedua orang tuanya. 

"Mau makan?" tanya Ayahnya. 

"Sudah makan sama Kak Arie," ucap Irena. Pak Tatang dan istrinya beranjak dari kursi dan berkata pada Irena, "Nak, kami mau pergi ke rumah Pak Warsono, dia baru pulang dari rumah sakit, tidak enak jika tidak menengoknya." 

"Iya, Bapak sama Emak hati-hati." ucap Irena, tak lama kemudian orang tuanya berganti baju lalu berpamitan pergi. 

Sepeninggal orang tuanya, Irena menatap sang kakak kelas yang kini sibuk bermain ponsel. Dia pun berdehem dan menawarkan minuman, "Mau minum apa?" tanyanya. 

Arie berhenti bermain ponsel lalu menatap sang gadis yang tampak gugup, terlihat dari caranya memainkan ujung piyama merah miliknya, rambutnya setengah basah dan dia dapat menghidu aroma harum jasmine dari tubuh sang gadis. Arie tersenyum lalu berkata, "Tidak usah, sebentar lagi gue balik kok." Irena hanya mengangguk lalu suasana menjadi sangat canggung. 

"Terima kasih buat hari ini."

"It's oke, not problem." ucapnya, Irena kembali diam, tidak tahu harus membahas apa, mereka tidak dekat, hanya sebatas tahu kakak kelas dan juniornya. Irena mengigit bibir karena gugup, tak pelak perilakunya mendapat atensi dari sang ketua OSIS, Arie mengumpat di dalam hati karena Irena yang seperti itu berkali-kali lipat seksinya. Dia menelan ludahnya lalu mencari kunci motor miliknya. Dan karena dia gugup, kunci motor itu terjatuh menimbulkan bunyi gemerincing. 

"Biar aku ambilkan," ucap Irena membungkuk mencari kunci motor Arie di bawah kolong meja, sementara sang kakak kelas menelan ludahnya dan berkali-kali menahan diri, melihat sesuatu yang indah di depannya. Gadis itu menyimpan harta karun yang berharga di balik piyama merahnya. Jantungnya berdegup kencang, tatkala belahan itu makin terlihat menyembul saat si gadis membungkuk mencari kunci. Napasnya tersengal, saat Irena mengibaskan rambutnya ke belakang, membuat sesuatu di balik celana jeansnya mengeras. Mata elangnya menatap benda berkilau di bawah kakinya, dia segera mengambil kunci motornya itu dan segera berdiri. 

"G-Gue mau pulang, terima kasih minuman dan makanannya." 

Irena pun berdiri dan kaget, dia pun hanya mengangguk sementara sang kakak kelas berlari keluar, gadis itu cuma mengedikkan bahu, lalu duduk kembali di sofa  memakan makanan kesukaannya, lalu tertawa  melihat acara komedi yang ada di layar kaca. 

***

“Sarung udah?”

“Udah.”

“Jaket? Kayu putih? Obat alergi?”

“Udah semua, Mak.”

“Neng, hati-hati ya, di sana ‘kan hutan. Jangan ke mana-mana sendirian, kalau diculik kolong wewe gimana?”

“Biarin dah, biar diculik wewe gombel.”

“Hida! Malah becanda kamu, ya sudah atuh. Hida, anterin Irena ke sekolah sana!”

Keluarga Tatang Wahyudi sedang berkumpul sarapan pagi, hari ini Irena akan pergi camping selama 2 hari di daerah puncak, Bogor. Mak Esih sudah bangun pagi tergopoh-gopoh membuat sarapan dan membangunkan Irena supaya bersiap. Semalaman, Mak Esih membantu mengepak baju dan beberapa kebutuhan Irena untuk camping. Kahida baru pulang tadi malam, pagi ini Pak Tatang menyuruhnya mengantarkan Irena ke sekolah. Kahida meraih kunci motor miliknya, lalu pamitan pada kedua orang tuanya. Irena memakai sepatu dan mengeratkan jaket berwarna pink dengan gambar kucing di belakangnya.

“Hati-hati, kalau sudah sampai Bogor telepon, ya.”

“Adeuh, Bapak. Si Irena cuma mau camping bukan mau jadi TKW. Buruan ah, nanti kamu ketinggalan bus lagi.” Kahida melotot tajam pada Irena. Irena segera naik ke motor kakaknya. Kahida menstarter motornya dan meninggalkan pekarangan rumah Pak Tatang, diiringi tatapan sendu Pak Tatang. Kahida mengerti, kenapa bapaknya sangat protektif pada adiknya. Sejak kecil adiknya sering sakit kalau kedinginan. Sejujurnya Kahida juga menyayangi adik perempuan satu-satunya, dia juga khawatir jika Irena tidak ada di rumah.

“Hati-hati, kalau ada yang iseng bilang Kakak ya, Dek.” Kahida berpesan pada Irena, Pie berlari menghampiri keduanya. Dia sedikit menarik tangan Irena dan menanyakan siapa cowok berjaket biru yang mengantarkan Irena.

“Dia Kakakku, Kahida.”

“Ohh, aku pikir pacarmu.”

“Asem, emang muka kami enggak mirip apa?”

“Mirip dikit heheh. Eh gimana semalam? Lu nonton acara Inkigayo enggak? EXO tampil di sana, duh mas Kai eta terangsanglah eh ….”

“Huh, dasar otakmu itu ngeres terus.” Irena menjitak kepala Pie.

“Tapi bener, dia sexseh banget sumpah. Apalagi pas nari love shot, jantung aing terlpelatuq  langsung pindah ke ginjal.”

 “Sama aku juga suka liat Sehun, dia ganteng banget. Hi-hi-hi … apalagi pas dia di web drama Dokgo rewind itu.”

“Irena! Pie!” Pie memutar bola mata malas, orang yang paling tidak disukainya datang. Ia langsung bersikap sok akrab dan memeluk lengan Irena. Pie melihatnya jengah, ia benar-benar tidak suka pada Rara. Rara terlihat cantik dengan balutan celana jeans yang membungkus kaki jenjangnya, para kakak kelas yang lewat berdecak kagum lalu menatap Rara dan Irena bergantian.

“Beauty and The Beast, ha-ha-ha!” Mereka tertawa pelan namun, Pie masih bisa mendengarnya.

“Hei, Rara! Lu sengaja ya biar Irena diketawain. Lu jadi cewek sok cantik banget sih!”

“Pie, jangan bicara begitu, Aku—”

“Udah deh, Ir. Enggak usah belain dia. Bilang saja sama dia kalau kamu tuh enggak nyaman.” Pie menatap Rara tajam. Rara membalasnya tak kalah sengit, lalu Rara menatap Irena dan berkata, “ Memang bener kamu enggak nyaman sama aku?”

“Eh … enggak kok, Ra.”             

“Tuh, Irena saja bilang enggak, kamu saja iri. Takut Irena jauhin kamu!” Rara mendelik marah.

Mereka berdua masih berdebat satu sama lain, membuat Irena pusing sendiri. Satu sisi dia memang sedikit tidak nyaman saat Rara bersamanya, namun di sisi lain dia juga tidak enak pada Rara. Pie terlihat kesal dengan sikap Rara. Pie merasa jika Rara sengaja berduaan dengan Irena, supaya Irena terlihat jelek di mata kakak kelas lainnya. Coba saja Rara dekat dengan Kak Mita atau gadis populer dari kelas B, Pie yakin Rara tidak akan mau karena kalah cantik.

“Hei, kalian berdua kenapa ribut? Ayo berangkat!” tegur Arie, dia juga baru saja tiba dengan raut dingin dan berbeda dengan tadi malam.

‘Apaan sih Kak Arie, dia sepertinya bipolar atau apa?’ Irena mengerucutkan bibirnya kesal.

Pie dan Rara berhenti cekcok, lalu masuk ke dalam bus yang akan mengantarkan mereka ke puncak. Irena duduk di samping jendela, dia ingin melihat pemandangan di luar melalui jendela. Sayangnya dia tidak bisa satu bus dengan Pie, dia malah satu bus dengan Rara dan beberapa kakak kelas lainnya. Entah mengapa Arie memaksanya harus satu bus dengannya. Irena, jangan ditanya tentu saja takut dengan tatapan tajam Arie, terlebih dia sudah tahu bagaimana tabiat kakak kelas galak itu. Rara tampak akrab dengan seorang murid perempuan yang sama-sama terlihat cantik, Irena menghela napas lelah, kepalanya terasa pusing dan angin yang  bertiup sepoi-sepoi membuatnya terasa mengantuk. Beberapa kali kepalanya terantuk kaca jendela, dia pun akhirnya tertidur lelap.

Seseorang datang dan duduk di sampingnya, dengan hati-hati dia meletakkan kepala Irena di bahunya, membuat si empunya kepala merasa nyaman. Dia tersenyum penuh arti, lalu memasang headset di telinga mendengarkan musik. Sementara yang lain tidak berani berkata atau protes apa pun. 

"Diam atau kuhajar." bisiknya sambil menatap tajam mereka dengan mata elangnya.

Gadis di sebelahnya tidak pernah tahu, jika dialah yang menyebabkan pemuda itu menghabiskan sekotak tisu semalam dan membuatnya lelah hanya karena 'olahraga tangan.'

Komen (2)
goodnovel comment avatar
carsun18106
ya amplop si arie....
goodnovel comment avatar
carsun18106
rara ini tulus ngga ya...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status