Share

Kotak biru, menciptakan lembaran baru

Bab 4

Lily bangun lebih pagi. Membersihkan diri dan bersiap pergi ke sekolah. Hari ini adalah pengumuman Kelulusannya. Jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya.

Melebihi apa yang biasa Lily rasakan di arena.

Hari ini, akan menjadi hari yang bersejarah dalam hidupnya. Masa putih abu-abu akan segera ditinggalkan. Akan berganti menjadi lebih dewasa. Semoga saja uang tabungannya cukup untuk mendaftar ke Universitas idamannya.

"Ibu, Lily berangkat dulu ya!" Pamitnya pada sang ibunda, sambil mencium punggung tangan Ibu.

"Yasudah, hati-hati. Nanti Ayah nyusul. Undangan katanya jam 9 ya?" Jawab ibunya.

"Iya Bu. Tapi Lily mau ngumpul dulu sama teman-teman. Siapa tau ini terakhir kami ngumpul. Soalnya udah lulus kan biasanya susah ngumpul lagi." Kata Lily.

"Iya, gak apa. Hati-hati di jalan ya!" Pesan ibu.

Di sekolah, Lily terduduk diam di kelas. Memandangi setiap sudut ruangan. Ini yang akan ia rindukan setelah kelulusan. Suasana kelas yang ramai saat jam kosong. Guru bahasa yang ganteng. Sigit yang kocak. Dan teman lainnya.

Banyak sekali kenangan di kelas ini.

Jarum jam menunjukkan angka 8 lewat 40 menit.

Berarti sebentar lagi akan dimulai pengumuman kelulusan.

Lily keluar dari kelasnya.

Kemudian satu per satu wali murid memasuki kelas, termasuk ayah Lily.

Tak berapa lama kemudian, pengumuman kelulusan dibagikan.

Banyak wali murid yang deg-degan. Mereka takut jika anaknya ada yang tidak lulus.

"Alhamdulillaaaahh..."

"Alhamdulillah ya Allah"

"Puji Tuhan.."

"Terimakasih Yesus.."

Dsb.

Suara-suara saling bersautan dari dalam kelas.

Rasa syukur tak berhenti mengalir dari siswa-siswi yang dinyatakan LULUS 100%.

Linangan air mata membanjiri orang-orang di sekitar Lily.

Tak terbendung lagi kebahagiaan mereka hingga tangis bahagia pecah.

Baju seragam mereka kemudian penuh banyak coretan. Mengungkapkan kegembiraan.

Sudah menjadi tradisi di lingkungan sekitar kita, ketika lulus maka mereka akan mencoret-coret seragam hingga penuh dengan tulisan entah apa itu.

***

"Bu, Lily punya tabungan. Mungkin hanya cukup untuk mendaftar kuliah. Bisa gak Bu aku kuliah?" Tanya Lily.

Ibu hanya diam, sambil menyiangi kangkung untuk dimasak sebentar lagi.

Sedari tadi ketika Lily pulang dari sekolah, Lily hanya diam memikirkan apa yang harus dia perbuat selanjutnya.

"Gak tau sayang, Ibu tidak punya lagi sesuatu yang bisa dijual. Kalau Lily pengen kuliah, mungkin bisa tahun depan saja. Sekarang kita kumpulin modal dulu. Supaya tahun depan lebih siap." Jawab Ibu, mengecilkan hati Lily.

..tok..tok..tokk...

"Assalamuallaikuuummm..."

Suara terdengar dari luar.

Sepertinya tidak asing dengan suara itu.

Lily tanpa basa-basi melenggang menuju pintu, berniat membuka pintu. Dia tau siapa yang datang.

"Beuhh, uler keket dateng jam segini. Mau ngapain deh?".. gumam Lily.

Kreeeekkk... Pintu terbuka.

Di hadapannya kini berdiri seseorang, lelaki tampan nan rupawan. Sayangnya masih balita.

Yes, balita. Bawah limapuluh tahun.

"Ngapain kesini? Mau ngajak jalan? Kayaknya gak bisa deh. Aku lagi pengen di rumah nih. Kasian juga sama Ibu, gak ada temennya"

Belum apa-apa, si Lily udah nerocos aja.

"Yaelah micin, aku kesini mau kasih kamu ini. Selamat yaa udah Lulus. Hehehe.. sekarang udah tua donk ya?"  Canda si Rino, sambil memberi sebuah kotak pada Lily.

Kotak berwarna biru muda, bergambar kupu-kupu.

"Apaan nih?" Tanya Lily.

"Aku gak mau ya dapet sogokan. Jangan harap aku mau jalan hari ini. Otakku lagi gak sinkron" tegas Lily.

"Aku gak ngajak kemana-mana. Aku cuma pengen kasih itu aja. Tapi kalau kamu gak mau, yaudah sini balikin!" Rio gemes.

"Enak aja, barang yang sudah diberikan, pantang diminta kembali, laki apaan begitu. Laki bukan sih?" Ketus Lily.

"Lhooo... Rino, kok gak diajak masuk? Ayo sini masuk. Kebetulan Ibu habis masak tadi. Rino sudah makan belum? Kita makan yuk!" 

si Ibu ramah. Dan memang sepertinya Ibu suka dengan Rino. Karena sopan dan tanggung jawab. Sering mengajak Lily pergi kemudian pulang tepat waktu. Sejak kenal sama Rino, Lily sudah jarang keluar malam. Jarang pergi bergerombol.

Bahkan Ibu kira, Lily sudah benar-benar berhenti dari arena balap.

"Wah, makasih Bu.. kebetulan belum makan. Ibu saya sedang ada rapat Persit di kecamatan. Jadi gak ada yang masak." Jawab Rino.

"Oh.. jadi kutu air nih kesini cuma mau makan ya? Kenapa gak bilang dari tadi?"

Dasar Lily, mulutnya keras. Haduuhh..

"Yasudah ayo kita ke belakang!" Ajak Ibu.

Mereka bertiga kemudian makan di meja yang sama. Tumis kangkung, tempe goreng, pindang, sambal. Benar-benar menu ideal bagi mereka yang tinggal jauh dari hingar-bingar kota.

Begitu akrab Rino dengan Ibunya Lily. Begitupun sebaliknya, Lily pun akrab dengan Ibunya Rino.

Mereka para orang tua membebaskan anak berteman dengan siapapun. Asal tau batasan dan tidak saling menyakiti.

***

Lily duduk di tepian kasur tanpa dipan. Tangannya memegang sebuah kotak pemberian Rino tadi siang.

Kemudian dia buka perlahan dengan menarik pita warna jingga.

Sreeettt....

Diangkatlah tutup kotak tersebut.

Lily mendapati sebuah boneka Beruang mini warna merah muda. Di bawahnya ada dua batang coklat. Dan secarik kertas.

Lily kemudian membuka kertas tersebut. Membaca dalam hati.

"Cieeee... Cewek jadi-jadian Lulus sekolah. Selamat ya paus kecil." 

Tulisan besar memenuhi sebuah kertas, diselipkan pula emoticon berbentuk hati.

"Astaga, si bangsat. Bisa-bisanya kasih beginian. Kalo bukan anak Babinsa, udah ku potong lehernya pake celuritnya pak Asmo."

 Gumam Lily.

Sejurus kemudian ia memandangi boneka itu. Lucu. Belum pernah ia dapatkan hadiah seperti ini. Di kamarnya juga tidak ada satu boneka pun. Sedari kecil, Lily tidak pernah punya mainan anak perempuan. Semua koleksinya adalah mobil-mobilan, tembak peluru karet, kelereng dan ketapel.

....beepp.. beeeepp....

Ponsel Lily berbunyi. Ada SMS masuk. Kemudian dibuka. Dari Rino.

"Eh, hiu darat.. lagi apa? Gak ada rencana gitu kita pergi minggu ini? Bosen aku, mbak Reni udah harus balik ke asrama. Kamu sebentar lagi juga pasti kuliah kan, aku bakalan gak punya temen deh."

Sigap jemari Lily membalas.

"Eh kampret kebon, emang kamu punya duit? Mau ngajakin jalan segala. Hahaha"

Tidak sampai lima menit, balasan datang.

"Jangan kuatir. Aku habis jual ayam jagoku. Cukup lah buat beli bensin sampai pantai. Nanti bekel nasi dari rumah saja. Biar irit."

"Yaaahh.. ngenes deh jalan dalam kemiskinan. Hahaha" balas Lily.

"Terus gimana donk? Aku kan masih sekolah. Nanti kalau aku sudah kerja, kita jalan ke luar negri deh. Hahaha" balas Rino lagi.

"Iya deehh.. nanti kalau kamu punya duit, kaya raya, ajakin aku ke luar planet sekalian. Capek deh." Lily menulisnya. Lalu mengirimkan.

"Yasudahlah kalau gak mau. Duitnya buat jajan bakso saja besok. Bye.." Rino mulai kesal.

" Lhah, belut sawah bisa ngambek.. hahahaha... Oke deh, kita jalan. Kali aja habis ini gak bisa jalan lagi kita." Ah, ini Lily makin bikin penasaran Rino.

"Oke, lusa aku jemput ya. Pagi jam 8. Biar gak panas amat di jalan. Bye.." tutup Rino.

Lily tak lagi membalas. Hanya senyuman di bibir mungilnya. Masih memandangi sebuah boneka warna merah muda.

Lucu.

***

"No, kayaknya aku gak jadi kuliah deh. Uangku cuma cukup buat daftar saja. Ayah tidak sanggup. Kata Ibu, mungkin tahun depan. Sekarang yang bisa kami lakukan adalah kerja, kumpulin uang bekal tahun depan."

Lily menatap kosong ke arah lautan, bergumam diiringi lembut angin membelah wajahnya. Rambutnya yang sudah mulai dibiarkan panjang sebahu, bergerak-gerak hingga menutupi wajahnya.

Rino duduk di sebelahnya sedang asyik memainkan pasir dengan kedua kakinya.

"Terus ada rencana kerja di mana Ly?"

"Ada saudara di kota. Mungkin aku akan ikut beliau ke sana. Aku bisa ngelamar kerja di toko. Kalau untuk kerja di pabrik, sepertinya gak bisa deh. Tinggi badan aku kurang. Walaupun nilai bagus, tapi mereka mana peduli sama nilai."  Lily masih menatap kosong.

"Sering pulang gak nanti?" Tanya Rino.

"Ya kalau dapat cuti, bisa pulang ya pulang. Kalau gak bisa pulang yaudah."  Jawab Lily sekenanya.

Rino semakin menundukkan kepalanya. Membenamkan ke dalam dua lututnya.

Dadanya sesak, ia sedang menahan tangis. Namun pantang baginya menangis di depan seorang perempuan.

Ia tak lagi punya kawan berbagi cerita. Selama ini Rino merasa sangat nyaman di samping Lily. Mencurahkan semua uneg-unegnya.

Bahkan hingga masalah pribadinya di rumah.

Rino merasa tak siap kehilangan teman baiknya. Terlebih sebenarnya ada rasa dalam hati Rino kepada Lily.

Rasa yang tak pernah ia mengerti. Rasa yang belum pernah ia punya selama ini.

Baginya, pertemuan sore itu di persimpangan jalan, adalah awal segala cerita ini.

Karena sejak itu, ia banyak menghabiskan waktu bersama.

Tak jarang teman-temannya mengira mereka berdua menjalin hubungan istimewa.

Bahkan ada teman yang bilang kalau Rino suka sama tante-tante. Mengingat usia Lily lebih tua 2 tahun dari Rino.

Aahh.. entahlah. Bayangan semua kenangan itu terus menyiksa batin Rino. Serasa tak sanggup lagi, dan harus ia ungkapkan pada Lily. Namun ia masih takut.

Takut jika Lily justru menolaknya.

Biasanya, perempuan akan menjauh setelah menolak cinta lelaki.

Tak pernah tau mengapa begitu. Apakah memang seperti itu rumus kehidupan perempuan?

"Eh, congek.. laper gak?" Lily mengguncangkan badan Rino.

Ia kira Rino ketiduran.

"Laper" jawab Rino masih dalam tangkupan kedua lututnya.

"Yaudah, makan yuk." Ajak Lily.

"Kan kita gak bawa bekal. Duit gak punya juga. Udah cukup buat beli bensin doank tadi." Tolak Rino.

"Tenang, aku punya duit nih. Hasil aku nulis puisi di koran kota ." Jawab Lily.

"Haaahh.. banyak amat sampingan kamu? Yaudah ayok gassss. udah protes dari tadi perutku. Hehee."

Rino langsung berdiri, membalikkan badan dan bersiap jalan menuju warung.

Ia begitu, karena takut dilihat Lily, baru saja ia menangis. Matanya memerah.

Berdua menikmati hidangan khas pantai. Yaitu Popmie.

Benar-benar miskin.

Tapi masih beruntung mereka bisa makan, setidaknya perut terisi. Semoga saja tahan sampai sore nanti.

Kadang kenikmatan makanan tidak berasal dari rasa makanan tersebut.

Dengan makan berdua bersama orang kesayangan kita, sudah menjadikan kenikmatan tersendiri.

Meskipun sederhana. Tapi ini kenangan. Yang mungkin tak akan pernah mereka lupakan seumur hidupnya kelak.

Bahkan mungkin akan menjadi cerita bagi anak cucu mereka di kemudian hari.

***

"Aku berangkat besok pagi. Doakan semoga aku sampai dengan selamat di sana. Dan segera mendapat pekerjaan. Biar nanti bisa traktir kamu popmie lagi. Jangan lupa, simpen tali rambutku yang waktu itu ketinggalan. Itu aku beli pas aku piknik ke Bali. Jadi awas ya kalau sampai hilang. Baik-baik kamu di sini. Belajar, jangan main-main. Tahun ini sudah harus serius, karena tahun depan kamu sudah tingkat akhir. Harus Lulus loh"

Lily nerocos sambil mengemasi barang-barangnya. Baju, sepatu, tak lupa ia memasukkan boneka kesayangannya ke dalam koper. Dibawa serta album foto yang berisi kenangannya bersama teman-temannya di sekolah.

Rino yang sejak tadi memandang lesu oada Lily, hanya diam. Dalam batinnya berkata 'kayak mau perang aja semua dibawa, pesannya udah kayak nenek-nenek mau bagi warisan. Dasar paus mini'

"Kamu bilang apa? Gak usah dibatin deh, aku tau kamu bilang apa. Yasudah sih kalau gak suka." Lily menebak-nebak pikiran Rino.

Masih terdiam Rino menemani Lily berkemas di kamarnya. Album foto yang dipegang Lily, siap masuk ke dalam tas.

Pluugg.. sebuah foto terjatuh. Diam-diam Rini memungutnya tanoa sepengetahuan Lily. Lalu menyelipkan ke kantong jaketnya.

Lily pamit ke dapur untuk mengambil minuman. Kemudian Rino meneteskan air mata (lagi). Sungguh tak ingin ia ditinggalkan. Baginya semua seperti akan berakhir begitu saja. Sudah tiada harapan. Ia berfikir nanti Lily pasti lupa dengan dirinya, pasti Lily tergoda cowok lain.

Lho, apa salahnya jika Lily tergoda? Toh mereka kan tidak ada hubungan apapun selain teman. Lily berhak untuk menerima siapapun di hatinya, untuk mengisi kekosongan yang selama ini betum terisi, sejak disakiti cowok tempo hari.

Pikiran Rini semakin kacau. Tiba-tiba ia keluar kamar lalu berpamitan pulang. Ia tak bisa lagi melanjutkan menemani Lily berkemas. Rasanya ini akan menjadi hari yang buruk, jika ia tetap di kamar itu. Perasaannya akan semakin tercabik-cabik.

Batinnya tersiksa. Ingin mengungkapkan rasa, namun fakut kehilangan. Oh Rino yang malang..

"Ly, aku pulang dulu ya. Maaf gak bisa nterin kamu besok pagi. Aku kan sekolah. Aku gak mungkin bolos. Kamu hagi-hati ya besok. Semoga kamu selamat sampai tujuan, cepat dapat kerjaan. Jangan lupa ya kamu SMS aku. Kasih kabar, biar kita tetap berteman."

Rino berpamitan, tak kuasa menetes bulir beninh, lembut membelah pipinya yang bersih tanpa jerawat. Bibirnya sersenyum lebar, walaupun hatinya perih.

Lily meraih tangan Rino. Menggenggamnya erat. Tersenyum pula ia pada sahabatnya itu.

"Aku bisa jaga diri. Aku akan baik-baik saja. Jangan khawatirkan aku. Kamu jangan khawatir.". Ucap Lily.

Kemudian Rino berpamitan pada Ayah Ibunya Lily.

Pergi menunggangi motor bututnya, berlalu hingga bayangannya hilang di ujung gang. Perpisahan malam ini, membuat mereka merasa kebilangan satu sama lain. Esok, akan sensiri. Esok, akan sepi. Semua harus bisa berdiri sendiri. Dengan atau tanpa sahabat di sisinya, semua akan baik-baik saja. Hanya jarak yang memisahkan. Suatu saatvpasti akan bertemu kembali. Semoga saja masih dalam keadaan yang sama. Sehat. Semoga semua berjalan sesuai rencana.

Malam begitu pekat, tanpa ada bintang bersinar malam ini. Semakin menambah rasa pilu di dalam hati dua anak manusia itu. Sepi.

Sepi sekali.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status