Share

Isi hati Lily

Bab 8

Rino berlari meninggalkan sepeda motornya, membiarkan tergeletak begitu saja. Berlari menghampiri Lily, memastikan tidak terjadi hal buruk pada Lily.

Di alam terbuka seperti ini memang tak menutup kemungkinan banyak binatang liar keluar di malam hari untuk mencari makan.

Rino yang sekilas melihat bayangan hitam berlari dari belakang Lily, spontan berteriak agar Lily menghindari binatang tersebut.

 "Kamu gak kenapa-kenapa kan?"

Rino memastikan keadaan Lily, seraya melihat sekeliling mereka 

 "Gak kok, cuma kaget. Itu tadi seperti landak deh. Untung kamu teriak, kalau gak.. mungkin aku udah ketabrak tadi".

Lily membersihkan celananya yang terkena tanah akibat terjatuh saat menghindari binatang tadi.

 "Itu di depan ada desa. Kita akan segera mendapatkan bensin. Yuk!"

Rino mengajak Lily kembali berjalan.

Lily menurut. Berjalan di belakang Rino, masih terasa degup kencang jantungnya. Kejadian baru saja membuat pikirannya semakin kacau.

***

 " Habisin makannya, terus pulang. Besok aku kan sekolah.". Rino tampak sedang asyik memakan semangkuk mie ayam menggunakan sumpit.

Lily masih terdiam.

Terasa susah sekali menelan makanan kali ini.

Hanya teh hangat yang sedari tadi diseruputnya.

 "Kenapa Ly? Kok gak makan, tadi katanya lapar?"

Rino kemudian mengarahkan pandangannya ke depan. Melihat Lily meneteskan air mata.

Bulir bening itu seperti keluar tanpa kehendak si empunya.

 "Ly, Lily.. wooiiii!!"

Rino kembali memanggil Lily, melambaikan tangannya di depan wajah Lily.

 "Gimana kalau besok gak usah sekolah, temenin aku mau gak? Waktuku tinggal dua hari di rumah. Cutiku akan segera berakhir."

Lily tiba-tiba menatap Rino, seraya menghapus air matanya dengan tisu.

 "Gak bisa, besok aku ada ulangan. Habis pulang sekolah aja, gimana? Rino menjawabnya.

 "Gitu ya, yaudah oke. Aku jemput besok di depan gerbang ya!" Lily tersenyum.

***

Bell nyaring berbunyi. Rino segera merapikan buku pelajarannya, ingin segera lari keluar kelas. Lily pasti sudah menunggu di depan gerbang dari tadi.

Rino sudah janji untuk menemani Lily hari ini, entah ke mana mereka akan menghabiskan waktu kali ini. Tapi, pikiran Rino merasa ada yang tidak beres.

Langkahnya terhenti setelah melihat gadis di luar gerbang sekolah. Masih dengan penampilannya yang biasa saja. Celana jeans, kaos, sepatu kets, tas selempang. Tidak ada yang berubah dari gadis ini. Meskipun wajahnya tampak mulai terawat, dan rambutnya yang mulai memanjang dari sebelumnya. Namun untuk urusan penampilan, gadis ini masih memegang teguh prinsipnya. Masih sama seperti dulu ketika pertama mereka bertemu.

 "Haaaiii... Udah lama?" Rino tersenyum menyapa Lily.

 "Belum, baru saja. Kamu capek ya, makan dulu yuk. Baru habis itu jalan." Ajak Lily seraya memberikan satu helm untuk Rino.

Rino hanya mengangguk, kemudian memakai helm di kepalanya.

Lily memberikan kunci motornya pada Rino.

Motor kesayangan Lily sejak masih bersekolah.

Meskipun terbilang Tua, tapi motor ini penuh kenangan. Walaupun suaranya membuat orang lain terganggu, tapi bagi Lily, ini adalah suara paling merdu sedunia. Karena hanya motor ini yang mengerti kemauan Lily tanpa protes.

Melaju membelah jalanan kampung nan hijau, naik turun bukit nan indah.

Adalah suatu kenikmatan dunia, setidaknya memberikan rasa tenang pada pikiran.

Dua puluh menit berlaku, sampailah mereka berdua di sebuah Danau buatan di atas bukit, orang menyebutnya 'Embung'.

Danau ini sengaja dibuat untuk menampung air hujan ketika musim penghujan tiba, dan akan dialirkan ke sawah-sawah penduduk ketika kemarau tiba.

Airnya yang berwarna biru, serta bukit nan hijau menambah keindahan tempat ini. Di ujung pandangan, terlihat situs purba yaitu gunung berapi purba. Menjulang tinggi, seperti batu raksasa yang kokoh tak tertandingi.

Duduk di sebuah batu, menyanding sebotol air mineral dan sebungkus kacang tanah oven.

Mereka berdua terlihat asyik menikmati pemandangan sekitar.

Terdengar gelak tawa Lily yang tak pernah puas meladeni lawakan Rino.

 "Kamu mau balik kerja kapan? Lusa atau malah besok?". Rino tiba-tiba merubah suasana.

 "Lusa, sebenarnya gak pengen balik ke sana. Jujur aku gak kerasan di sana, aku merasa gak nyaman. Tapi aku pun gak betah di rumah terlalu lama. Jadi pilihan satu-satunya adalah aku harus balik kerja ke sana lagi. Setidaknya sampai aku mendapatkan pekerjaan yang lain, yang bikin aku nyaman."

Lily menjawab tanpa menoleh sedikitpun pada Rino. Pandangannya kosong, seperti tak ada lagi semangat hidup dalam dirinya.

Baru kali ini Ia terlihat amat terpuruk. Biasanya gadis ini selalu ceria.

"Kenapa begitu, biasanya kamu semangat banget?" Rino menimpali ucapan Lily.

 " Kamu gak pernah tau apa yang aku rasakan, karena aku gak pernah cerita pada siapapun tentang masalah ini. Aku selalu memendam sendiri luka-luka ini. Entah sampai kapan. Kamu lihat keluargaku dari luar saja, terlihat saking mengasihi. Saling support, saling mengisi, padahal tidak.

Kami seperti dalam lingkaran api. Setiap hari selalu saja ada pertengkaran di antara kami."

Lily mulai menceritakan apa yang selama ini menjadi beban hidupnya. Memandang jauh, jauh sekali. Hingga seolah tak ada sesuatu tertangkap oleh kornea matanya.

Rino masih diam. Ia tau, saat seperti ini yang harus dilakukan hanyalah diam. Tak usah bertanya maupun menjawab. Cukup mendengarkan saja, agar sahabatnya merasa lebih ringan setelah mengeluarkan beban di hatinya.

 "Setiap hari ada saja drama di keluarga kami. Ayahku adalah laki-laki keras kepala dan suka main tangan. Semenjak usahanya bangkrut, Ibu sering kena pukul Ayah.

Ibuku seorang yang suka banyak bicara, dan Ayahku tak suka. Kadang ketika Ibu mengomel, tanpa ba bi bu, Ayah menjambak rambut Ibu.

Pernah aku lihat Ibu sedang tiduran setelah mereka cekcok mulut. Tiba-tiba Ayah datang membawa piring keramik dan memukul kepala ibu dengan piring, hingga piring pun terbelah jadi dua.

Pernah juga aku lihat Ibu hampir mati karena lehernya dicekik Ayah. Tubuh Ibu dipepetkan ke tembok.

Tak hanya itu, Ibu pernah berkali-kali diseret dari kamar ke halaman depan tengah malam. Hingga banyak orang mendadak berkerumun."

Rino serius mendengarkan curhatan sahabatnya.

Meskipun tak tahu harus apa, namun hatinya ikut merasakan sakit yang Lily alami.

Betapa tidak, gadis ini ternyata tumbuh dalam lingkungan yang tak sehat. Banyak mengalami tekanan. Masih untung sekarang Lily baik-baik saja.

Tapi, bagaimana dengan mentalnya?

Lily masih duduk melanjutkan ceritanya.

Tak terasa bulir bening turun begitu saja. Membasahi wajah manisnya, meskipun tanpa polesan make up.

 "Aku seperti hidup di antara dua jurang. Hanya tersisa jalan kecil dan menanjak. Mau tidak mau aku harus melaluinya, untuk bisa menjadi manusia yang lebih baik. Aku gak mau seperti kedua orangtuaku. Aku ingin jadi diriku sendiri.

Aku belum pernah merasakan hangatnya kasih sayang yang benar-benar tulus.

Hingga suatu saat, aku mengenal seorang laki-laki. Dia menyukaiku. Begitupun aku. Kemudian orangtuaku melarang ku berhubungan dengannya lagi.

Aku merasa terpuruk, seburuk ini jalan hidupku. Aku bahkan tak tau bagaimana hari esok harus ku lalui."

Rino yang sedari tadi dian seribu bahasa, kaget mendengar cerita Lily, bahwa Ia mempunyai seseorang yang istimewa dalam hatinya.

Lalu selama ini, apa yang terjadi di antara mereka. Bukankah Lily selalu merasa bahagia saat bersamanya, bukankah Lily kemarin setuju tidur di pangkuannya, apakah itu bukan sebuah tanda bahwa Lily mencintainya?

Bermacam pertanyaan seketika berkecamuk dalam hati Rino. Dadanya tiba-tiba terasa sesak. Seperti dipenuhi banyak sekali batu kerikil. Badannya seketika lemas, serasa tak bertulang lagi.

Lily menoleh, menatap Rino yang masih saja diam dan menunduk.

 "Kamu gak pernah ya, ngerasain gimana sulitnya aku memperjuangkan apa yang seharusnya menjadi hak ku, betapa sesaknya napas ku memikirkan semua ini.

Sangat sulit bagiku melangkah.

Banyak sekali mimpiku tertunda, atau bahkan tak akan pernah terwujud. 

Kali ini aku hanya ingin merasakan kehangatan. Tapi mereka pun tak merestuinya.

Padahal aku mencintainya. Namanya Agam.

Dia baik, sayang sama aku. Tapi, entahlah. Aku bingung."

Lily terus saja bercerita. Tak menghiraukan perasaan Rino yang sedari tadi menahan hatinya.

Selalu begitu, Lily gadis keras kepala. Tak perduli apapun di sekitarnya. 

Memang baginya, Rino hanyalah sahabatnya. Tidak lebih. Jadi, apa yang harus dikhawatirkan, tidak ada.

Rino pun tipe cowok yang pandai menyimpan rahasia. Jadi Lily merasa tenang dan aman untuk mencurahkan isi pikirannya.

 "Siapa laki-laki itu?"

Rini tiba-tiba merespon cerita Lily.

 "Dia, aku temui di tempatku bekerja. Kami berkenalan ketika dia memesan barang di toko kami. Kemudian kami saling bertukar nomor ponsel. Aku juga gak nyangka bakalan seperti ini, aku terlanjur menaruh hati padanya. Aku gak mungkin meninggalkannya. Aku mencintainya."

Lily kembali meneteskan air mata, menundukkan kepalanya sesenggukan.

Rino mendekat, meraih kepala Lily dan membenamkan di dadanya yang bidang.

Memberi kesempatan pada Lily untuk menenangkan pikirannya. Meskipun sakit menggerogoti hatinya, Rino tak punya pilihan lain.

Baginya, Lily adalah seseorang yang harus dilindungi dan dibuat nyaman, agar persahabatan mereka tetap baik-baik saja.

Berkecamuk rasa dalam hatinya, hingga Ia menyadari bahwa langkahnya kini terhalang dinding besar. Dinding yang menjulang, yang hampir tak mungkin Ia hancurkan hanya demi meraih hati seorang Lily.

 "Sudah, jangan nangis. Kita bisa lalui ini. Aku akan ada saat kau butuh. Tenang ya!"

Rino mengusap kembali rambut Lily.

Hari semakin sore, langit semburat jingga di ujung barat, menambah suasana haru.

Burung-burung bersiap kembali pulang ke peraduannya.

Udara dingin mulai menyusup ke sela jemari.

Sore itu, ada hati yang patah.

Ada jiwa yang terluka.

Namun semuanya harus rapat disembunyikan, harus tetap terjaga entah kapan.

Karena dunia tak mungkin terbalik begitu saja.

Dua anak manusia dipersatukan dalam hubungan persahabatan. Mungkin hanya sampai di sini, tidak lebih.

Jika seseorang mencoba mengingkari takdirnya, mungkinkah Tuhan akan tetap memberinya hidup?

Entahlah, tak pernah ada yang tau.

Namun satu hal yang harus diketahui, bahwa kasih Tuhan sangat besar. Tuhan selalu memberikan yang terbaik untuk makhluknya 

Tuhan tak pernah ingkar janji sedikitpun.

Manusia hanya harus menjalani dengan keiklasan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status