Share

Bab 4

Author: Clara
Baru keesokan paginya aku cukup kuat untuk pergi sendiri ke klinik privat keluarga untuk merawat lukaku. Bahkan dokter berpengalaman itu jelas terkejut saat melihat bekas cambuk di punggungku. Membersihkan dan membalutnya memakan waktu hampir tiga jam.

Aku berkeringat deras menahan sakit. Beberapa kukuku patah selama perawatan, tetapi aku tidak mengeluarkan suara apa pun.

Selama dua hari aku beristirahat di klinik, lukaku mulai mengering. Selama itu, Elena mengirim pesan-pesan provokatif setiap hari.

"Ayah sudah setuju mengubah kamarmu jadi ruang pajangan senjata. Kiriman baru dari Amsel yang Vincent berikan ke aku butuh tempat. Kapan kamu pindahkan semua barang rongsokanmu?"

"Vincent membawaku ke Malin untuk mengambil gaunku. Perancangnya bilang butuh tiga bulan untuk mendapatkan bahannya. Vincent langsung membeli seluruh ruang kerja dan membuat mereka bekerja semalaman."

Di foto itu, tatapan Vincent pada Elena penuh kelembutan. Melihat itu, aku tidak merasakan apa pun.

Aku tidak membalas satu pun pesan itu. Setelah kondisiku sedikit membaik, aku kembali ke kamarku untuk mengemas barang-barang. Selain dokumen penting dan beberapa barang pribadi, semuanya kubuang.

Pengurus rumah melihat ini dan dengan hati-hati mendekat untuk mengingatkanku, "Nona Lena, Nona Elena bilang kamu harus pindah ke gudang penyimpanan di sebelah ruang persenjataan. Mungkin bocor, tapi kamu bisa simpan barang-barangmu di sana. Nggak perlu membuang semuanya ...."

"Nggak usah," potongku, menatap kamar yang nyaris kosong. "Aku nggak butuh barang-barang ini lagi. Aku akan segera meninggalkan Navana. Aku nggak akan kembali lagi."

Pengurus rumah itu tampak terkejut. "Nona mau pergi? Tapi ...." Semua orang di Keluarga Ronan tahu bahwa Sirina adalah "tempat pembuangan". Hanya mereka yang ditinggalkan keluarga yang dikirim ke sana, dan tidak pernah ada yang kembali.

Sebelum dia sempat melanjutkan, Vincent mendorong pintu dan masuk. "Siapa yang mau pergi?"

Elena keluar dari kamar tidur dengan cemberut manja. "Kamu datang pagi sekali! Aku belum siap."

Vincent tersenyum dan mencubit hidungnya. "Nggak apa-apa. Aku bisa menunggu."

"Aku nggak tahu harus pilih gaun yang mana," kata Elena, memainkan perannya. "Kamu punya selera yang bagus. Bantu aku pilih."

Keduanya kembali ke kamar sambil tertawa dan menutup pintu. Aku mengalihkan pandangan dalam diamdiam, lalu menutup koperku.

Sepanjang hari itu, Vincent dan Elena tak terpisahkan. Mereka berciuman di balkon, membiarkan lipstik Elena menodai kerah Vincent. Vincent mengawasi langsung para anak buahnya memindahkan senjata sebagai "hadiah" untuk keluarga lain besok.

Dia juga memanggil penjahit pribadinya untuk menyesuaikan gaun Elena. Elena duduk di ruang tamu, sesekali memanggilku, menyuruhku seperti pelayan untuk mengambil sampanye atau kotak perhiasan.

"Lena, lihat bros ini." Elena mengangkat sebuah bros bertabur safir yang Vincent dapatkan dengan menukar dua pabrik pengolahan opium. "Vincent bilang batu ini bercahaya dalam gelap. Jadi di mana pun aku berada, dia bisa selalu menemukanku."

Para pelayan berbisik di antara mereka, "Nyona dan Tuan Vincent benar-benar saling mencintai. Mereka bahkan belum nikah, tapi sudah seromantis pasangan pengantin baru."

"Nona Elena dimanjakan sejak kecil. Sekarang dengan kasih sayang Tuan Vincent, dia pasti makin manja."

"Kasihan Nona Lena. Dari kecil nggak pernah diperhatikan, dan sekarang harus merelakan pria yang dia cintai untuk kakaknya."

Mendengar gosip mereka dari balik pintu, aku menunduk. Aku sudah berkali-kali mempertanyakan kenapa nasib begitu tidak adil. Namun setelah mati sekali, aku akhirnya mengerti. Hal-hal yang sebelumnya kuperebutkan mungkin memang bukan untukku. Itu berlaku untuk kasih keluarga, maupun cinta romantis.

Menjelang malam, seorang pelayan memberi tahu bahwa orang tuaku sudah memesan meja di restoran di perbukitan dan ingin kami makan malam bersama. Aku ingin menolak, tetapi Elena menyeretku masuk ke mobil.

Di perjalanan, apa pun yang Elena katakan, Vincent selalu langsung menanggapinya.

"Setelah kita menikah, ayo berbulan madu ke Erapa ya? Aku ingin melihat aurora, dan aku ingin datang ke fashion show. Kamu harus banyak fotoin aku. Atur semua perangkat elektronikmu pakai foto aku dan nggak boleh ada yang sama."

"Oke. Aku akan belajar fotografi dulu. Aku harus menangkap momen terindahmu. Lalu akan kupasang foto-foto itu di kantor dan ruang kerjaku. Jadi setiap kali aku rindu kamu, aku tinggal lihat."

"Janji ya! Kalau nanti kita punya anak, kita bisa melihat album-album itu bersama dan mengenang masa lalu. Ngomong-ngomong, kamu mau punya berapa anak? Anak laki-laki harus tampan seperti kamu, anak perempuan lebih baik seperti aku ...."

Mereka mengobrol penuh semangat, seolah-olah aku tidak ada di sana. Aku hanya menatap pemandangan di luar jendela dalam diam.

Di hari operasi transplantasi kornea Vincent, aku dibius dan tertidur. Aku bermimpi bahwa saat dia bangun, orang pertama yang dia lihat adalah aku.

Sejak itu, matanya hanya akan melihatku. Dia akan selalu berada di sisiku, mempersiapkan kejutan, membawaku menjelajahi dunia. Dia akan berlutut untuk melamar, menggenggam tanganku ke pelaminan, dan menggendong anak-anak kami untuk berfoto keluarga.

Dalam mimpiku, aku memiliki cinta sejati dan rumah yang menjadi milikku. Sayangnya, saat aku bangun, semuanya hilang. Aku bertahan sekuat tenaga, hanya untuk bertemu kematian brutal.

Ketika aku sedang larut dalam pikiran, suara rem yang melengking membuyarkan pikiranku. Aku mendongak dan melihat sebuah mobil sport melaju tak terkendali ke arah kami.

Lalu pada detik berikutnya, terjadi benturan yang sangat keras. Mobil kami menabrak tiang jembatan. Tubuhku serasa hancur. Dahi, lengan, dan kakiku berdarah. Rasa sakit yang tajam membuatku terengah.

Ini penyergapan. Keluarga Bernardo tidak menginginkan aliansi Keluarga Ronan dan Keluarga Cokro, jadi mereka memasang jebakan di jalur kami.

Aku memaksa membuka mata, tetapi pandanganku diburamkan oleh darah. Aku melihat Vincent membantu Elena yang gemetar keluar dari mobil. Kedua pintu penyok parah dan bagasi mulai terbakar.

Aku menggigit bibir untuk tetap sadar dan menyeret tubuhku yang terluka keluar dari mobil. Setiap gerakan membuat lebih banyak darah menetes, mengotori jok dan tanah.

Aku baru merangkak beberapa langkah dari mobil ketika ledakan terdengar di belakangku. Dalam kobaran api yang menjulang, aku jatuh ke tanah. Melihat mobil terbakar, sekujur tubuhku merinding. Jika aku terlambat beberapa detik, atau jika aku pingsan, aku mungkin sudah mati lagi.

Dari saat kecelakaan hingga aku menyelamatkan diri, lima menit berlalu. Vincent tidak pernah sekali pun melihat ke arahku. Bahkan setelah Elena aman, dia tidak berpikir untuk menyelamatkanku.

Melihat sosoknya yang menenangkan Elena dengan lembut, aku tersenyum letih dan getir. Seluruh tenagaku habis dan kelopak mataku terasa terlalu berat.

Setengah sadar, aku mendengar suara ambulans dan suara perawat yang cemas. "Cedera Nona Lena lebih parah! Lukanya yang lama belum sembuh dan dia berada di pusat ledakan. Dampaknya paling besar. Dia sudah nggak sadar karena kehilangan darah. Pak Vincent, kami sarankan operasi dia lebih dulu. Kalau nggak, nyawanya bakal terancam!"

Suara Vincent terdengar kejam. "Aku hanya peduli pada keselamatan Elena. Dia juga terluka. Kamu harus selamatkan dia dulu!"

"Lena, gimana keadaanmu? Sakit nggak?" Suara ibuku gemetaran. Sesaat, aku merasa ada kehangatan perhatian mereka. Ayahku mengangguk cepat, ikut menimpali, "Jangan khawatir, kami akan mencari dokter terbaik untukmu secepat mungkin."

Saat itu juga, sebuah rintihan tajam terdengar. Elena, yang berbaring di sampingku, tiba-tiba memegangi lengannya dan menggeliat, suaranya meninggi. "Ibu! Ayah! Sakit sekali. Lenganku rasanya mau patah."

Orang tuaku langsung menoleh padanya. Melihat ekspresi Elena yang meringis dan noda darah di lengan bajunya, wajah mereka berubah drastis. Ibuku melepaskan tangannya dari keningku dan buru-buru beralih ke sisi Elena, suaranya panik.

"Elena! Anakku sayang, kenapa darahnya banyak sekali?" Ayahku juga melepaskan tanganku, tatapannya tak lagi tertuju padaku. Dia menoleh padaku hanya untuk berkata singkat dan terburu-buru, "Lena, kamu tunggu di sini sebentar. Luka Elena terlihat lebih parah. Kami akan mengobatinya dulu, lalu segera kembali untukmu."

Ibuku bahkan tidak menoleh padaku, hanya terus menenangkan Elena. "Nggak apa-apa, Sayang, kita akan mengatasinya. Pernikahanmu sudah dekat. Kita nggak boleh membiarkan ada bekas luka ...."

Vincent, yang sedari tadi berdiri diam di pintu, melangkah maju dan menghalangi pandanganku pada mereka. Wajahnya masih penuh kecemasan, tetapi kali ini jelas bukan untukku.

"Dokter," ujarku lirih. "Jangan khawatir tentang aku. Aku bisa menangani ini sendiri."

Aku mengambil perban yang dokter sodorkan dan mulai membalut lukaku sendiri.

Vincent dan orang tuaku tidak menoleh lagi. Mereka naik ambulans sambil menggendong Elena.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta Buta yang Tak Akan Kuulangi   Bab 14

    Setelah hari itu, aku tak pernah melihat Vincent lagi.Aku hanya mendengar bahwa dia dengan cepat dan sepenuhnya mengonsolidasikan kekuasaan di dalam Keluarga Cokro, menyingkirkan semua potensi oposisi internal dan sepenuhnya menguasai atau menghancurkan sisa kekuatan serta aset Keluarga Ronan.Kemudian, dia sendiri seolah-olah lenyap dari muka bumi. Tidak ada lagi yang tahu di mana keberadaannya. Dunia mafia Navana tetap bergolak, hanya saja tanpa nama besarnya yang dulu selalu terdengar.Vito dan Isabella juga mencoba menghubungiku kemudian. Mereka telah kehilangan keluarga, putri kesayangan, dan kini tak memiliki apa-apa. Entah karena menyesal, atau sekadar mencari pegangan terakhir, mereka entah bagaimana menemukan alamatku di Samen dan mengirimkan surat.Isi surat itu penuh pengakuan terlambat dan pembelaan yang lemah. Mereka menulis tentang ketidakberdayaan dan keberpihakan mereka di masa lalu, memohon maaf dan berharap aku, demi darah yang sama, bisa menerima mereka kembali atau

  • Cinta Buta yang Tak Akan Kuulangi   Bab 13

    Langit Samen tiba-tiba menggelap tanpa peringatan dan gerimis ringan mulai turun, menggagalkan rencanaku untuk keluar makan. Aku baru saja berhasil melewati wawancara di sebuah firma desain dan tadinya ingin mengajak Dominik merayakannya bersamaku.Melihat wajahku yang sedikit kesal, Dominik langsung menyarankan, "Kamu jago masak, 'kan, Lena? Karena keluar agak merepotkan, gimana kalau kita makan di rumah saja? Misalnya hotpot?"Dia diam sebentar, lalu menambahkan dengan nada santai yang pas, "Kebetulan, temanku baru bawain aku kuah hotpot asli dari negaranya. Kita bisa coba bareng."Ucapannya langsung membuat keningku yang tertaut kembali melonggar. "Aku baru ngeluh beberapa hari lalu soal betapa terbatasnya pilihan makanan di sini! Dominik, kamu memang penyelamat!" seruku bahagia. "Kalau gitu, aku bikinin kamu dessert.""Oke." Dia tersenyum dan mengangguk. "Bahan-bahannya biar aku yang urus."Kami langsung bergerak. Berbagi payung hitam besar yang dia bawa, kami berjalan ke supermark

  • Cinta Buta yang Tak Akan Kuulangi   Bab 12

    Setelah Vincent "membereskan" Vito, Isabella, dan Elena, rasa getir di dadanya belum sepenuhnya hilang. Karena aku sudah menandatangani dokumen resmi untuk memutus hubungan dengan Keluarga Ronan, dia bisa menuntaskan balas dendamnya tanpa ragu sedikit pun.Dia memberi perintah untuk memanfaatkan "kekacauan" Keluarga Ronan dan meluncurkan akuisisi besar-besaran terhadap bisnis legal mereka, bisnis yang diam-diam terkait dengan penyelundupan dan pencucian uang.Dengan pengaruh Keluarga Cokro, Vincent memutus beberapa jalur penyelundupan utama mereka, menekan pangsa pasar mereka, bahkan membuang barang-barang ilegal yang mereka simpan dengan harga sangat murah.Pendekatan yang nyaris melanggar aturan ini dengan cepat memicu ketidaksenangan dan perlawanan dari keluarga lain beserta para mitra mereka. Reputasi Keluarga Ronan di lingkaran itu menurun drastis dan mereka segera tersingkir dari rantai bisnis.Namun, itu belum cukup. Vincent sengaja menyuruh anak buahnya ke basemen untuk secara

  • Cinta Buta yang Tak Akan Kuulangi   Bab 11

    Vincent berdiri di depan jendela kaca besar di ruang kerja kediaman Keluarga Cokro, frustrasi karena menemukan jalan buntu lagi dalam pencariannya terhadapku."Bos." Suara asistennya terdengar hati-hati dari belakang. "Ini penyelidikan lanjutan yang kamu perintahkan. Kami menemukan ... bukti yang lebih konkret."Vincent berbalik, tatapannya jatuh pada map yang agak lusuh di tangan asistennya. Dia berjalan ke meja kerjanya dan duduk, memberi isyarat agar map itu diletakkan.Saat map dibuka, beberapa dokumen hukum yang sudah menguning dan beberapa foto hitam-putih yang buram tampak di dalamnya.Dokumen-dokumen itu mengungkap masa lalu yang selama ini dibungkam Keluarga Ronan. Lebih dari sepuluh tahun lalu, saat terjadi bentrok dengan keluarga pesaing, Elena Ronan dengan impulsif menembak dan membunuh seorang penasihat senior pemerintah yang memiliki kedekatan dengan FBI.Untuk melindungi putri sulung kesayangan mereka dan menjaga citra bersih Elena, Vito dan Isabella membuat keputusan ya

  • Cinta Buta yang Tak Akan Kuulangi   Bab 10

    Matahari Samen menembus jendela apartemenku, menyinari lantai yang baru saja aku pel. Aku mengenakan gaun katun sederhana, berniat turun ke supermarket dekat apartemen untuk membeli tepung. Malam ini, aku pikir aku akan mencoba membuat kue.Saat aku berjalan melewati semak-semak di depan gedung apartemenku, sebuah suara "meong" lemah membuatku berhenti seketika. Aku berjongkok, menyingkap daun-daun hijau yang rimbun. Di dalam pipa pembuangan plastik bekas, aku menemukan sepasang mata amber, membelalak penuh ketakutan.Itu seekor anak kucing oranye, kurus sampai tulang-tulangnya terlihat. Kaki belakang kanannya tertekuk pada sudut yang aneh, darah kering mengeras di sekitar bulunya.Napasku tercekat ketika aku melihat kalung kulit yang hampir putus di lehernya. Tertanam di dalamnya ada sebuah liontin perak kecil yang sudah usang.Aku mengenali pola itu di mana pun. Itu adalah segel pribadi kakekku, mantan bos mafia Keluarga Ronan. Dia membuat desain itu hanya untuk dirinya sendiri, sesu

  • Cinta Buta yang Tak Akan Kuulangi   Bab 9

    Begitu aku menginjakkan kaki di Samen, udara langsung dipenuhi aroma asin laut dan aura panas menyengat dari matahari.Keterbukaan kota ini sangat kontras dengan tekanan berat gedung-gedung pencakar langit yang ada di Navana. Aku tidak takut. Bahkan, ada rasa berharap dalam diriku untuk kehidupan baru ini.Aku menarik koper ke tepi jalan dan mengecek alamat yang dikirim agen perantara. Tidak terlalu jauh, tetapi menyeret koper besar lewat transportasi umum jelas merepotkan. Aku memakai ponselku untuk memanggil taksi.Mobilnya datang dengan cepat. Sopirnya seorang pria berbadan besar dengan wajah garang, kedua lengannya penuh campuran tato lama dan baru yang rumit. Dia turun tanpa banyak bicara dan memasukkan koperku ke bagasi.Dia pasti bisa merasakan keteganganku. Dia melirik lewat kaca spion dan bertanya dengan suara berat beraksen tebal, "Turis? Orang Amril?""Dari Navana," jawabku singkat.Dia hanya menggumam kecil, tidak bertanya lebih jauh, fokus menyetir. Beberapa saat kemudian,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status