Share

Bab 5

Author: Clara
Setelah merawat lukaku, entah bagaimana aku berhasil sampai ke rumah sakit, lalu aku jatuh dan koma.

Saat aku sadar kembali, aku sudah berada di atas ranjang rumah sakit. Seorang perawat sedang mengganti botol infusku. Dia menghela napas pelan ketika melihatku bangun.

"Kamu sudah nggak sadar selama tiga hari. Gegar otak dari ledakan ditambah kehilangan banyak darah. Dokter bilang kamu harus banyak istirahat."

Aku mencoba bergerak, tetapi semua lukaku seolah melarangku untuk bergerak. Perawat itu menekan bahuku. "Jangan bergerak. Bekas cambukan di punggungmu terbuka lagi."

Pintu terbuka dan Elena masuk. Dia mengenakan gaun tidur sutra, wajahnya tampak cemas, tetapi matanya berkilat penuh kemenangan.

"Aku dengar kamu sudah sadar, jadi aku datang menjenguk," katanya sambil duduk di samping ranjang. "Kecelakaan yang mengerikan ya? Untung saja Vincent menyelamatkanku tepat waktu."

Aku tidak menanggapi. Dia melanjutkan dengan suara manis yang tajam.

"Ayah sudah menandatangani berkas yang memindahkan seluruh hak kepemilikan toko-toko di pusat kota ke namaku. Bagaimanapun, aku yang akan menikahi Vincent sekarang. Dua keluarga kita akan bergabung dan aku perlu memegang aset-aset penting itu agar sesuai dengan status kami."

Dia mendekat, menurunkan suaranya. "Kamu nggak punya apa-apa lagi, Lena. Nggak ada dukungan keluarga, nggak ada warisan, bahkan pria yang kamu cintai juga nggak memedulikanmu. Dia milikku sekarang. Jadi kenapa kamu masih di sini?"

Aku memejamkan mata, menolak melihat wajah penuh kemenangannya. Dia benar. Aku tidak punya apa-apa. Sudah waktunya aku untuk pergi.

Malam itu, dengan mengabaikan rasa sakit, aku bangun dari ranjang dan melakukan persiapan terakhirku. Paspor, sedikit uang tunai, dan liontin giok peninggalan kakek. Hanya itu yang kubawa.

Aku mendengar langkah kaki di lorong dan cepat bersembunyi di belakang pintu. Ternyata Vincent dan Elena.

"Perjanjian final akan ditandatangani besok," kata Vincent. "Kerja sama dua keluarga kita dalam proyek pengembangan pinggiran kota akan benar-benar solid."

"Ayah sangat senang kamu menyerahkan hak suplai material konstruksi itu." Suara Elena terdengar riang. "Setelah kita menikah, semua jalur keuntungan di distrik timur ada di bawah kendali kita."

Suara mereka perlahan menghilang. Aku bersandar pada dinding, punggungku berdenyut. Semua itu tidak ada hubungannya lagi denganku.

....

Dua hari berikutnya, aku beristirahat sendirian di kamar rumah sakit. Menjelang kepulanganku, kedua orang tuaku muncul. Mereka bukan datang untuk memeriksa lukaku, melainkan untuk memberi instruksi.

"Pesta pertunangan Elena sebentar lagi," kata ayahku. "Karena kamu sudah berjanji pergi, lakukan secepatnya."

Aku mengangguk dengan tenang. Melihat betapa patuhnya aku, ekspresi mereka melunak.

"Demi Elena, kamu harus menyingkir." Ibuku menyerahkan sebuah kartu bank. "Begitu Elena dan Vincent menstabilkan bisnis keluarga dan proyek pengembangan sudah mulai menghasilkan, mungkin kami akan menjemputmu. Uangnya sudah ada di kartu. Jangan muncul lagi di hadapan kami. Ini cukup untuk hidup di Sirina."

Setelah mengatakan itu, mereka berbalik dan pergi. Langkah mereka tergesa-gesa karena Elena sedang mencoba gaun pertunangannya dan membutuhkan persetujuan mereka.

Aku menatap punggung mereka, lalu kuambil tiket ke Sirina dari sakuku dan merobeknya perlahan.

Kemudian, aku mengambil ponsel dan memesan penerbangan ke Samen. Aku akan pergi seperti yang mereka inginkan, tetapi dengan cara yang tidak akan pernah bisa mereka lacak.

....

Setelah keluar dari rumah sakit, aku menemui penasihat tua keluarga untuk menandatangani pernyataan pemutusan hubungan keluarga.

"Pak." Aku meletakkan berkas di atas meja, suaraku datar. "Aku ingin memutus hubungan dengan Keluarga Ronan."

Pria tua itu tertegun sejenak, lalu mencibir. "Pilihan yang tepat. Setelah kamu resmi dikeluarkan, kamu nggak akan punya akses apa pun lagi ke sumber daya Keluarga Ronan. Kalau musuh bisnis kami menargetkanmu, jangan harap kami bisa membantu."

Aku menandatangani namaku di dokumen itu lalu memasukkannya ke dalam kotak kayu. Di dalamnya juga kusertakan liontin giok keluarga yang menemani kami melewati banyak malam sulit di tempat kerja lama. Aku ingin menunjukkan benda itu kepada Vincent berkali-kali, tetapi dia tidak pernah memberiku kesempatan.

Sekarang, aku pergi. Tidak ada yang penting lagi. Mau dia mendengarkan kebenaran atau tidak, bukan urusanku. Aku akan lenyap sepenuhnya dan tidak akan bisa ditemukan lagi.

....

Malam itu, suara persiapan pesta pertunangan di bawah sangat bising. Aku tidak bisa tidur.

Saat fajar, aku bangun, makan sarapan sederhana, dan memasukkan koperku ke dalam mobil. Ketika hendak pergi, aku berpapasan dengan Vincent dan Elena.

Aku menatap Vincent dalam setelan jasnya, lalu mengangguk sedikit dan memanggilnya untuk pertama dan terakhir kalinya. "Kakak ipar."

Vincent terlihat kaku. Dia melirik mobil di belakangku dan mengernyit. "Kamu nggak perlu menghadiri pesta. Tinggallah di kamarmu."

Mereka pasti khawatir aku akan membuat keributan di acara itu. Aku menggeleng dan menyerahkan kotak kayu tersebut kepadanya, suaraku tenang. "Aku nggak akan datang ke pesta itu dan aku nggak akan mengganggu hidup kalian lagi. Aku harap kalian bahagia. Selamat tinggal."

Aku berbalik dan masuk ke mobil, lalu menutup pintu.

Vincent menatap mobil yang mulai berjalan, tampak gelisah. Dia membuka mulut seolah-olah ingin mengatakan sesuatu, tetapi Elena memotongnya. "Vincent, tolong rapikan gaunku!"

Lewat jendela mobil, aku melihat dia menyerahkan kotak itu dengan santai pada asistennya sebelum tersenyum dan memperbaiki gaun Elena.

Aku mengambil ponsel, memblokir semua kontak. Semua hal yang berhubungan dengan Keluarga Ronan kuhapus. Mobil perlahan keluar dari area vila. Aku membuka jendela dan melemparkan ponsel keluar. Mulai sekarang, diriku yang lama sudah mati.

Mulai sekarang, diriku yang baru akan menjalani hidup yang sepenuhnya berbeda.

....

Saat pesawat lepas landas, aku menatap keluar jendela, melihat bangunan-bangunan familier yang semakin mengecil. Aku tidak merasakan keterikatan, hanya kelegaan. Aku akhirnya meninggalkan "keluarga" itu.

Aku sebenarnya ingin pergi sejak kecil, karena aku tahu bagaimana orang tuaku memperlakukan kami dengan sangat berbeda. Dalam hal apa pun, hidup atau kasih sayang, aku selalu merasa seperti orang luar di mata mereka.

Aku bahkan pernah bertanya-tanya apakah aku anak kandung mereka, tetapi kenyataannya aku memang anak mereka. Adik Elena. Kenyataan itu justru lebih menyakitkan. Satu-satunya penjelasan adalah mereka memang tidak menyayangiku.

Karena tidak menyayangiku, mereka bisa mengorbankanku tanpa ragu. Sama seperti ketika mereka menyuruhku menanggung kesalahan untuk Elena tanpa pikir panjang.

Kalau Vincent, dulu aku mengira dia adalah penyelamatku. Saat dia buta dan ditinggalkan keluarganya, aku diam-diam mengunjunginya setiap hari di gudang tua. Yang membuatku jatuh cinta bukan statusnya sebagai pewaris bisnis Keluarga Cokro, tetapi jiwa rapuh dan lembut yang kutemukan dalam kegelapan itu.

Karena itu, aku jatuh cinta tanpa ragu, bahkan mendonasikan salah satu korneaku secara anonim agar dia bisa melihat lagi.

Namun sekarang, dia yakin sepenuhnya bahwa orang yang menemaninya adalah Elena. Tidak peduli bagaimana aku menjelaskan atau membuktikan, dia tetap tidak percaya.

Pesawat berguncang karena turbulensi. Rasa sakit tajam menjalar di punggungku. Luka cambukan itu belum sembuh total. Aku tak bisa menahan desahan kecil. Sejak Elena mendorongku ke kolam, aku jadi sangat sensitif terhadap dingin. Dua selimut pun tidak cukup menghangatkanku.

Aku menarik selimut lebih erat, tetapi tidak banyak membantu. Saat aku hendak memanggil pramugari untuk minta selimut tambahan, pria di sebelahku menyodorkan selimutnya.

Aku terpaku sejenak.

"Aku nggak memakainya." Suaranya hangat dan menyenangkan. "Ambil saja."

Dia mengenakan kemeja putih bersih dan masker, menyisakan sepasang mata yang amat indah.

"Terima kasih." Aku mengambil selimut itu dan tubuhku terasa lebih hangat. Karena lelah, aku pun tertidur.

....

"Para penumpang, pesawat sebentar lagi mendarat di Bandara Internasional Samen ...."

Pengumuman itu membangunkanku. Aku terkejut karena tertidur hampir dua jam. Punggung dan kakiku terasa mati rasa.

Tiga puluh menit kemudian, aku memeriksa waktu sambil menggenggam koper. Aku tiba lebih awal dari yang diperkirakan. Melihat daftar pesan kosong di jamku, aku sudah terbiasa. Bahkan jika aku menghilang, mungkin tidak seorang pun menyadarinya.

Kini aku berada di tempat baru dan aku tidak ingin punya hubungan apa pun dengan masa laluku. Hubungan, barang, kenangan, semuanya sudah kulepaskan.

Saat melangkah keluar bandara, matahari Samen terasa terang dan menyilaukan. Angin lautnya hangat, sama hangatnya dengan hatiku yang perlahan sembuh.

....

Sementara itu, pernikahan Keluarga Cokro berubah menjadi kekacauan.

Kakakku, Elena, akan menikahi pria yang dulu sangat kucintai.

Saat upacara pernikahan hendak dimulai, seorang anak laki-laki kecil yang bermain di dekat sana tidak sengaja menabrak Elena, mengotori sedikit bagian bawah gaunnya. Noda itu hampir tak terlihat dan sebenarnya bisa dibersihkan dengan mudah.

Namun, Elena berteriak dengan kencang, "Gaunku!"

Tak banyak kepanikan dalam suaranya, lebih ke merasa terganggu. Dia mendorong bocah malang itu dengan kasar, matanya menelusuri seluruh ruangan. "Anak siapa ini? Siapa yang membiarkan mereka masuk? Keluarkan sekarang juga!"

Anak itu terdiam membeku, ketakutan, hampir menangis.

Mendengar keributan, Vincent menghampiri dengan langkah cepat. Dia mengenakan setelan hitam yang pas, dengan lambang Keluarga Cokro tersemat di dadanya.

Namun ketika melihat ketidaksabaran Elena yang begitu jelas dan hampir kejam, langkahnya langsung terhenti.

Dalam ingatannya, gadis yang menemaninya saat dia buta selalu lembut, tenang, dan baik hati. Dia tidak pernah meledak-ledak seperti ini.

Dia menatap Elena, secercah kebingungan melintas di matanya.

Untuk sesaat, dia tidak bisa menyesuaikan wanita di depannya, yang memarahi anak kecil tanpa ampun, dengan sosok gadis dalam kenangannya.

"Vincent? Kapan kamu datang? Aku bahkan nggak sadar," kata Elena ketika akhirnya menyadari keberadaannya. Kemarahannya lenyap seketika, berganti dengan senyum lembut yang jelas dibuat-buat, begitu kontras dengan sikapnya beberapa detik lalu.

Vincent menatapnya lagi, keraguan samar ada di matanya. "Aku dengar ada keributan, jadi aku datang memastikan. Kamu baik-baik saja, Elena?"

"Aku baik-baik saja," jawabnya santai, suaranya lembut. "Hanya sedikit kecelakaan. Ada anak nakal yang merusak gaunku. Aku akan ganti gaun. Kamu tunggu di sini ya?" Dia mengulurkan tangan seolah-olah hendak merapikan dasinya dengan mesra.

"Oke." Vincent mengangguk, suaranya sedikit berat.

Dia melihat Elena berjalan pergi, alisnya berkerut samar.

Entah kenapa, rasanya Elena selalu tampak ... jauh. Ini bukan pertama kalinya. Sejak dia "memastikan" bahwa Elena adalah gadis yang menemaninya, rasa asing itu terus mengusiknya.

Seolah-olah Elena ... bukan gadis itu.

Yang lebih membuatnya frustrasi, setiap kali dia mencoba mengingat gadis itu, wajah yang muncul justru wajahku, Lena.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta Buta yang Tak Akan Kuulangi   Bab 14

    Setelah hari itu, aku tak pernah melihat Vincent lagi.Aku hanya mendengar bahwa dia dengan cepat dan sepenuhnya mengonsolidasikan kekuasaan di dalam Keluarga Cokro, menyingkirkan semua potensi oposisi internal dan sepenuhnya menguasai atau menghancurkan sisa kekuatan serta aset Keluarga Ronan.Kemudian, dia sendiri seolah-olah lenyap dari muka bumi. Tidak ada lagi yang tahu di mana keberadaannya. Dunia mafia Navana tetap bergolak, hanya saja tanpa nama besarnya yang dulu selalu terdengar.Vito dan Isabella juga mencoba menghubungiku kemudian. Mereka telah kehilangan keluarga, putri kesayangan, dan kini tak memiliki apa-apa. Entah karena menyesal, atau sekadar mencari pegangan terakhir, mereka entah bagaimana menemukan alamatku di Samen dan mengirimkan surat.Isi surat itu penuh pengakuan terlambat dan pembelaan yang lemah. Mereka menulis tentang ketidakberdayaan dan keberpihakan mereka di masa lalu, memohon maaf dan berharap aku, demi darah yang sama, bisa menerima mereka kembali atau

  • Cinta Buta yang Tak Akan Kuulangi   Bab 13

    Langit Samen tiba-tiba menggelap tanpa peringatan dan gerimis ringan mulai turun, menggagalkan rencanaku untuk keluar makan. Aku baru saja berhasil melewati wawancara di sebuah firma desain dan tadinya ingin mengajak Dominik merayakannya bersamaku.Melihat wajahku yang sedikit kesal, Dominik langsung menyarankan, "Kamu jago masak, 'kan, Lena? Karena keluar agak merepotkan, gimana kalau kita makan di rumah saja? Misalnya hotpot?"Dia diam sebentar, lalu menambahkan dengan nada santai yang pas, "Kebetulan, temanku baru bawain aku kuah hotpot asli dari negaranya. Kita bisa coba bareng."Ucapannya langsung membuat keningku yang tertaut kembali melonggar. "Aku baru ngeluh beberapa hari lalu soal betapa terbatasnya pilihan makanan di sini! Dominik, kamu memang penyelamat!" seruku bahagia. "Kalau gitu, aku bikinin kamu dessert.""Oke." Dia tersenyum dan mengangguk. "Bahan-bahannya biar aku yang urus."Kami langsung bergerak. Berbagi payung hitam besar yang dia bawa, kami berjalan ke supermark

  • Cinta Buta yang Tak Akan Kuulangi   Bab 12

    Setelah Vincent "membereskan" Vito, Isabella, dan Elena, rasa getir di dadanya belum sepenuhnya hilang. Karena aku sudah menandatangani dokumen resmi untuk memutus hubungan dengan Keluarga Ronan, dia bisa menuntaskan balas dendamnya tanpa ragu sedikit pun.Dia memberi perintah untuk memanfaatkan "kekacauan" Keluarga Ronan dan meluncurkan akuisisi besar-besaran terhadap bisnis legal mereka, bisnis yang diam-diam terkait dengan penyelundupan dan pencucian uang.Dengan pengaruh Keluarga Cokro, Vincent memutus beberapa jalur penyelundupan utama mereka, menekan pangsa pasar mereka, bahkan membuang barang-barang ilegal yang mereka simpan dengan harga sangat murah.Pendekatan yang nyaris melanggar aturan ini dengan cepat memicu ketidaksenangan dan perlawanan dari keluarga lain beserta para mitra mereka. Reputasi Keluarga Ronan di lingkaran itu menurun drastis dan mereka segera tersingkir dari rantai bisnis.Namun, itu belum cukup. Vincent sengaja menyuruh anak buahnya ke basemen untuk secara

  • Cinta Buta yang Tak Akan Kuulangi   Bab 11

    Vincent berdiri di depan jendela kaca besar di ruang kerja kediaman Keluarga Cokro, frustrasi karena menemukan jalan buntu lagi dalam pencariannya terhadapku."Bos." Suara asistennya terdengar hati-hati dari belakang. "Ini penyelidikan lanjutan yang kamu perintahkan. Kami menemukan ... bukti yang lebih konkret."Vincent berbalik, tatapannya jatuh pada map yang agak lusuh di tangan asistennya. Dia berjalan ke meja kerjanya dan duduk, memberi isyarat agar map itu diletakkan.Saat map dibuka, beberapa dokumen hukum yang sudah menguning dan beberapa foto hitam-putih yang buram tampak di dalamnya.Dokumen-dokumen itu mengungkap masa lalu yang selama ini dibungkam Keluarga Ronan. Lebih dari sepuluh tahun lalu, saat terjadi bentrok dengan keluarga pesaing, Elena Ronan dengan impulsif menembak dan membunuh seorang penasihat senior pemerintah yang memiliki kedekatan dengan FBI.Untuk melindungi putri sulung kesayangan mereka dan menjaga citra bersih Elena, Vito dan Isabella membuat keputusan ya

  • Cinta Buta yang Tak Akan Kuulangi   Bab 10

    Matahari Samen menembus jendela apartemenku, menyinari lantai yang baru saja aku pel. Aku mengenakan gaun katun sederhana, berniat turun ke supermarket dekat apartemen untuk membeli tepung. Malam ini, aku pikir aku akan mencoba membuat kue.Saat aku berjalan melewati semak-semak di depan gedung apartemenku, sebuah suara "meong" lemah membuatku berhenti seketika. Aku berjongkok, menyingkap daun-daun hijau yang rimbun. Di dalam pipa pembuangan plastik bekas, aku menemukan sepasang mata amber, membelalak penuh ketakutan.Itu seekor anak kucing oranye, kurus sampai tulang-tulangnya terlihat. Kaki belakang kanannya tertekuk pada sudut yang aneh, darah kering mengeras di sekitar bulunya.Napasku tercekat ketika aku melihat kalung kulit yang hampir putus di lehernya. Tertanam di dalamnya ada sebuah liontin perak kecil yang sudah usang.Aku mengenali pola itu di mana pun. Itu adalah segel pribadi kakekku, mantan bos mafia Keluarga Ronan. Dia membuat desain itu hanya untuk dirinya sendiri, sesu

  • Cinta Buta yang Tak Akan Kuulangi   Bab 9

    Begitu aku menginjakkan kaki di Samen, udara langsung dipenuhi aroma asin laut dan aura panas menyengat dari matahari.Keterbukaan kota ini sangat kontras dengan tekanan berat gedung-gedung pencakar langit yang ada di Navana. Aku tidak takut. Bahkan, ada rasa berharap dalam diriku untuk kehidupan baru ini.Aku menarik koper ke tepi jalan dan mengecek alamat yang dikirim agen perantara. Tidak terlalu jauh, tetapi menyeret koper besar lewat transportasi umum jelas merepotkan. Aku memakai ponselku untuk memanggil taksi.Mobilnya datang dengan cepat. Sopirnya seorang pria berbadan besar dengan wajah garang, kedua lengannya penuh campuran tato lama dan baru yang rumit. Dia turun tanpa banyak bicara dan memasukkan koperku ke bagasi.Dia pasti bisa merasakan keteganganku. Dia melirik lewat kaca spion dan bertanya dengan suara berat beraksen tebal, "Turis? Orang Amril?""Dari Navana," jawabku singkat.Dia hanya menggumam kecil, tidak bertanya lebih jauh, fokus menyetir. Beberapa saat kemudian,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status