Share

Terpilih

Author: Kinanti
last update Last Updated: 2025-05-01 13:01:03

“Medina…”

Shinji menyandarkan tubuhnya di kursi kerja, jari-jarinya mengetuk pelan meja.

“Medina…” ia mengulang nama itu, nyaris seperti desisan.

Nama itu tidak asing. Terasa seperti serpihan bayangan masa lalu yang hampir tenggelam. Tapi wajah, sosok, atau apa pun yang bisa ia kaitkan dengan nama itu—semuanya kosong. Hanya samar.

Sebelum ia bisa menggali lebih jauh, telepon kantornya berdering.

“Ya?”

Suaranya dingin seperti biasa.

Suara di seberang terdengar familiar, tenang namun mengandung nada provokatif.

“Hyung,” sapa Shenoval. “Aku akan mengirimkan undangan pertunanganku. Pastikan kamu datang, ya. Dan… tentu saja, datanglah bersama kekasihmu.”

Diam.

Shinji memejamkan mata, menggenggam gagang telepon lebih erat.

“Sudah kubilang, jangan terlalu menyindir,” balasnya datar.

“Aku serius. Masa CEO Shin yang tampan, terkenal, dan sukses datang sendirian? Jangan memalukan keluarga,” cibir Shenoval sebelum menutup sambungan.

Shinji melempar gagang telepon ke meja.

Harga dirinya—sebagai pria, sebagai kakak, sebagai CEO—tertantang. Ia tidak bisa datang sendirian.

Tapi wanita mana?

Ia menoleh ke arah Bima yang sedang menyusun dokumen.

“Bima,” katanya tajam.

Bima langsung berdiri. “Ya, Pak?”

“Aku butuh pasangan untuk pesta akhir pekan ini.”

Bima mengerjap. “Pasangan… maksudnya, kekasih?”

Shinji menatap tajam. “Untuk formalitas. Jangan menyarankan sewa wanita atau model I*******m. Itu menjijikkan.”

Bima menggaruk kepala yang tidak gatal. “Kalau begitu, mungkin… wanita dari internal kantor, Pak?”

“Pilihkan yang berpenampilan baik. Tapi aku yang akan menentukan,” tegas Shinji.

Beberapa jam kemudian, pengumuman dikirimkan ke email semua karyawan wanita:

> Perhatian! Dimohon seluruh karyawan wanita untuk hadir di aula lantai 5 pukul 16.00 untuk pengambilan gambar internal. Kehadiran wajib.

Desas-desus cepat menyebar.

“Itu kode! Katanya CEO akan memilih pasangan untuk pesta!”

“Serius?! Aku harus touch-up dulu deh!”

“Semoga aku yang kepilih!”

Aula penuh sesak. Para karyawan berdandan sebaik mungkin, ada yang memakai lipstik mencolok, ada yang berganti blouse baru dari tas mereka.

Medina berdiri di antara kerumunan, tubuhnya tegang.

Ia tak ingin ada di sana. Tapi jika ia tidak datang, ia akan tampak mencurigakan.

Dia berdiri paling pinggir, menunduk sedalam-dalamnya, berharap wajahnya tak tertangkap pandangan Shinji.

Pintu terbuka.

Shinji melangkah masuk. Setelan hitamnya mencolok, aura dinginnya langsung membuat suasana aula menegang.

Semua wanita memaksakan senyum terbaik mereka.

Mata Shinji menyapu ruangan. Ia berjalan perlahan. Satu per satu wanita dilihatnya. Ia tidak tertarik pada kecantikan artifisial. Bukan riasan yang ia nilai, melainkan… sesuatu yang lain.

Bima berdiri di belakangnya, mencatat, waspada.

Sampai akhirnya… pandangan Shinji berhenti.

Dia tak tahu kenapa. Tapi ada sesuatu pada wanita yang berdiri paling ujung itu.

Wanita yang justru menunduk begitu dalam—terlalu dalam. Seakan menyembunyikan wajah.

Shinji menyipitkan mata.

Langkahnya terhenti.

Hatinya—berdebar, untuk alasan yang tidak ia pahami.

“Siapa dia?” gumamnya pelan.

Bima mencoba mengintip. “Itu… Medina, Pak. Karyawan magang divisi pemasaran.”

Shinji mengangguk kecil, tetapi matanya masih terpaku.

Medina menggigit bibir. Ia merasakan tatapan itu. Napasnya tercekat.

Jangan pilih aku… jangan…

Tapi takdir punya selera humor yang jahat.

Dan Shinji, yang tidak percaya pada kebetulan, mulai merasa…

Wanita ini—Medina—ada yang tidak beres dengannya.

Dan itu cukup untuk membuatnya ingin tahu lebih jauh.

“Dia,” kata Shinji tiba-tiba, jari telunjuknya menunjuk ke arah wanita yang berdiri paling ujung.

Seketika aula menjadi riuh dalam bisik-bisik heboh.

“Siapa? Medina?”

“Yang pakai rok hitam itu?”

“Kenapa dia? Padahal gak dandan…”

Medina tersentak. Dunia seakan membeku di sekitarnya. Perlahan ia mengangkat wajahnya. Tatapan mata mereka bertemu—singkat, menusuk, dan membuat Medina panik luar biasa.

Shinji mendekat, berdiri tepat di depannya. Aura dingin pria itu membuat Medina menahan napas.

“Kau, ikut denganku.”

Medina menelan ludah. “A-apa maksudnya, Pak?”

Shinji menoleh sekilas ke arah Bima. “Siapkan surat izin khusus untuk Medina. Mulai hari ini dia akan dilatih untuk mendampingi saya dalam urusan sosial perusahaan.”

“Pak, t-tunggu. Maaf, saya pikir ini hanya untuk seleksi foto internal…”

Suara Medina bergetar. Ia mencoba tetap sopan, tapi juga menjaga jarak.

Shinji menyipitkan mata. “Kau menolak?”

“Saya… saya tidak merasa cocok, Pak. Saya hanya magang. Mungkin lebih baik jika—”

“Diam.”

Satu kata itu tajam, memotong suaranya.

“Ini bukan permintaan. Ini perintah.”

Medina menunduk dalam. Napasnya sesak. Otaknya sibuk mencari alasan untuk menolak tanpa memancing kecurigaan. Tapi menolak terlalu keras pun bisa membahayakan dirinya—apa Shinji akan curiga? Apakah ini saatnya identitasnya terbongkar?

---

Di ruangannya, Shinji duduk diam. Kedua tangannya menopang dagu.

Wajah Medina—atau tepatnya, ekspresi gugup dan sikap menunduknya—terus muncul di benaknya.

Dia berbeda.

Tidak seperti wanita-wanita lain yang mencoba menarik perhatiannya. Medina justru seperti berusaha menutupi dirinya.

Dan itu justru membuat Shinji semakin curiga. Ada sesuatu yang aneh.

Rasa penasaran yang ia benci—rasa itu mulai tumbuh. Dan Shinji tidak suka tidak tahu.

Sementara itu, Medina duduk di pantry, menunduk, wajahnya pucat pasi.

“Apa yang harus kulakukan…?” bisiknya pada diri sendiri.

Ia memandangi ponselnya. Di layar, terpampang nama ‘Ibu Kos’ yang sedang memintanya segera melunasi tunggakan bulanan. Belum lagi tagihan obat untuk ayahnya yang terus menumpuk.

Pilihannya sempit.

Bertahan dan menjalani skenario ini… atau berhenti dari magangnya dan kehilangan segalanya.

Dan parahnya, ia harus menemani pria yang paling ia benci—Shinji.

Tapi yang Medina tidak tahu adalah, ini barulah permulaan.

Karena Shinji tidak akan berhenti sampai tahu siapa sebenarnya Medina.

Dan pesta pertunangan akhir pekan ini… akan menjadi titik balik segalanya.

***

Esoknya...

“Kalau kau harus datang sebagai pasangan pura-pura, maka kau juga harus belajar berdansa,” ucap Shinji tanpa menoleh, tangannya masih sibuk membuka aplikasi kalender di ponselnya.

“Berdansa?”

Medina menatap pria itu seakan ia baru saja ditodong pistol.

Shinji menatapnya sekilas lalu mengangguk. “Tunangan adikku akan digelar dengan konsep klasik. Formal. Semua tamu akan berdansa. Kalau kau tidak bisa, jangan mempermalukan nama keluarga kami.”

‘Nama keluarga kami?’

Medina nyaris mengernyit. Tapi ia menahan diri.

Beberapa menit kemudian, mereka sudah berdiri di aula kecil lantai atas, aula pelatihan khusus yang hanya digunakan eksekutif. Musik klasik mengalun pelan dari speaker.

“Letakkan tanganmu di sini,” kata Shinji, memegang tangan Medina dan mengarahkannya ke bahunya. Tangannya terasa dingin, kuat, tapi penuh kendali.

Medina menelan ludah. “Saya… saya belum pernah…”

“Aku juga tak tertarik, tapi kita harus melakukannya.”

Langkah pertama kaku. Kaki Medina menginjak sepatu mahal Shinji. Pria itu mendesis pelan, menahan diri untuk tidak memarahi.

“Fokus. Ikuti irama. Jangan terlalu tegang.”

“Gimana saya nggak tegang…” gumam Medina lirih.

“Pundakmu naik. Tarik napas. Tenang.”

Suara Shinji kali ini lebih lembut. Dan anehnya, itu malah membuat jantung Medina semakin kacau.

Langkah-langkah mereka perlahan mulai menyatu. Musik terus mengalun, seolah melarutkan jarak di antara mereka.

Wajah mereka hanya terpisah beberapa senti. Tatapan mata Shinji sempat turun sebentar ke bibir Medina sebelum segera berpaling. Ia berdeham pelan.

“Shampoo-mu… masih aroma floral.”

“Ha?”

Shinji tak menjawab. Ia hanya menatap ke arah jendela, menyembunyikan pikirannya sendiri. Medina terdiam, dadanya bergemuruh.

Lalu, saat musik berakhir, mereka melepaskan diri perlahan.

“Kau… tidak seburuk yang kupikir.”

Itu pujian? Atau sindiran? Medina tak yakin.

“Terima kasih… Pak.”

Shinji menatapnya lagi. “Jangan panggil aku Pak. Setidaknya sampai acara itu selesai. Kekasih pura-pura tidak memanggil ‘Pak’.”

Medina menunduk dalam. Dunia seperti berguncang kecil.

'Kekasih pura-pura?' Entah kenapa kata-kata itu membuat Medina mual.

Tapi kemudian ia hanya menurutinya saja. "Baik…"

Suara itu lirih, tapi cukup untuk membuat Shinji membeku beberapa detik sebelum ia berbalik, menyembunyikan raut wajahnya yang tak biasa.

Sejauh ini Medina pikir Shinji benar-benar tak mengenalinya. Mengenali Si Burik yang dulu menjadi musuh bebuyutannya.

“Medina.”

Shinji memanggilnya ragu-ragu. Nama itu keluar dari bibir Shinji—lirih, seperti gumaman. Namun cukup jelas untuk membuat bulu kuduknya berdiri.

Perlahan, Medina menoleh. Wajah Shinji tampak serius, matanya menatapnya tajam, seolah sedang berusaha menyingkap tabir rahasia.

“Aku… pernah mendengar nama itu sebelumnya,” ujar Shinji, nyaris seperti bicara pada dirinya sendiri.

Medina tercekat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta CEO Kembar   Bab 35: Mata Tajam Selena

    Malam sudah jatuh sepenuhnya. Lampu gantung di ruang makan apartemen Shinji memantulkan cahaya lembut ke meja kayu gelap. Dua piring nasi, dua gelas air putih, dan lauk sederhana terhidang rapi. Medina duduk di seberang Shinji. Ia nyaris tidak bersuara sejak makanan datang. Hanya suara sendok dan garpu yang sesekali terdengar memecah hening. Shinji makan dengan tenang, wajahnya seperti biasa—tanpa ekspresi, tapi entah kenapa malam ini justru terasa lebih menenangkan. Kadang ia melirik ke arah Medina, tapi cepat mengalihkan pandangan, seolah sedang menahan sesuatu yang tidak seharusnya muncul di sana. Medina menunduk, memainkan sendok di ujung piringnya. “Terima kasih… sudah mau menampungku,” katanya pelan. Shinji berhenti sebentar, lalu meletakkan sendok. “Aku sudah bilang, bukan soal menampung. Kau hanya sementara di sini. Sampai urusan kontrakanmu selesai.” Nada suaranya datar, tapi anehnya justru terasa menenangkan. Medina mengangguk kecil, mencoba tersenyum. Namun, setelah i

  • Cinta CEO Kembar   Bab 34: Duniaku Tiba-Tiba Dekat Denganmu

    Shinji juga membeku, matanya terkejut. Tangannya otomatis bertumpu di sisi kepala Medina, wajah mereka hanya berjarak beberapa senti. Nafas hangat keduanya bertemu di udara dingin itu. Cahaya senter yang redup membuat bayangan di wajah Shinji tampak dalam — garis rahangnya tegas, matanya bergetar menahan sesuatu yang sulit dijelaskan. “Medina…” suaranya serak, nyaris berbisik. "Maaf. Aku tidak sengaja.” Medina menatapnya diam-diam, masih terkejut, tapi tidak langsung menyingkir. Ada detak cepat di dadanya — bukan karena takut, tapi karena sesuatu yang berbeda. Entah sejak kapan, ia sadar bahwa jarak mereka begitu dekat hingga ia bisa merasakan denyut jantung Shinji melalui dada yang nyaris menempel. Udara seolah membeku. Hujan di luar seperti berhenti sementara waktu. Shinji perlahan menegakkan tubuhnya. Di antara mereka ada hening yang muncul dan membuat canggung. Keduanya diam cukup lama, hanya suara hujan rintik di luar yang menjadi saksi. Shinji akhirnya berdiri perlahan

  • Cinta CEO Kembar   Bab 33: Kesalahan Lisa

    Tenda-tenda di area perkemahan kini basah kuyup. Lampu-lampu darurat menggantung di antara tali-tali tambang, memantulkan cahaya kekuningan yang bergetar tertiup angin malam. Beberapa staf berlari mondar-mandir membawa handuk dan termos air panas. Medina duduk di kursi lipat di dekat api unggun kecil yang baru dinyalakan, tubuhnya masih diselimuti jaket tebal milik Shinji. Uap hangat mengepul dari cangkir teh di tangannya. Wajahnya pucat, bibirnya bergetar halus, tapi matanya—meski lelah—masih menatap kosong ke arah hutan. Shinji berdiri tak jauh darinya. Kemejanya juga basah sebagian, rambutnya meneteskan air yang jatuh di sisi wajah. Namun, bukan rasa dingin yang mengerutkan alisnya, melainkan sesuatu yang lain—kegelisahan yang dalam. Setelah beberapa menit sunyi, ia akhirnya bicara dengan suara rendah, nyaris hanya terdengar oleh Medina. “Kenapa kau bisa sampai masuk sejauh itu?” Medina menunduk, menggenggam cangkirnya lebih erat. Hujan masih turun rintik-rintik di luar te

  • Cinta CEO Kembar   Bab 32: Aku Ingat Hal Ini

    Awan kelabu mulai menutup matahari sore. Suara gemuruh samar terdengar dari kejauhan, pertanda hujan akan turun dalam waktu tak lama lagi. Di area perkemahan, suasana yang semula riuh mulai berubah cemas ketika Bima mengumumkan hilangnya Medina. Shinji menatap ke arah pepohonan di kejauhan. Angin mulai berhembus lebih kencang, membuat dedaunan bergoyang seperti memberi isyarat buruk. Tanpa pikir panjang, ia mengambil jaketnya. “Kumpulkan semua staf laki-laki. Kita cari dia sekarang.” Bima mengangguk cepat. “Baik, Pak!” Dalam waktu singkat, empat orang staf berkumpul membawa senter dan jas hujan tipis. Shinji mengambil satu senter, matanya fokus menatap jalan menuju hutan yang perlahan diselimuti kabut senja. “Kita berpencar,” ucapnya tegas. “Dua orang ke arah timur, dua ke arah utara. Aku ke jalur tengah. Gunakan peluit kalau menemukan jejaknya.” “Baik, Pak!” seru mereka hampir bersamaan. Langkah-langkah sepatu terdengar menjejak tanah lembab. Suara ranting patah, daun

  • Cinta CEO Kembar   Bab 31: Akulah yang Amnesia

    Ia memanggil lagi, lebih keras. “Lisa, jangan bercanda! Ini tidak lucu!” Masih tak ada sahutan. Angin tiba-tiba berembus dingin, membuat daun-daun bergoyang. Langit perlahan menggelap, tanda senja segera turun. Medina menggigit bibir, mencoba menahan rasa panik yang merambat naik dari dadanya. Ia melihat ke arah jalur tadi, tapi semuanya tampak sama—hijau, berkabut, dan sunyi. “Tidak mungkin…” gumamnya pelan. Rasanya hal ini pernah terjadi. Tentu saja. Ia mengingatnya. 7 tahun yang lalu hal ini pernah terjadi. 7 tahun yang lalu Medina masih remaja waktu itu, ikut study tour sekolah ke tempat wisata alam di kaki gunung yang berbeda tempat dengan yang sekarang. Hari itu semua teman sekelasnya sibuk berfoto dan bercanda, sementara ia malah ditarik oleh Raisa—sahabatnya sendiri—untuk jalan ke area belakang hutan. “Katanya di sana ada air terjun kecil, Na! Ayo, cuma sebentar kok!” seru Raisa dengan mata berbinar. Medina mengangguk polos. Mereka berjalan menyusuri

  • Cinta CEO Kembar   Bab 30: Outing

    Udara di dalam lemari begitu pengap, dan setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, Shinji perlahan membuka pintu. Cahaya sore yang temaram menyusup masuk, menyingkap wajah mereka berdua yang sama-sama tegang.Medina segera melangkah keluar, mengatur napas yang tak beraturan. Ia menatap Shinji tajam.“Kau selalu menyeretku ke situasi aneh seperti ini,” gumamnya dengan nada kesal, tapi suaranya terdengar bergetar.Shinji membalas tatapan itu dengan tenang, meski matanya tak benar-benar tenang. “Kau bisa saja kabur tanpa aku tadi.”“Dan kau bisa saja tidak menarikku ke dalam lemari.”Shinji diam sejenak, lalu menatap lurus ke arah Medina.“Kalau aku tak menarikmu, mereka akan melihatmu. Lalu aku tak tahu apa yang akan kukatakan kalau penjaga rumah itu menemukan kita berdua di kamar ini.”Nada suaranya datar, tapi di ujungnya ada nada gugup yang nyaris tak terdengar.Medina memalingkan wajah, menyembunyikan rona merah di pipinya. “Kau selalu punya alasan.”Shinji berjalan menu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status