Share

5. Jebakan

Author: Pixie
last update Last Updated: 2021-05-09 12:21:15

“Dasar tidak punya hati! Bukannya meminta maaf, kau malah menghina rumahku? Menghina kenanganku?”

Gabriella menjambak rambut Max dengan brutal. Meski meringis, pria itu masih bisa berdiri tegak. Tangannya pun tak ragu untuk mencengkeram pergelangan sang gadis dan membekukan serangan.

“Untuk apa saya meminta maaf? Saya tidak bersalah.“

Tawa kesal Gabriella pun terdengar.

“Kau tidak bersalah? Hah? Kau kira aku percaya? Bukankah kau sendiri yang pernah memberiku ancaman? Apa kau lupa?” sanggah sang gadis seraya menyentakkan tangan mencoba lepas dari genggaman tangan yang lebih besar.

“Saya memang pernah mengancam, tapi itu hanya ucapan belaka. Bukan saya yang menghancurkan rumah Anda.”

Gabriella mulai melompat-lompat menambah kekuatan pada tarikan.

“Lepaskan! Aku tidak mau disentuh oleh pembual kejam sepertimu!”

“Pembual? Kau menuduhku pembual?”

Max memutar tubuh Gabriella dan menguncinya dari belakang. Dengan posisi tangan bersilang di depan dada, gadis itu tidak bisa melakukan apa-apa selain melonjak-lonjakkan kaki. Meski kepalanya beberapa kali membentur dagu sang pria dan rasa pusing semakin membuyarkan pandangan, ia tetap meronta semampunya.

“Lepaskan!”

“Cukup, Nona!” bentak Max mulai kewalahan dengan kegilaan tamunya.

“Lepaskan ...!”

Sang CEO tidak bisa lagi bersabar lebih lama. Dengan kekuatannya yang jauh lebih besar, ia menyeret sang gadis ke ranjang, lalu menindihnya seperti polisi membekuk penjahat.

“Akh!” erang Gabriella ketika letupan besar menyerang kepalanya. Bukan karena benturan dengan kasur, tetapi karena sesuatu yang mengaduk-ngaduk lambungnya hingga menimbulkan rasa mual.

“Hueek ... hueek ....”

Mata Max spontan terbelalak. “Anda mau muntah?”

“Hueek ...”

“Jangan di sini!”

Max membawa tamunya ke kamar mandi. Ia bergidik saat melihat Gabriella menyemburkan muntahan di kloset.

“Untung aku memberinya dua gelas,” ucap Max dalam hati.

Usai mencuci mulut di wastafel, Gabriella tertunduk dan mengatur napas sejenak. Setelah itu, ia berbalik menampakkan bibir pucat dan pipi merahnya kepada sang CEO. Tidak ada kata-kata lagi yang gadis itu lontarkan.

“Anda mau menyerang saya lagi?” tantang Max ketika Gabriella berjalan sempoyongan ke arahnya.

Ajaibnya, sang gadis menggeleng pelan dan berjalan melewatinya.

“Hm? Apakah ramuan kejujuran sudah bereaksi?”

Max mengejar Gabriella dan mencengkeram lengannya. “Hei, apa yang sebenarnya Anda inginkan?”

Dengan pelupuk hanya terbuka setengah, sang gadis memandang ke arah Max.

“Rumah.”

“Oh, Anda ingin rumah yang besar atau yang mewah? Tenang saja. Saya akan berikan, tapi, katakan ... siapa yang menyuruh Anda menentang proyek Quebracha?”

Gabriella menggeleng lemah dan mengulangi kata yang sama, “Rumah.”

Kening Max mengernyit tak senang. “Apa maksudnya?”

“Rumah.”

Sedetik kemudian, kaki Gabriella kehilangan fungsinya. Gadis itu langsung tumbang mengikuti gravitasi. Jika sang CEO tidak sigap menangkapnya, ia pasti sudah tersungkur di lantai.

“Ah, aku seharusnya memberi gadis ini satu gelas,” sesal Max seraya menggendong tamunya lalu membaringkan gadis itu ke ranjang.

Sambil berdiri dan menjepit dagu, sang pria mengamati penampilan Gabriella. Rambut yang berantakan, bibir yang pucat, dan gaun yang kotor. Gadis itu benar-benar kacau.

“Apa tujuan gadis ini sebenarnya?” gumam Max seraya memutar pikiran dari sudut pandang lain.

“Apa mungkin ... gadis ini memang polos?”

Sedetik kemudian, Max menggeleng mengabaikan ucapannya.

“Gadis polos juga bisa dimanfaatkan. Perusahaan Enji ataupun Colorwood bisa saja mengirimnya untuk mengacaukan proyek. Mereka pasti sudah tahu bahwa gadis ini memang gila.”

Sang CEO pun mendekat dan mengamati setiap detail pada wajah Gabriella.

“Ternyata kalau sedang tidur seperti ini, dia cantik juga.” Laki-laki itu tidak sadar jika dirinya menelan ludah.

Tiba-tiba, ponsel di atas meja berbunyi. Max pun meraihnya dan memeriksa notifikasi di layar.

“Dari nomor tak dikenal?” Bola matanya berputar memeriksa ke segala arah. “Apakah si peneror itu lagi?”

Tanpa membuang waktu, sang CEO membaca pesan.

“Biar kutebak! Anda pasti memberikan ramuan kejujuran kepada wanita itu dan sekarang, dia tertidur lelap.”

Tangan Max kembali terkepal erat. Dengan napas menderu, ia menatap wajah polos Gabriella.

“Ternyata, dia memang orang suruhan? Cih ....”

Ponsel di tangan Max lagi-lagi berdenting.

“Kalau begitu, selamat bersenang-senang! Tapi, berhati-hatilah! Jangan sampai gadis itu hamil. Bukan hanya nama baik Evans yang akan jatuh, tetapi juga Anda dari jabatan CEO.”

Max mendengus berang.

“Apa maksudnya dengan selamat bersenang-senang? Apakah orang ini berpikir kalau aku pria berhidung belang?”

Setelah meletakkan ponsel di atas meja, sang CEO beralih menuju tas yang tergeletak di atas lantai.

“Kenapa malam ini panas sekali? Padahal aku baru saja selesai mandi,” gumam Max sembari menuangkan isi tas Gabriella.

Buku catatan, dompet, ponsel, dan kertas notasi musik menjadi empat hal yang menarik perhatian sang CEO.

“Ternyata dia seorang pemusik? Atau hanya berpura-pura sebagai seorang pemusik?”

Max menyingkirkan kertas yang penuh garis dan bulatan hitam itu ke atas tas.

“Apa ini? Tulisannya jelek sekali,” komentar pria itu saat membuka buku catatan yang bukan miliknya.

“Perempuan itu harus berlatih menulis. Atau mungkin ... bukan dia yang menulis buku ini?”

Max tanpa ragu melempar buku itu ke tumpukan barang-barang yang tidak berguna. Selang satu kedipan, tangannya sudah membuka dompet sang gadis.

“Sepertinya, dia memang sedang membutuhkan uang,” gumam Max ketika mendapati lembaran yang tak seberapa. “Bahkan, kartu debitnya saja hanya ada satu.”

Sedetik kemudian, jemari pria itu sudah memegang kartu identitas Gabriella.

“Jadi, bulan depan dia berulang tahun? Cih, ternyata dia tidak semuda kelihatannya. Tampang gadis ini memang menipu.”

Usai mengembalikan kartu, Max menutup dompet dan beralih ke ponsel.

“Password?”

Setelah menyunggingkan senyum miring, Max kembali menghampiri Gabriella dan menempelkan ibu jari sang gadis pada sensor.

“Dasar bodoh!” gumam pria itu puas. Ia pun duduk di tepi ranjang dan mulai memeriksa setiap file dalam ponsel itu.

Pesan-pesan, log telepon, nomor kontak, bahkan hingga ke galeri foto dan video. Matanya terbelalak ketika melihat jumlah video yang terekam.

“Apakah ini laporan harian?” terka pria yang masih saja curiga kepada Gabriella. Tanpa ragu, dibukanya video yang terbaru. Senyum manis sang gadis langsung menyambut.

“Halo, Ma. Hari ini, aku akan mengikuti kompetisi. Baru ronde pertama, tapi aku tetap harus tampil cantik, kan?”

Gadis itu berdiri dan melangkah mundur hingga seluruh badannya muat dalam layar.

“Aku ingin sekali mengenakan gaun ini. Tapi ..., sepertinya ini terlalu terbuka. Di luar sedang banyak pekerja pria. Aku takut jika pakaianku ini memancing hal yang tidak mengenakkan.”

Gabriella mengambil gaun lain dari atas ranjang.

“Lalu, pilihan kedua adalah gaun panjang ini. Terlihat lebih sopan, kan? Apakah Mama mau melihatku memakainya?”

Sedetik kemudian, gadis itu berbalik dan mulai melucuti gaun di tubuhnya. Darah Max seketika berdesir menyaksikan hal yang tidak ia duga. Bahkan hingga Gabriella selesai mengenakan gaun kedua, mata sang pria masih membulat terpaku pada layar.

“Bagaimana, Ma? Yang satu ini lebih elegan, kan?”

Gabriella berputar di depan kamera. Setelah memeriksa penampilannya dari beberapa arah, gadis itu kembali mendekat.

“Doakan aku, Ma. Semoga aku bisa memenangkan kompetisi ini. Aku tidak akan mengecewakan Mama.”

Senyum manis Gabriella menjadi penutup video.

Sambil menelan ludah, Max menoleh ke arah gadis yang tertidur di sampingnya. Tanpa banyak kata, ia meletakkan ponsel ke atas meja dan mulai memperhatikan tubuh Gabriella dengan penuh minat.

Ketika kesadarannya kembali, Max mendapati tangannya sedang mengelus area sensitif sang gadis. Secepat kilat, ia menarik tangannya dan menyingkir dari ranjang.

“Astaga .... Apa yang kupikirkan?”

Sambil berjalan mondar-mandir, Max mengipasi kepalanya dan mengatur napas. Bukannya reda, hasrat dalam diri pria itu malah semakin membuncah. Tubuhnya mulai berdenyut-denyut tak nyaman.

“Apa yang salah dengan diriku?”

Tiba-tiba, ponsel Max kembali memanggil. Dalam sekejap, ia membaca pesan yang baru masuk dari si peneror.

“Itu adalah obat perangsang paling ampuh. Jangan coba-coba melawan! Jantungmu tidak akan kuat.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 20. Bahagia Selama-lamanya

    “Woah!” desah Cayden saat sang ayah menempatkannya di atas punggung seekor kuda poni. Dengan mata bulat, ia mengamati ketinggiannya dari tanah. Meski tidak seberapa, balita bertopi koboi itu tetap menunjukkan senyum semringah. “Bagaimana, Evans Kecil? Apakah kau senang?” tanya wanita yang memegang tali kekang si kuda. Tak berani banyak bergerak, Cayden pun mengangguk dalam sudut terbatas. “Ya, Greta. Ini mendebarkan!” sahutnya antusias. “Mendebarkan?” gumam Gabriella seraya mengerutkan sebelah alis. Sambil terus menimang keponakannya, wanita itu mengungkapkan keheranan. “Dari mana kau mempelajari kata itu, Pangeran Kecil?” “Papa sering menyebutnya,” jawab sang balita, sukses membuat sang ayah meringis. “Papa berkata kalau malam yang dilewati bersama Mama selalu mendebarkan.” Selagi Gabriella melotot ke arah sang suami, Greta tertawa terbahak-bahak. “Astaga, Max. Kurasa, kau harus lebih berhati-hati sekarang. Putramu yang jenius ini bisa menyer

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 19. Ayo Kita Pulang

    “Kalau Kakek benar-benar menghindar, aku benar-benar akan berhenti dari perusahaan,” ujar Julian, sukses membekukan langkah Tuan Hunt. Pria tua itu kini berkedip-kedip mencerna perkataan yang ia kira salah dengar. “Posisiku sebagai CEO sedang terancam karena suatu hal. Aku berusaha merahasiakannya dari kalian semua. Bahkan Mia saja tidak kubiarkan tahu. Tapi ternyata, itu sama sekali tidak mudah. Pikiranku menjadi terombang-ambing. Dan karena beban yang terlampau berat, emosiku akhirnya meledak. Aku sangat menyesal hal itu harus terjadi di hadapanmu.” Mendengar nada yang terkesan jujur itu, Tuan Hunt perlahan memutar tumpuan. Dua detik kemudian, ia melihat butiran bening meluncur dari mata sang cucu. “Aku sudah berusaha kuat dan tegar, Kek. Kupikir, aku bisa mengatasi semua masalah. Tapi ternyata, sampai detik ini pun, aku belum menemukan solusinya. Karena itu pula, aku marah saat gagal menemukan Grace dan dirimu di pemakaman. Rasanya, aku ini laki-laki yang

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 18. Aku Lebih Baik Menghilang

    “Ck, kenapa Kakek kabur seperti ini? Membuatku semakin merasa bersalah saja,” gerutu Julian di sela desah napas yang terengah-engah. Sambil terus menggenggam pesan dari Tuan Hunt, ia melangkah menyusuri jalan setapak yang dipagari barisan pepohonan. “Apa yang harus kulakukan jika Kakek tidak ada di sana? Ke mana aku harus mencarinya?” pikir pria yang tak mampu menghapus kerutan dari wajahnya. Beban yang menekan jantung terlampau berat untuk diabaikan. Selang beberapa saat berkutat dengan kebisingan dalam telinga, Julian akhirnya menggeleng cepat dan mengerjap kuat. “Tidak, tidak. Kakek pasti ada di sana. Aku akan membawanya pulang dan keadaan otomatis kembali menjadi seperti semula,” angguk pria itu, memupuk harapan. Tanpa menghiraukan keresahan yang terus berputar dalam otaknya, ia melaju lebih cepat. Begitu melewati gerbang pemakaman, langkah Julian spontan tertahan. Pelupuk mata yang semula berat kini terangkat maksimal. Apa yang ia harapkan lagi-l

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 17. Kau Seharusnya Bersyukur

    “Papa,” panggil Cayden pelan. Sedetik kemudian, balita itu menyodorkan sepotong roti yang telah ia bersihkan dari selai. “Aku sudah kenyang,” lanjutnya dengan senyum penuh makna. Memahami maksud hati sang putra, Max sontak menaikkan alis. “Kau ingin Papa menghabiskan rotimu lagi?” Sembari memperlihatkan deretan gigi mungilnya, Cayden mengangguk. Selang satu embusan napas samar, sang ayah mulai menggetarkan udara dengan tawa. “Astaga, Gaby. Lihatlah kelakuan Pangeran Kecil! Aku bisa menggendut jika dia terus menyodorkan makanan kepadaku,” tutur pria itu seraya menunjukkan roti kedua yang ia terima dari sang putra. “Habiskan saja, Max. Kau membutuhkan tenaga lebih untuk membantu Pangeran Kecil merawat Hasty,” timpal wanita yang sedang membersihkan piring dengan spons. Mendengar tanggapan sang ibu, mata Cayden langsung membulat. “Apakah aku boleh ke kandang kuda sekarang? Aku sudah selesai sarapan, Mama.” “Ya, tapi kau harus mencuci wajah

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 16. Aku Akan Meminta Maaf

    Tiba-tiba, Julian menjatuhkan wajah ke tangkupan tangannya. Setelah mengembuskan napas berat, ia kembali menegakkan kepala dan menunjukkan ekspresi yang tak terdiskripsikan. “Kau tahu? Aku sama sekali tidak bermaksud menakuti ataupun menggertak. Aku hanya tidak ingin kejadian tadi terulang,” tegas pria itu dengan wajah mengernyit. “Ya, aku tahu,” timpal Mia dengan penekanan yang tak kalah dalam. “Tapi kau bisa melakukannya tanpa harus menyakiti perasaan Kakek, Julian. Masalah ini bisa dibicarakan secara baik-baik.” Sembari menggertakkan geraham, Julian menggeleng samar. Kebingungan mulai menggetarkan bola matanya. “Lalu apa yang harus kulakukan sekarang? Aku sudah telanjur membuat Kakek sedih.” “Meminta maaf?” timpal Mia seolah tak yakin dengan jawabannya. “Apakah itu saja cukup?” tanya sang pria, ragu. Ia mulai sadar bahwa kemarahannya tadi memang sudah melewati batas. Sembari menimbang-nimbang, sang wanita mengangguk-angguk. “Asalkan

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 15. Sudah Keterlaluan

    “Greta, apakah kau sudah menyiapkan roti panggang yang lezat untuk kami?” tanya Cayden saat si pemilik rumah membuka pintu lebih lebar untuk menyambutnya.Melihat sang ayah masih sanggup berjalan, wanita dengan lengkung alis tinggi itu sontak mengembuskan napas lega. Setelah menggeleng-geleng sesaat, barulah ia membalas tatapan balita yang masih menggenggam tangan Tuan Hunt dan menunggu responnya.“Tentu saja sudah. Apakah kau lapar?” tanya Greta sembari memalsukan senyuman.“Bukan aku, tapi Kakek. Aku mendengar suara napasnya sangat lelah di sepanjang jalan. Kakek harus makan roti yang banyak,” sahut Cayden dengan ekspresinya yang khas—mata bulat dan bibir mengerucut.Sambil mengelus kepala putranya, Gabriella menekuk lutut. Setelah berhasil menyejajarkan pandangan, wanita itu memiringkan kepala. “Bagaimana kalau sekarang kau mengajak Kakek makan? Kau tahu di mana Greta meletakkan piring rotinya, bukan?&rdq

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 14. Penyesalan Tuan Hunt

    “Maaf, Julian. Tadi aku mengajak Grace menemui nenekmu sebentar. Sekarang, aku bermaksud untuk membawanya pulang. Kami tidak berkeliaran,” terang Tuan Hunt dengan ekspresi yang tak terdeskripsikan. Meski begitu, suara paraunya mampu menyentuh hati orang-orang, selain sang cucu. “Tapi jalan pulang ada di sebelah sana, Kek!” sambar Julian, masih dengan alis terangkat maksimal. Ia sama sekali tidak iba melihat punggung bungkuk yang semakin terbebani oleh rasa bersalah. “Apa yang sebenarnya ada dalam pikiranmu? Apakah kau tidak sadar bahwa kenekatanmu ini bisa mendatangkan masalah? Bukankah kita sudah sepakat untuk pergi bersama? Kenapa malah diam-diam membawa Grace pergi?” lanjutnya, mempertebal kerutan di dahi sang kakek. Merasakan kemarahan sang ayah, Putri Kecil mulai mengerutkan alis. Ia belum pernah mendengar suara selantang itu. Ketika matanya tertuju pada wajah murung Tuan Hunt, bayi itu pun mencebik. Sedetik kemudian, tangisnya mulai menjadi-jadi. Sambil

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 13. Keputusasaan Seorang Ayah

    Setibanya di pemakaman, Julian spontan tercengang. Apa yang ia lihat benar-benar di luar ekspektasi. Tidak ada keberadaan pria tua ataupun bayi di antara batu-batu nisan. Sang kakek dan Grace sama sekali tidak meninggalkan jejak. “Tidak mungkin,” gumam Julian sembari mempercepat langkah. Tanpa memedulikan upaya awalnya untuk tetap tenang, pria itu melaju ke arah blok yang sempat disebutkan oleh Greta. Setelah mencari-cari beberapa saat, ia akhirnya menemukan nama sang nenek di salah satu batu. “Benar, inilah tempatnya. Mereka seharusnya di sini,” desah Julian, terdengar putus asa. Dengan kerut alis yang dalam, ia berputar-putar, berusaha menemukan jejak sang putri ataupun Kakek Hunt. Malangnya, sejauh apa pun mata memandang, dua orang itu tetap berada di luar radar. “Ck, kenapa bisa begini?” gerutunya sembari mencengkeram kepala. Mengendus kekesalan yang teramat pekat, Mia sontak meraih lengan suaminya. Ia tahu bahwa sang pria telah gagal meng

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 12. Grace dan sang Kakek

    Sembari mengambil napas, Tuan Hunt menyeka pipi cucu buyutnya. Mata merah Grace memang tidak lagi menumpahkan kesedihan. Akan tetapi, pria tua itu masih merasa bersalah karena telah membuat sang bayi menangis. “Maafkan aku, Grace. Aku seharusnya berjalan lebih tenang agar kau tidak terbangun,” bisik sang kakek di sela desah napas yang tidak beraturan. Setelah wajahnya mengering, Grace menyandarkan kepala di pundak Tuan Hunt. Sambil berkedip lambat, ia mengerucutkan bibir. Kerut alisnya menyatakan bahwa dirinya masih ingin bergulung dengan selimut di tempat tidur. Bayi itu heran mengapa ia malah bersama sang kakek buyut, duduk di sebuah bangku panjang di tepi jalan setapak. “Padahal sewaktu masih muda, aku hanya memerlukan lima belas menit untuk tiba di pemakaman nenek buyutmu. Tapi sekarang, kenapa rasanya sangat melelahkan dan lama sekali?” gerutu Tuan Hunt seraya menyeka jidat dengan sebelah tangan. Selang satu embusan napas cepat, pria tua itu kemb

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status