“Apa yang akan dilakukan perempuan itu?” batin Max di tengah makan malam. Nasi di piringnya sudah hampir habis, tetapi perdebatan dalam benaknya masih belum berakhir.
“Apakah dia akan melakukan hal gila yang lain? Ck, sebenarnya, siapa orang yang membayarnya untuk menjalani sandiwara ini?”
“Maaf, Tuan. Ada telepon dari pos penjaga,” tutur seorang pelayan sembari menunduk dan menyodorkan ponsel.
Alis Max spontan terangkat. “Pos penjaga?” tanyanya yang dijawab dengan anggukan si pelayan.
“Apa mungkin ... perempuan gila itu datang ke sini?”
Tanpa membuang waktu, sang CEO menjawab panggilan. “Ada apa, Pak?”
“Ada seorang gadis memaksa ingin bertemu dengan Tuan.”
Raut wajah Max seketika berubah kaku. “Siapa?”
“Namanya Gabriella.”
Helaan napas langsung lolos dari mulut sang pria.
“Benar-benar di luar dugaan. Dia memilih untuk datang kemari? Apakah dia sedang menyerahkan diri?”
“Pak, apakah ada ramuan kejujuran yang tersimpan di pos?” tanya Max menggunakan kode.
“Ada, Tuan.”
Sudut bibirnya terangkat misterius.
“Berikan kepada gadis itu. Kalau dia tidak menghabiskan dua gelas, maka jangan izinkan dia masuk.”
“Dua gelas, Tuan?” tanya si penjaga seperti tak menyangka.
“Ya. Ada apa?”
“Apakah itu tidak terlalu banyak? Gadis ini tampak sangat polos. Bagaimana kalau dosisnya berlebihan?”
“Jangan gampang menilai lewat penampilan, Pak. Tampangnya mungkin saja lugu, tapi karakter aslinya ... kita tidak tahu.”
“Baiklah, Tuan.”
Tanpa mengulur waktu, Max beranjak dari kursinya.
“Vitamin Anda, Tuan.” Pelayan yang menggenggam ponsel menunjukkan butiran pil di wadah kecil.
“Ah, benar juga. Terima kasih.”
Tanpa menghitung jumlah pil yang disediakan, sang CEO menelan semuanya.
“Sebentar lagi akan ada seorang gadis masuk ke rumah ini. Kalian tidak perlu menyambutnya. Katakan saja kepada gadis itu untuk menemuiku di kamar.”
“Di kamar Tuan?”
“Protokol nomor satu.”
Mata si pelayan mendadak lebar. “P-protokol nomor satu? Apakah gadis itu berbahaya, Tuan?”
Max melengkungkan senyum tipis.
”Aku juga belum tahu. Sekarang, cepat umumkan protokol itu. Rumah ini harus sudah bersih begitu gadis itu tiba.”
“Baik, Tuan.”
Dengan tergesa-gesa, si pelayan menghampiri rekan-rekannya. Ia berbisik dan dalam sekejap, orang-orang meninggalkan pekerjaan mereka.
“Mari kita lihat! Apakah perempuan itu masih bisa berbohong setelah meminum ramuan kejujuran?”
“Apa ini? Saya tidak mau meminumnya!” tolak Gabriella sambil mundur satu langkah.
“Kalau begitu, Anda tidak boleh masuk ke rumah ini, Nona.”
“Tapi saya harus bicara dengan CEO Quebracha,” ujar gadis itu dengan nada memelas.
“Berarti, Anda harus mau meminum ini, Nona.”
Gabriella meringis. Di bawah alis yang hampir bertemu, matanya berkedip-kedip memelas. Akan tetapi, si penjaga tampak tidak memiliki belas kasihan.
Setelah mendesah pasrah, Gabriella mengangkat satu gelas dan mengendusnya.
“Apa ini?” tanya gadis itu ketika hidungnya mencium aroma menyengat.
“Minum saja, Nona.”
Sambil memejamkan mata, Gabriella menenggak minuman yang berwarna kekuningan itu.
“Satu lagi, Nona.”
“Satu lagi?”
Gadis itu mengernyit, tetapi si penjaga mendesak tangannya untuk mengangkat gelas baru. Mau tidak mau, ia menghabiskan minuman itu.
Selagi gerbang dibuka, Gabriella terbatuk-batuk oleh rasa yang tak pernah ia cicipi sebelumnya. Dengan tangan terus memegangi kerongkongan, ia melangkah menuju bangunan utama yang berdiri megah di tengah taman.
“Orang ini jahat sekali. Dia memiliki lahan yang begitu luas. Kenapa masih menghancurkan rumahku?” gumam Gabriella sebelum mempercepat langkah menuju pintu besar.
“Selamat malam, Nona,” sambut seorang pelayan dengan tangan gemetar. “Silakan naik tangga lalu belok kiri. Masuklah ke pintu yang terbuka. Tuan menunggu Anda di sana.”
Belum sempat Gabriella balas menyapa, si pelayan sudah lebih dulu berjalan keluar dan menutup pintu rapat-rapat. Begitu mendengar suara putaran anak kunci, alis sang gadis pun terangkat heran.
“Apakah ini jebakan? Kenapa pintu itu dikunci?”
Gabriella berjalan menghampiri pintu dan mencoba membukanya. “Benar, pintu ini dikunci,” desahnya cemas.
Selang satu kedipan, tangan gadis itu terkepal erat. “Aku sudah sejauh ini. Tidak mungkin aku menyerah. Orang itu harus diberi pelajaran.”
Dengan langkah berani, Gabriella berjalan menaiki tangga. Saking fokusnya, ia bahkan tidak sempat memeriksa foto yang terpajang di beberapa sisi ruangan.
“Siapa pun pemimpin perusahaan Quebracha, dia tidak berhak menghancurkan rumahku begitu saja.”
Ketika menemukan pintu yang terbuka, Gabriella menghentikan langkah. Setelah menyeka wajah dan menarik napas panjang, ia mengangguk-angguk memaksakan keberanian.
“Aku tidak boleh terlihat lemah.”
Sedetik kemudian, ia menjejakkan kaki ke dalam ruangan.
Matanya spontan melebar begitu mendapati sebuah ranjang. Gadis itu baru sadar bahwa ia memasuki kamar tidur seorang pria.
“Apakah ini benar-benar jebakan?” batin Gabriella sembari mengerjap. Rasa pusing baru saja menghantam kepalanya.
“Selamat datang, Nona Gabriella,” sapa seorang laki-laki dari sudut ruang. Gadis yang dipanggil pun langsung menoleh ke kanan.
“Kau ...?”
Telunjuk Gabriella teracung sementara mulutnya menganga tak percaya.
“Kau CEO Quebracha?”
Max memasukkan sebelah tangan ke saku celana dan melangkah santai.
“Tidak perlu berpura-pura kaget, Nona. Bukankah Anda sudah tahu siapa saya?”
Gabriella memundurkan wajahnya. Dengus kesal menyusul setelah matanya berkedip-kedip tak percaya.
“Oh, aku mengerti sekarang. Kau menghancurkan rumahku karena kesal, karena merasa direndahkan, dan karena aku memberikan tanda tangan sembarangan. Iya, kan?”
“Wah, sepertinya Anda aktris yang sangat hebat, ya? Aku hampir saja tertipu oleh akting Anda.”
Max melipat tangan di depan dada dan mengangkat sebelah alisnya.
“Apa maksudmu?” tanya Gabriella tak paham.
“Ck, sepertinya ramuan itu belum bereaksi. Seharusnya, aku memberinya tiga gelas,” gumam Max seraya menggaruk pelipisnya.
“Ah, begini .... Kita ikuti saja permainan Anda. Berapa yang Anda minta?”
Wajah Gabriella spontan mengernyit tak senang.
“Berapa? Kau pikir rumahku itu bisa diganti dengan uang?”
Max mengangguk dengan angkuh.
“Tentu saja. Bukankah itu yang Anda incar? Jika tidak, tidak mungkin Anda repot-repot datang kemari dan berpura-pura marah seperti ini.”
Dada Gabriella terasa seperti terbakar oleh kata-kata sang CEO. Napasnya kini memburu sementara bibirnya mulai gemetar menahan marah.
“Kau sebut aku berpura-pura?”
Air mata mulai berkumpul tanpa aba-aba.
“Apa kau tahu arti rumah itu bagiku? Rumah itu peninggalan orang tuaku. Semua kenangan kami ada di sana, dan sekarang, kau telah menghancurkan semuanya.”
Gabriella terpejam sembari memegang kepala. Kesedihan dan kemurkaan telah menimbulkan tekanan hebat dalam otaknya.
“Rumah itu adalah hidupku. Kau menghancurkan rumah itu sama saja dengan menghancurkan hidupku. Apa kau masih bilang aku berpura-pura?”
Max menggaruk cuping telinganya yang tidak gatal. Air mata di wajah merah Gabriella tampak sangat nyata. Ia ingin sekali bertepuk tangan atas kesuksesan akting wanita itu.
“Lalu, apa yang harus saya lakukan sekarang? Anda mau saya membangun rumah itu kembali? Mungkin ... bata-batanya bisa disemen ulang. Kayu dan papan bisa disambung dengan paku. Atau, gelas kesayangan Anda bisa juga direkatkan dengan lem super erat. Seribu retakan tidak akan menjadi masalah, kan?”
Mata Gabriella tidak bisa lagi bertambah merah. Kegeramannya sudah tidak memiliki tempat untuk memuncak. Alhasil, dengan jemari lentik dan kuku tumpulnya, gadis itu menyerang sang CEO.
“Dasar tidak punya hati! Bukannya meminta maaf, kau malah menghina rumahku? Menghina kenanganku?”Gabriella menjambak rambut Max dengan brutal. Meski meringis, pria itu masih bisa berdiri tegak. Tangannya pun tak ragu untuk mencengkeram pergelangan sang gadis dan membekukan serangan.“Untuk apa saya meminta maaf? Saya tidak bersalah.“Tawa kesal Gabriella pun terdengar.“Kau tidak bersalah? Hah? Kau kira aku percaya? Bukankah kau sendiri yang pernah memberiku ancaman? Apa kau lupa?” sanggah sang gadis seraya menyentakkan tangan mencoba lepas dari genggaman tangan yang lebih besar.“Saya memang pernah mengancam, tapi itu hanya ucapan belaka. Bukan saya yang menghancurkan rumah Anda.”Gabriella mulai melompat-lompat menambah kekuatan pada tarikan.“Lepaskan! Aku tidak mau disentuh oleh pembual kejam sepertimu!”“Pembual? Kau menuduhku pembual?”Max memutar tubuh Gabriella dan menguncinya dari belakang. Dengan posisi tangan bersilan
“Kurang ajar! Kapan si peneror itu memasukkan obat ke dalam makananku?” pikir Max seraya mengisi bak dengan air dingin.Tanpa memedulikan air yang baru setinggi mata kaki, ia masuk begitu pakaiannya sudah ditanggalkan habis. Pria itu kini terpejam sembari berusaha mengatur napas.“Astaga! Aku bisa gila!”Sang CEO mengambil sabun dan melakukan permainan sendiri. Akan tetapi, gelora dalam dirinya terlalu besar untuk ditaklukkan. Bahkan setelah ia membasuh diri, panas yang menjalar dalam nadi tak kunjung padam, sementara rasa haus akan wanita malah semakin membara.“Aku tidak tahan lagi!”Max keluar dari air dan menyeka badan sekenanya. Tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhnya, ia pergi menemui wanita yang masih tertidur lelap.“Maafkan saya, Nona .... Tapi, Anda sendiri yang datang ke rumah ini. Anda pasti sudah rela menyerahkan diri agar saya bisa melampiaskan rasa ini.”Max dengan tergesa-gesa melucuti pakaian Gabriella. Ia bahkan sama sek
Begitu keluar dari kamar mandi, sang CEO menatap Gabriella dengan tampang jijik. Sambil membuka lemari dan mengambil pakaian, laki-laki itu berkata, “Hentikan air mata buayamu itu! Tidak akan membuatku tersentuh.”Sang gadis tidak menjawab. Ia bergeming dengan mata melotot ke arah Max. Dirinya tahu bahwa apa pun yang keluar dari mulutnya tidak akan dipercaya oleh laki-laki itu. Jadi, diam adalah jawaban terbaik.“Kuberi kau satu kesempatan lagi. Katakan ... siapa yang membayarmu untuk semua kekacauan ini? Jika kau jujur, aku akan memberimu toleransi.”Hingga sang CEO selesai mengenakan pakaian lengkap, Gabriella tetap mengunci suara. Isak tangis pun ia telan agar dirinya tidak dianggap lemah. Selelah apa pun hatinya menghadapi tuduhan yang menyakitkan, dirinya harus tetap tegar.“Oh, kau masih memilih untuk diam? Baiklah, kalau begitu, jangan harap kau bisa keluar dari ruangan ini.”Setelah menyatakan ancaman, Max keluar dan mengunci pintu. Ekspresinya
“Gawat!” desah Max sembari memindahkan tubuh yang terkulai lemas itu ke atas ranjang.“Bibi! Bibi ...!”Sementara tangannya mencari kontak dokter, matanya sesekali memeriksa ke arah pintu. Begitu si kepala pelayan muncul, Max langsung memberi instruksi.“Tolong carikan pakaian untuk gadis ini, Bi. Ah ya ... dan bawakan sebaskom air hangat dan handuk kecil.”“Apakah Tuan mau saya membersihkan Nona ini?”Max menggeleng cepat. Ia takut bukti kebrutalannya semalam terlihat oleh si pelayan.“Tidak. Biar aku saja.”Kedipan mata wanita paruh baya itu berubah kaku. “Tuan yakin?”“Ya.” Max mengangguk sambil mempertahankan ekspresi. Si pelayan sampai terheran-heran mendengar jawabannya. “Baskom dan handuknya, Bi.”“Ah, ya. Tunggu sebentar, Tuan.”Begitu mendapatkan barang-barang yang diminta, Max segera menutup pintu dan menyeka wajah Gabriella. Ia tidak sempat memikirkan rasa enggan atau keterpaksaan. Otaknya terlalu sibuk menyingki
Max terbelalak saat pena itu jatuh dari genggaman Gabriella. Bukankah jemari seorang pianis biasanya stabil? Lalu, mengapa tangan gadis itu bergetar hebat sekarang?“Ada apa?” desah sang pria sembari mengangkat alis.“A-aku tidak tahu. Tanganku tidak bisa dikendalikan,” jawab Gabriella lirih.Setetes air mata mengalir saat mata gadis itu berkedip. Kecemasan yang besar telah terbit dalam hatinya.Setelah memutar otak sejenak, sang pria akhirnya mendesah. “Ah, sepertinya itu efek dari minuman yang kau minum kemarin.”“Apakah jemariku akan terus bergetar?” tanya Gabriella sambil menoleh dengan wajah yang sangat jujur. Hati sang CEO sampai terenyuh karenanya.“Tentu saja tidak. Itu hanya sementara. Kau hanya butuh makan dan istirahat. Besok pagi tanganmu tidak akan gemetar lagi,” terang Max dengan tampang datar. Ia merasa sedang bermuka dua sekarang. Sejak kapan dirinya melunak di hadap
“Kau pikir bisa kabur dariku, perempuan licik?” ucap Max dengan nada kemenangan. Kepala Gabriella spontan menggeleng menolak panggilan itu. “Aku tidak tahu apa-apa tentang pesan itu. Percayalah!” “Ssst! Tidak usah panik. Tenang saja! Kontrak yang telah ditandatangani tetap berlaku. Hanya saja, kau tidak akan bisa jauh dariku selama belum mengungkapkan siapa bosmu.” Sang gadis menghela napas lelah. “Aku serius, Tuan. Aku tidak tahu siapa orang ini. Dia sedang menjebakku.” Max mengangguk-angguk sambil mengerutkan sebelah sudut bibir. “Baiklah. Tidak apa-apa kalau kau masih belum mau mengaku. Masih ada beberapa hari sebelum kompetisi. Kau pasti akan memberikan nama orang itu kepadaku sebelum itu.” Gabriella terus menggeleng walau tak mengucap kata. Lidahnya terlalu kaku untuk digerakkan. “Silakan nikmati makan malammu. Aku mau tidur.” Max menggeser meja agak ke kiri lalu berbaring di sisi kanan ranjang. Tanpa memed
Max membuka pintu dengan kasar membuat gadis yang sedang melamun di tepi jendela tersentak. “Inilah target kita,” ucap sang CEO kepada seorang laki-laki berjubah panjang dengan sebuah kotak perkakas di tangan kanannya. Pria itu langsung memperhatikan Gabriella dengan saksama. Selang beberapa detik, ia mengangguk-angguk cepat. “Baiklah. Kunci pintu!” Max pun menjalani perintah tanpa ragu. “Ada apa ini?” tanya Gabriella secara tak sadar merapat pada dinding. Gadis itu tahu bahwa dirinya sedang terancam. Sang interogator meletakkan kotak perkakas di atas meja. Begitu dibuka, tidak hanya Gabriella, tetapi Max juga terbelalak melihat isinya. Beragam pisau dan alat aneh tersusun rapi pada beberapa tingkat. Benda pertama yang dikeluarkan oleh pria berjubah itu adalah sebuah tali. “Apa yang mau kalian lakukan?” tanya Gabriella dengan napas memburu. Pria yang dijuluki Sharp Knife pun menoleh. Mata tajamnya langsung menebas nyali
“Tugasku sudah selesai. Aku pergi sekarang,” tutur sang interogator sembari bergegas merapikan perkakas. “Kirimkan saja bayaranku ke rekening yang kuberikan.” “Kau masih berani meminta bayaran setelah melanggar kesepakatan?” bentak Max tak terima. Tangannya masih mendekap erat gadis yang hilang kesadaran. “Justru kau seharusnya membayar lebih. Kau tahu, aku tidak hanya berhasil menggali informasi dari satu orang, melainkan dua orang.” Alis sang CEO sontak bertambah dalam. “Apa maksudmu?” Sharp Knife menutup kotak perkakas, menentengnya, lalu berbalik menghadap si klien. “Bukankah kubilang tugasku sudah selesai? Itu berarti, aku telah berhasil mendapatkan apa yang kau minta.” Max menggeleng tak mengerti. Ketika telunjuk sang interogator teracung, kebingungannya semakin menjadi. “Pertama, gadis ini tidak bersalah. Dia memang tidak tahu apa-apa,” terang si pria berjubah dengan tampang yakin. “Kenapa kau bisa menyimpulkan b