“Kenapa mendadak tempat pertemuannya diubah?” tanya Cita menghampiri Kasih, yang sudah lebih dulu berada di ruang rapat di Palace High.“Pak Pras ada pertemuan dadakan habis ini di hotel,” jawab Kasih sambil menarik kursi besi yang berada di sebelahnya untuk Cita. “Jadi, kita rapat kilat siang ini.”“Tapi, Kak, kenapa aku harus datang juga?”Saat ini, jabatan Cita hanyalah marketing di perusahaan. Jadi, ia merasa tidak memiliki peran penting dalam rapat yang akan dihadiri oleh para petinggi.“Memangnya Papa belum bilang?” tanya Kasih dengan mengerutkan dahi.Cita menggeleng. “Papa cuma bilang ada sedikit perubahan, tapi nggak sempat jelasin perubahan apa, karena ... obrolan kami kepotong gara-gara Mami.”“Jadi begini, kare—” Kasih berhenti bicara karena melihat pintu ruangan terbuka. Lex masuk seorang diri dan langsung menghampiri Kasih.“Tumben sendirian, Yah?” tanya Kasih ketika Lex sudah duduk di sebelahnya. Kini ia duduk, di antara sang ayah dan adik perempuannya.“Papamu lagi bic
“Kalau sampai setahun aku dianggap belum mumpuni, apa aku nggak boleh balik ke Singapur?”Cita duduk di karpet, sambil menekuk kedua kakinya ke atas. Menatap Harry yang duduk bersandar di tempat tidur. Sementara Sandra, masih sibuk di depan meja rias dengan skincare-nya.“Kenapa harus pesimis begitu?” Sandra melihat Cita lewat pantulan cermin meja riasnya.“Karena, aku ngerasa kak Kasih nantinya ...” Cita menggeleng cepat. “Emang bang Awan masih ngasih izin kak Kasih kerja, kalau mereka sudah punya anak? Mami ngerti maksudku, kan?”“Masih,” jawab Harry. “Tapi itu tadi, Kasih nggak akan bisa full ngurus perusahaan seperti kemarin-kemarin.”“Kan, aku sudah curiga dari awal.” Cita berpikir, dirinya akan stuck di Jakarta dan tidak akan kembali ke Singapura. Harry menginginkan Kasih dan Cita bekerja sama, untuk mengurus perusahaan inti keluarga Lukito di Jakarta. “Mas Nando mendadak diutus ke Singapur, terus kita ada rapat di Palace High. Jangan-jangan, Papa sama pak Pras sudah rencanain s
Mata Cita terbuka perlahan, ketika mendengar namanya dipanggil hingga berkali-kali. Ia mengerjap pelan, guna menjernihkan pandangan yang sempat mengabur dan memastikan sosok pria yang berada di hadapannya.“Kak ... Duta?” gumam Cita sambil berusaha bangkit, tetapi kedua bahunya ditahan oleh pria itu.“Baring aja,” titah Duta lalu menoleh pada security yang masih berdiri di sebelahnya. “Pak, tolong ambilin air putih di belakang. Kalau ada yang hangat.”“Oke, Mas, Oke.”“Itu, Pak ... kena—”“Kamu pingsan di gudang,” sela Duta akhirnya bisa bernapas lega. Ia akhirnya bersila di karpet di samping Cita, lalu menggeletakkan kapas dan minyak kayu putih begitu saja.“Kok ...” Cita memegang kepalanya sambil mengingat-ingat. Yang Cita tahu, hal terakhir yang ia lakukan adalah membaca surat Arya dan ... menangis.“Aku ke sini mau ngantar amplang dari ayah.” Lebih baik Duta menjelaskan kronologi yang membuat Cita bingung. “Aku sudah pencet bel, ketuk pintu, telpon kamu, tapi nggak ada respons. Te
“Papa ... aku mau bicara.” Cita melirik Sandra sebentar, lalu kembali menatap Harry yang baru saja duduk di meja makan. Pria itu meletakkan sebuah cangkir di meja, tetapi Cita tidak tahu apa isinya.“Hm, bicaralah.” Harry menebak, Cita pasti akan membahas perihal kemarin.“Aku ... aku setuju, berhenti kerja.” Meskipun masih ragu, tetapi Cita sudah mengambil keputusan.Harry menarik napas pelan, sambil melihat Sandra yang baru saja meletakkan piring di hadapannya. Dua buah roti panggang dengan olesan alpukat dan tambahan telur orak-arik, menjadi pilihan menu western yang dipilih Sandra pagi ini.“Apa kegiatanmu setelah berhenti bekerja.” Harry meraih garpu dan pisau yang berada di piring secara bersamaan. Sambil memotong rotinya, ia menunggu jawaban Cita. “Mau balik ke Singapur?”Cita menggeleng sambil menerima sepiring nasi goreng dari Sandra. Sudah dua tahun lebih hidup bersama dengan Harry, Cita masih tidak bisa sarapan dengan menu yang sama seperti pria itu. Papanya itu benar-benar
“Cita!”Kedua mata Cita melebar saat mendengar suara yang memanggilnya. Ia menoleh dan ternganga melihat Nando menghampirinya dengan cepat. Apa yang dilakukan pria itu di kompleks gedung perkantoran Antasena?Apakah ini suatu kebetulan? Atau, Nando memang sengaja menemuinya?“Mas ... Nando? Ngapain ke sini?”“Kenapa kamu kerja di sini?” Nando berhenti dan menatap lobi Antariksa sebentar. “Kenapa nggak balik ke Metro?”“Mas Nando ngapain ke sini?” ulang Cita menunggu jawaban pria itu.“Aku ada pertemuan di sebelah.” Nando menunjuk sekilas pada Antasena Tower. Gedung utama yang berseberangan dengan kantor Antariksa dan kepemilikannya masih berada di tangan keluarga Antasena. Sementara Antariksa sendiri, sudah jatuh sepenuhnya ke tangan keluarga Lee, tanpa ada campur tangan dari pemilik atau pewaris sebelumnya. “Tapi aku sengaja datang pagi-pagi, supaya bisa ketemu kamu.”“Mas—”“Kenapa kamu nggak bilang, kalau mamiku sudah bicara sama kamu?”“Mas.” Cita menunduk sebentar, sembari memija
“Pembayaran selanjutnya akan dibayar dua bulan lagi.”Cita mengangguk dan tidak melontarkan protes atas ucapan Pasha. Di akhir negosiasi, keluarga Atmawijaya akhirnya setuju dengan nominal akhir kesepakatan. Yakni Rp18 Miliar, dari kenaikan tuntutan Cita sebesar Rp30 Miliar ketika bicara dengan Pasha tempo hari.Nominal tersebut akan dibayar bertahap, dengan tiga kali pembayaran dalam jangka waktu enam bulan.“Kalau pembayaran dari pihak Atmawijaya telat, segera laporkan ke saya,” sahut Mai datar, sembari memasukkan semua berkas ke tas kerjanya. “Klien saya sudah berbaik hati sampai sejauh ini, jadi tolong, jangan ngelunjak. Tepati pembayaran sesuai perjanjian, makan semua urusan hukum tetap aman.”Mai kemudian berdiri setelah semua berkasnya beres, lalu mengulurkan tangan pada Cita. “Saya pergi dulu, Bu Cita. Kalau ada apa-apa, segera hubungi saya.”“Terima kasih, Mbak.” Cita menyambut uluran tangan Mai dengan segera. “Terima kasih banyak.”“My pleasure.” Tidak lupa, Mai juga berjaba
“Ehm! Hai.”Cita membalas singkat dan tidak ingin banyak bicara. Andai bisa keluar dan mengganti jadwal penerbangan, maka Cita pasti akan langsung pergi dari sana. Namun, ia tidak mungkin melakukan hal tersebut, karena jadwal pekerjaan di luar kota sudah memburunya.“Kalian kenal?” Salsa dengan cepat mencondongkan tubuh dan menengok ke arah Arya dan Cita bergantian.“Ka—”“Gue ngantuk, Sal.” Cita mengulang ucapannya beberapa saat lalu, untuk memotong ucapan Arya. Ia semakin menarik ujung hoodienya hingga menutup mata. “Mau tidur dulu.”Arya tersenyum pada Salsa dengan mengangguk. Memilih diam dan tidak lagi bersuara. Arya paham dengan situasi canggung, yang sedang dihadapinya dengan Cita saat ini. Karena itulah, tidak perlu lagi memaksakan kehendaknya daripada hubungan mereka semakin panas.Setidaknya, ada setitik harapan dan rasa bahagia ketika melihat boneka pemberiannya ada di pelukan Cita. Meskipun gadis itu bersikeras menolak dan menghindarinya, tetapi akhirnya Arya tahu bagaiman
“Mantan, lo, kan? Iya, kan?” buru Salsa masih penasaran karena Cita masih saja bungkam. Jika bukan mantan, kenapa Cita terdengar akrab ketika bicara di telepon dengan ibunya Arya siang tadi.Sembari menyusuri garbarata, Salsa tetap memasang telinga guna mendengar percakapan Cita di telepon dengan seseorang yang dipanggilnya tante. Kendati hanya bisa mendengar dari satu pihak, Salsa sudah benar-benar yakin dan bisa menyimpulkan Arya adalah mantan kekasih Cita dahulu kala.“Kepo.”Salsa yang bersila di lantai kamar setelah mengambil baju di koper, lantas menoleh. Memindai penampilan Cita yang sudah rapi, setelah keluar dari kamar mandi.“Nggak bawa baju, lo, Cit?”“Lo nggak lihat isi koper gue?” tunjuk Cita pada kopernya yang masih terbuka, di sebelah pintu kamar mandi.“Maksud gue, nggak ada baju lain?” tanya Salsa lagi. “Lo makan malam sama camer pake kaos sama celana jeans?”“Camer apaan?” Cita menghempas bokòngnya di sudut tempat tidur. Ia menyisir rambut, sambil menunduk melihat ka