Berusaha untuk tidak sedih, namun hatinya terasa sesak setiap kali datang ke kafe itu. Sudah tahu begitu, Maya tetap saja mampir ke sana setiap harinya walau hanya sekedar minum kopi. Berkat Hans, dia bisa kembali memakan donat yang sudah lama tidak berani dilakukannya.
Aidan. Tiba-tiba pria itu terlintas dipikirannya. Ketika ingat dengan sang anak, Maya juga jadi teringat dengan Aidan. Dia membuka ponselnya, mencari room chat milik Aidan yang kosong. Padahal, Maya selalu menyimpan riwayat chatnya dengan Aidan sejak mereka pacaran. Namun setelah bercerai, semuanya sengaja dia hapus. Meninggalkan penyesalan yang terus mengganggu hatinya.
“Bagaimana, ya? Apa aku cari pekerjaan di tempat lain saja?”
Awalnya, Maya yakin dia akan diterima si perusahaan itu. Keberadaan Rachel sebagai manager di sana membuat Maya berpikir untuk mundur sebelum nantinya bergabung.
Sebuah pesan masuk dari Hans tidak pernah langsung dibuka. Setelah beberapa menit, Maya baru membukanya. “Jalan-jalan?” ucap Maya setelah membaca pesan itu.
Karena mungkin Maya terlalu lama membalas, Hans akhirnya menelpon. “Apa aku mengganggumu?”
“Tidak, kok.”
“Sudah selesai wawancaranya?”
“Sudah.”
“Mau jalan-jalan?”
“Aku akan mengantarmu ke rumah sakit lebih dulu.”
“Sepertinya tidak perlu. Aku baik-baik saja.”
“Aku ke apartemenmu sekarang.”
Panggilan itu Maya matikan sepihak. Dia bersiap untuk pergi. Namun sebelum Maya benar-benar meninggalkan kafe, dia merasa tangan yang menepuk pundaknya. Dengan terkejut, Maya menengok dan menemukan Rachel di sampingnya, senyumnya terlihat tajam namun ramah. Rachel, dengan senyum yang terkesan tidak bersahabat, mendekati meja di mana Maya duduk sendirian.
“Kita bertemu lagi di sini.”
Maya merasa terkejut dan tidak nyaman melihat Rachel di sana, mengingat pertemuan mereka sebelumnya tidak berakhir baik. Maya mencoba untuk tetap tenang dan menyembunyikan ketidaknyamanannya.
“Oh, Bu Rachel?”
“Hey, santai saja. Tidak perlu seperti itu.”
“Oh, baiklah. Saya pergi dulu,”
“Kapan kamu punya waktu untuk bicara dengan saya?”
“Mungkin …,” Maya berpikir sejenak. “besok saat saya mengirimkan desain yang Anda pinta?”
“Baiklah, saya tunggu. Oh, iya, Hans sedang menunggumu di depan.”
Maya mengangguk, mencoba untuk menyembunyikan ketegangan di dalam dirinya. "Terima kasih. Sampai jumpa besok."
Maya mencoba untuk tidak menunjukkan kebingungannya pada Rachel. Dia cepat-cepat mengambil tasnya dan meninggalkan Rachel sendirian di meja. Saat tiba di luar kafe, Maya melihat Hans. Dia merasakan kelegaan meskipun hatinya masih dipenuhi dengan kekhawatiran atas pertemuannya dengan Rachel. Maya merasa ada yang aneh dari wanita itu. Mulai dari ucapan, senyuman, dan tingkahnya sejak pertama kali bertemu.
“Hans?”
“Oh, Maya?”
“Rachel bilang kalau kamu menungguku? Kalian datang bersama?”
***
Sudah hampir 2 tahun, rumah yang pernah dia tempati selama 5 tahun itu ditinggalkan. Hans dengan sangat ragu dan berat hati, kembali datang ke sana seorang diri. Jika bukan karena Maya, dia tidak akan mau datang lagi ke tempat yang penuh luka itu.
“Di mana Tuan Marco?”
“Mau apa kamu mencarinya?” tanya Vito, senior Hans yang juga bekerja untuk Marco. Dia orang yang pernah sangat melindungi Hans setiap kali Marco memarahinya.
“Apa dia sedang tidak di rumah?”
“Hans, tolong berhenti. Sampai kapan pun, kamu tidak akan bisa kabur darinya. Dia mengawasimu selama ini, sekali pun kamu ada di Swiss. Dia diam bukan berarti lupa. Dia hanya mencari waktu yang tepat.”
“Aku tahu. Aku masih berusaha memenuhi syarat dari Tuan Marco agar bisa segera terlepas darinya.”
“Lalu, kamu datang ke sini karena sudah berhasil memenuhi syaratnya? Kamu sudah menemukan wanita terakhir?”
“Di mana Tuan Marco?” tanya Hans lagi, tanpa menjawab pertanyaan itu.
“Apa yang ingin kamu lakukan? Tolong jangan menentangnya, Hans.”
“Biarkan saja, Vito. Dia ingin menemuiku, kenapa kamu melarangnya?”
Orang yang Hans cari ternyata ada di sana. Dia mendengar semua pembicaraan mereka dari lantai atas. Hans meninggalkan Vito, berjalan mendekati bos yang telah mengurusnya selama 8 tahun sejak masih SMA.
“Apa kabar, Tuan?” tanya Hans dengan sopan.
“Kabar saya baik, tidak sepertimu.” Marco memegang lengan Hans yang walau tertutup jaket, dia dapat tau kalau ada luka dibaliknya. “Kenapa lenganmu?”
“Hanya luka biasa. Tuan, ada yang ingin saya bicarakan.”
“Silahkan duduk dulu.” Marco duduk di sebuah sofa besar, namun Hans tetap berdiri dihadapannya. “Saya senang kamu datang untuk menemui saya. Saya pikir, kamu ingin menemui Rachel? Atau mungkin kamu sudah menemuinya?”
“Tuan, saya tidak sanggup memenuhi syarat itu.” Hans mengatakannya langsung, tidak ingin basa basi lagi. “Tolong biarkan saya pergi, Tuan. Saya mohon.”
“Kamu sudah membawakan 2 wanita pada saya hanya dalam waktu 2 bulan. Tersisa 1 wanita lagi saja. Sudah 2 tahun saya menunggu, lalu tiba-tiba kamu mau menyerah? Boleh saja, tapi saya tidak akan melepaskanmu.”
“Saya mohon, Tuan. Saya tidak ingin melakukan semua kejahatan ini lagi.”
“Lagi pula, tidak ada yang dapat menghapus statusmu sebagai seorang penjahat. Kamu sudah melakukan banyak kriminalitas sejak lulus SMA.”
“Tapi setidaknya, saya sudah berhenti melakukannya.”
“Kenapa kamu tidak bawa wanita itu pada saya?”
“W-wanita?” tanya Hans penuh curiga.
“Maya. Bawa dia pada saya dan saya akan melepaskanmu.”
“Dari mana Tuan mengetahuinya?”
“Seperti yang Vito bilang, selama ini saya mengawasimu.”
Jantungnya berdetak tak semestinya. Hans merasa takut sekaligus kesal. Dia tidak ingin Maya menjadi korbannya, masuk ke dalam hidupnya yang kelam. Tapi, Hans juga tidak ingin melepaskan Maya, apalagi untuk Marco jadikan budak.
“Tidak akan pernah, Tuan. Dia milik saya.”
“Selama ini, yang saya miliki kamu anggap milikmu juga, kan? Bahkan, kamu mengambil Rachel, anak saya, milik saya!”
“Saya sudah mengembalikan Rachel pada Tuan.”
“Baiklah, baiklah. Bawakan saya 1 wanita lagi atau kamu tidak akan pernah terlepas dari saya?”
Hans tidak tahan lagi. Dia selalu ingin membela diri setiap Marco kasar dan membuatnya kesal. Namun, itu hanya akan membahayakan dirinya dan orang terdekatnya. Diperjalanan pulang, Rachel menelpon berkali-kali.
“Halo? Ada apa?”
“Aku pikir kamu sedang bersama Maya saat ini. Ternyata tidak.”
“Kamu bersamanya?”
“Aku akan menemuinya. Dia sedang duduk sendiri, seperti biasanya.”
“Jangan lakukan apa-apa padanya, Rachel.”
“Kalau begitu, datanglah.”
Hans menarik napas panjang. Baru beberapa hari di Indonesia, dirinya sudah dibuat pusing dan panik berlebih. Dengan taxi yang dipesannya, Hans bisa cepat sampai di kafe yang dimaksud. Baru saja sampai, dia langsung berpapasan dengan Maya yang baru keluar dari kafe itu.
“Hans?” panggil Maya dengan suara lembutnya.
“Oh, Maya?”
“Rachel bilang kalau kamu menungguku? Kalian datang bersama?”
“Oh, t-tidak. Aku sengaja datang ke sini untuk menemuimu, lalu tidak sengaja bertemu dengannya.”
“Dari mana kamu tahu aku ada di sini?”
“Aku ….” Hans tidak ingin Maya tahu kalau dia masih berhubungan dengan Rachel.
Melihat Hans seperti mulai terpojokkan, Maya sadar dan mencoba memahaminya. “Ayo, kita ke rumah sakit untuk memeriksa lenganmu?”
“Sudah kubilang, ini hanya luka biasa.”“Setidaknya aku mendengarnya langsung dari dokter.”Tentang luka di lengan Hans, dokter mengatakan kalau luka itu tidak perlu di jahit. Itu masih termasuk luka sayatan yang dangkal dan bisa ditangani sendiri. Sepulangnya dari rumah sakit, Hans kembali mengingatkan Maya perihal jalan-jalan.“Jadi, kita mau ke mana sekarang?”“Aku akan mengantarmu pulang.”“Bagaimana kalau kita jalan-jalan?”“Oh, iya, kamu sudah melapor ke polisi?” tanya Maya mengingatkan.Hans menelan ludah, mencoba untuk menjaga ketenangan wajahnya saat dia menjawab, "Ah, tentang itu ... aku sudah melaporkannya."Maya mengerutkan kening, terlihat tidak yakin. "Benarkah?”Hans berusaha untuk tetap tenang, meskipun hatinya berdegup kencang. "Tentu saja. Itu masalah serius. Mana mungkin aku diam saja? Jangan terlalu khawatir. Semua sudah aku urus."Maya mengangguk ragu. "Baiklah. Terima kasih, ya, Hans?"Hans merasa lega karena Maya terlihat percaya. Namun, i dalam hatinya dia tahu
Jakarta Aquarium Safari adalah salah satu destinasi wisata yang menawarkan pengalaman menyelam ke dalam dunia bawah laut tanpa harus benar-benar pergi ke laut. “Seminggu sebelum meninggal, anakku memintaku untuk mengajaknya ke sini. Ini pertama kalinya aku datang, tapi bukan bersama dia.” "Aku yakin dia akan senang melihatmu menikmati tempat ini.” Sebuah senyuman kecil terukir di bibirnya, “Dia pasti akan senang melihat semua ikan ini,” ucap Maya yang berdiri di depan akuarium raksasa dengan mata terpaku pada gerombolan ikan yang berenang dengan indah di dalamnya. Dengan lembut, Hans menyentuh pundak Maya. “Aku di sini bersamamu, meski tidak bisa menggantikan kehadiran anakmu." “Ayahnya …,” Maya diam sejenak untuk menyaring ucapannya. “ayahnya anakku juga berjanji untuk mengajak kami ke sini.” Merasa kalau Maya jadi sedih karena teringat dengan masa lalunya, Hans menawarkan sesuatu. “Kalau begitu, apa kamu ingin kita pergi ke tempat lain saja?” “Tidak perlu, Hans. Aku senang be
Pertanyaan itu benar-benar mengejutkan. Mulutnya terasa kaku, tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata pun meskipun banyak yang ingin diungkapkan. Aidan pun terdiam, menanti jawaban mantan istrinya dengan tidak yakin.Setelah beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam, akhirnya Maya menjawab dengan suara yang tenang. "Aidan, kita sudah tidak berhubungan selama dua tahun dan beberapa hari lalu sudah resmi pisah secara negara. Banyak hal yang terjadi di antara kita. Aku pikir tidak semudah itu untuk kembali seperti dulu."Aidan merasa dadanya terasa sesak mendengar jawaban itu. "Aku mengerti, May. Aku hanya merindukanmu dan ingin tahu apakah masih ada kesempatan untuk kita memperbaikinya."“Kita bercerai memang bukan karena tidak saling mencintai lagi, tapi karena ada masalah yang tidak bisa kita selesaikan bersama. Dan sejak itu, kita telah menjalani kehidupan masing-masing.”“Jadi maksudmu, kamu masih mencintaiku?”Maya menghela napas dan melanjutkan ucapannya karena tidak mendengar res
Reza dengan teliti merawat Aidan yang demam tinggi tengah malam. Pagi harinya, dia memanggil dokter untuk mengecek keadaan bos sekaligus sahabatnya itu. Setelah pemeriksaan yang teliti, dokter menatap Reza untuk bertanya."Apa yang terjadi sebelum dia demam?"“Dia telat makan dan hanya makan sedikit karbohidrat kemarin. Tidak ada hal yang dia lakukan selain duduk melamun. Apa itu berpengaruh terhadap kondisinya sekarang, Dok?” tanya Reza dengan bahasa inggrisnya yang fasih."Kondisi seperti itu bisa menjadi pemicu, terutama jika Pak Aidan sedang dalam kondisi stres atau kelelahan mental. Demam bisa menjadi respons tubuh terhadap kondisi tersebut.""Lalu apa yang harus saya lakukan untuk membantu pemulihannya?""Pak Aidan perlu istirahat yang cukup dan asupan nutrisi yang baik. Pastikan dia minum banyak air dan makan makanan ringan yang mudah dicerna. Saya akan memberikan obat untuk menurunkan demamnya dan beberapa vitamin untuk membantu memperkuat sistem kekebalan tubuhnya. Pastikan P
Marco melangkah mendekat, tersenyum keji di hadapan Maya yang semakin gelisah. "Kamu penasaran tentang Hans, ‘kan? Kami memiliki sesuatu yang harus kamu ketahui tentangnya, tentang sisi gelap dia yang sebenarnya," ujarnya dengan nada menggoda."Apa yang kamu lakukan pada Hans? Di mana dia sekarang?" desaknya dengan suara gemetar. Dengan wajah penuh ketakutan, Maya mencoba keras untuk melepaskan diri dari cengkraman Marco. “Lepaskan aku!"“Hans keras kepala. Dia mulai berani mengabaikan dan menentang perintahku. Saya pikir, kamu pasti bisa membuatnya kembali padaku?”“Omong kosong!”“Hans bukanlah pria baik seperti yang kamu kenal. Jika kamu berpikir kami seorang penjahat, maka begitu juga dengan Hans karena dia juga merupakan bagian dari kami. Dia tidak lebih dari seorang boneka dan kaki tangan kami."“Kamu pikir saya percaya?”“Hidupmu tidak akan aman kalau masih berhubungan dengan Hans. Sudah banyak kriminalitas yang dia lakukan. Kamu yakin akan bahagia bersamanya? Pikirkan baik-bai
Sudah hampir dua jam Maya menunggu dengan gelisah di ruang tunggu apartemen, namun Hans tak kunjung datang. Ponselnya tidak aktif, membuat Maya sulit menghubunginya. Maya memutuskan untuk pulang, namun ucapan terakhir Hans terus berputar di pikirannya.“Tapi, aku tidak bisa diam saja. Aku tidak dapat menghubunginya dan tidak tahu kabarnya. Aku tidak bisa menunggu lagi. Bagaimana, ya?”Maya tidak peduli dengan permintaan Hans. Baru saja sampai rumah, Maya berniat untuk pergi ke kantor polisi. Namun, sebuah bunga mawar putih yang ada di kursi samping membuatnya teringat pada seseorang.“Aidan?”Tangannya dengan cepat mengambil ponsel untuk menelepon Aidan. Hanya mantan suaminya itu yang ada di pikirannya untuk dia pintai bantuan. Namun, Aidan tidak dapat dihubungi. Maya putus asa. Dia baru sadar kalau telah secemas itu pada Hans, seorang pria yang pernah dia tolak cintanya.“Tumben sekali Aidan tidak bisa dihubungi? Ada apa dengannya, ya?”Pikiran Maya terbagi antara kekhawatiran Hans d
Maya tidak benar-benar mengatakannya. Dia hanya tidak ingin Aidan masuk ke dalam masalah itu. Untuk ucapannya pada Hans pun tidak dengan jujur dia katakan. Maya tidak akan menjauhi Hans, karena dia merasa mulai jatuh cinta padanya. Terdengar mustahil memang, jatuh cinta walau sudah tahu kalau pria itu adalah seorang penjahat. Maya sendiri juga bingung dengan hatinya yang tiba-tiba memilih Hans.“Kamu masih belum mau jujur padaku?” tanya Lisa kesekian kalinya.Sudah berjam-jam Maya hanya duduk dan tiduran di kasur milik anaknya. Tidak keluar kamar, sekalipun untuk sekedar makan. Dia terus menggenggam ponselnya, seperti menunggu sesuatu.“Aku sudah bilang, aku akan merahasiakannya dari Reza. Aku tidak akan mengatakan apa pun padanya,” lanjut Lisa.Masih tetap sama, tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Maya. Sejujurnya, dia sedang berpikir karena bingung harus mengatakan semuanya pada Lisa atau memilih untuk tetap diam. Setelah beberapa saat, Maya mengangkat kepalanya dan menatap Lis
Setelah berpikir matang-matang, Aidan memutuskan untuk kembali ke Indonesia, memulangkan semua karyawannya juga. Walau tanpa persetujuan dari sang asisten, Aidan tetap teguh dengan keputusannya. Keras kepala memang. Kata Reza, itulah Aidan.“Biarkan mereka kembali ke Indonesia paling lambat lusa,” perintah Aidan pada Reza mengenai para karyawannya.“Bagaimana denganmu?”“Aku akan tetap pergi hari ini. Tiketnya sudah di pesan, ‘kan?”“Sudah.”Aidan dan Reza lanjut berkemas. Reza mengecek semua koper dan barang bawaan Aidan. Selain keras kepala, Aidan juga sangat ceroboh dan pelupa. Dua jam lagi menuju waktu keberangkatan. Reza sudah siap pergi, sedangkan Aidan masih sibuk di meja kerjanya.“Sungguh akan pergi hari ini?”“Jangan bertanya lagi. Aku sudah mulai kesal denganmu,” jawab Aidan dengan mata yang masih fokus ke layar monitornya.“Bagaimana dengan proyek yang sedang berjalan?”“Aku sudah hubungi klien yang bersangkutan. Kamu tenang saja.”“Demi Maya kamu melakukan semuanya?” Pert