Sudah hampir dua tahun, rumah yang pernah dia tempati selama lima tahun itu ditinggalkan. Hans dengan sangat ragu dan berat hati, kembali datang ke sana seorang diri. Jika bukan karena Maya, dia tidak akan mau datang lagi ke tempat yang penuh luka itu.
“Di mana Tuan Marco?”
“Mau apa kau mencarinya?” tanya Vito, senior Hans yang juga bekerja untuk Marco. Dia orang yang pernah sangat melindungi Hans setiap kali Marco memarahinya.
“Apa dia sedang tidak di sini?”
“Hans, tolong berhenti. Sampai kapan pun, kau tidak akan bisa kabur darinya. Dia mengawasimu selama ini, sekali pun kau ada di Swiss. Dia diam bukan berarti lupa. Dia hanya mencari waktu yang tepat.”
“Aku tahu. Aku masih berusaha memenuhi syarat dari Tuan Marco agar bisa segera terlepas darinya.”
“Lalu, kau datang ke sini karena sudah berhasil memenuhi syaratnya? Kau sudah menemukan wanita terakhir?”
“Di mana Tuan Marco?” tanya Hans lagi, tanpa menjawab pertanyaan itu.
“Apa yang ingin kau lakukan? Tolong jangan menentangnya, Hans.”
“Biarkan saja, Vito. Dia ingin menemuiku, kenapa kau melarangnya?”
Orang yang Hans cari ternyata ada di sana. Dia mendengar semua pembicaraan mereka dari lantai atas. Hans meninggalkan Vito, berjalan mendekati bos yang telah mengurusnya selama delapan tahun sejak dia masih SMA.
“Apa kabar, Tuan?” tanya Hans dengan sopan.
“Baik. Tumben sekali kau datang? Biasanya walau aku suruh, kau tidak pernah datang.”
“Ada yang ingin saya bicarakan.”
“Duduk dulu.” Marco duduk di sebuah sofa besar, namun Hans tetap berdiri di hadapannya. “Saya senang kau datang untuk menemui saya. Saya pikir, kau ingin menemui Rachel? Atau mungkin kau sudah menemuinya?”
“Tuan, saya tidak sanggup memenuhi syarat itu.” Hans mengatakannya langsung, tidak ingin basa basi lagi. “Tolong biarkan saya pergi, Tuan. Saya mohon.”
“Kau sudah membawakan dua wanita pada saya hanya dalam waktu dua bulan. Tersisa satu wanita lagi saja. Sudah dua tahun saya menunggu, lalu tiba-tiba kau mau menyerah? Boleh saja, tapi saya tidak akan melepaskanmu.”
“Saya mohon, Tuan. Saya tidak ingin melakukan semua kejahatan ini lagi.”
“Lagi pula, tidak ada yang dapat menghapus statusmu sebagai seorang penjahat. Kau sudah melakukan banyak kriminalitas sejak lulus SMA.”
“Tapi sekarang saya ingin berhenti, Tuan.”
“Kenapa kau tidak bawa wanita itu pada saya?”
“W-wanita?” tanya Hans penuh curiga.
“Maya. Bawa dia pada saya dan saya akan melepaskanmu.”
“Dari mana Tuan mengetahuinya?”
“Seperti yang Vito bilang, selama ini saya mengawasimu.”
Jantungnya berdetak tak semestinya. Hans merasa takut sekaligus kesal. Dia tidak ingin Maya menjadi korbannya, masuk ke dalam hidupnya yang kelam. Tapi, Hans juga tidak ingin melepaskan Maya, apalagi untuk Marco jadikan budak.
“Tidak akan pernah, Tuan. Dia milik saya.”
“Selama ini, yang saya miliki kau anggap milikmu juga, kan? Bahkan, kau mengambil Rachel, anak saya, milik saya!”
“Saya sudah mengembalikan Rachel pada Tuan.”
“Baiklah, baiklah. Bawakan saya satu wanita lagi atau kau tidak akan pernah terlepas dari saya?”
Hans tidak tahan lagi. Dia selalu ingin membela diri setiap Marco kasar dan membuatnya kesal. Namun, itu hanya akan membahayakan dirinya dan orang terdekatnya.
Diperjalanan pulang, Rachel menelpon berkali-kali. “Halo? Ada apa?”
“Aku pikir kau sedang bersama Maya saat ini?”
“Kau bersamanya?”
“Aku akan menemuinya. Dia sedang duduk sendiri di kafe.”
“Jangan lakukan apa-apa padanya, Rachel.”
“Kalau begitu, datanglah.”
***
Berusaha untuk tidak sedih, namun hatinya terasa sesak setiap kali datang ke kafe itu. Sudah tahu begitu, Maya tetap saja mampir ke sana setiap harinya walau hanya sekadar minum kopi.
Tiba-tiba Aidan terlintas dipikirannya. Ketika ingat dengan sang anak, Maya juga jadi teringat dengan Aidan. Dia membuka ponselnya, mencari room chat milik Aidan yang kosong. Padahal, Maya selalu menyimpan riwayat chatnya dengan Aidan sejak mereka pacaran. Namun setelah bercerai, semuanya sengaja dia hapus.
“Bagaimana, ya? Apa aku cari pekerjaan di tempat lain saja?”
Awalnya, Maya yakin dia akan diterima si perusahaan itu. Keberadaan Rachel sebagai manager di sana membuat Maya berpikir untuk mundur sebelum nantinya bergabung.
Pikirannya sedang kacau dan dia ingin santai sejenak. Beberapa saat kemudian, Maya merasa ada tangan yang menepuk pundaknya. Dengan terkejut, dia menengok dan menemukan Rachel di sampingnya.
“Kita bertemu lagi di sini.”
“Oh, iya.”
“Kapan kau punya waktu untuk bicara dengan saya?”
“Mungkin …,” Maya berpikir sejenak. “nanti saat saya mengirimkan desain yang kau pinta?”
“Bagaimana kalau sekarang?” Rachel duduk di samping Maya tanpa izin.
Tidak ingin terus menerus diganggu, Maya memutuskan untuk mengikuti kemauan Rachel. “Silakan, apa yang ingin kau bicarakan?”
“Apa kau tahu siapa Hans sebenarnya?”
“Tentu saja tidak. Saya dan Pak Hans hanya rekan kerja saat di Swiss. Kami tidak pernah ada urusan pribadi.”
“Benarkah? Tapi, bukankah Hans jatuh cinta padamu?”
“Saya menolaknya. Tapi seperti yang kau lihat, dia masih mengejarku.”
Merasa kalau ucapan Maya menyakitinya, Rachel mulai kesal dan berusaha menahan emosinya. “Berarti, tidak ada gunanya, ya, kalau saya mengatakan siapa Hans sebenarnya padamu?”
“Iya, benar. Saya tidak peduli dan tidak ingin tahu apa pun tentangnya.”
Maya terus berusaha untuk cuek dan bersikap santai pada Rachel yang terlihat memanas.
“Kalau begitu, saya akan memberitahumu dengan alasan agar kau tidak jatuh cinta padanya di kemudian hari.”
“Silakan,” kata Maya sambil melipat kakinya dan kedua tangannya.
Ketika ingin bicara, Rachel berpikir lagi. Jika dia membongkar siapa Hans, maka dia dan ayahnya juga akan kena masalah. “Eum, sulit untuk mengatakannya. Lagi pula Hans sedang menunggumu di depan sejak tadi.”
“Benarkah? Kalau begitu, saya permisi.” Maya cepat-cepat mengambil tasnya dan meninggalkan Rachel sendirian di meja.
Saat tiba di luar kafe, Maya melihat Hans. Dia merasakan kelegaan meskipun hatinya masih dipenuhi dengan kekhawatiran atas pertemuannya dengan Rachel. Maya merasa ada yang aneh dari wanita itu. Mulai dari ucapan, senyuman, dan tingkahnya sejak pertama kali bertemu.
“Pak Hans?”
“Oh, Maya?”
“Rachel bilang kalau Pak Hans menunggu saya? Kalian datang bersama?”
“Kau baik-baik saja?”
Maya bingung dengan ekspresi khawatir yang Hans tampilkan. “Tentu saja. Memangnya ada apa?”
“Ah, saya hanya bertanya.”
Dalam hati Maya berkata, “Aku yakin ada yang Pak Hans sembunyikan dan tidak ingin aku tahu. Apakah yang Rachel katakan benar kalau Pak Hans bukanlah pria yang baik? Apakah aku mulai terjebak dalam masalahnya?”
***
“Semuanya terasa seperti … mimpi.”Lisa duduk di samping Maya sambil memeluknya, mengusap kepalanya, dan sesekali menciumnya. “Kau harus bisa menerima semua kenyataan ini.”“Hans dan Aidan ... apakah mereka benar-benar sudah pergi?” Maya mengencangkan tangan Lisa yang mendekapnya. “Mereka berjanji akan selalu ada untukku, akan selalu menjagaku, dan tidak akan pergi dariku. Tapi nyatanya, mereka yang meninggalkanku.”“Tidak, mereka tidak benar-benar meninggalkanmu. Mereka pasti sekarang ada di sini, melihatmu dan aku mengobrol. Hanya saja, kita tidak bisa melihat mereka.”“Apakah aku pembawa celaka?”“Hey, tidak, Maya. Kenapa kau bicara begitu?” Lisa mendekap wajah Maya, lalu memeluknya penuh. “Jangan katakan itu.”“Aku … sakit. Aku tidak tahu harus melakukan apa untuk mengungkapkan betapa sakitnya hati aku, Lis,” ungkap Maya dengan dalm tangisnya.Mereka sama-sama menangis di kamar Kaila yang penuh kenangan, dengan Maya yang masih memegang buku jurnal berwarna cokelat pemberian Hans.
Maya terbangun di kamar rumah sakit dengan napas yang sedikit tersengal. Matanya terbuka lebar, menatap atap putih dengan lampu yang memancar lembut. Wajahnya pucat, namun tatapan matanya tetap tajam meski tubuhnya masih terasa lemah."Maya? Kau sadar?" Suara Aidan terdengar jelas, memegang erat tangan Maya.“Aidan?”“Aku khawatir padamu.”Tangan Aidan terasa hangat. Namun, sebelum dia sempat berkata lebih banyak, pintu kamar terbuka dan Zayn masuk. “Maya? Bagaimana kondisimu? Apa kau baik-baik saja?"Maya menatap Zayn dengan kebingungan yang bercampur rasa lega. Ketika menoleh ke samping, tempat di mana Aidan tadi duduk, kursi itu kosong. Maya mencoba meraih tangannya, tapi yang ada hanya udara kosong.“Ke mana Aidan? Tadi, dia ada di sini?” gumam Maya.“Aidan?” Zayn merasakan kekhawatiran itu. “Dia tidak di sini. Ayah dan ibumu sedang dalam perjalanan ke sini,” tutur Zayn sambil memencet tombol darurat untuk memanggil dokter.“Tapi, aku yakin Aidan di sini tadi. Aku melihatnya. Dia
“Kenapa Maya belum datang juga? Apa kau sudah bisa menghubunginya?” tanya Aidan dengan mata yang sedikit tertutup.“Dia belum bisa dihubungi,” ucap Reza. “Oh, mungkin dia sedang antre? Bukankah tadi dia bilang ingin membelikan kita camilan?” Reza berusaha mencairkan suasana.“Benar juga. Sudah, tidak perlu mencemaskannya,” sambung Lisa yang juga berusaha tenang, tidak ingin Aidan khawatir."Aku ngantuk sekali," ucap Aidan lirih sambil memejamkan mata.“Itu pasti karena obat. Kalau begitu, tidurlah,” kata Reza."Kalau Maya sudah datang, tolong katakan padanya untuk jaga diri baik-baik. Jangan menangis lagi. Aku ingin dia bahagia. Tolong kalian juga, jangan pernah meninggalkannya sendirian, selalu temani dia. Lalu, sampaikan juga bahwa aku senang pernah mencintainya. Aku bersyukur pernah menjadi orang yang dia cintai. Maaf untuk semua kesalahan yang pernah aku lakukan."Kalimat itu membuat Lisa, Ayren, dan Reza saling bertukar pandang, terkejut. “Ah, kau ini, melantur saja! Sudah, istir
Maya memutuskan tetap berada di sana, tidur di sofa, dan bangun lebih awal. Duduk di tepi ranjang dan pandangan tertuju pada sosok yang terbaring lemah, dengan tangan yang tergenggam erat.Bayangan masa lalu berkelebat, membawa kembali potongan kenangan yang begitu manis sekaligus menyakitkan. Rasa sesak tiba-tiba menyerang. Dada seperti ditekan oleh beban yang tak terlihat, membuat napas terasa berat. Tanpa disadari, air mata mulai mengalir deras, membasahi pipi."Kenapa menangis?" tanya Aidan dengan suara lemah.“Kau sudah bangun?”“Ada apa? Kenapa kau menangis?”"Aku ... aku tidak tahu. Aku juga bingung kenapa tiba-tiba menangis."“Maya, kau tidak perlu menahan semuanya sendiri. Aku di sini. Kalau kau merasa sedih atau takut, aku akan mendengarkan semua keluhanmu,” tutur Aidan sambil menghapus air mata yang membasahi wajah mantan istrinya itu.“Aidan, apa kau ingat kapan pertama kali kita b
“Aku tahu aku bersalah dan aku tidak akan pernah bisa mengganti apa yang hilang darimu, Rachel. Aku minta maaf.”Rachel memalingkan wajah, air mata masih mengalir tanpa henti. "Kau tahu apa yang paling menyakitkan? Aku bahkan tidak sempat mengatakan padanya tentang kehamilan ini. Dia pergi tanpa tahu bahwa aku membawa bagian dari dirinya."Tangan Maya perlahan terulur, menggenggam tangan Rachel dengan lembut. “Rachel, Hans pasti tidak pernah ingin melihatmu seperti ini, hidup dalam ketakutan dan kesedihan.”“Lalu, apa yang bisa aku lakukan sekarang selain bersembunyi? Aku tidak punya apa-apa lagi dan aku tidak bisa melakukan apapun lagi, Maya. Semua sudah hancur.”“Aku juga tidak tahu apa yang harus kita lakukan sekarang.”“Polisi pasti akan menangkapku juga. Selama ini aku melindungi ayahku, walau aku tidak melakukan apa yang dilakukan ayahku. Semua orang pasti berpikir aku sama jahatnya dengan ayahku.”“Polisi hanya menginginkan kesaksianmu. Kau tahu banyak tentang apa yang dilakuka
Perjalanan kembali ke Jakarta terasa seperti melewati waktu yang tak berujung. Setibanya di bandara, langkah mereka penuh tergesa, mengejar waktu yang seolah bergerak terlalu cepat. Mobil yang menjemput langsung melaju menuju rumah sakit tempat Aidan dirawat.Di lobi rumah sakit, Ayren dan Lisa sudah menunggu. Langkah Maya semakin cepat ketika melihat mereka. “Ayren, Lisa!” panggil Maya.“Kak Maya, Kak Reza? Akhirnya sampai juga,” ucap Ayren pelan, mencoba tersenyum untuk meredakan ketegangan.“Bagaimana keadaan Aidan?” tanya Maya dengan cemas.“Barusan, dokter bilang kondisi Kak Aidan sudah stabil. Tadi sempat drop karena sesak napas, tapi sekarang sudah normal lagi.”Maya menghela napas panjang, mencoba menghilangkan kegelisahan yang sempat mencekiknya. Tanpa berkata banyak, dia meminta izin untuk masuk ke ruangan. Di dalam kamar rawat, suasana terasa sunyi.Sosok yang terbaring di ranjang terlihat sangat lemah, wajahnya pucat dengan lingkar mata yang gelap. Melihat itu, hati Maya t