Pagi itu, Vivienne sedang bekerja seperti biasa bekerja di ruangannya.
Namun tiba-tiba datang seorang wanita cantik dan anggun, datang mendekat dan melangkah masuk dengan percaya diri. Wanita tersebut mengatakan ingin bertemu Xavier. Catherine dengan senyum tipis berkata "Aku ingin bertemu dengan Xavier. Sekarang." Vivienne dengan Tersenyum ramah menjawab "Maaf, Bu, apakah Anda memiliki janji temu dengan Pak Xavier?" Catherine Menyilangkan tangan di dada dan menjawab "Tidak, tapi dia pasti mau bertemu denganku. Beri tahu dia Catherine Windsor di sini." "Maaf, Bu, tapi Pak Xavier telah memberi instruksi untuk tidak diganggu oleh siapa pun saat ini." Jawab Vivienne lagi. Vivienne menolak dengan sopan, menjelaskan bahwa Xavier tidak ingin diganggu. Namun, wanita itu tetap bersikeras, lalu tiba-tiba menerobos masuk ke ruangan Xavier, berlari ke arahnya, dan memeluknya dengan manja. Catherine tertawa kecil "Ah, masa? Tapi aku yakin dia akan membuat pengecualian untukku." Catherine mengibaskan rambutnya dengan angkuh "Dia pasti mau bertemu denganku. Aku orang spesial." "Maaf, Bu, tapi Pak Xavier sudah memberikan instruksi untuk tidak diganggu siapa pun saat ini." Jawab Vivienne. Catherine menyeringai "Oh? Kau sekretarisnya, bukan? Seharusnya kau tahu tempatmu." Vivienne menjawab dengan tenang "Saya hanya menjalankan tugas saya, Bu." Catherine menghela napas dramatis, lalu tiba-tiba berjalan cepat melewati meja kerja Vivienne. Vivienne terkejut, tapi sebelum ia bisa menghentikannya, Catherine sudah mendorong pintu ruangan Xavier dan menerobos masuk. ** Di dalam ruang Xavier tengah membaca dokumen dengan serius. Ia mengangkat wajahnya dengan kaget saat Catherine tiba-tiba berlari ke arahnya dan langsung melingkarkan tangannya di lehernya. Catherine dengan suara lembut dan manja mengeluh "Xavier, aku kangen... Aku tadi ditahan di luar. Kau tahu, Sekretarismu itu sangat keras kepala." Vivienne muncul di ambang pintu, napasnya sedikit memburu. Ia menundukkan kepala dengan sopan. Vivienne dengan hati-hati menjawab "Maaf, Pak Xavier. Saya hanya menjalankan perintah Anda... Xavier diam. Tatapannya dingin, menusuk. Perlahan, ia melepaskan tangan Catherine dari tubuhnya, mencengkeram pergelangan tangannya dengan kasar Xavier dengan suara rendah, tajam seperti pisau "Keluar." Catherine tersentak "Apa?" Xavier mengeraskan suaranya "Aku bilang, keluar." Catherine menatap Xavier dengan mata melebar, lalu wajahnya berubah merah karena malu dan marah. Catherine dengan suara bergetar "Kau benar-benar... Aku tidak menyangka kau akan mempermalukanku seperti ini!" Dengan langkah kasar, Catherine berbalik ke arah Vivienne. Tanpa peringatan PLAK! tamparan keras mendarat di pipi Vivienne. Ruangan menjadi sunyi. Catherine dengan suara gemetar karena emosi "Ini karena kamu!" Vivienne tetap berdiri tegak, meski pipinya terasa perih dan matanya berkaca-kaca. Ia tidak menangis, tidak menunjukkan kelemahan. Sementara itu, Xavier berdiri dari kursinya, matanya berkilat marah.Xavier dengan suara yang kini dingin dan berbahaya "Catherine."
Catherine menoleh, masih dengan nafas memburu. Xavier dengan nada penuh ancaman "Keluar sekarang sebelum aku menyuruh security menyeretmu keluar." Catherine menggigit bibirnya, menahan rasa malu dan marah, lalu berbalik dan pergi dengan langkah cepat, membanting pintu di belakangnya. Setelah keheningan panjang, Xavier mendekati Vivienne. Ia melihat merah di pipinya, matanya yang masih sedikit bergetar. Lalu, tanpa berkata apa-apa, ia mengambil sapu tangan dari sakunya dan menyodorkannya pada Vivienne. Xavier dengan suara rendah "Kau baik-baik saja?" Vivienne mengambil sapu tangan dengan hati-hati, berusaha tersenyum "Saya baik-baik saja, Pak." Xavier menatapnya beberapa detik, lalu kembali ke kursinya, ekspresinya sulit ditebak. Sementara itu, Vivienne menghela napas panjang, menyentuh pipinya yang masih perih, dan kembali ke mejanya seperti biasa, seolah tidak terjadi apa-apa. *** Setelah kejadian beberapa hari lalu, Vivienne itu berusaha keras untuk menghindari kontak mata dan interaksi dengan Xavier. Dia merasa bersalah, takut, dan tidak nyaman. Insiden di mana tunangan Xavier menamparnya karena salah paham telah menyebabkan pertengkaran hebat antara pasangan itu. Dia tidak ingin menjadi ikut campur dalam hubungan mereka dan memilih menghindar. Sore itu, di sebuah kafe kecil yang tenang, Vivienne duduk di sudut, menyesap kopi sambil menatap jendela. Hujan rintik-rintik mulai turun, menciptakan suasana sendu yang seakan menggambarkan hatinya. Namun, ketenangan itu buyar saat seseorang menarik kursi di hadapannya. Ketika dia mengangkat wajah, napasnya tertahan. Xavier duduk di depannya, menatapnya dengan sorot mata yang sulit diartikan. Vivienne tersentak, ekspresi wajahnya berubah kaku dan canggung, membuat Xavier tersenyum kecil. Senyuman itu begitu samar, namun cukup untuk membuat dadanya berdebar tak menentu. Sadar akan reaksi dirinya sendiri, dia segera menundukkan kepala, wajahnya terasa panas. "Maaf atas kejadian yang lalu," ucap Xavier dengan suara rendah namun penuh penyesalan. "Kamu tidak perlu menjauhiku atau merasa bersalah. Semua itu terjadi bukan karena kesalahanmu, tetapi karena Catherine yang bertindak tanpa pikir panjang." Vivienne mencengkeram gelas kopinya lebih erat, tidak berani menatapnya. Hatinya berkecamuk, antara lega dan tetap merasa tidak nyaman. "Sebagai permintaan maaf, izinkan aku mengajakmu makan malam," lanjut Xavier, nada suaranya sedikit lebih lembut, seolah berharap dia menerima. Vivienne menggeleng cepat. "Terima kasih, Pak. Tapi saya sudah ada janji malam ini. Saya akan dijemput." Xavier terdiam sejenak, sorot matanya berubah, seolah ingin mengatakan sesuatu namun menahannya. Akhirnya, dia mengangguk pelan. "Baiklah... Hati-hati di jalan." Xavier bangkit dan berjalan keluar. Vivienne menghela napas berat, hatinya terasa lebih tenang, namun tetap ada sesuatu yang mengganjal. Saat dia keluar dari kafe, hujan sudah sedikit reda. Lalu, dia melihat seseorang menunggunya. Seorang pria menghampirinya, tersenyum hangat. Tanpa ragu, pria itu menariknya ke dalam pelukan singkat sebelum mereka masuk ke dalam mobil bersama. Di kejauhan, Xavier masih berada di dalam mobilnya. Matanya tak lepas dari sosok Vivienne yang kini sudah pergi bersama pria lain. Hujan yang menempel di jendela mobil membuat pandangannya sedikit buram, namun dia bisa merasakan sesuatu di dadanya yang semakin menyesakkan. Namun, dia tidak mengatakan apa pun. Dia hanya diam, menatap kosong ke arah jalanan yang semakin gelap, membiarkan perasaan asing itu merayapi dirinya dalam sunyi. *** Mobil melaju pelan di jalanan kota yang mulai lengang. Lampu-lampu jalan memantulkan cahaya ke kaca mobil, menciptakan bayangan yang bergerak di wajah wanita yang duduk di kursi penumpang. Sepanjang perjalanan, dia lebih banyak diam, hanya menatap ke luar jendela dengan tatapan kosong. Julian yang duduk di balik kemudi meliriknya sesekali. Ada sesuatu yang membuatnya gelisah. Biasanya, wanita itu akan bercerita tentang harinya, atau sekadar bersenandung mengikuti musik yang diputar di radio. Tapi malam ini berbeda "Kamu kenapa?" tanya pria itu akhirnya, suaranya lembut namun sarat dengan rasa ingin tahu. "Ada masalah?" Vivienne menoleh, tersenyum tipis, lalu menggeleng pelan. "Enggak, aku cuma capek. Banyak kerjaan di kantor. Aku pengen cepat pulang dan istirahat." Julian menatapnya sejenak, mencoba membaca ekspresinya. Namun, senyuman itu membuatnya ragu untuk bertanya lebih jauh. Dia menghela napas dan kembali fokus pada jalan, membiarkan keheningan kembali mengisi ruang di antara mereka. Sementara mobil terus melaju, pikiran wanita itu melayang ke kejadian di kafe tadi sore. Dia masih bisa merasakan atmosfer aneh yang terjadi. Saat dia sedang menikmati kopi sendirian, tiba-tiba atasannya datang menghampiri. Pria itu Xavier, yang selama ini dikenal dingin dan nyaris tak pernah berbicara selain urusan pekerjaan, kini berdiri di hadapannya dengan ekspresi yang berbeda senyum ramah dan suara hangat yang tidak biasa dan sesuatu yang nyaris mustahil dilakukan pria itu sebelumnya. Vivienne masih ingat bagaimana jantungnya berdetak kencang saat melihat senyuman atasannya. Pipinya terasa panas seketika. Dia bingung, bukan hanya karena perubahan sikap pria itu, tapi juga karena reaksi tubuhnya sendiri. Kemana perginya sifat dingin pria itu? Kenapa dia begitu berbeda hari ini? Mobil akhirnya berhenti di depan apartemennya. Vivienne segera membuka pintu dan turun. "Makasih udah nganterin. Aku masuk dulu, ya." ucap Vivienne Julian mengangguk pelan. "Istirahat yang cukup." Viviennne tersenyum sekali lagi sebelum berbalik dan masuk ke dalam apartemen. Pria itu tetap diam di dalam mobil, menatap punggungnya yang menghilang di balik pintu. Dia menghela napas, lalu menghidupkan mesin mobilnya lagi dan melaju pergi, meninggalkan gedung apartemen itu dalam sunyi. . . . To Be Continued Thank you for reading. If you enjoyed this, please consider giving a like. Any feedback or suggestions are welcome; feel free to leave your comments. ₍^. .^₎⟆ ₊˚⊹ ᰔDua minggu berlalu seperti mimpi. Roma, Florence, dan sedikit waktu di Venesia telah meninggalkan jejak yang sulit dilupakan bukan hanya di galeri foto ponselnya, tapi juga di hatinya.Pagi itu, pesawat mendarat di dengan guncangan ringan. Udara dingin khas New York langsung menyapa, menggantikan aroma kopi Italia dan udara dingin Eropa yang masih tersisa di ingatan.Gabriella menepuk bahunya saat mereka mengambil koper di conveyor belt."Kembali ke realita, Bu Vivienne."Vivienne tersenyum, tapi kali ini senyumnya bukan senyum lelah seperti dulu. Ada ketenangan, ada semangat.Ia merasa pulang sebagai versi dirinya yang berbeda lebih ringan, lebih berani.***Senin pagi di kantor, lorong terasa sama, tapi langkah Vivienne tidak lagi ragu. Rekan-rekan kerja menyapanya, beberapa bertanya tentang liburannya.Saat ia tiba di meja kerja, monitor komputernya sudah menyala. Belum sempat ia duduk, suara dalam yang dalam namun tenang terdengar dari arah belakang."Selamat datang kembali, Vivie
Malam hari Vivienne dan Gabriella sibuk memeriksa koper masing-masing. Suara resleting dan bunyi hentakan roda koper bergantian memenuhi apartemen kecil yang Vivienne tempati.Mereka akan berangkat ke Bandara besok pagi, untuk pergi liburan ketempat impian mereka berdua dari dulu yaitu Italia.Semua berawal dari pengajuan cuti sederhana. Awalnya, Vivienne hanya mengajukan tiga hari libur untuk melepas penat dan menikmati waktu bersama sahabatnya.Namun, saat Xavier, bosnya, mengabarkan bahwa cutinya disetujui, dan hal paling mengejutkan Vivienne gang membuat ia nyaris terjatuh dari kursi bukan hanya tiga hari, tapi dua minggu penuh.Lebih mengejutkan lagi, perusahaan memberinya uang tambahan untuk liburan.Sambil melipat dress terakhir ke dalam koper, Vivienne mengambil ponselnya. Jempolnya lincah mengetik pesan."Pak Xavier, terima kasih banyak atas izin cuti dan uang tambahan ini. Jujur, saya tidak menyangka. Ini di luar ekspektasi saya."Pesan terkirim, dan tak lama balasan datang.
Malam semakin larut, keheningan begitu terasa menyelimuti rumah itu. Vivienne duduk diam diruang tamu sendirian. Setelah obrolan singkat di ruang makan, Xavier langsung beranjak dari tempat makan dan bekata pelan."Saya akan kembali keruangan kerja, terima kasih atas makanannya. Kau bisa kembali ke kamar kalau mau istirahat."Tanpa banyak bicara, Xavier pergi menuju tangga dan menaikinya pelan.Vivienne duduk diam, menatap secangkir coklat hangat digenggamannya yang mulai dingin.Sunyi melingkupi ruangan, hanya suara detik jam yang terdengar pelan membuat Vivienne gelisah.Vivienne memikirkan kebaikan lelaki itu. Xavier dengan sangat baik memberikannya perawatan hingga tempat untuk istirahat dirumah pribadi nya, padahal dia hanya orang asing."Kenapa dia baik sekali? Apakah dia kasihan pada ku? Atau hanya tanggung jawab sebagai atasan?Pikirkan Vivienne yang begitu ribut ditengah keheningan.Vivienne menarik napas panjang, dan bangkit dari tempat duduk. Melangkah meninggalkan cangkir
Pagi itu, kantor sudah mulai sibuk. Suara keyboard berdenting, telepon berdering, namun langkah wanita itu begitu lesu dan pelan. Matanya sembab, wajahnya pucat. Vivienne, Semalam ia tidak tidur. Hatinya seperti disayat pisau yang tajam ia melihat kekasihnya makan malam bersama wanita lain dengan orang tua lelaki itu. Dan mereka membicarakan pertunangan.Meski tubuhnya lemah, Vivienne tetap masuk kerja. Ia membawa tumpukan berkas ke ruang CEO.Tiba-tiba, sebelum sempat mengetuk pintu, tubuhnya limbung.BRAKK!Tumpukan dokumen berhamburan saat tubuhnya jatuh.***POV Xavier"Apa itu tadi?"Langkahku cepat menuju pintu. Saat kubuka, mataku langsung tertuju pada sosok mungil itu. Vivienne jatuh tergeletak di depan pintuku."Vivienne!" seruku, setengah panik.Aku segera mengangkat tubuhnya. Ringan. Nafasnya pelan. Wajahnya pucat sekali.Kubawa dia ke ruang istirahat pribadiku, membaringkannya di sofa panjang.Kuambil ponsel dan menekan tombol cepat."Dr. Jack, tolong ke ruanganku sekaran
Minggu sore itu terasa tenang bagi Vivienne. Untuk pertama kalinya dalam seminggu, ia bisa bangun tanpa alarm, bersantai di tempat tidur sambil menonton serial favorit, dan menikmati secangkir teh hangat dari balkon apartemennya. Namun ketenangan itu tak bertahan lama.tiba-tibaBRRRRTT... BRRRRTT...Ponselnya bergetar di atas meja. Saat melihat nama yang tertera di layar, matanya langsung membulat.Xavier bosnya menelponnya. Dengan cepat ia mengangkat."Halo, Pak?""Vivienne, maaf mengganggu hari liburmu. Aku butuh laporan keuangan yang terakhir.Ada beberapa dokumen yang tertinggal di kantor. Tolong buat laporannya dan antar ke rumahku secepatnya, ya. Sangat penting untuk meeting besok pagi." ucap Xavier ditelpon."Baik, Pak..." Vivienne menjawab, meski dalam hati sedikit kaget. Bukan karena harus bekerja di hari Minggu, tapi karena ini pertama kalinya dia harus ke rumah bosnya.Dengan cepat ia segera bangkit dari tempat tidur, cepat-cepat mandi, berdandan seadanya, dan memeriksa ul
Pagi itu, Vivienne sedang bekerja seperti biasa bekerja di ruangannya.Namun tiba-tiba datang seorang wanita cantik dan anggun, datang mendekat dan melangkah masuk dengan percaya diri.Wanita tersebut mengatakan ingin bertemu Xavier. Catherine dengan senyum tipis berkata"Aku ingin bertemu dengan Xavier. Sekarang."Vivienne dengan Tersenyum ramah menjawab"Maaf, Bu, apakah Anda memiliki janji temu dengan Pak Xavier?"Catherine Menyilangkan tangan di dada dan menjawab"Tidak, tapi dia pasti mau bertemu denganku. Beri tahu dia Catherine Windsor di sini.""Maaf, Bu, tapi Pak Xavier telah memberi instruksi untuk tidak diganggu oleh siapa pun saat ini." Jawab Vivienne lagi.Vivienne menolak dengan sopan, menjelaskan bahwa Xavier tidak ingin diganggu.Namun, wanita itu tetap bersikeras, lalu tiba-tiba menerobos masuk ke ruangan Xavier, berlari ke arahnya, dan memeluknya dengan manja.Catherine tertawa kecil "Ah, masa? Tapi aku yakin dia akan membuat pengecualian untukku."Catherine mengibas