"Saya tidak menghampiri anda, karena ... saya bukan gadis murahan Yang Mulia!"
"Kau?!" Suaranya tertahan di tenggorokan. Kalimat yang keluar dari bibir Arlena membuat Raja Kael tak mampu untuk melanjutkan ucapannya. Dia tersihir dengan keberanian yang muncul dari dayang rendahan seperti Arlena. Kael menatap Arlena tajam, namun di balik amarahnya, ada sesuatu yang berbeda. Penolakan Arlena yang tegas dan lugas membuatnya tetap tegang. Sepanjang hidupnya, belum pernah ada wanita mana pun berani menolak keinginannya. Apalagi, undangan untuk berbagi ranjang dengannya. Ia adalah Raja, seorang penguasa mutlak, dan perintahnya adalah hukum. Namun, di hadapannya berdiri seorang dayang yang berani menantangnya. Untuk sesaat, ruangan itu dipenuhi ketegangan dan hening. Kael tidak bisa mengalihkan tatapannya dari Arlena. Ada sesuatu dalam cara gadis itu berbicara, ketenangan yang tidak seharusnya dimiliki oleh seseorang di posisinya. Bukan rasa takut, bukan kesombongan, melainkan keberanian yang tulus. Kael mengangkat tangannya, memberi isyarat kepada para pengawal. “Bawa dia ke penjara bawah tanah. Biarkan dia merenungkan kesalahannya di sana!” Arlena tidak menunjukkan tanda-tanda ketakutan. Ia hanya menundukkan kepala, menerima keputusan Raja tanpa perlawanan. Namun, di balik wajah tenangnya, pikiran berputar cepat. Ini kesempatan yang baik untuk merencanakan misi yang lama dia simpan. "Lepaskan! Aku bisa berjalan sendiri! Tidak perlu kalian seret seperti binatang!" sergah Arlne dengan tegas sambil melirik sekilas Raja Kael dengan bibir manyunnya. Oh Tuhan, wanita ini ... Membuat Raja Kael hampir tergelak dan kesal di saat yang bersamaan. Penjara bawah tanah istana adalah tempat yang suram. Dinding-dindingnya lembab dan dipenuhi lumut. Udara di sana dingin dan pengap, cahaya matahari tidak pernah menyentuh tempat itu. Ketika Arlena masuk, para tawanan lain menatap dengan penasaran. Mereka berdiri dan berjalan kearah jeruji. Mengamati Arlena dari atas hingga kebawah, tak ada yang berkedip. Namun, ada salah satu mereka yang tertarik dengan kedatangan Arlena. Meskipun dia tidak tahu apa yang membuatnya tertarik dengan dayang rendahan yang sedang di tawan. Di sudut ruangan, seorang pria tua dengan rambut abu-abu kusut itulah yang sejak awal memperhatikannya dengan mata yang tak beralih dari Arlena. Ada sesuatu dalam cara pria itu menatap Arlena, tampaknya dia mengenal Arlena. Namun, Arlena tidak memperhatikannya. Ia terlalu sibuk menenangkan pikiran dan menganalisis situasi. Mata sayu Arlena tak beralih dari tanah yang dia tapaki, meski tangannya dipegang oleh pengawal. Suara denting kunci yang beradu dengan lubangnya tak membuat Arlena merasa takut ataupun goyah sedikitpun. Tubuhnya didorong masuk hingga terjembab ke alas yang dingin dan keras. Tapi, wanita itu langsung berdiri tegap dan tampak berani. Setelah pintu sel terkunci, Arlena duduk di sudut ruangan. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Di tempat yang sunyi dan jauh dari keramaian istana, pikiran menjadi lebih jernih. Mungkin saja Arlena akan memanfaatkan waktu menyendirinya dengan baik disini. “Apa yang kamu lakukan di sini, gadis muda?” tanya pria tua itu dengan suara serak. Arlena menoleh, menatap pria itu dengan pemandangan tenang. “Saya hanya seorang dayang yang mencoba bertahan hidup.” Pria itu membuka matanya lebih tajam. Kemudian matanya menyipit, mencoba memahami siapa gadis yang ada di hadapannya saati ini. “Kau mengingatkanku pada seseorang... tapi mungkin itu hanya bayanganku.” Arlena tipis tersenyum. “Barangkali.” Namun, jauh di lubuk hatinya, Arlena tahu bahwa pria itu mungkin mengenal masa lalunya—masa lalu yang berusaha ia lupakan. Meskipun terkurung, Arlena tidak sepenuhnya terisolasi. Ia memiliki cara untuk tetap berkomunikasi dengan klannya. Melalui kepala dapur, yang diam-diam adalah salah satu anggota klannya, ia mengirim pesan-pesan rahasia. Untunglah, kepala dapur itu memiliki seorang keponakan yang juga bekerja sebagai penjaga di penjara bawah tanah. “Bagaimana keadaanmu?” tanya kepala dapur ketika dia mengirimkan makanan ke penjara. Arlena tersenyum kecil. “Aku baik-baik saja. Penjara ini lebih tenang daripada istana. Aku bisa berpikir dengan jernih di sini.” Kepala dapur mengangguk. “Kami menunggu perintahmu. Apa langkah selanjutnya?” Arlena berpikir sejenak sebelum menjawab. “Kita harus terus bersabar. Aku akan mengawasi pergerakan Raja dari sini. Ketika waktunya tiba, kita akan bertindak.” "Baik. Tetap jaga dirimu sendiri, saat ini kami belum bisa berbuat banyak," lirih kepala dapur. "Tenang saja, justru ini adalah awal." Kepala dapur mengangguk lagi sebelum pergi, meninggalkan Arlena sendiri. Hari-hari berlalu, dan Kael terus menunggu. Ia yakin bahwa Arlena akan menyerah. Gadis itu hanyalah seorang dayang, dan siapa yang bisa bertahan lama di penjara bawah tanah yang dingin dan suram? Namun, dugaannya salah. Setiap laporan yang diterimanya dari para penjaga hanya membuatnya semakin kecewa. “Dia tetap tenang, Yang Mulia,” lapor salah satu penjaga. “Dia tidak menunjukkan tanda-tanda ketakutan atau penyesalan.” Kael menggenggam tangannya. Ia tidak pernah merasakan semarah ini sebelumnya. Bukan karena penolakan Arlena, tapi karena rasa penasaran yang semakin menguasai pikiran. Apa yang sebenarnya ada di pikiran gadis itu? Akhirnya, setelah beberapa hari yang panjang, Kael memutuskan untuk datang sendiri ke penjara bawah tanah. Ia ingin mendengar langsung dari Arlena. Bahkan baru kali ini Raja, seolah memohon kepada seorang gadis yang sama sekali belum pernah terlintas di bayangannya. Hanya dayang rendahan, tapi dia bisa membuat Raja berjalan menutupi rasa penasaran dengan otoriternya. Ketika Raja Kael sampai di penjara bawah tanah, semua penjaga terkejut. Karena baru kali ini mereka melihat Raja turun langsung ke sana. "Masalah seberat apa yang membuat Raja seperti ini?" batin salah satu penjaga. Ketika pintu sel terbuka, Arlena sedang duduk di sudut, matanya terpejam seolah-olah dia sedang bermeditasi. Ketika ia mendengar suara langkah kaki, ia membuka matanya dan berdiri. Kael melangkah masuk, meletusnya tajam. “Kenapa kamu tidak mau melayaniku?” tanyanya langsung, suaranya dingin. Arlena hanya menatap tanpa menjawab. Kael lanjutkan, suaranya semakin keras. “Apa yang kamu inginkan? Aku bisa memberi apa saja yang kamu mau. Bahkan seluruh negeri ini bisa kuberikan kepadamu, jika kau mau melayaniku.” Arlena tersenyum kecut, senyuman yang membuat Kael semakin penasaran. “Yang Mulia Raja,” ucapnya perlahan. “Saya, tidak menginginkan seluruh negeri ini.” Kael mengerutkan kening. “Lalu apa yang kamu inginkan?” Arlena menatap Kael dengan mata penuh keyakinan. “Saya ingin…” Kael menahan napas, menunggu kata-kata berikutnya. Arlena melanjutkan dengan tenang, “Saya ingin sesuatu yang tidak bisa Anda beli dengan kekuasaan dan harta.” Kael tertegun. Kata-kata itu terus terngiang di kepalanya, membuatnya semakin mau gila karena harus menunggu permintaan wanita di hadapannya itu. "Maka katakan! Apa yang kau inginkan!" desis Raja Kael setengah frustasi sambil menatap tajam Arlena. "Saya ingin anda untuk ...,"Pagi datang perlahan, menembus kaca jendela dengan sinar keemasan yang lembut. Arlena membuka matanya, duduk diam di ranjang dengan pikiran masih melayang ke malam sebelumnya. Tatapan Kael... entah kenapa membuat dadanya sesak, tapi juga hangat di waktu yang sama. “Kenapa sih bisa serumit ini?” gumamnya sambil menarik nafas panjang. Di luar, persiapan untuk seleksi permaisuri sudah mulai terasa riuh. Para pelayan lalu lalang, membawa daftar nama, mengatur undangan, bahkan taman depan istana mulai dihias dengan bunga dan pita emas. Rasanya seperti pesta besar sedang direncanakan. Di ruangan lain, Lady Mirana sedang duduk di depan meja riasnya, dengan wajah penuh percaya diri. “Aku harus terlihat mempesona. Tidak boleh ada yang lebih mencolok dariku,” katanya sambil melirik pantulan dirinya di cermin. “Aku akan jadi permaisuri. Dan itu tak bisa diganggu gugat.” Tak lama, pintu diketuk. Pelayan masuk dan membisikkan bahwa Menteri Keuangan menunggu di halaman belakang. Mirana
Di ruang belakang sebuah penginapan tua yang biasa dikunjungi pedagang dan petualang, Lior duduk sendirian. Wajahnya lelah, pakaiannya masih berdebu, dan cangkir tehnya sudah dingin sejak tadi. Tangannya menopang dagu, dan matanya menatap kosong ke arah lantai kayu yang berderit setiap kali seseorang lewat. Ia belum kembali ke istana, memilih diam sejenak, jauh dari keramaian dan sorotan mata para bangsawan. Pintu berderit pelan. Seorang pria masuk, mengenakan jubah lusuh, duduk di depannya tanpa diundang. Ia adalah pria yang pernah menyelamatkan Lior dari sergapan beberapa hari lalu. “Kau selalu muncul tanpa aba-aba,” gumam Lior tanpa mengangkat kepala. “Aku hanya muncul saat kau butuh bantuan. Seperti sekarang.” Pria itu menyeringai, suaranya tenang namun menusuk. “Kau terlihat seperti baru saja kehilangan arah.” “Bukan arah,” balas Lior pelan. “Tapi kepercayaan. Semuanya mulai terasa kacau. Yang baik ternyata menyimpan niat jahat, yang tampak jahat kadang justru satu-satunya ya
Istana kerajaan mulai berubah wajah. Sejak pengumuman resmi tentang seleksi permaisuri, segala sudut tampak dipoles ulang. Kain-kain sutra baru tergantung di lorong utama, patung-patung dibersihkan hingga mengilap, dan taman kerajaan dipenuhi bunga-bunga yang baru mekar dari penjuru negeri. Istana tidak lagi hanya menjadi pusat pemerintahan, tapi kini juga menjadi pusat harapan, ambisi, dan permainan yang penuh intrik. Pelayan-pelayan sibuk menyiapkan aula utama untuk menyambut hari pendaftaran. Sebuah meja panjang berlapis kain beludru merah dipasang di depan aula, di mana para calon akan datang membawa dokumen, silsilah keluarga, serta surat rekomendasi dari bangsawan atau pejabat tinggi. Di belakang meja itu akan duduk tiga orang pejabat yang ditunjuk langsung oleh Ibu Suri—dua di antaranya dikenal sangat loyal kepada beliau, dan satu orang lagi adalah sekutu Menteri Keuangan. Brosur kecil mulai tersebar di kalangan para keluarga bangsawan. Di dalamnya tertera syarat-syarat uta
Malam itu, langit istana diselimuti awan tebal. Angin bertiup pelan, membawa aroma bunga dari taman dalam. Raja Kael duduk sendiri di balkon kamarnya, memandangi halaman luas kerajaan yang tampak tenang namun penuh ketegangan. Suara ketukan pelan di pintu membuyarkan lamunannya. "Masuk," ucapnya tanpa menoleh. Dayang Ibu Suri masuk dan membungkuk sopan. "Paduka Ibu Suri memohon audiensi malam ini. Beliau menunggu di taman dalam." Kael mengangguk pelan. "Aku akan datang." Beberapa saat kemudian, Kael berjalan melewati lorong-lorong istana, lalu tiba di taman dalam. Ibu Suri sudah duduk di kursi batu di bawah pohon magnolia tua. Cahaya lentera di sekelilingnya memantulkan bayangan lembut di wajah beliau. “Kael,” sapanya dengan suara tenang namun tajam. “Aku mendengar kau belum memberikan tanggapan apapun pada usulan para menteri.” “Apa mereka datang padamu?” tanya Kael langsung. “Mereka khawatir. Dan sejujurnya, begitu juga aku,” jawab Ibu Suri, menatapnya dalam. “Kau Raja
Malam makin pekat, kabut turun pelan menyelimuti jalanan berbatu yang mereka lewati. Langkah Arlena dan Rion semakin cepat ketika suara langkah kuda terdengar dari arah belakang, jauh tapi ritmenya konstan. Rion langsung menarik Arlena ke sisi jalan dan bersembunyi di balik dinding rumah tua yang sudah hampir roboh. “Kita sedang dibuntuti,” bisik Rion, matanya tajam menatap dari celah bayangan. Arlena mengangguk pelan. Jantungnya berdegup keras, tapi dia menahannya, tak ingin terlihat panik. Kuda itu lewat, penunggangnya memakai jubah gelap, tak memperhatikan sekitar. Setelah yakin aman, mereka melanjutkan perjalanan. Tujuan Arlena malam itu adalah rumah seorang tukang catat tua yang konon pernah membantu Ayahnya dulu—pria itu menyimpan banyak dokumen tentang sejarah lama kerajaan, termasuk aktivitas tersembunyi para klan. Namun, saat mereka sampai di rumah itu, suasana terasa aneh. Pintu depan tidak terkunci, dan ketika Rion mendorongnya perlahan, mereka mendapati isi rumah ber
Lior kembali ke istana dalam keadaan lelah, namun dia tetap menjaga sikapnya saat berjalan menuju ruang kerja Raja Kael. Setelah mendapatkan izin masuk, dia langsung memberi hormat. Raja Kael menatap tajam. “Bagaimana?” Lior menghela napas. "Saya sudah menemukan jejaknya, Yang Mulia.Tetapi masalahnya lebih rumit dari yang kita duga. Ada lebih banyak pihak yang terlibat, dan mereka tidak akan membiarkan kita menemukan kebenaran dengan mudah." Raja Kael menyandarkan punggung ke kursi. “Jadi kamu belum mendapatkan informasi lengkap?” "Saya hanya menemukan potongan-potongan informasi, tetapi belum cukup untuk mengambil kesimpulan. Saya ingin meminta izin untuk melanjutkan perjalanan. Saya berjanji akan kembali setelah menemukan jawaban yang kami butuhkan." Raja Kael menatap Lior dengan ekspresi sulit ditebak, lalu mengangguk pelan. "Baiklah. Aku memberi izin, tapi tetap berhati-hati. Musuh kita bergerak dalam bayangan." Lior memberi hormat sebelum meninggalkan ruangan dengan l