Arlena berdiri di depan pintu besar kamar Raja Kael. Udara di koridor terasa dingin, meski sinar matahari pagi mulai menghangatkan istana. Jantungnya berdegup keras, gemetar di antara rasa takut dan cemas. Lima menit berlalu.
Namun tidak ada panggilan, tidak ada suara. Hening, dan semakin hening meskipun banyak penjaga di sekitarnya. “Apa, aku telah membuatnya murka?” pikir Arlena. Mungkin Raja Kael telah memutuskan bahwa ia tidak layak. Bahkan, untuk mendapatkan teguran langsung. Ia menunduk, menatap lantai yang dingin di bawah kakinya. Pikiran bahwa dirinya sudah tidak pantas untuk melayani Raja menghantam dirinya seperti gelombang dingin. Namun, sebelum dia sempat melangkah pergi, seorang kasim muncul dari sisi lain koridor. Wajahnya tenang, tapi suaranya tegas. “Dayang, Yang Mulia Raja memanggilmu ke dalam ruangan. Sekarang!" Arlena membeku. Tenggorokannya tercekat. “K-ke kamar Raja?” gumamnya nyaris tak terdengar. Kasim itu hanya mengangguk singkat, lalu membuka pintu besar di depannya tanpa memberi kesempatan untuk protes. Dengan langkah ragu, Arlena memasuki ruangan yang megah. Karpet tebal berwarna biru tua membentang dari pintu hingga ke singgasana kecil di sudut ruangan. Tirai sutra berwarna emas bergoyang lembut tertiup angin pagi. Di tengah ruangan, Raja Kael berdiri membelakangi pintu, memandang keluar jendela besar yang menampilkan pemandangan taman istana. “Yang Mulia,” suara Arlena bergetar ketika ia membungkuk rendah. Kael tidak langsung berbalik. Hening yang tegang memenuhi ruangan. Akhirnya, dia berbicara, suaranya rendah dan dingin. “Kau membuat masalah pagi ini.” Arlena mengangkat kepalanya sedikit, meskipun tubuhnya tetap membungkuk. “Ampun, Yang Mulia. Saya tidak bermaksud membuat masalah.” Kael berbalik perlahan, matanya yang tajam menyapu sosok Arlena dari kepala hingga kaki. Ia tampak tenang, walau ada kilatan amarah di matanya. “Tidak bermaksud, katamu? Lalu kenapa calon permaisuriku, Lady Mirana, datang dengan wajah merah padam, melaporkan bahwa seorang dayang berani menantangnya di koridor?” Arlena terkejut mendengar nada ancaman dalam suaranya, tapi dia berusaha tetap tenang. “Yang Mulia, saya hanya menjalankan tugas saya. Yang mulia Lady Mirana... yang memulai pertikaian.” Kael melangkah maju, suaranya meninggi. “Kau menuduh calon permaisuriku memulai masalah? Beraninya kau bicara seperti itu!” “Saya tidak bermaksud tidak hormat, Yang Mulia,” jawab Arlena cepat. “Tapi, Lady Mirana yang memulai lebih dulu. Saya tidak melakukan apa pun untuk memprovokasinya.” Kael mengangkat tangannya, menunjuk ke arah Arlena dengan gerakan tajam. “Cukup! Kau pikir, aku peduli siapa yang memulai? Kau membuat masalah di pagi hari, dan aku membencinya!” Arlena menundukkan kepalanya. Ia tahu, apa pun yang ia katakan hanya akan memperburuk situasi. Kael mendekat, langkahnya berat dan penuh tekanan. Ia berhenti tepat di depan Arlena, menunduk sedikit sehingga wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Arlena. "Siapa namamu dayang rendahan?" tanya Raja Kael dengan sorot mata yang semakin terasa menusuk. "Arlena, Yang Mulia," jawab Arlena lirih. Raja Kael perlahan menjauh dari wajah Arlena. “Kau tahu, Arlena,” suaranya berbisik, tapi nadanya tajam. “Aku adalah Raja. Aku bebas menghukum siapa saja yang menggangguku ... termasuk kau!” Arlena menahan napas. Jantungnya berdebar kencang, tapi ia berusaha menatap Kael dengan mata yang penuh keberanian. “Yang Mulia, saya tidak bermaksud mengganggu Anda. Jika ada yang mengganggu, itu bukan saya.” Kael bertanya-tanya, seolah tidak percaya dengan keberanian Arlena. Ia kembali meninggikan suaranya. “Kau pikir kau bisa berbicara seperti itu padaku dan lolos begitu saja? Kau pikir aku tidak bisa menjatuhkan hukuman padamu?” “Saya hanya mengatakan kebenaran, Yang Mulia,” jawab Arlena, meskipun suaranya mulai bergetar. “Jika itu dianggap salah, maka hukumlah saya.” Kael tertawa kecil, tapi tidak ada kehangatan dalam tawanya. “Kebenaran? Kau tahu apa yang bisa kulakukan padamu karena ini?” Arlena tetap diam, menunggu kata-kata berikutnya yang keluar dari mulut Raja. “Aku bisa memenggal kepalamu sekarang juga,” ucap Kael, suaranya rendah dan penuh ancaman. Kata-kata itu membuat Arlena membeku. Wajahnya pucat, dan tubuhnya gemetar. Ia jatuh bersujud di depan Kael, menyujudkan kepalanya hingga hampir menyentuh lantai. “Ampuni saya, Yang Mulia. Saya tidak bermaksud untuk melawan Anda.” Kael menatapnya dengan ekspresi dingin. Ia membiarkan suasana menggantung di ruangan itu, menciptakan ketegangan yang hampir tidak terganggu. Lalu, dengan suara yang lebih rendah dan tetap penuh otoritas, ia berkata, “Jika kau tidak mau mati... habiskan satu malam bersamaku.” Kata-kata yang menggema di ruangan itu, membuat Arlena tertegun. Ia mendongak perlahan, menatap Kael dengan mata yang membelalak. Ia tidak menemukan belas kasih di wajah Raja, hanya tatapan dingin yang penuh kekuasaan. *** Setelah Raja selesai berbicara, ia melangkah mundur, memberikan jarak beberapa langkah. “Apa yang kau tunggu? Kau tidak punya banyak pilihan. Hidupmu ada di tanganku.” Arlena masih bersujud, berbisik bergetar. “Yang Mulia… kenapa saya?” Kael mendekat kembali, menunduk hingga wajahnya sejajar dengan Arlena yang masih di lantai. “Karena aku bisa,” jawabnya singkat. “Dan karena aku ingin mengetahui sejauh mana keberanianmu. Kau bicara tentang kebenaran, tapi aku ingin tahu apakah kau akan tetap yakin itu ketika nyawamu dipertaruhkan.” Arlena menggigit bibirnya, matanya mulai memanas oleh air mata yang ia tahan. Tubuhnya gemetar tanpa kendali, tetapi ia tidak berani menjawab. Kael menatapnya dengan ekspresi dingin. Ia membiarkan keheningan menggantung di ruangan itu, menciptakan ketegangan yang hampir tak tertahankan. Lalu, dengan suara yang lebih rendah dan tetap penuh otoritas, ia berkata, “Kau akan datang ke kamarku malam ini. Aku tidak ingin mendengar alasan atau penolakan. Kau tahu apa yang terjadi jika kau tidak menuruti perintahku.” Arlena hanya bisa mengangguk kecil, tidak berani menatap wajah Raja lagi. Ketika Kael melangkah pergi, punggungnya yang tegap tampak seperti bayangan gelap yang menutupi seluruh ruangan. Malam itu, Raja Kael duduk di singgasananya, matanya menatap jam pasir yang hampir habis. Ruangan itu sunyi, hingga Raja bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Namun, hingga pasir terakhir jatuh, Arlena tidak juga datang. Kael berdiri, kemarahannya meluap. “Di mana dayang itu?” suaranya menggema di ruangan, membuat para kasim yang berada di dekat pintu terkejut. Seorang kasim maju dengan kepala tertunduk. “Yang Mulia, kami tidak menemukannya di kamarnya.” Kael mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. “Beraninya dia! Dia pikir dia bisa menentangku?” Ia melangkah ke depan, suaranya menggelegar. “Panggil pasukan! Seret dia ke sini sekarang juga!” Para pengawal bergerak cepat, meninggalkan ruangan dengan tergesa-gesa. Sementara itu, Kael berjalan mondar-mandir, pikirannya dipenuhi amarah. “Dayang rendahan itu... dia pikir dia siapa?” gumamnya dengan suara rendah, namun penuh kemarahan. Penangkapan Arlena tidak butuh waktu lama bagi para pengawal untuk menemukan Arlena. Ia sedang berada di dapur, membantu menyiapkan makanan untuk para dayang lain, seolah-olah tidak ada yang terjadi. “Dayang Arlena, kau diperintahkan untuk datang ke hadapan Raja sekarang juga!” teriak salah satu pengawal. Arlena mendongak, wajahnya tetap tenang meskipun ia tahu apa yang akan terjadi. Ia tidak melawan ketika mereka menggenggam lengannya dan menyeretnya keluar dari dapur. Ketika Arlena diseret masuk ke dalam kamar Raja, Kael sudah berdiri di tengah ruangan, matanya menyala-nyala dengan amarah. “Kau membiarkan seorang Raja menunggu dayang murahan sepertimu?!” amuk Kael, suaranya menggema di ruangan. Arlena mendongakkan wajahnya yang memerah, meskipun terengah-engah setelah diseret, ia tampak menegakkan tubuhnya. Ia menatap Raja dengan mata penuh keberanian. “Saya tidak menghampiri anda, karena ... Saya bukan gadis murahan, Yang Mulia!” "Kau!"Pagi datang perlahan, menembus kaca jendela dengan sinar keemasan yang lembut. Arlena membuka matanya, duduk diam di ranjang dengan pikiran masih melayang ke malam sebelumnya. Tatapan Kael... entah kenapa membuat dadanya sesak, tapi juga hangat di waktu yang sama. “Kenapa sih bisa serumit ini?” gumamnya sambil menarik nafas panjang. Di luar, persiapan untuk seleksi permaisuri sudah mulai terasa riuh. Para pelayan lalu lalang, membawa daftar nama, mengatur undangan, bahkan taman depan istana mulai dihias dengan bunga dan pita emas. Rasanya seperti pesta besar sedang direncanakan. Di ruangan lain, Lady Mirana sedang duduk di depan meja riasnya, dengan wajah penuh percaya diri. “Aku harus terlihat mempesona. Tidak boleh ada yang lebih mencolok dariku,” katanya sambil melirik pantulan dirinya di cermin. “Aku akan jadi permaisuri. Dan itu tak bisa diganggu gugat.” Tak lama, pintu diketuk. Pelayan masuk dan membisikkan bahwa Menteri Keuangan menunggu di halaman belakang. Mirana
Di ruang belakang sebuah penginapan tua yang biasa dikunjungi pedagang dan petualang, Lior duduk sendirian. Wajahnya lelah, pakaiannya masih berdebu, dan cangkir tehnya sudah dingin sejak tadi. Tangannya menopang dagu, dan matanya menatap kosong ke arah lantai kayu yang berderit setiap kali seseorang lewat. Ia belum kembali ke istana, memilih diam sejenak, jauh dari keramaian dan sorotan mata para bangsawan. Pintu berderit pelan. Seorang pria masuk, mengenakan jubah lusuh, duduk di depannya tanpa diundang. Ia adalah pria yang pernah menyelamatkan Lior dari sergapan beberapa hari lalu. “Kau selalu muncul tanpa aba-aba,” gumam Lior tanpa mengangkat kepala. “Aku hanya muncul saat kau butuh bantuan. Seperti sekarang.” Pria itu menyeringai, suaranya tenang namun menusuk. “Kau terlihat seperti baru saja kehilangan arah.” “Bukan arah,” balas Lior pelan. “Tapi kepercayaan. Semuanya mulai terasa kacau. Yang baik ternyata menyimpan niat jahat, yang tampak jahat kadang justru satu-satunya ya
Istana kerajaan mulai berubah wajah. Sejak pengumuman resmi tentang seleksi permaisuri, segala sudut tampak dipoles ulang. Kain-kain sutra baru tergantung di lorong utama, patung-patung dibersihkan hingga mengilap, dan taman kerajaan dipenuhi bunga-bunga yang baru mekar dari penjuru negeri. Istana tidak lagi hanya menjadi pusat pemerintahan, tapi kini juga menjadi pusat harapan, ambisi, dan permainan yang penuh intrik. Pelayan-pelayan sibuk menyiapkan aula utama untuk menyambut hari pendaftaran. Sebuah meja panjang berlapis kain beludru merah dipasang di depan aula, di mana para calon akan datang membawa dokumen, silsilah keluarga, serta surat rekomendasi dari bangsawan atau pejabat tinggi. Di belakang meja itu akan duduk tiga orang pejabat yang ditunjuk langsung oleh Ibu Suri—dua di antaranya dikenal sangat loyal kepada beliau, dan satu orang lagi adalah sekutu Menteri Keuangan. Brosur kecil mulai tersebar di kalangan para keluarga bangsawan. Di dalamnya tertera syarat-syarat uta
Malam itu, langit istana diselimuti awan tebal. Angin bertiup pelan, membawa aroma bunga dari taman dalam. Raja Kael duduk sendiri di balkon kamarnya, memandangi halaman luas kerajaan yang tampak tenang namun penuh ketegangan. Suara ketukan pelan di pintu membuyarkan lamunannya. "Masuk," ucapnya tanpa menoleh. Dayang Ibu Suri masuk dan membungkuk sopan. "Paduka Ibu Suri memohon audiensi malam ini. Beliau menunggu di taman dalam." Kael mengangguk pelan. "Aku akan datang." Beberapa saat kemudian, Kael berjalan melewati lorong-lorong istana, lalu tiba di taman dalam. Ibu Suri sudah duduk di kursi batu di bawah pohon magnolia tua. Cahaya lentera di sekelilingnya memantulkan bayangan lembut di wajah beliau. “Kael,” sapanya dengan suara tenang namun tajam. “Aku mendengar kau belum memberikan tanggapan apapun pada usulan para menteri.” “Apa mereka datang padamu?” tanya Kael langsung. “Mereka khawatir. Dan sejujurnya, begitu juga aku,” jawab Ibu Suri, menatapnya dalam. “Kau Raja
Malam makin pekat, kabut turun pelan menyelimuti jalanan berbatu yang mereka lewati. Langkah Arlena dan Rion semakin cepat ketika suara langkah kuda terdengar dari arah belakang, jauh tapi ritmenya konstan. Rion langsung menarik Arlena ke sisi jalan dan bersembunyi di balik dinding rumah tua yang sudah hampir roboh. “Kita sedang dibuntuti,” bisik Rion, matanya tajam menatap dari celah bayangan. Arlena mengangguk pelan. Jantungnya berdegup keras, tapi dia menahannya, tak ingin terlihat panik. Kuda itu lewat, penunggangnya memakai jubah gelap, tak memperhatikan sekitar. Setelah yakin aman, mereka melanjutkan perjalanan. Tujuan Arlena malam itu adalah rumah seorang tukang catat tua yang konon pernah membantu Ayahnya dulu—pria itu menyimpan banyak dokumen tentang sejarah lama kerajaan, termasuk aktivitas tersembunyi para klan. Namun, saat mereka sampai di rumah itu, suasana terasa aneh. Pintu depan tidak terkunci, dan ketika Rion mendorongnya perlahan, mereka mendapati isi rumah ber
Lior kembali ke istana dalam keadaan lelah, namun dia tetap menjaga sikapnya saat berjalan menuju ruang kerja Raja Kael. Setelah mendapatkan izin masuk, dia langsung memberi hormat. Raja Kael menatap tajam. “Bagaimana?” Lior menghela napas. "Saya sudah menemukan jejaknya, Yang Mulia.Tetapi masalahnya lebih rumit dari yang kita duga. Ada lebih banyak pihak yang terlibat, dan mereka tidak akan membiarkan kita menemukan kebenaran dengan mudah." Raja Kael menyandarkan punggung ke kursi. “Jadi kamu belum mendapatkan informasi lengkap?” "Saya hanya menemukan potongan-potongan informasi, tetapi belum cukup untuk mengambil kesimpulan. Saya ingin meminta izin untuk melanjutkan perjalanan. Saya berjanji akan kembali setelah menemukan jawaban yang kami butuhkan." Raja Kael menatap Lior dengan ekspresi sulit ditebak, lalu mengangguk pelan. "Baiklah. Aku memberi izin, tapi tetap berhati-hati. Musuh kita bergerak dalam bayangan." Lior memberi hormat sebelum meninggalkan ruangan dengan l