Share

Cinta Dalam Kekuasaan
Cinta Dalam Kekuasaan
Penulis: Arto Moro

Keributan Pagi

Penulis: Arto Moro
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-06 21:39:28

"Berikan ini pada Raja! Ingat, kau harus mengantarkannya sendiri, tidak boleh ada yang menggantikan mu. Kau paham, Arlena?" titah seorang kepala sayang dapur padanya. 

"Baik, Bibi," jawab Arlena sambil menelan salivanya dengan gugup.

"Tunggu! Sini, pakai gincu ini. Pastikan dia melihat wajahmu. Ingat, Arlne, kau di sini untuk sebuah misi. Kau harus memastikan, pagi ini, Yang Mulia melihat jelas wajahmu. Camkan itu baik-baik!" tegas kepala sayang dapur itu dengan tubuh gemetar. 

Mereka tidak memiliki waktu lagi, Arlena adalah satu-satunya senjata dan harapan baru klan mereka. 

Saat itu, fajar baru saja menyentuh langit Arathia ketika Arlena melangkah hati-hati di koridor istana. 

Nampan perak yang ia bawa berisi sarapan pagi untuk Raja Kael, lengkap dengan roti panggang madu dan teh herbal yang hangat. Aroma manis dan menenangkan memenuhi udara.

Namun langkahnya terhenti tiba-tiba.

Di hadapannya berdiri Lady Mirana, mengenakan gaun mewah berwarna merah darah, dadanya dihiasi renda halus dan taburan permata kecil di tepinya. Rambutnya yang disanggul rapi tampak sempurna, dengan lengkungannya dingin seperti pedang.

“Tunggu! Apa yang kamu kenakan?” suara Mirana memecah keheningan. 

Matanya menelisik tubuh dan wajah Arlena dari atas sampai bawah. Ia sangat terganggu dengan gincu tipis menenggelamkan kesan sederhana dari gaun dayang yang dikenakan gadis ini.

"Menggunakan gincu saat membawakan sarapan untuk Raja? Kau pelayan, atau seorang jalang!" Mirana mencibir, senyumnya tipis, tapi itu bukan senyum ramah.

Mirana tersenyum sinis, lalu  tangan lentiknya menunjuk ke salah satu dayangnya. "Ambil nampan itu darinya. Aku sendiri yang akan membawanya. Raja tidak perlu melihat dayang murahan seperti dia."

Arlena menunduk semakin dalam, mencoba mengurungkan kegelisahannya. 

"Maaf, Yang Mulia Lady Mirana. Saya diwajib mengantar sendiri dan memastikan makanan ini aman untuk Raja."

Dayang Mirana maju dengan langkah tegas. "Kau tidak tau sedang menjawab siapa yah?! Berikan!" bentak dayang bertubuh tambun itu.

Arlena mundur beberapa langkah, tetap berusaha memegang nampan erat di tangannya.

"Maafkan saya, Yang Mulia, tapi ini adalah perintah langsung dari kepala dapur. Saya tidak bisa menyerahkan tugas ini kepada siapa pun."

Penolakan itu membuat wajah Mirana memerah karena amarah. Dengan gerakan cepat, ia menggenggam tangannya, menepis bahu Arlena dengan kasar. 

"Beraninya kau melawan aku! Kau tidak tau siapa aku?! Aku adalah calon permaisuri kerajaan ini. Aku adalah wanita yang dipilih langsung oleh ibu suri untuk mendampingi Yang Mulia Raja! Berikan!" teriaknya sambil sekali lagi mendorong tubuh Arlena dengan kasar hingga membentur tembok.

Arlena terhuyung ke belakang, tetapi ia berusaha keras menjaga agar nampan di tangannya tetap stabil. 

"Maafkan saya, calon Permaisuri. Tapi, ini adalah tugas saya sebagai dayang istana raja." Arlena masih berusaha untuk memberikan pengertian, jika dia hanya menjalankan tugasnya. 

"Kau pikir kau siapa? Kau bukan menjalankan tugas! Lihatlah bibirmu itu! Seorang dayang rendahan ingin terlihat menarik di depan Raja? Jangan bermimpi!" Mirana memaki dengan nada tinggi, membuat para pelayan dan penjaga yang mengintip dari sudut ruangan semakin tegang. 

"Yang Mulia, saya hanya menjalankan tugas. Saya tidak memiliki niat apa pun selain itu," terdengar bergetar, tetapi ia berusaha tegar.

Mirana berteriak, kali ini lebih keras. "Kau pikir, aku akan percaya? Tidak ada dayang di sini yang berani macam-macam denganku! Hanya kau, Jalang hina!" Ia mengangkat tangannya, seolah hendak menampar Arlena.

Namun, gerakan itu berhenti secara tiba-tiba ketika suara langkah berat terdengar mendekat. 

Raja Kael keluar dari kamarnya. Ia mengenakan jubah tidur mewah berwarna biru tua, dengan bordiran emas yang menghiasi tepiannya. Kainnya yang terbuat dari sutra terbaik dari negeri seberang, hingga memantulkan cahaya pagi, menambah kesan megah pada sosoknya yang tinggi dan tegap.

Rambut hitamnya, rapi berkilau dan wajahnya tenang memancarkan aura otoritas dan dominasi yang mencekam.

Mirana segera menoleh, dengan senyuman manis yang dibuat-buat.

"Yang Mulia, maafkan kami jika suara ini mengganggu pagi anda. Saya hanya mencoba memastikan bahwa—"

Kael mengangkat satu tangan, isyarat sederhana yang cukup untuk membuat Mirana bungkam. Tatapannya dingin menyapu ruangan, berhenti pada Arlena yang masih berdiri di sudut dengan kepala tertunduk, nampan tergenggam erat di tangan.

Keheningan yang tegang membungkam seluruh ruangan. Para pelayan yang tadinya mengintip dari balik pintu kini menahan napas, takut untuk bergerak.

Mirana, yang biasanya begitu anggun, tampak terkejut. Wajahnya memerah karena kemarahan dan rasa malu yang mendalam. Ia menatap Raja Kael dengan mata penuh harapan, berusaha menahan ketegangan di balik senyum terpaksa. "Yang Mulia, saya hanya—"

"Diam!" titahnya, sama sekali tidak membiarkan suara Mirana semakin memekakkan telinganya, dengan mata yang terus menatap seorang dayang denga nampan di tangan gemetarnya.

Keheningan yang menegangkan itu berlangsung beberapa detik, namun terasa seperti selamanya. Arlena bisa merasakan matanya yang semakin berat, namun tidak ada kata yang keluar dari mulut Raja.

Mirana yang merasa dipermalukan berusaha memperbaiki citranya.

"Yang Mulia, saya hanya ingin memastikan bahwa semua berjalan dengan baik. Saya tidak bermaksud mengganggu." Suaranya terdengar lebih pelan, namun tetap ada nada tegang yang menyusup.

Kael akhirnya bergerak mengabaikan Mirana, langkahnya pelan namun pasti. Setiap gerakan yang dilakukannya seolah mengubah suasana di sekitar mereka, membawa ketenangan yang tak terucapkan namun begitu kuat.

Mirana yang merasa dirinya semakin terpojok mencoba kembali berusaha menarik perhatian Kael. "Yang Mulia, saya... saya hanya ingin melayani Anda dengan sebaik-baiknya."

Namun, Kael hanya memberi isyarat dengan tangan untuk menghentikan kata-katanya. 

“Pergi!” titahnya, penuh wibawa tanpa menoleh sedikit pun.

Mirana menegang, wajahnya merah padam. Ia menahan amarahnya dengan mata berkaca-kaca, tapi tidak bisa menyembunyikan rasa malu yang begitu jelas. 

Dengan langkah berat, ia meninggalkan ruangan, diikuti oleh dayangnya yang hanya bisa menunduk, tak berani mengucapkan kata pun.

Keheningan kembali melanda, dan Arlena merasa seolah seluruh dunia hanya berputar di sekitarnya. Namun, ia tetap berdiri, merasa lebih kecil dari sebelumnya.

Ia tahu, ketegangan yang baru saja terjadi bisa saja berakhir dengan masalah yang lebih besar bagi dirinya.

Tiba-tiba, Kael bergerak lebih dekat, langkahnya pelan namun penuh wibawa. Tanpa kata, ia mendekatkan dirinya ke Arlena, membuat Arlena dapat mencium wangi Cendana dari jubah mewah yang melekat di tubuh sang Raja.

Dalam sekejap, jari telunjuknya yang kekar mengangkat dagu Arlena dengan tegas, tapi juga lembut.

 Pandangan mereka bertemu, dan Arlena semakin merasakan ketegangan menembus hingga ke tulang sumsum. 

Mata Kael tetap terfokus pada Arlena, memperhatikan mata bulat dengan bulu mata yang lentik, hidung mancung uang mungil dan bibir mungil yang berisi. 

Ah ... Dayang ini, membuat sesuatu bergelora di dalam tubuhnya. Dia, adalah pria normal, dia suka pemandangan manis seperti ini. Tapi, dia benci jika paginya terusik. 

Dayang cantik ini telah mengusiknya, apakah lebih baik, dayang ini diberi hukuman saja agar merasa jerah dan dapat mengingat jika pagi hari adalah sebuah ritual penuh ketenangan yang dibutuhkan seorang raja sebelum berhadapan dengan segudang masalah di negrinya. 

Arlena menelan salivanya dengan susah payah saat mata sang raja terus menatap lapar dirinya. Dadanya berdebar kencang, hingga tampak naik turun tak beraturan dan Kael menyukai 'seekor' mangsa yang sedang ketakutan. 

"Siapa kau?!" 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Emi Eliyana
Awal yang menarik untuk aku pecinta cerita kolosal dan intrik
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Cinta Dalam Kekuasaan    Hari Pendaftaran

    Pagi datang perlahan, menembus kaca jendela dengan sinar keemasan yang lembut. Arlena membuka matanya, duduk diam di ranjang dengan pikiran masih melayang ke malam sebelumnya. Tatapan Kael... entah kenapa membuat dadanya sesak, tapi juga hangat di waktu yang sama. “Kenapa sih bisa serumit ini?” gumamnya sambil menarik nafas panjang. Di luar, persiapan untuk seleksi permaisuri sudah mulai terasa riuh. Para pelayan lalu lalang, membawa daftar nama, mengatur undangan, bahkan taman depan istana mulai dihias dengan bunga dan pita emas. Rasanya seperti pesta besar sedang direncanakan. Di ruangan lain, Lady Mirana sedang duduk di depan meja riasnya, dengan wajah penuh percaya diri. “Aku harus terlihat mempesona. Tidak boleh ada yang lebih mencolok dariku,” katanya sambil melirik pantulan dirinya di cermin. “Aku akan jadi permaisuri. Dan itu tak bisa diganggu gugat.” Tak lama, pintu diketuk. Pelayan masuk dan membisikkan bahwa Menteri Keuangan menunggu di halaman belakang. Mirana

  • Cinta Dalam Kekuasaan    Sarkastik

    Di ruang belakang sebuah penginapan tua yang biasa dikunjungi pedagang dan petualang, Lior duduk sendirian. Wajahnya lelah, pakaiannya masih berdebu, dan cangkir tehnya sudah dingin sejak tadi. Tangannya menopang dagu, dan matanya menatap kosong ke arah lantai kayu yang berderit setiap kali seseorang lewat. Ia belum kembali ke istana, memilih diam sejenak, jauh dari keramaian dan sorotan mata para bangsawan. Pintu berderit pelan. Seorang pria masuk, mengenakan jubah lusuh, duduk di depannya tanpa diundang. Ia adalah pria yang pernah menyelamatkan Lior dari sergapan beberapa hari lalu. “Kau selalu muncul tanpa aba-aba,” gumam Lior tanpa mengangkat kepala. “Aku hanya muncul saat kau butuh bantuan. Seperti sekarang.” Pria itu menyeringai, suaranya tenang namun menusuk. “Kau terlihat seperti baru saja kehilangan arah.” “Bukan arah,” balas Lior pelan. “Tapi kepercayaan. Semuanya mulai terasa kacau. Yang baik ternyata menyimpan niat jahat, yang tampak jahat kadang justru satu-satunya ya

  • Cinta Dalam Kekuasaan    Pra Seleksi

    Istana kerajaan mulai berubah wajah. Sejak pengumuman resmi tentang seleksi permaisuri, segala sudut tampak dipoles ulang. Kain-kain sutra baru tergantung di lorong utama, patung-patung dibersihkan hingga mengilap, dan taman kerajaan dipenuhi bunga-bunga yang baru mekar dari penjuru negeri. Istana tidak lagi hanya menjadi pusat pemerintahan, tapi kini juga menjadi pusat harapan, ambisi, dan permainan yang penuh intrik. Pelayan-pelayan sibuk menyiapkan aula utama untuk menyambut hari pendaftaran. Sebuah meja panjang berlapis kain beludru merah dipasang di depan aula, di mana para calon akan datang membawa dokumen, silsilah keluarga, serta surat rekomendasi dari bangsawan atau pejabat tinggi. Di belakang meja itu akan duduk tiga orang pejabat yang ditunjuk langsung oleh Ibu Suri—dua di antaranya dikenal sangat loyal kepada beliau, dan satu orang lagi adalah sekutu Menteri Keuangan. Brosur kecil mulai tersebar di kalangan para keluarga bangsawan. Di dalamnya tertera syarat-syarat uta

  • Cinta Dalam Kekuasaan    Kedatangan Ibu Suri

    Malam itu, langit istana diselimuti awan tebal. Angin bertiup pelan, membawa aroma bunga dari taman dalam. Raja Kael duduk sendiri di balkon kamarnya, memandangi halaman luas kerajaan yang tampak tenang namun penuh ketegangan. Suara ketukan pelan di pintu membuyarkan lamunannya. "Masuk," ucapnya tanpa menoleh. Dayang Ibu Suri masuk dan membungkuk sopan. "Paduka Ibu Suri memohon audiensi malam ini. Beliau menunggu di taman dalam." Kael mengangguk pelan. "Aku akan datang." Beberapa saat kemudian, Kael berjalan melewati lorong-lorong istana, lalu tiba di taman dalam. Ibu Suri sudah duduk di kursi batu di bawah pohon magnolia tua. Cahaya lentera di sekelilingnya memantulkan bayangan lembut di wajah beliau. “Kael,” sapanya dengan suara tenang namun tajam. “Aku mendengar kau belum memberikan tanggapan apapun pada usulan para menteri.” “Apa mereka datang padamu?” tanya Kael langsung. “Mereka khawatir. Dan sejujurnya, begitu juga aku,” jawab Ibu Suri, menatapnya dalam. “Kau Raja

  • Cinta Dalam Kekuasaan    Rahasia Panjang

    Malam makin pekat, kabut turun pelan menyelimuti jalanan berbatu yang mereka lewati. Langkah Arlena dan Rion semakin cepat ketika suara langkah kuda terdengar dari arah belakang, jauh tapi ritmenya konstan. Rion langsung menarik Arlena ke sisi jalan dan bersembunyi di balik dinding rumah tua yang sudah hampir roboh. “Kita sedang dibuntuti,” bisik Rion, matanya tajam menatap dari celah bayangan. Arlena mengangguk pelan. Jantungnya berdegup keras, tapi dia menahannya, tak ingin terlihat panik. Kuda itu lewat, penunggangnya memakai jubah gelap, tak memperhatikan sekitar. Setelah yakin aman, mereka melanjutkan perjalanan. Tujuan Arlena malam itu adalah rumah seorang tukang catat tua yang konon pernah membantu Ayahnya dulu—pria itu menyimpan banyak dokumen tentang sejarah lama kerajaan, termasuk aktivitas tersembunyi para klan. Namun, saat mereka sampai di rumah itu, suasana terasa aneh. Pintu depan tidak terkunci, dan ketika Rion mendorongnya perlahan, mereka mendapati isi rumah ber

  • Cinta Dalam Kekuasaan    Perjalanan Sulit

    Lior kembali ke istana dalam keadaan lelah, namun dia tetap menjaga sikapnya saat berjalan menuju ruang kerja Raja Kael. Setelah mendapatkan izin masuk, dia langsung memberi hormat. Raja Kael menatap tajam. “Bagaimana?” Lior menghela napas. "Saya sudah menemukan jejaknya, Yang Mulia.Tetapi masalahnya lebih rumit dari yang kita duga. Ada lebih banyak pihak yang terlibat, dan mereka tidak akan membiarkan kita menemukan kebenaran dengan mudah." Raja Kael menyandarkan punggung ke kursi. “Jadi kamu belum mendapatkan informasi lengkap?” "Saya hanya menemukan potongan-potongan informasi, tetapi belum cukup untuk mengambil kesimpulan. Saya ingin meminta izin untuk melanjutkan perjalanan. Saya berjanji akan kembali setelah menemukan jawaban yang kami butuhkan." Raja Kael menatap Lior dengan ekspresi sulit ditebak, lalu mengangguk pelan. "Baiklah. Aku memberi izin, tapi tetap berhati-hati. Musuh kita bergerak dalam bayangan." Lior memberi hormat sebelum meninggalkan ruangan dengan l

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status