Pesawat terbang meninggalkan pacuannya, air mata Sayyidah terjun bebas di pipi.
"Rasanya baru sebentar,” ucap Sayyidah seraya menyeka air matanya.
"Semoga Mamah selamat sampai tujuan, aamiin," ucap Abbas."Aamiin.""Ayo kita balik ke asrama, Say!"Keesokan harinya Tugas Sayyidah sebagai mahasiswa mulai menumpuk. Walaupun kuliah online, tapi tugas terus berjalan.Ceklek!
"Assalamuallaikum." Abbas memasuki kamar.
"W*'allaikumussalam,” balas Sayyidah dengan tatapan jengah. Ia melihat jam masih menunjukkan pukul sebelas siang. Biasanya Abbas pulang sore, ini lebih awal dari biasanya.
"Ada yang ketinggalan tadi pagi,” ujar Abbas lebih dulu melihat ekspresi penuh pertanyaan di wajah istrinya. Namun, sayangnya ia hanya diam seolah tak peduli.
Abbas berjalan mendekati nakas. Benar saja map hijau tergeletak disana.Suara dering benda pipih di atas kasur mendorong tangan empunya untuk mengambil,
"Halo, iya saya sendiri. APAA!!!!"Tiba-tiba tubuh Sayyidah meluruh dan jatuh terkulai.
Abbas dengan sigap meraih tubuh Sayyidah dan menyadari sesuatu ketika melihat pesan yang sebelumnya di kirim oleh si penelpon. [Apa benar ini Sayyidah?Ini saya Retno sekertaris ibu Marwah. Ibu Marwah tadi mengalami kecelakaan di tol menuju Bandung, beliau tidak terselamatkan dalam perjalanan ke rumah sakit. Mohon kedatangannya kesini!]
Air mata membanjiri wajah putih Sayyidah setelah ia tersadar. Abbas berusaha keras menenangkannya, walaupun tak berhasil karena dia pun merasakan kesedihan yang sama, tapi dia tak boleh hancur. Jika keduanya lemah, maka siapa yang akan menguatkan?
Sesampainya di BandungSetibanya di rumah sakit keduanya di sambut oleh wanita berstelan kemeja dan rok selutut dengan rambut yang tergerai.
"Di mana mama saya? Mama saya ngga papa ‘kan? Mama saya masih hidup ‘kan?" Sayyidah langsung memberondongnya dengan pertanyaan.
"Nanti biar pihak rumah sakit yang menjelaskan, mari ikut saya menemui dokternya!"
"Baik." Abbas membuntuti wanita tadi dengan merangkul Sayyidah yang lemah.
Mereka mendapat penjelasan bahwa Marwah tidak bisa terselamatkan karena luka di kepala yang cukup serius. Setelah di otopsi, pihak keluarga di minta mengurus kepulangan jenazah untuk di kebumikan.
"Maamaaah ...." Sayyidah menangis sejadi-jadinya dengan menggoyang-goyangkan tubuh yang tertutup kain putih."Mamah ... bangun, Mah. Sayyidah udah disini, Sayyidah kangen sama Mama.”“Baru kemarin Mama bersama Sayyidah. Mama jangan pergi!" Jerit tangis Sayyidah memilukan hati Abbas, ia pun tak bisa menahan lagi bulir air matanya. Jika maut telah datang, maka tidak ada satupun yang mampu menahan. Kita terlahir dengan satu cara. Namun, kematian menjemput dengan berbagai cara. Begitulah memang, kematian menjadi misteri Illahi yang tidak ada satupun yang mampu memecahkan.***Di atas gundukan tanah yang masih basah, Sayyidah duduk lemas bertumpuan kaki. Gerimis mengiringi air matanya yang jatuh."Mah, sekarang Sayyidah sendirian ... Mamah ngga ada, hiks ... hiks ... hiks ....""Say, kamu harus berusaha tabah. Mamah orang baik, InsyaAllah beliau husnul khotimah.”
“Kamu harus selalu do'akan beliau, agar di lapangkan kuburnya." Mengelus punggung Sayyidah dengan gerakan naik-turun.Ucapan Abbas berangsur mendamaikan hati Sayyidah. Walaupun sikap Sayyidah masih tetap acuh dan dingin kepadanya.
"Kita bertemu lagi di syurga, ya, Mah. Sayyidah akan berusaha menjadi lebih baik dan lebih sholehah lagi seperti kata Mamah." Menghapus air mata dengan punggung tangannya dan berusaha bangkit.
Namun, tak berhasil karena tubuhnya gontai. Abbas siaga membantunya dan memapah langkah Sayyidah yang lemah.
***Tinggal di Jakarta, di rumah Marwah dan Sayyidah. Atas permintaan dari Sayyidah sendiri karena ia ingin mengenang kehidupan berdua saat bersama dengan Marwah.Abbas membuka kamar Sayyidah dengan membawa nampan berisi makanan, susu dan air putih. Ia melihat istrinya sedang memejamkan mata, menangis tergugu dan memeluk erat foto Marwah.Matanya ia buka pelan menyadari Abbas mendekat kepadanya.
"Say, ayo makan dulu! Sudah beberapa hari ini kamu ngga mau makan. Kamu harus jaga kesehatan!" tutur Abbas kepada Sayyidah."Dengan makan emangnya mamah akan ada lagi buat aku? Aku ngga bisa hidup tanpa mama, hiks ... hiks ... hiks...." Kembali menangis tersedu-sedu."Kamu harus belajar ikhlas Sayyidah?! Apapun yang terjadi sudah menjadi kehendak Allah Yang Maha Kuasa, kita harus bisa menerima. Suatu saat nanti kita akan sama menyusul mama, hanya berbeda waktu dan takdir yang menentukan saja,” ujar Abbas mencoba membangkitkan semangat hidup Sayyidah.Sayyidah menyadari dirinya harus bangkit dan melanjutkan hidup, tapi kesedihan saat kehilangan Marwah serasa memberatkan langkah hidupnya."Isshhhh ... dasar ngga punya hati!" umpat Sayyidah dengan kesal setelah mengambil benda pipih bercasing pink di atas nakas dan malah membantingnya ke kasur."Ada apa?" tanya Abbas pelan.Sayyidah hanya diam membisu. Abbas menghembuskan nafasnya kasar, " Mungkin Sayyidah masih belum mau berbicara," batinnya."Kak Ana dan kak Akmal kompak ngga bisa berkunjung, bahkan saat mamah tiada. Memangnya hanya do'a yang bisa mereka kasih? Apa mereka melupakan adiknya yang seorang diri?" gerutu Sayyidah, sambil memukul-mukul bantal di pangkuannya.
"Ada aku, kamu nggak sendiri," timpal Abbas dengan tenang. Sebenarnya hati Abbas pun merasa iba, tetapi Abbas sendiri tak pernah tau sosok kedua kakak Sayyidah.Sayyidah diam dan tertunduk lesu, memang Abbas selalu menemaninya dan mampu mendamaikan hati dengan ucapannya. Tapi dia tidak bisa memberikan kehangatan pelukan kasih sayang seperti orang tuanya. Bukan Sayyidah menginginkannya dari Abbas, ia pun merasa malu, gengsi lebih tepatnya. Bunyi perut Sayyidah yang keruyukan berbunyi nyaring, membuat Abbas kembali mendekati Sayyidah dan mengulurkan tangan untuk menyuapinya. Sayyidah tak menolak, memang dia sangat lapar karena perutnya sudah beberapa hari tidak terisi."Mau lagi?" tanya Abbas saat suapan terakhir di mulut Sayyidah, senyum simpul mewarnai sudut bibirnya melihat wajah istrinya yang begitu manis, lucu dengan segala tingkahnya yang terkadang menguras kesabaran."Cukup," jawab Sayyidah yang langsung di iringi tangan Abbas yang menyodorkan air putih."Susu mau?" Abbas menawarkan segelas susu di atas nampan."Taruh di situ." Tangan Sayyidah menunjuk ke atas nakas."Ada lagi yang kamu mau?""Emang boleh?" tanya Sayyidah ragu."Boleh, asal kamu mau." ujar Abbas seraya mengerutkan dahinya."Aku ingin keluar, aku ingin bertemu temanku." Abbas hanya terdiam."Kehadiran teman berharga bagiku. Aku belum sempat memberitahukan berita tiadanya mama kepada mereka.” Sayyidah kembali menitikan air mata.Melihat air mata Sayyidah membuat hati Abbas tak rela."Memangnya mau ketemu dimana?" Mengulurkan tisu kepadanya.“Kenapa tidak membantu membasuhkan air mataku? Seperti di film-film romantis.” Sayyidah bermonolog dalam hatinya, lalu menggelengkan kepala pelan. “Fikiran sialan!!!,” umpat Sayyidah sendiri."Aku kabarin temenku dulu." Sayyidah meraih benda pipih yang sempat ia banting tadi."Aku ‘kan belum mengatakan iya," sambung Abbas dengan tatapan yang tidak bisa di artikan."Kamu iya atau tidak, aku akan tetap ketemu temanku!" kekeh Sayyidah. "Hehehe ... iya, bercanda kok.”Sayyidah berhias diri seraya bertaut di depan cermin, ibu hamil itu tersenyum puas melihat keberhasilannya mempercantik wajah.“MasyaAllah istri abi tambah cantik,” puji Abbas menatapnya dari pantulan cermin.“Syukron Abi.” Sayyidah mengembangkan senyumnya.“Sudah siap? Ternyata abi nunggu Umi hampir satu jam,” ungkap Abbas sembari memeriksa jam di tangannya.“Hehehe ... dandannya harus yang cantik Bi, jadinya lama deh,” sanggah Sayyidah.“Iya deh.” Abbas membalasnya singkat.Semenjak hamil istrinya itu memang lebih sering berhias dari biasanya, ia juga lebih rajin dalam mengurus dan menata rumah. Abbas semakin bangga dengan sang istri.“Ayo kita berangkat!” Sayyidah beranjak seraya memegangi perutnya yang buncit.“Eh, tunggu dulu!” cegah Abbas, membuat langkah Sayyidah terhenti dan berbalik
*******Suasana pagi hari di warnai rasa kekhawatiran Abbas, saat sang istri mual muntah tanpa sebab pasti.“Wuuuek!”Sayyidah yang baru saja muncul dari pintu, kembali masuk ke dalam kamar mandi.“Umi! Umi kenapa?” Abbas menggedor-gedor pintu itu dengan cemas.Ceklek!Begitu nampak tubuh sang istri, Abbas langsung menyambarnya ke dalam pelukan.“Sayang, Umi kenapa? Umi sakitkah?” ujar Abbas seraya mengusap punggung istrinya.“Hmmm ... umi nggak papa Bi,” balas Sayyidah.Sejurus kemudian Abbas menuntunnya menuju sofa di samping ranjang.“Umi istirahat aja, ya?! Ayo!” ajak Abbas yang telah bersiap membopong tubuh istrinya ke atas kasur.“Nggak usah Bi, umi baik-baik aja,” tolak Sayyidah.“Umi kenapa sih? Apa yang di rasa? Umi habis makan apa? Semalem Umi minum j
Abbas memindai pandangannya kepada Sayyidah dan Kirani bergantian dengan ekspresi menuntut penjelesan. Sayyidah menghela nafas panjangnya, spontan ia menghamipiri sang suami dan meminta Ibrahim dari gendongannya. “Ibrahim akan punya Abi lagi, nanti main mobilnya juga nggak sendiri, ya?!” tutur Sayyidah mengajak Ibrahim bercengkrama. “Maksud Umi?!” Abbas semakin tak mengerti. Sayyidah bergeming, ia menatap wajah suaminya lekat. Namun, tak ada satupun kata yang bisa ia ucap. Sejurus kemudian ia mengibaskan pandangannya dari wajah sang suami. “Bi, jadilah abi baru untuk Ibrahim! Umi akan rela di madu dengan Kirani!” ungkap Sayyidah lantang, akan tetapi setelahnya ia harus menarik nafas panjang guna mengatur pola pernafasannya yang tidak beraturan. “Ada apa ini Sayang? Kenapa Umi berkata seperti ini?” tanya Abbas terlontar. Sayyidah menelan ludah sebelum ia membuka mulutnya untuk menyahuti pe
Sayyidah bergeming beberapa saat, akan tetapi bulir bening tak kunjung berhenti mengalir dari sudut matanya. Ia berjalan perlahan dengan langkah limbung, sesampainya di kursi tubuh Sayyidah runtuh di atasnya. “Wanita yang tak sempurna, aku wanita mandul yang nggak bisa punya anak, hiks ... hiks ... hiks ....” Sayyidah tergugu. “Memang lebih pantas kalau suamiku menikah lagi dengan wanita lain yang sempurna, tapi ... aku nggak rela!” Sayyidah meremas kepalanya yang mendongak seraya menyenderkan bahunya di sofa. “Apa aku begitu egois, ya, Allah?” gumam Sayyidah dengan menghiba. Sesaat kemudian ia mengatur pola nafas dengan menghela nafas panjangnya lalu menghembuskannya perlahan. ***** Beberapa waktu telah berlalu ... Sayyidah berhasil meredam gejolak emosinya, akan tetapi belenggu kecemasan masih melekat di hatinya. Di atas meja makan malam Abbas merasa terheran, biasanya walau
Usai menemani acara majelis rutinan di sebuah masjid, Abbas mendampingi perjalanan gurunya menuju tempat pondok.Abuya duduk di samping kemudi, sedangkan Abbas bertugas mengendarai laju mobil yang ia tumpangi.Beberapa santri lain mengawal Abuya dengan kendaraan yang berbeda, sehingga di dalam mobil itu hanya Abuya dan Abbas saja.“Belum ada pejuang yang bisa Abuya kirim ke Batam, Bas,” tutur Abuya memulai percakapan.“Kenapa Abuya?” respon Abbas seraya menengok ke arah sang guru di sampingnya.“Mereka masih memiliki peran dan tanggung jawab masing-masing di sini,” tandas Abuya.Abbas menganggukkan kepalanya pelan.“Mau pilih ente, tapi ente lagi lanjut kuliah, ya, Bas?!” sambung Abuya.“Na’am Abuya.”“Santri yang Abuya tawarin buat menikahi Kirani belum pada mau Bas, makanya Abuya belum punya kep
Satu minggu telah berlalu ...Sayyidah tengah menjalani pengobatan herbal seperti yang ia dan suaminya rencanakan.Baginya yang terpenting adalah do’a dan berusaha, tidak ada lagi kalimat putus asa yang menghantuinya.Itu semua karena sugesti dari sang suami untuk terus yakin dengan kekuasaan Allah ta’ala.Sayyidah memandangi gelas berisi ramuan jamu yang terisi penuh, setiap hari kerongkongannya akan terus di lewati rasa pahit yang sangat sebanyak tiga kali.Sayyidah memasang wajah murung seraya menyangga dagunya dengan kedua tangan di atas meja.“Ayo Sayang di minum! Ini buat penawar rasa pahitnya.” Abbas menyodorkan beberapa butir kurma di atas piring kecil di hadapannya.“Sehat-sehat, ya?!” sambungnya, Abbas mengusap kepala Sayyidah dengan lembut.“Hari ini libur dulu dong Bi?!” keluh Sayyidah dengan wajah lesu.“Eh!