"Sudah dua hari Sayyidah mendiamkanku. Dia tak mau menatapku. Bahkan memalingkan pandangannya setiap berpapasan denganku. Bersama di bawah satu atap. Namun, rasanya seperti ada tirai yang menghalangi aku dengan istriku."
"Aku sangat sedih, batinku tersiksa. Tapi aku harus lebih tabah dan sabar menghadapinya. Lagi pula tidak gampang baginya menerima segalanya dengan mudah. Ia butuh waktu dan menata hatinya." pikir Abbas dalam muhasabahnya.
Saat azan subuh berkumandang, Sayyidah beranjak dari tempat tidur tanpa Abbas di sisinya. Abbas memilih tidur di perpustakaan kecil miliknya, menghindari penolakan Sayyidah yang membuat hatinya kecut. Sayyidah bergegas membersihkan tubuh dan keluar dari kamar mandi dengan gamis polos berwarna abu muda sebagai penutup tubuhnya.Ia menghadap cermin guna melihat wajahnya saat membalut pashmina plisket di kepala. Tidak ada riasan. Walaupun polos, pipi mulusnya menampilkan rona alami.
Dering benda pipih yang tergeletak di atas nakas memecah keheningan telinga. Dengan gerakan cepat Sayyidah segera meraihnya,"Hallo, Mah." "Assalamuallaikum Sayang, gimana kabar kamu? Sehat?""Baik, Mah. Gimana keadaan Mamah?""Alhamdulillah sehat, gimana kabar Abbas?""Eemmm dia baik kok, Mah.""Alhamdulillah kalau gitu. Sayang nanti siang mama mau perjalanan ke Surabaya. Mamah ada kunjungan buat memantau toko roti baru mamah di sana. Niatnya kalau udah beres mamah mau berkunjung ke tempat kamu, bolehkah?""Iyakah Mah? Pasti boleh dong," ucap Sayyidah dengan wajah ceria, yang pasti tidak terlihat oleh Marwah."Ya udah Sayang, mama mau sholat subuh dulu, nanti tolong sampein ke Abbas, ya!""Iya, Mah," jawab Sayyidah dengan kebingungan. Ia harus berfikir gimana caranya membuka pembicaraan dengan Abbas, setelah sikap yang ia tunjukan sebelumnya.Setelah bersiap-siap, Sayyidah melangkahkan kakinya keluar dan melihat Abbas berada di ruang sebelah. Dia duduk bersila di atas sajadah. Di antara rak-rak buku. Matanya terpejam, tetapi wajah itu terlihat kusut dengan bekas aliran air mata di pipinya."Aaaaaaaahhhhhh!!!" Sayyidah berteriak dan berlari ke arah Abbas. Dengan sigap Abbas menangkap tubuh Sayyidah,"Ada apa?""Ada tikus di sana, pukul dia!" Tangannya menunjuk ke arah depan pintu."Ngga papa, jangan sakiti makhluk Allah Say, 'kan dia ngga menyakiti kamu!" Senyum Abbas merekah, melihat tingkah lucu istrinya. Apalagi Sayyidah memeluk tubuhnya dengan sangat erat karena ketakutan."Tapi dia bikin aku takut," kilah Sayyidah dengan mulut manyun."Kamu sangat manis, Say." Wajahnya mendekat membuat Sayyidah menutup pelan matanya. Tapi hanya sebuah tangan yang mengelus halus kepalanya, "Maafin aku, ya!""Kita sholat jama'ah di sini aja. Kayanya di masjid udah salam," lanjutnya."Iiiiya," ucap Sayyidah dengan tergugup. Melepas pelukannya dan berusaha mengontrol dirinya agar terlihat normal."Bas, maafin aku juga," ujar Sayyidah dengan kepala menunduk."Hmmmm, ngga papa. Yang penting kamu ngga murung dan ngga marah lagi!" Sayyidah tersenyum canggung, menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Besok siang mama mau ke Surabaya ada kunjungan bisnis, nanti mau kunjung kesini juga.""Alhamdulillah! Nanti pagi kita belanja buat keperluan menyambut mama, ya!" "Mumpung aku libur!" "Iya." Ada rona bahagia yang terukir di wajah Sayyidah."Ayo kita wudhu dulu!" perintah Abbas.Keduanya mengambil air wudhu, kemudian menunaikan sholat subuh.Dengan sepeda motor berwarna coklat, mereka beranjak menuju aneka mart. Walaupun jaraknya lumayan dekat, tapi Abbas memilih menggunakan motor.
Ia ingin dekat dengan Sayyidah. Saat tubuh istrinya duduk di jok belakang. Sesekali hati Abbas terasa hangat ketika tubuh bagian depan istrinya menyentuh punggungnya.
***Tepat di depan Asrama Abbas dan Sayyidah, sebuah mobil mewah berhenti. Terlihat wanita parubahaya berusia sekitar lima puluh tahunan menuruni mobil dengan menggunakan setelan dress berwarna coklat, selaras dengan khimar panjangnya.Tangan kirinya menjinjing tas bermerek, sedangkan bagian tangan kanannya membawa beberapa paper bag berisi oleh-oleh. Aura kecantikannya seolah tak pudar termakan usia.
"Mamaaaaaah," teriak Sayyidah berhambur menghampirinya."Sayaang," ucap Marwah membiarkan Sayyidah memeluknya.Sedangkan Sayyidah terisak dengan air mata yang menetes di pundak Marwah. "Loh kok putri kesayangan mama nangis?""Sayyidah kangen sama Mamah." Sayyidah semakin mengeratkan pelukannya.Abbas menghampiri kedua wanita yang begitu berharga di matanya."Sini Mah! Abbas bantuin." Meraih barang bawaan Marwah."Assalamuallaikum." Salam Marwah ketika berada di ambang pintu. Tubuh Putrinya sudah terlepas dari pelukannya, berganti dengan gelayutan manja di tangannya."W*'allaikumussalam," jawab Abbas dari belakang, "mari masuk Mah, jangan sungkan! Maaf kalau Asrama Abbas kurang nyaman dan berantakan." "Nggak sayang, semuanya terlihat rapi. Apa Sayyidah sudah jadi wanita yang rajin?" Rona wajahnya tersenyum riang."Sayyidah sangat pintar merapihkan tempat kami, Mah," ucap Abbas.Sayyidah tersenyum kecut, padahal dari pagi yang sibuk membereskan segalanya tangan Abbas sendiri."Sayyidah banyak belajar, Mah," ucap Sayyidah menimpali."Alhamdulillah Sayang, mama bangga sama kamu."Di atas meja panjang sudah berjejer rapi beberapa olahan masakan seperti rawon, sambel pecel, soto lamongan, dan lain-lain."Ya Allah kalian kenapa repot-repot begini?""Semua ini untuk Mamah," jelas Sayyidah."Mari makan dulu, Mah!" ajak Abbas, menarik sebuah kursi di depan meja makan, untuk Marwah duduki. Hati Marwah sangat bahagia, apalagi Abbas sangat begitu menghormatinya."Hmmm enak banget masakannya," puji Marwah."Iya dong, Mah. Yang masak ‘kan Sayyidah. Tapi di bantu sama chef Abbas juga, sih!" Abbas menggulum senyum mendengarnya."Kalian sangat hebat!" Dua jempol Marwah mengacung di udara.Suara dentingan piring dan sendok mengiri selera makan mereka.Usai menunaikan sholat asar, ketiganya duduk santai di kursi tamu. Sayyidah berada diantara Marwah dan Abbas. Berbincang hangat menceritakan kegiatan mereka masing-masing."Sayang nanti malam mamah harus kembali ke Jakarta, karena besok siang mamah ada rapat bisnis di Bandung."Beberapa detik Marwah terpaku dalam diam, entah apa yang ada di benaknya saat itu."Terkadang mama merasa kesepian dalam kesibukan. Mama ingin menimang cucu. Akbar dan Hana pasti sudah tumbuh besar. Mama pengen punya cucu lagi." Netra sendu Marwah menatap Sayyidah. Membuatnya sedikit gugup.Pandangan Sayyidah dan Abbas mulai beradu, mulut keduanya membeku sulit mengucapkan kalimat.
"Maaf, aku izin ke toilet dulu!" Abbas menghentikan aksi tatap-menatapnya dengan Sayyidah. "Iya, silahkan!"Beberapa menit kemudian tubuh Abbas menghilang di balik pintu kamar mandi. Kini tinggallah Sayyidah di samping Marwah."Gimana Sayang?" Tangan Marwah menggenggam kedua tangan putrinya yang sedari tadi memainkan ujung lengan baju.Menarik nafas dalam-dalam dengan mata terpejam, sedetik berlalu bulir air mata jatuh di pipi mulus Sayyidah,"Mah, maafkan Sayyidah belum bisa jadi anak yang sholehah. Sayyidah belum siap melakukannya dengan Abbas, hiks hiks hiks ... Sayyidah harap Mamah mengerti."Marwah sedikit terbelalak. "Bagaimana dengan Abbas?""Dia tak pernah memaksaku, dia selalu bersikap baik kepadaku. Maafkan Sayyidah ya, Mah!" "Ya udah sayang nggak papa, semuanya butuh waktu ‘kan?"Sayyidah hanya mengangguk dan dengan gerakan kilat ia menghapus air matanya saat suara pintu kamar mandi terdengar, tanda ada yang keluar dari sana.Sayyidah berhias diri seraya bertaut di depan cermin, ibu hamil itu tersenyum puas melihat keberhasilannya mempercantik wajah.“MasyaAllah istri abi tambah cantik,” puji Abbas menatapnya dari pantulan cermin.“Syukron Abi.” Sayyidah mengembangkan senyumnya.“Sudah siap? Ternyata abi nunggu Umi hampir satu jam,” ungkap Abbas sembari memeriksa jam di tangannya.“Hehehe ... dandannya harus yang cantik Bi, jadinya lama deh,” sanggah Sayyidah.“Iya deh.” Abbas membalasnya singkat.Semenjak hamil istrinya itu memang lebih sering berhias dari biasanya, ia juga lebih rajin dalam mengurus dan menata rumah. Abbas semakin bangga dengan sang istri.“Ayo kita berangkat!” Sayyidah beranjak seraya memegangi perutnya yang buncit.“Eh, tunggu dulu!” cegah Abbas, membuat langkah Sayyidah terhenti dan berbalik
*******Suasana pagi hari di warnai rasa kekhawatiran Abbas, saat sang istri mual muntah tanpa sebab pasti.“Wuuuek!”Sayyidah yang baru saja muncul dari pintu, kembali masuk ke dalam kamar mandi.“Umi! Umi kenapa?” Abbas menggedor-gedor pintu itu dengan cemas.Ceklek!Begitu nampak tubuh sang istri, Abbas langsung menyambarnya ke dalam pelukan.“Sayang, Umi kenapa? Umi sakitkah?” ujar Abbas seraya mengusap punggung istrinya.“Hmmm ... umi nggak papa Bi,” balas Sayyidah.Sejurus kemudian Abbas menuntunnya menuju sofa di samping ranjang.“Umi istirahat aja, ya?! Ayo!” ajak Abbas yang telah bersiap membopong tubuh istrinya ke atas kasur.“Nggak usah Bi, umi baik-baik aja,” tolak Sayyidah.“Umi kenapa sih? Apa yang di rasa? Umi habis makan apa? Semalem Umi minum j
Abbas memindai pandangannya kepada Sayyidah dan Kirani bergantian dengan ekspresi menuntut penjelesan. Sayyidah menghela nafas panjangnya, spontan ia menghamipiri sang suami dan meminta Ibrahim dari gendongannya. “Ibrahim akan punya Abi lagi, nanti main mobilnya juga nggak sendiri, ya?!” tutur Sayyidah mengajak Ibrahim bercengkrama. “Maksud Umi?!” Abbas semakin tak mengerti. Sayyidah bergeming, ia menatap wajah suaminya lekat. Namun, tak ada satupun kata yang bisa ia ucap. Sejurus kemudian ia mengibaskan pandangannya dari wajah sang suami. “Bi, jadilah abi baru untuk Ibrahim! Umi akan rela di madu dengan Kirani!” ungkap Sayyidah lantang, akan tetapi setelahnya ia harus menarik nafas panjang guna mengatur pola pernafasannya yang tidak beraturan. “Ada apa ini Sayang? Kenapa Umi berkata seperti ini?” tanya Abbas terlontar. Sayyidah menelan ludah sebelum ia membuka mulutnya untuk menyahuti pe
Sayyidah bergeming beberapa saat, akan tetapi bulir bening tak kunjung berhenti mengalir dari sudut matanya. Ia berjalan perlahan dengan langkah limbung, sesampainya di kursi tubuh Sayyidah runtuh di atasnya. “Wanita yang tak sempurna, aku wanita mandul yang nggak bisa punya anak, hiks ... hiks ... hiks ....” Sayyidah tergugu. “Memang lebih pantas kalau suamiku menikah lagi dengan wanita lain yang sempurna, tapi ... aku nggak rela!” Sayyidah meremas kepalanya yang mendongak seraya menyenderkan bahunya di sofa. “Apa aku begitu egois, ya, Allah?” gumam Sayyidah dengan menghiba. Sesaat kemudian ia mengatur pola nafas dengan menghela nafas panjangnya lalu menghembuskannya perlahan. ***** Beberapa waktu telah berlalu ... Sayyidah berhasil meredam gejolak emosinya, akan tetapi belenggu kecemasan masih melekat di hatinya. Di atas meja makan malam Abbas merasa terheran, biasanya walau
Usai menemani acara majelis rutinan di sebuah masjid, Abbas mendampingi perjalanan gurunya menuju tempat pondok.Abuya duduk di samping kemudi, sedangkan Abbas bertugas mengendarai laju mobil yang ia tumpangi.Beberapa santri lain mengawal Abuya dengan kendaraan yang berbeda, sehingga di dalam mobil itu hanya Abuya dan Abbas saja.“Belum ada pejuang yang bisa Abuya kirim ke Batam, Bas,” tutur Abuya memulai percakapan.“Kenapa Abuya?” respon Abbas seraya menengok ke arah sang guru di sampingnya.“Mereka masih memiliki peran dan tanggung jawab masing-masing di sini,” tandas Abuya.Abbas menganggukkan kepalanya pelan.“Mau pilih ente, tapi ente lagi lanjut kuliah, ya, Bas?!” sambung Abuya.“Na’am Abuya.”“Santri yang Abuya tawarin buat menikahi Kirani belum pada mau Bas, makanya Abuya belum punya kep
Satu minggu telah berlalu ...Sayyidah tengah menjalani pengobatan herbal seperti yang ia dan suaminya rencanakan.Baginya yang terpenting adalah do’a dan berusaha, tidak ada lagi kalimat putus asa yang menghantuinya.Itu semua karena sugesti dari sang suami untuk terus yakin dengan kekuasaan Allah ta’ala.Sayyidah memandangi gelas berisi ramuan jamu yang terisi penuh, setiap hari kerongkongannya akan terus di lewati rasa pahit yang sangat sebanyak tiga kali.Sayyidah memasang wajah murung seraya menyangga dagunya dengan kedua tangan di atas meja.“Ayo Sayang di minum! Ini buat penawar rasa pahitnya.” Abbas menyodorkan beberapa butir kurma di atas piring kecil di hadapannya.“Sehat-sehat, ya?!” sambungnya, Abbas mengusap kepala Sayyidah dengan lembut.“Hari ini libur dulu dong Bi?!” keluh Sayyidah dengan wajah lesu.“Eh!