Abbas berjalan mengiringi langkah Sayyidah memasuki sebuah mall.
"Bas, kamu nunggu aja, ya!" Sayyidah menghentikan langkahnya.
"Ngga Sayyidah, aku mau menemanimu,” pinta Abbas.
"Tapi Bas, pakaianmu ... udah ku suruh pakai celana aja, kenapa sih ngga mau?"
"Ngga papa Say, aku sudah terbiasa pakai sarung, ngga biasa pakai jeans seperti yang kamu suruh. Biarin orang mau nilai aku apa, yang penting aku jadi diri sendiri."
"Ish! Keras kepala amat." gerutu Sayyidah.
"Dimana tempat teman kamu yang bernama Zahra?" Mengedarkan pandangannya. Merasa dirinya asing di tempat seperti ini, walaupun bukan pertama kalinya ia berkunjung ke mall.
Bahkan dulu ketika libur dari pondok, uminya sering mengajaknya ke mall untuk berbelanja atau mencari kebutuhan saat persiapan berangkat ke pesantren.
Sangat jarang, alasannya tentu menghindari pemandangan aurot dari wanita yang memakai pakaian kurang bahan, menurutnya."Ada ditempat resto, kamu ngikut aja di belakang!" ujar Sayyidah dengan nada kesal.
Setelah berjalan menelusuri resto, terlihat seorang wanita berdiri dengan melambaikan tangan. Celana cream kulot dengan kemeja putih yang di masukan, kepalanya berbalut hijab dengan style yang santai.
"Sayyidah!" panggil wanita itu.
"Zahra!" Sayyidah mendekat dan langsung memeluknya.
Setelah menyadari kehadiran seseorang di belakang Sayyidah, Zahra melepaskan pelukannya dan membisikan pelan ketelinga Sayyidah, "Ini suami lo?"
"Ummm ... Zahra kenalin ini Abbas suami gue." Sayyidah memperkenalkan Abbas kepada Zahra.
"Abbas." Menangkupkan kedua tangannya di depan dada dan tersenyum sopan.
"Zahra," balas Zahra dengan menganggukan kepala.
"Lo udah tau Abbas, ‘kan?" sambung Sayyidah lagi.
"Baru liat foto pengantin kalian aja dari tante Marwah." Mendengar jawaban dari Zahra, tangis Sayyidah pecah."Loh Say, lo kenapa? Sini duduk dulu." Merangkul Sayyidah dan menatap wajahnya dengan kekhawatiran."Silahkan duduk juga." ujar Zahra kepada Abbas yang memilih duduk berseberangan dengan Sayyidah dan Zahra, hanya terhalang oleh meja.
"Hiks ... Hiks ... Hiks ... Mamah udah ngga ada Za, udah satu minggu ini. Makanya gue pengen nemuin elo, maaf ngga ngasih tau dari awal."
"Innalillahi w*'innalillahi rojiun ... Ya Allah, yang sabar Say. Tante Marw*h orang baik, pasti mendapatkan tempat terbaik juga di syurga," ucap Zahra langsung membaw* Sayyidah dalam pelukannya.
"Jujur gue kaget dan ngga nyangka, tapi gue tau lo pasti berat banget ngejalanin ini semua. Lo harus tabah, ya, Say!" ucap Zahra di belakang punggung Sayyidah dan menepuk bahunya untuk menguatkan.
"Apalagi lo ngga sendiri, ada gue, ada suami lo juga," sambung Zahra.Abbas memandangi keduanya dan menyadari bahwa Sayyidah tidak hanya butuh nasehat atau kata-kata penguat.
Dia juga butuh seseorang untuk menumpahkan tangisnya dan sayangnya itu bukan Abbas sendiri sebagai suami.
Apa boleh buat, Abbas pun masih ciut nyali selama Sayyidah belum berubah dari sikap dingin dan acuhnya.
"Terima kasih banyak Za, lo emang sahabat gue yang paling bisa ngertiin gue." Sayyidah melepaskan pelukannya dan menyeka air matanya."Sama-sama Say, gue yakin lo pasti bisa laluin ini semuanya, oke!" Ibu jari dan jari telunjuknya di tautkan membentuk huruf 'O'.
"Hehehe iya, gue ‘kan kuat Za," balas Sayyidah dengan mengepalkan tangannya.
"Nah gitu dong!"
Abbas tersenyum melihat aksi keduanya. Ia merasa senang melihat senyum kembali mengembang di bibir istrinya."Zahra! Sayyidah! Kalian ada disini?" pekik tiga wanita kepada mereka."Tasya! Nathalie! Celine!" ucap Sayyidah dan Zahra berbarengan.
"Sayyidah gimana kabar lo? Katanya sekarang ikut saudara lo kan? Di mana Cel?" ujar Nathalie, tangannya menunjuk kepada Celine."Di Jawa Timur," jawab Celine.
"Eeh kita bertiga boleh duduk bareng kalian ‘kan? Sekalian temu kangen gitu." Tasya menimpali.
Abbas bangkit dari tempat duduknya, dan berpindah ke meja sebelah.
Rok di atas lutut, baju berkerah V. Bahkan salah satunya memakai dress di atas lutut tanpa lengan. Paha putih mulus mereka menantang untuk di lihat, tapi tidak demikian dengan Abbas yang membuang pandangannya asal, guna menghindari penampilan seksi dari ke tiga wanita
tersebut. Mereka duduk dikursi kosong, lalu menatap Abbas tengan tatapan bingung."Ini siapa Say, Za?" celetuk Nathalie, manik matanya menatap Abbas yang sedari tadi diam tak berbahasa dan tak menatap mereka sama sekali.
"Ummm ... ini sepupu gue, Abbas namanya. Iya ‘kan Za?" Mengedipkan sebelah matanya.
"Oh! Iiiiiya betul, ini sepupu Sayyidah dari Jawa Timur," ucap Zahra dengan sedikit terbata.
"Dia kayanya ngga suka cewe seksi kaya kita, liat aja matanya ngga ngelirik kita sama sekali," sindir Tasya dengan nada yang di tinggikan. Abbas tetap diam tak bergeming.
"Ohya maaf dia tuh pemalu banget, jadi kaya gitulah seperti yang kalian lihat," jelas Sayyidah.
"Ngga kok, nyantai aja. Jadi lo selama ini kuliah disana?" tanya Celine kepada Sayyidah.
"Iya."
"Lo ngga tau sih, selama lo ngga ada Sofyan di sikat tuh sama Rani," ungkap Nathalie."Iya, ngga sayang apa cowo kesayangan lo di rebut sama cewe lain," timpal Tasya.
Sayyidah menatap manik Zahra dengan ekspresi mengatakan 'gimana ini?'. Sesekali netra Sayyidah melihat Abbas yang tetap diam, ia takut Abbas akan mendengar pembicaraan mereka tadi.
"Eh kalian! Kalau ngomong tuh jangan keras-keras kali, ganggu pengunjung lain. Malu loh jadi perhatian orang lain." potong Zahra, mencoba menghentikan obrolan Tasya, Nathalie dan Celine tadi.
"Ah masa sih?" ujar Celine tak percaya, netranya menatap sekeliling tanpa ada pengunjung lain yang menatap mereka.
"Kita mah udah biasa kali rame begini, hahaha!" sambung Tasya dan Nathalie diiringi oleh tawa.
Sayyidah dan Zahra pun ikut tertawa. Namun, terkesan garing dan di buat-buat.
"Kalian kenapa sih? Aneh gitu," ucap Nathalie."Ngga kali, kita mah biasa aja. Iya 'kan Say? Mungkin baru ketemu lagi, jadi kita masih kaku ngga nyablak kaya dulu, hahaha." sangkal Zahra dengan tawa yang di buat-buat.Abbas bangkit dari duduknya dan menatap Sayyidah lekat, "Say, udah waktunya sholat dhuhur. Ayo kita cari mushola dulu!" ajak Abbas.Semua teman-teman Sayyidah menatapnya dengan melongo dan bingung."Ehem kayanya banyak yang berubah dari lo ya, Say. Selain penampilan lo, kebiasaan lo jadi lebih baik," tukas Celine dengan menatap Sayyidah dari ujung kepala sampai ujung kaki, pakaiannya lebih sopan dengan dress panjang, tidak seperti sebelumnya yang memakai celana, walaupun tetap memakai kerudung."Hehehe bagus deh kalau gitu, kemajuan dari Sayyidah nih temen-teman," celetuk Nathalie."Nah ya, dulu setiap hang out pagi sampe sore ngga pernah tuh Sayyidah izin buat sholat," ucap Tasya."Masa iya Sayyidah bakal sholat di depan kalian, yang notabenya non muslim. Sayyidah tuh berusaha menghormati kalian tau," bela Zahra mencoba menutupi aib sahabatnya di depan suaminya.Sayyidah mematung, pikirannya kacau. Bisa banget dalam satu kesempatan aib-aibnya terbuka di depan suaminya. Sungguh keberuntungan tidak berpihak kepada Sayyidah saat ini.Abbas duduk di belakang kemudi, melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Sayyidah berada di sampingnya. Keduanya diam tanpa sepatah katapun. Detik kemudian ... "Ada yang mau kamu jelasin?" tanya Abbas memecah keheningan. "Tidak ada," balas Sayyidah dengan malas. "Kalau pergi kemanapun harus tau waktu, waktunya sholat harus sholat. Jangan sampe di tinggal!" pesan Abbas, kepalanya menengok kepada lawan bicaranya. Sayyidah membuang wajahnya ke jalan, "Aku udah besar, tau mana yang benar-mana yang salah, tau depan-belakang, tau atas-bawah. Ngga usah kamu ngasih tau, aku juga sudah tau," sanggah Sayyidah dengan ketus. "Jaga pergaulan kamu Sayyidah, jangan sampe mama sedih di alam sana dengan keadaan kamu di sini!" "Aku tau," jawab Sayyidah dengan ekspresi kesal. Abbas tak lagi membalas ucapan Sayyidah. Tak ada kata maaf sama sekali dari mulutnya, setelah mengatakan Abbas sebagai sepupu di depan
Sayyidah dan Abbas masih menjalani hari-harinya di Jakarta. Demi menemani Sayyidah, Abbas rela meninggalkan tugas khidmah di ma'had dan perkuliahannya. Hati Sayyidah masih terpukul dengan kepergian Marwah, hari-harinya masih hampa tanpa semangat. Lepas sholat subuh, Sayyidah mengurungkan diri di dalam kamar. Sebagai suami, ia sendirilah yang mengerjakan pekerjaan rumah. Pukul tujuh pagi ia sudah selesai nyapu, ngepel dan menyiapkan sarapan untuknya dan Sayyidah. Ia berjalan membawakan makanan untuk Sayyidah ke dalam kamar. Tubuh Sayyidah terbungkus oleh selimut, matanya terpejam, tapi mulutnya meracau."Mah, Sayyidah kangen ... peluk Sayyidah, Mah." Bulir air matanya mengalir, Abbas yang sudah duduk di tepi ranjang di tarik oleh tangan Sayyidah dan di bawanya dalam pelukan. Kini Abbas sudah terbaring di sampingnya, kepala Sayyidah terbenam di leher Abbas, tangan kiri Sayyidah melekat di pinggangnya, sedangkan tangan kanannya meraba ba
"Terima kasih banyak Say, gue pamit dulu." "Sama-sama Zahra." Setelah cipika-cipiki, Zahra berjalan ke arah mobil yang telah terparkir.Sayyidah melambaikan tangan ketika mobil Zahra melaju pelan meninggalkan pekarangan rumahnya. Drrt ... Drrt ... Drrt ...Benda pipih yang tersimpan di saku gamisnya bergetar, segera ia buka pesan-pesan yang sedari tadi masuk. Namun, tak junjung ia buka karena asik berbincang dengan Zahra. Deretan pesan pertama muncul atas nama Sofyan dengan pesan beruntun,[Sayyidah manis][Sayyidah cantik][Sayyidah imut][gue kangen sama lo Say] pesan ke empat di iringi wajah Sofyan yang tersenyum manis di depan kamera, senyum yang bisa melelehkan siapa pun yang melihatnya. Sayyidah tersenyum simpul melihat layar andoidnya, tanpa mengalihkan pandangannya ia berjalan santai menuju kamarnya. Abbas baru saja keluar dari pintu kamar, hampir saja bertubrukan dengan Sayyida
Di bawah kabin pesawat tidak banyak kata yang mereka lontarkan. Abbas lebih diam, sedangkan Sayyidah merasa gengsi untuk memulai obrolan dengannya. “Sampai di Jawa Timur kita tadabbur alam dulu,” ucap Abbas. “Apa itu ... sial!” Belum selesai Sayyidah berbicara, Abbas sudah menyenderkan kepala dan memejamkan matanya. Sayyidah meraihkan ponselnya dan mengetikan kata ‘apa itu tadabur alam’.Di bawahnya memunculkan hasil kalimat yang di ketiknya. Tadabbur alam merupakan sarana pembelajaran untuk lebih mengenal Allah SWT yang menciptakan langit dan bumi berserta isinya. “Mohon maaf Kak, silahkan ponselnya di matikan atau dialihkan ke mode penerbangan. Karena pesawat akan segera lepas landas,” tegur seorang pramugari kepada Sayyidah. “Iya, terimakasih.” Sayyidah mengusap layar androidnya dan menekan flight mode, kemudian memasukannya kedalam sling bag.*** Setelah keluar dari bandara, Abbas membeli dua tik
Abbas mengambil botol air minum di tasnya, membukakan tutup botol, lalu menyodorkannya kepada Sayyidah. “Ayoo duduk! Minum dulu, barangkali kamu masih shock,” perintah Abbas dengan menggelar sorbannya lebih dulu. Sayyidah meraih botol di tangan Abbas dan menenggaknya sampai tandas. “Selonjorkan kakimu!” titah suaminya.Ia memijit kedua kaki Sayyidah dengan lembut sampai ke ujung jari-jemarinya. Sentuhan Abbas menjadikan hati Sayyidah semakin meleleh. “Apa sudah enakan?” tanya Abbas menyadarkan Sayyidah yang sedari tadi menatap wajahnya. “Uummm ... iya aaaku udah baik,” jawab Sayyidah dengan agak gugup. “Kamu yakin baik-baik saja?” tanya Abbas sekali lagi. “Yakin aku baik-baik saja,” balas Sayyidah dengan tersenyum menampakkan lesung pipinya.MasyaAllah ... istriku senyumannya manis sekali ya Allah, puji Abbas dalam hati. “Ya udah, kita lanjut pu
“Bas, gimana penampilanku? Udah rapi belum?” Sayyidah bercermin di layar ponselnya. “Udah rapi.” Abbas tersenyum. “Kang Abbas mau ketemu umma?” tanya seorang santriwati yang muncul dari dalam kepada Abbas.Ia membawa nampan berisi tiga gelas yang masih mengepul dengan beberapa toples makanan. “Na’am,” jawab Abbas. “Tafadhol duduk! Ana panggilkan dulu ummahnya.” Ia mempersilahkan Abbas dan Sayyidah di sebuah kursi panjang. Beberapa menit kemudian ... “Assalamuallaikum, Nak! Gimana kabarnya?” sapa seorang wanita dewasa berparas cantik mengenakan pashmina size besar di kepalanya. Tubuhnya sedikit gempal tetapi berwibawa. “W*’allaikumussalam Umma, alhamdulillah kher,” balas Abbas. “Alhamdulillah ... ini istri antum?” “Na’am Umma.” “Nama saya Sayyidah.” Sayyidah mencium tangannya. “MasyaAllah nama yang indah, seindah rupanya.” Tersenyum manis.
Abbas menyentuh pipinya, kemudian membelainya lembut.Sentuhan tangan Abbas membuat hatinya merasa bergidik. Sayyidah tak kuasa, perlahan ia memejamkan mata.“MasyaAllah tabarakallah istriku, permataku, bidadariku.”Pujian Abbas semakin melambungkan hati Sayyidah keangkasa. Binar netra Abbas menatap lekat wajahnya.“Boleh aku mencium keningmu?” izin Abbas kembali.Kali ini Sayyidah tak mampu menjawab, hatinya telah di selimuti perasaan bak ratu yang sedang di puji. Ia hanya menganggukkan kepalanya.Cup ...Abbas mencium kening Sayyidah dengan lembut.“Hehehehe ....” Tiba-tiba Abbas terkekeh.“Kamu kenapa?” Netranya terbuka seraya melebarkan pupilnya.“Kalau kamu anggun kaya gini rasanya seperti bidadari, cantik sekali ... tapi kalau kamu lagi marah-marah dan ngambek seperti sebelum-sebelum ini, kamu kaya
Selepas sholat isya Abbas mengajak Sayyidah makan malam di luar. “Kamu mau makan apa Say?” tanya Abbas sambil menyetir motor. “Apa? Aku nggak dengar,” teriak Sayyidah di belakang Abbas. “Kamu mau makan apa?” Kali ini Abbas mendekatkan kepalanya. “Oh ... apa, ya? Soto aja,” ucap Sayyidah. “Yang di pinggir jalan aja nggak papa, ya?” “Hmm ... iya nggak papa. Kamu apa?” tanya Sayyidah. “Aku nasi punel.” “Apa itu?” “Nanti kamu juga tau, hehehe.” “Iiih!” Sayyidah meneplak punggung Abbas. **** Setelah menelan habis makanan, Abbas meneguk segelas air, lalu mengucap rasa syukur.“Alhamdulillah,gimana Say rasanya?” ujar Abbas. “Enak ... walaupun kaki lima tapi rasa nggak kalah mantap,” puji Sayyidah dengan mengacungkan kedua jempolnya. “MasyaAllah, walaupun sederhana yang penting rasa syukur kita,” ucap Abbas.