Share

Ujian Rumah Tangga Pasti Ada

Satu bulan berlalu

Sejak tinggal di asrama Abbas, Sayyidah  berdaptasi banyak hal. Dengan lingkungan baru, Sayyidah 'pun harus belajar kebiasaan baru.

Abbas memberikan Sayyidah beberapa potong gamis yang harus ia pakai setiap hari. Dia hanya di perbolehkan memakai celana ketika di dalam asrama atau hanya untuk daleman ketika keluar.

Lingkungan Abbas yang mengedepankan nilai-nilai agama memaksa Sayyidah untuk terbiasa, tidak seperti kehidupan sebelumnya yang bebas dan tanpa batas.

Pukul enam pagi Abbas telah berpakaian rapi, gamis putih panjang berkerah, di lapisi jaket hitam, sedangkan kepalanya ia hiasi dengan peci putih.

Ia duduk menyuapi mulutnya dengan bantuan sendok, lidah Abbas menyecap rasa dari kuah kuning bubur ayam yang ia buat sendiri sebelumnya. 

Manik mata Abbas menatap Sayyidah keluar dari pintu kamar dengan muka bantal dan rambut yang acak-acakan.

"Say, ayo makan!"

Sayyidah tak menggubris ajakan Abbas. Ia berjalan ke dapur dan mengambil sebotol air minum dari dalam kulkas.

Lagi-lagi usaha Abbas mengambil hati Sayyidah tak berhasil. Abbas hanya mengelus dada seraya menghembuskan nafasnya kasar.

Setelah menghabiskan sisa bubur di mangkok. Abbas segera beranjak. "Aku berangkat dulu!"

 "Kalau ada apa-apa kabarin aku." Berjalan mendekati Sayyidah.

"Kalau kamu merasa bosan, jalan aja keluar. Di depan komplek asrama ada toko aneka yang menyediakan banyak kebutuhan rumah tangga. Toko itu milik Abuya, toko terbesar di daerah ini." Tangan Abbas terulur untuk di salami Sayyidah, kemudian membantu merapihkan rambutnya.

Netra Abbas menatapnya dengan lekat. Ingin rasanya mendaratkan sebuah kecupan di sana, tetapi sayangnya nyalinya masih ciut.

"Assalamuallaikum." 

Abbas berjalan keluar dengan perasaan kecewa.

"W*'allaikumussalam."

***

Setelah menghabiskan sisa sarapan, Sayyidah melangkahkan kakinya ke dalam kamar, kasur putih terlihat menggairahkan. Sepasang netra Sayyidah menatap putih flavon, bosan rasanya hanya tidur, makan, duduk depan laptop. Semua pekerjaan rumah telah Abbas kerjakan tanpa bantuannya. Lagipula Sayyidah masih belum terbiasa menjadi ibu rumah tangga.

Suara dering benda pipih di atas nakas membuyarkan lamunannya, terlihat nama Zahra yang terpampang di sana. Segera Sayyidah tarik ke atas tanda berwarna hijau. 

"Halo Sayyidah! Gimana keadaan lo? Elo baik-baik aja 'kan?"

"Gue baik, gimana kabar lo juga? Gue kangen," ucap Sayyidah sedikit terisak menahan air mata.

"Gue juga kangen, gue udah tau semuanya. Lo tega banget nutupin semuanya dari gue dan temen-temen kita!"

Sayyidah terbelalak kaget dengan ungkapan Zahra, "Mmmm ... maksud lo?"

"Lo udah nikah ‘kan? Lo bilang mau tinggal di rumah Tante lo dan kuliah di sana, nyatanya lo ngikut suami elo ‘kan?" 

"Bentar, lo tau dari mana? Zahra please! Jangan kasih tau siapapun! Gue ngga mau jadi gosip baru di geng anak sekolah," pinta Sayyidah.

"Gue nyariin elo, terus gue dateng ke Tante Marwah. Dengan alasan gue temen deket lo, akhirnya Tante nyeritain semuanya ke gue. Lo ngilang gitu aja, nggak pernah bales chat dari gue," ujar Zahra panjang lebar.

Sayyidah menangis mendengar ungkapan dari Zahra. "Maafin gue, Za!" balas Sayyidah dengan sesenggukan.

"Iya gue maafin, gue harap lo selalu bahagia di sana."

"Aamiin, terima kasih Zahra." 

"Say, lo tau ngga gosip terbaru sekarang?"

"Apa?" Sayyidah menghapus sisa air matanya dan mendengarkan ucapan Zahra dengan seksama.

"Sofyan jadian sama Rani dari geng musuh bebuyutan, ngga nyangka dia ternyata buaya, untung lo belum jadian sama dia," ungkap Zahra.

"HAH!!" 

"Eeh udah dulu Sayy, gue di panggil nyokap. Entar kita lanjut lagi, ya!" 

"Oke, Za," jawab Sayyidah tak semangat. 

Klik! 

Layar benda pipih itu berubah gelap. Segelap hati Sayyidah saat ini, mendengar fakta terbaru dari Zahra.

Sofyan laki-laki bertubuh jangkung, dengan bentuk tubuh yang atletis, berkulit putih, hidung mancung. Laki-laki terpopuler di sekolah, idaman setiap wanita.

Saat hubungan Sayyidah dan Sofyan mulai dekat, ia harus menelan pil pahit kenyataan menikah dengan Abbas. Yang membuat Sayyidah semakin terpukul, ternyata Sofyan telah menjalin hubungan dengan wanita lain.

Sayyidah duduk di tepi ranjang dengan air mata bercucuran, dada Sayyidah sesak karena patah hati.

"Karena Abbas! Dia yang telah merenggut segalanya. Kebebasan, lingkungan, teman, bahkan Sofyan." 

Sayyidah merasa hancur, terlebih mentalnya belum siap di terpa segala situasi di babak kehidupan barunya. 

“Aku harus keluar, aku mau udara bebas. Mungkin belanja bisa menghilangkan stress.” 

Sayyidah meraih outer panjang berwarna navy yang tergantung di dalam lemari. Dengan setelan pashmina berwarna senada, ia segera mengayunkan kakinya keluar. 

Dengan jarak tiga ratus meter ia sudah berdiri di depan toko.

Tangan Sayyidah mendorong pintu yang bertuliskan 'push' setelah itu ia sudah bisa memilih beberapa barang. Jam tangan, aksesoris, minuman, dan beberapa snack rasa coklat, dll. 

"Ehh! Kang Abbas  nikahnya sama orang kota, ya?"

"Iya ana udah pernah liat," ucap lawan bicaranya.

"Katanya cantik, putih, terus manis. Mungkin sebelas-dua belas sama ana, hehehe." Memegang dagunya untuk menampakkan kemanisan wajahnya.

"Alah! paling keluarga mereka ngga bahagia, pasti wanita itu punya pergaulan bebas di luar sana dan Kang Abbas mungkin tertekan hidup sama dia," ujarnya.

"Astaghfirullah! Jangan su'udzon, Ki!"

"Biar aja! Wanita kaya dia ngga pantes buat Kang Abbas."

Sayyidah geram mendengar pembicaraan mereka tepat di samping meja kasir. Saat terlihat wajah kedua wanita yang sedang mengobrol tadi, Sayyidah berusaha mengingat sesuatu, "Kirani!"

Sudah  Sayyidah duga dia memang tidak suka dengannya, dari tatapan matanya saat pertama kali bertemu.

Sayyidah urung mendorong trolinya ke tempat kasir, ia segera bergegas meninggalkan toko tanpa membawa barang belanjaan apapun. Selera belanjanya sudah hilang.

***

 Ketika Abbas datang, ia berjalan ke dalam kamar. Sayyidah berdiri melamun, menatap pemandangan luar lewat jendela yang terbuka lebar. Matanya terlihat sayu.

"Aku merindukannya, seharian di luar tapi pikiranku selalu di dalam asrama. Perlahan cinta itu tumbuh, ia anugerah yang Allah kirim untukku. Lagipula ia seperti bidadari, sangat cantik!"

"Assalamuallaikum, Say." Tangan Abbas terulur berharap di sambut dengan ciuman tangan.

Tidak ada jawaban salam, bahkan tangannya terabaikan. Menyadari situasi, Abbas memutar tubuh Sayyidah dan dengan berani ia menenggelamkannya kedalam pelukan.

"Lepas! Jangan sentuh aku!" Sayyidah meronta.

"Kamu kenapa? Ada apa? Ayo ceritakan kepadaku!"

"Ngga ada, ngga perlu!" ketus Sayyidah dengan wajah di tekuk, terlihat garis kemarahan di sana. 

"Say, bukankah kita udah menikah? Kita bisa saling melengkapi dalam suka maupun duka. Saling terbuka dan kita saling bahagia,"  tutur Abbas.

"Hahahahahaha." Tertawa sumbang.

"Bahagia kata kamu? Yang ada aku terpaksa dan tersiksa!"

"Semuanya sudah terjadi, Allah sudah mentakdirkan kita bersama dalam ikatan pernikahan ini ...."

"Stop! Aku muak! Aku capek! Kumohon keluar, Bas!" Jarinya menuding ke arah pintu.

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status