Share

Adaptasi Dengan Kehidupan Baru

Selepas waktu subuh, Marwah mengantarkan kedua anaknya ke sebuah daerah yang cukup terpencil di Pasuruan, jauh dari kota Jakarta tempat tinggalnya.

Marwah dan Sayyidah sangat menikmati udara segar yang mereka hirup. Sangat jauh berbeda dengan suasana kota dan polusi udara yang menyesakkan dada.

Terlebih pemandangan alam pegunungan dan area pesawahan di samping asrama yang memanjakkan mata. Tak jauh dari tempat asrama yang Abbas tinggali, terlihat deretan gedung bertingkat tiga. Terdengar suara lantunan Al Quran dari sana.

"Sofa sangat bijak memilih Abbas mendapatkan pendidikan di tempat ini, nyatanya tempat ini berhasil mencetak Abbas menjadi orang baik dan berakhlak." Marwah begitu iri dengan Sofa, karena ia tak bisa seperti Sofa dalam mendidik anaknya. Menyesal, tentu. Setidaknya Marwah telah memutuskan jalan hidup untuk Sayyidah saat ini.

Dunia bisa di cari, tetapi akhirat siapa yang bisa menjamin bisa selamat, sedangkan kehidupan akhirat itu kekal.

Marwah mengerti mengapa Abbas betah disini setelah sempat dibujuk untuk tinggal di Jakarta. Tidak mudah meninggalkan tempat indah yang mampu mendamaikan jiwa.

"Nak, mamah titip Sayyidah. Tolong jaga dan bimbing dia, ya!" pinta Marwah kepada Abbas sebelum beranjak menuju mobil yang terparkir didepan asrama. 

"Iya, Mah. InsyaAllah saya akan berusaha menjaga Sayyidah, mohon do'akan kami selalu, Mah." Dengan sopan Abbas mencium punggung tangannya.

"Sayyidah!"

"Jadi istri yang baik, ya, Sayang! Belajar menjadi wanita yang lebih taat dan sholehah untuk mama dan Abbas."

Tanpa sepatah katapun Sayyidah segera berhambur memeluk tubuh Marwah. "Mamaaaaaa! Hiks ... hiks ... hiks." Air mata Sayyidah pecah.

"Aku ngga bisa jauh dari Mama, kenapa Mama tega ninggalin aku?" 

Bulir bening jatuh di pipi Marwah, tangannya berusaha melepaskan tubuh Sayyidah yang terkungkung di dadanya. Ia menangkupkan kedua tangannya di wajah Sayyidah dan menciumi setiap inci di sana.

"Mama tidak akan meninggalkan kamu Sayang!"

 "Mama kapan-kapan main kesini, ya. Buat jenguk anak mama yang cantik ini." Tangannya mencubit hidung mancung Sayyidah.

"Sudah jangan nangis! Nanti cantiknya memudar, hehehe." Marwah segera menghapus air matanya dan menyeka  bulir bening di pipi mulus Sayyidah.

Pemandangan di depan matanya membuat tenggorokan Abbas terasa tercekat. Ia sekuat tenaga menahan air matanya. Ia tak ingin terlihat lemah di depan mertuanya, ia harus kuat menjaga amanah dari Marwah.

***

Beberapa jam kemudian

Setelah penat membereskan barang-barang. Sayyidah membaringkan tubuhnya di atas kasur berukuran sedang, tak sebesar kasur miliknya di Jakarta. Ia menelan pahit kenyataan harus satu kamar dengan Abbas. Lagi pula kamar sebelah yang ia harap bisa jadi miliknya. Ternyata berisi beberapa rak berisi buku, bisa di katakan ini perpustakaan kecil milik Abbas.

Asrama Abbas begitu sederhana dengan dua kamar, ruang tamu, dapur, kamar mandi. Tidak ada halaman yang luas di luar, semua deretannya sama. Bisa di katakan ini perumahan khusus mahasiswa yang sudah menikah.

Tanpa Sayyidah sadari, Abbas sudah berdiri di ambang pintu dan memperhatikannya, "Say, kamu mau makan apa? Ayo kita keluar! Biar kamu tau makanan khas Jawa Timur." Sebenarnya tujuan Abbas ingin menghiburnya dengan mengajak keluar. Setidaknya bisa sedikit mengalihkan kesedihan Sayyidah.

"Jangan sok-sokan manggil saaaaaay ...," potong Sayyidah tak jadi melanjutkan kata-kata.

"Nama kamu ‘kan Sayyidah, jadi aku pakai kata depannya." jawaban Abbas membuat Sayyidah tertunduk malu.

Sayyidah hanya menurut, beranjak dari kasur, lalu menuju ke kamar mandi untuk mengganti pakaiannya. 

Abbas mengulum senyum melihat istrinya akan bersiap-siap. Ia segera meraih sebuah kunci motor di atas nakas dan berjalan keluar lebih dulu.

Sebuah motor terhenti ketika melewati gerbang besi setinggi pundak orang dewasa.

"Assalamuallaikum, Bas. MasyaAllah kapan balik? Penganten baru mau ke mana?"

"Ini mau nyari rujak cingur, ana kangen makanan Jawa Timur." 

"Ajib! Baru seminggu di Jakarta udah kangen aja, ngga betah antum ya, hahaha." 

Tertawa menampakkan dereten gigi serinya.

"Besok ada tugas ngajar kelas awal, antum mau gantiin?" 

"Ngga, terima kasih banyak tawarannya."

"Hahahaha, harusnya hari ini. Cuman ana baru nyampe pagi tadi, jadi di ganti besok." 

"O, gitu. Salam kenal ini istri ana, Kirani." 

Kepala laki-laki yang berbicara tadi menengok kebelakang dan memberi isyarat kepada wanita yang sedari tadi memperhatikan.

"Sayyidah," ucap Sayyidah dengan sedikit membungkuk.

"Kirani," sapanya dengan lembut, tapi bola matanya membulat seperti membohongi ucapan lembutnya tadi.

"Ya udah ana jalan dulu, mau ke aneka mart." 

"Oke siap." Keduanya segera melajukan kendaraan beroda dua masing-masing.

"Ana itu siapa ya? Terus antum itu apa?" Pikiran Sayyidah mencoba menerka ucapan Abbas dan laki-laki tadi saat mengobrol.

"Ana itu artinya saya dalam bahasa Arab, antum itu artinya kamu," terang Abbas menjelaskan kepada Sayyidah tanpa di minta.

"Aku ngga nanya." 

"Tapi kamu ngga tau, ‘kan? Dan penasaran sama maknanya," sanggah Abbas.

Sayyidah hanya terdiam, batinnya membenarkan semua ucapan Abbas.

"Kamu tau rujak cingur? Kita makan itu, ya. Di depan sana ada yang jual." Stang motornya ia belokkan ke sisi kiri jalan. Benar saja tak jauh dari situ ada warung kecil.

"Ayoo duduk!" Abbas mengajak Sayyidah duduk di lesehan karena warung tersebut hanya menyediakan meja panjang yang berjejer, ia menyadari ekspresi Sayyidah yang kurang nyaman.

"Maafkan aku ya, belum bisa memanjakanmu dengan fasilitas mewah seperti kehidupanmu sebelumnya," ungkap Abbas dengan wajah sedikit menunduk.

"Kenapa kamu menolak semua fasilitas yang mama berikan?" 

Wajah cantiknya tertutup emosi, ia ingat ketika Abbas bersikeras menolak pemberian mobil dari Marwah.

"Aku sudah terbiasa hidup begini, walaupun dulu umi cukup mapan dari segi harta, tapi aku sudah terbiasa hidup sederhana," ujar Abbas, "lagi pula sekarang aku sudah berumah tangga, aku ingin berjuang dan bertanggung jawab dengan keluargaku sendiri, merintis sendiri dan tak ingin merepotkan orang tua," terang Abbas panjang lebar.

Mengenai kehidupannya, Abbas di kenal sebagai orang yang tertutup. Tapi melihat Sayyidah, ia ingin menceritakan semua kehidupannya, tak ada yang di tutupi, ia ingin membangun kehidupan rumah tangga yang saling terbuka.

Ya, sebelumnya Abbas selalu menutupi fakta bahwa ia anak orang kaya, ia ingin bebas bergaul kepada teman manapun, tanpa memperdulikan status kaya atau miskin dan itu salah satu pendidikan dari uminya, Sofa. 

"Aku harap kamu mengerti. Kita mulai dengan berjuang bersama." Tangan Abbas terulur di belakang punggung Sayyidah, ingin memeluknya. Namun ia urung melanjutkan aksinya. Ingatannya kembali tergambar kejadian di dalam perpustakaan, membuatnya nyeri merasakan sakit hati.

Sayyidah diam tak bergeming, pandanganya ia lempar keluar, menghindari netra Abbas. Mulutnya hanya membalas Abbas singkat, "Iya."

Obrolan keduanya terputus saat pelayan mengantarkan dua piring rujak cingur kepada mereka.

"Ini pesananya."

"Iya, terima kasih," sahut Abbas dengan sopan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status