Home / Romansa / Cinta Dalam Riuh Salju / Bab 11: Warisan dan Rahasia

Share

Bab 11: Warisan dan Rahasia

Author: K.A. Helmy
last update Last Updated: 2025-06-11 21:14:34

Malam telah larut ketika pesta ulang tahun Ibu Leo mencapai puncaknya. Musik klasik masih mengalun lembut dari grand piano di ruang tengah, para tamu mulai berkurang satu per satu, dan villa Rosenthal perlahan menyusut kembali menjadi rumah pribadi, bukan panggung pertunjukan.

Amara menyelinap keluar dari ruang tamu yang mulai sepi. Ia butuh udara. Gaun birunya kini terasa terlalu ketat, bukan karena potongan kainnya, melainkan karena semua tatapan, bisikan, dan kesan tersirat yang ia tangkap sepanjang malam. Ia berjalan menyusuri lorong panjang villa, berharap menemukan balkon belakang tempat ia bisa sekadar bernapas.

Namun langkahnya terhenti saat ia mendengar suara dari salah satu ruangan yang pintunya sedikit terbuka.

“Dia tidak berasal dari dunia kita, Liesel,” kata suara lelaki dewasa, beraksen Jerman aristokrat. “Dan Leo terlalu ceroboh kalau mengira cinta saja cukup untuk mempertahankan posisinya di keluarga ini.”

Amara menegang. Ia mengenali nama itu: Liesel, ibu Leo.

“Aku tahu,” jawab suara Ibu Leo, pelan namun dingin. “Tapi dia keras kepala seperti ayahnya. Selalu berpikir bisa melawan sistem yang sudah dibangun dari generasi ke generasi. Dia lupa bahwa semua ini bukan hanya soal cinta atau kebebasan pribadi. Rosenthal bukan nama biasa.”

“Tapi kamu juga tahu, dewan pemilik perusahaan menolak dia menjadi pewaris jika dia menikah dengan orang luar. Terlebih, gadis itu... mahasiswa asing. Tak ada latar belakang. Tak ada jaringan. Bagaimana bisa dia berdiri di meja rapat nanti?”

Amara mencengkeram sisi pintu, jantungnya berdetak semakin cepat. Ia tahu ia seharusnya tidak mendengarkan. Tapi ia tak bisa beranjak.

“Karena itu aku ingin kamu mempertimbangkan kembali soal pertunangan dengan keluarga von Richter,” lanjut lelaki itu. “Celine masih bersedia. Jika Leo sadar, dia akan kembali ke jalur yang benar.”

Ada jeda. Lalu suara Ibu Leo kembali terdengar.

“Beri aku waktu. Aku akan bicara dengannya. Tapi jangan lakukan apa-apa sampai aku sendiri yang memutuskan.”

Langkah kaki terdengar mendekat. Amara buru-buru melangkah mundur dan berjalan cepat menyusuri lorong lain. Ia tidak tahu ke mana arah yang ia tuju, yang penting menjauh dari ruang itu. Dari kata-kata yang barusan merobek keyakinan yang baru mulai tumbuh di hatinya.

Ia berhenti di depan pintu kaca yang mengarah ke taman kecil. Di luar, salju turun lagi, kali ini lebih lebat dari sebelumnya. Ia membuka pintu, melangkah keluar tanpa mantel, membiarkan dingin menusuk kulitnya. Tapi bahkan gigil itu tak bisa mengalihkan pikirannya dari percakapan yang ia dengar.

Leo tidak pernah cerita bahwa posisinya sebagai pewaris dipertaruhkan.

Ia tak pernah tahu bahwa keluarga itu masih mempertimbangkan pertunangan dengan Celine.

Apakah selama ini Leo hanya... mencoba menciptakan ilusi kebebasan?

“Amara?” Suara Leo terdengar dari belakang. Ia mendekat cepat, membawa syal dan mantel. “Kamu dingin, ayo masuk.”

Amara menoleh perlahan. “Siapa pria di ruang kerja ibumu tadi?”

Leo tertegun. “Kenapa?”

“Aku dengar mereka bicara. Soal kamu. Soal warisan. Soal perjodohan. Dan soal aku.” Nada suaranya datar tapi tajam.

Leo menghela napas. Ia tidak terlihat kaget. Hanya lelah. “Paman Gustav. Wakil direktur utama perusahaan. Dia mewakili dewan pewaris. Dan ya, mereka masih terikat pada sistem kuno yang sama.”

“Dan kamu tidak bilang padaku?”

“Aku tidak mau menakutimu. Karena aku sendiri masih mencoba membereskan semuanya.”

Amara menatap Leo lama. “Kamu tahu apa yang paling menyakitkan? Bukan karena mereka meremehkanku. Tapi karena kamu membuatku merasa kita berjalan di tempat yang setara… padahal kamu menyembunyikan bahwa kamu sedang berdiri di tepi jurang, dan aku dijadikan taruhan.”

“Amara, itu tidak—”

“Aku harus tahu sejak awal, Leo. Kalau mencintaimu berarti harus berperang dengan seluruh sistem keluargamu, aku ingin tahu. Aku berhak tahu.”

Leo mendekat, wajahnya terguncang. “Aku mencintaimu. Aku bukan memilih kamu untuk menguji mereka. Aku memilih kamu karena aku ingin masa depan bersamamu.”

Amara menunduk. “Tapi bisakah kamu bertahan kalau harus kehilangan semuanya karena aku?”

Leo tak menjawab langsung. Dan dalam keheningan itu, Amara sudah tahu jawabannya tidak mudah.

Ia menarik napas panjang, lalu melangkah mundur, menatap Leo terakhir kali sebelum berkata, “Aku ingin pulang. Ke Berlin. Malam ini.”

Leo terdiam sejenak. Lalu mengangguk.

Amara berjalan pergi menembus salju, meninggalkan villa, meninggalkan suara musik, dan meninggalkan keraguan yang belum sempat dijawab sepenuhnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta Dalam Riuh Salju   Bab 88 - Luka yang Disembunyikan

    Suasana kampus seakan berubah menjadi arena bisikan. Di koridor panjang yang biasanya dipenuhi tawa, kini setiap langkah Elena diiringi lirikan dan bisik lirih yang menusuk. Sebagian menatapnya dengan penasaran, sebagian lain dengan sinis.“Katanya Axel meninggalkan gala demi dia…”“Celeste sampai memutuskan kontrak sponsor, loh…”“Gila, gadis itu berani banget menentang keluarga Celeste.”Elena mendengar semuanya, tapi ia berjalan tanpa memperlambat langkah. Buku catatan di tangannya menjadi tameng diam yang melindunginya dari suara-suara jahat itu. Ia tahu rumor itu bukan sekadar gosip, Celeste yang menyebarkannya.Celeste Van Heeren. Mahasiswi kaya raya pewaris yayasan donor kampus, pemil

  • Cinta Dalam Riuh Salju   Bab 87 - Di Balik Munich

    Langit Munich sore itu berwarna keperakan, seolah menyatu dengan gedung-gedung tua yang berjajar di sekitar aula konferensi internasional. Di dalam ruangan besar penuh peserta dari berbagai negara, Elena berdiri di atas panggung dengan jas putih, papan presentasi di belakangnya berisi data kompleks tentang sistem energi berkelanjutan yang dikembangkan dari sisa proyek Aetheris.Suara Elena lembut tapi tegas, seperti nada yang terlatih dari keberanian dan pengalaman. “Kami percaya bahwa sumber energi masa depan bukan hanya soal efisiensi, tetapi juga tentang tanggung jawab moral pada bumi.”Kalimat itu menggema, memantul ke dinding marmer aula, membuat beberapa kepala menoleh kagum. Namun di antara kerumunan penonton, ada sepasang mata yang menatapnya dengan cara berbeda — bukan sekadar bangga, melainkan penuh perasaan yang sulit disembunyikan. Axel.Ia datang tanpa undangan resmi. Meninggalkan gala besar yang diselenggarakan oleh keluarga Celeste, dengan alasan mendadak pada sekretaris

  • Cinta Dalam Riuh Salju   Bab 86 - Keberangkatan

    Musim gugur Berlin datang perlahan, daun-daun mulai memudar menjadi kuning pucat, udara terasa lebih tajam, dan jalanan kampus dipenuhi aroma kopi yang menenangkan. Tapi di antara keseharian yang tampak biasa itu, ada sesuatu yang berubah.Nama Elenakini terpampang di papan pengumuman internasional: Finalist of Global Energy Future, Munich. representing Humboldt Universität zu Berlin.Sorak sorai terdengar di aula kampus pagi itu. Beberapa mahasiswa menyalaminya, dosen-dosen tersenyum bangga. Namun di balik senyum Elena, ada tatapan tenang yang tak banyak bicara. Ia tahu perjalanan ini bukan sekadar kompetisi. ini adalah ujian, baik bagi dirinya maupun bagi hubungan yang diam-diam ia jaga bersama Axel.Di bengkel laboratorium tem

  • Cinta Dalam Riuh Salju   Bab 85 -Tatapan di Balik Sorotan

    Sinar lampu studio memantul di kaca gedung Fakultas Teknik Berlin saat Axel keluar dari ruang rapat yayasan. Langkahnya berat, pikirannya berisik. Di tangannya masih tergenggam proposal riset yang baru saja disetujui Celeste, proyek “Neural Quantum Core,” yang sebenarnya adalah modifikasi dari rancangan awal Elena.Ia tahu Celeste tidak mencuri secara langsung. Ia hanya “menyesuaikan arah proyek yayasan.” Namun di balik kata-kata manis itu, Axel bisa merasakan aroma manipulasi yang halus tapi tajam.“Bagus sekali idemu, Axel,” ucap Celeste tadi di ruang rapat, dengan senyum yang kini terus terngiang di kepalanya. “Tapi agar proyek ini layak didanai, aku rasa kita harus menyesuaikannya sedikit… kau tahu, demi nama baik yayasan.”“Menyesuaikan,” pikir Axel kesal. Itu bukan penyesuaian, itu pengambilalihan.Hari mulai sore ketika ia berjalan melintasi taman kampus. Dari kejauhan, ia melihat Elena sedang duduk di bawah pohon maple, laptop terbuka di pangkuannya, dikelilingi tumpukan kerta

  • Cinta Dalam Riuh Salju   Bab 84 - Meja Makan dan Panggung Kekuasaan

    Dua minggu berlalu sejak pesta di rumah keluarga Reinhardt, dan gosip tentang kedekatan Axel dan Celeste belum juga mereda. Bahkan kini media kampus menulis artikel opini tentang “Dua Otak Brilian yang Akan Mengubah Dunia Sains Jerman.”Judul itu, disertai foto mereka berdua sedang duduk dalam seminar, menjadi perbincangan hangat di kantin dan aula fakultas.Namun di tengah semua hiruk pikuk itu, Elena memilih diam bukan karena kalah, melainkan karena ia sedang menyusun langkahnya sendiri.Ia tidak membalas dengan komentar, tidak mencari pembelaan, tidak membuat drama. Ia justru memusatkan energinya pada kompetisi nasional “Future Energy Challenge” ajang prestisius tempat mahasiswa seluruh Jerman mempresentasikan riset energi bersih. Proyek yang ia kembangkan bersama tim kecilnya, Aurora Cell, merupakan teknologi penyimpanan energi berbasis fotosintesis buatan.Namun siapa sangka, dewan juri kompetisi itu kini disponsori oleh Yayasan Reinhardt tempat Celeste duduk sebagai dewan kehorm

  • Cinta Dalam Riuh Salju   Bab 83 - Bayang kedua

    Sejak konferensi di Zurich, nama Celeste makin sering terdengar di lorong kampus. Ia bukan sekadar mahasiswi baru biasa, ia adalah pewaris yayasan riset terbesar di Berlin, cucu dari industrialis legendaris Jürgen Reinhardt. Kehadirannya membawa aura yang membuat banyak orang ingin dekat, tapi juga hati-hati untuk tidak menyinggungnya.Dan tentu saja, gosip paling hangat yang beredar di antara mahasiswa adalah kedekatannya dengan Axel mahasiswa paling jenius sekaligus paling tertutup di fakultas teknik.Axel tak pernah benar-benar mencari perhatian. Namun sejak Celeste mulai sering muncul dalam acara riset, atau sekadar “menitipkan berkas” ke laboratorium tempat Axel bekerja, gosip itu tumbuh dengan cepat. Ia tahu bagaimana media sosial kampus bekerja, satu foto, satu senyum, bisa memicu badai yang sulit dikendalikan.Namun masalahnya, keluarga Axel memiliki hubungan lama dengan keluarga Celeste. Ibu Axel, Irene Krauss pernah bekerja sama dengan keluarga Reinhardt dalam proyek pengemba

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status