LOGINTiga hari setelah percakapan mereka di taman, kehidupan kampus kembali berjalan normal. Atau setidaknya, terlihat normal di permukaan. Amara kembali ke rutinitasnya—kelas, perpustakaan, jadwal organisasi. Tapi jauh di dalam pikirannya, Leo tetap hadir. Bukan sebagai gangguan, tapi sebagai kerumitan yang belum selesai diuraikan.
Suatu sore, saat Amara sedang membaca di balkon apartemennya, Leo mengirim pesan.
Leo
Kalau aku ajak kamu ke Munich, untuk sebuah acara keluarga... kamu mau ikut?Pesan itu membuat Amara terdiam cukup lama. Munich? Itu berarti memperkenalkannya pada dunia Leo yang selama ini belum pernah ia sentuh. Dunia yang mewah, rumit, dan penuh ekspektasi. Dunia tempat nama besar dan koneksi keluarga lebih bernilai daripada ketulusan. Tapi di saat yang sama, ada bagian dari dirinya yang penasaran—apa yang sebenarnya ingin Leo perlihatkan?
Ia membalas singkat.
AmaraAcara apa?Balasan datang tak lama kemudian.
LeoMakan malam keluarga. Ibuku ulang tahun ke-60. Ini bukan gala formal, tapi semua orang penting akan ada di sana.Amara membacanya pelan-pelan. Ini bukan sekadar makan malam. Ini semacam ujian. Sebuah pintu besar yang mungkin sekali terbuka… atau justru menutup selamanya.
**
Dua hari kemudian, Amara berdiri di depan cermin dengan gaun berwarna biru gelap yang sederhana tapi elegan. Rambutnya disanggul setengah, dengan anting kecil yang berkilau. Ia masih ragu, tapi Leo berdiri di pintu apartemennya, mengenakan setelan abu-abu tua yang membuatnya tampak lebih dewasa dari biasanya.
“Kamu cantik sekali,” katanya begitu melihatnya.
Amara tersenyum canggung. “Aku merasa seperti sedang melangkah ke wilayah asing.”
“Dan aku bersumpah akan tetap di sisimu di dalamnya,” jawab Leo dengan nada lembut.
Perjalanan ke Munich ditempuh dengan kereta cepat. Selama dua jam lebih mereka bicara soal berbagai hal—musik, buku, bahkan makanan kesukaan masa kecil. Leo terlihat lebih santai dari biasanya, meski tangannya tetap menggenggam tangan Amara erat sepanjang perjalanan. Ia seperti ingin memastikan bahwa apa pun yang terjadi nanti, ia tidak akan melepasnya.
Setibanya di villa keluarga Rosenthal yang terletak di pinggiran Munich, Amara nyaris terdiam. Bangunan besar bergaya klasik itu berdiri megah di antara taman luas dan pohon cemara yang menjulang. Di halaman depan, mobil-mobil mewah berjejer. Orang-orang berpenampilan glamor berlalu-lalang, membawa gelas anggur atau berbicara dengan aksen bangsawan.
“Ini… seperti masuk ke film,” bisik Amara.
Leo tertawa kecil. “Aku juga sering merasa begitu.”
Ketika mereka masuk, seorang wanita dengan gaun hitam dan perhiasan mutiara langsung menghampiri mereka. Wajahnya tegas, penuh wibawa, dan sorot matanya tajam—persis seperti bayangan Amara tentang ibu Leo.
“Leo,” sapa wanita itu dengan senyum tipis. “Akhirnya kau datang.”
“Ibu, ini Amara. Teman kuliahku,” kata Leo memperkenalkan.
Amara menjulurkan tangan sopan. “Senang bertemu dengan Anda, Bu Rosenthal.”
Wanita itu menatapnya sejenak, lalu menjabat tangan Amara. “Kamu dari mana, Amara?”
“Indonesia,” jawab Amara tenang. “Saya sedang menempuh beasiswa penuh di Berlin.”
“Oh, menarik.” Jawabannya terdengar netral, tapi sorot matanya masih mengamati, seolah sedang menilai setiap detail.
Sisa malam berjalan dengan campuran rasa kagum dan tekanan. Leo tak pernah meninggalkan sisi Amara. Ia mengenalkan Amara pada paman-pamannya, sepupu, bahkan beberapa rekan bisnis ayahnya. Sebagian ramah, sebagian hanya tersenyum datar. Namun tak satu pun bisa menyembunyikan rasa heran—siapa gadis Asia sederhana ini yang dibawa Leo ke pertemuan keluarga penting?
Di tengah percakapan, Leo menarik Amara ke balkon villa yang menghadap taman bersalju.
“Kamu baik-baik saja?” tanyanya pelan.
Amara mengangguk. “Ya. Meski aku merasa seperti makhluk eksotis di kebun binatang.”
Leo tertawa, tapi kemudian menatapnya dengan serius. “Aku tahu ini banyak buatmu. Tapi aku ingin kamu tahu satu hal. Aku ingin kamu ada di hidupku, bukan hanya di Berlin. Tapi juga di seluruh bagian dari diriku—termasuk bagian yang seperti ini.”
Amara memandangnya. “Dan kamu yakin mereka akan bisa menerima seseorang seperti aku?”
Leo menjawab tanpa ragu. “Aku tidak peduli apakah mereka bisa atau tidak. Yang penting aku sudah memilih.”
Malam itu, di tengah salju Munich yang tenang, Amara tahu—ia tidak lagi berada di pinggir cerita. Ia mulai berjalan masuk ke tengahnya.
Suasana kampus seakan berubah menjadi arena bisikan. Di koridor panjang yang biasanya dipenuhi tawa, kini setiap langkah Elena diiringi lirikan dan bisik lirih yang menusuk. Sebagian menatapnya dengan penasaran, sebagian lain dengan sinis.“Katanya Axel meninggalkan gala demi dia…”“Celeste sampai memutuskan kontrak sponsor, loh…”“Gila, gadis itu berani banget menentang keluarga Celeste.”Elena mendengar semuanya, tapi ia berjalan tanpa memperlambat langkah. Buku catatan di tangannya menjadi tameng diam yang melindunginya dari suara-suara jahat itu. Ia tahu rumor itu bukan sekadar gosip, Celeste yang menyebarkannya.Celeste Van Heeren. Mahasiswi kaya raya pewaris yayasan donor kampus, pemil
Langit Munich sore itu berwarna keperakan, seolah menyatu dengan gedung-gedung tua yang berjajar di sekitar aula konferensi internasional. Di dalam ruangan besar penuh peserta dari berbagai negara, Elena berdiri di atas panggung dengan jas putih, papan presentasi di belakangnya berisi data kompleks tentang sistem energi berkelanjutan yang dikembangkan dari sisa proyek Aetheris.Suara Elena lembut tapi tegas, seperti nada yang terlatih dari keberanian dan pengalaman. “Kami percaya bahwa sumber energi masa depan bukan hanya soal efisiensi, tetapi juga tentang tanggung jawab moral pada bumi.”Kalimat itu menggema, memantul ke dinding marmer aula, membuat beberapa kepala menoleh kagum. Namun di antara kerumunan penonton, ada sepasang mata yang menatapnya dengan cara berbeda — bukan sekadar bangga, melainkan penuh perasaan yang sulit disembunyikan. Axel.Ia datang tanpa undangan resmi. Meninggalkan gala besar yang diselenggarakan oleh keluarga Celeste, dengan alasan mendadak pada sekretaris
Musim gugur Berlin datang perlahan, daun-daun mulai memudar menjadi kuning pucat, udara terasa lebih tajam, dan jalanan kampus dipenuhi aroma kopi yang menenangkan. Tapi di antara keseharian yang tampak biasa itu, ada sesuatu yang berubah.Nama Elenakini terpampang di papan pengumuman internasional: Finalist of Global Energy Future, Munich. representing Humboldt Universität zu Berlin.Sorak sorai terdengar di aula kampus pagi itu. Beberapa mahasiswa menyalaminya, dosen-dosen tersenyum bangga. Namun di balik senyum Elena, ada tatapan tenang yang tak banyak bicara. Ia tahu perjalanan ini bukan sekadar kompetisi. ini adalah ujian, baik bagi dirinya maupun bagi hubungan yang diam-diam ia jaga bersama Axel.Di bengkel laboratorium tem
Sinar lampu studio memantul di kaca gedung Fakultas Teknik Berlin saat Axel keluar dari ruang rapat yayasan. Langkahnya berat, pikirannya berisik. Di tangannya masih tergenggam proposal riset yang baru saja disetujui Celeste, proyek “Neural Quantum Core,” yang sebenarnya adalah modifikasi dari rancangan awal Elena.Ia tahu Celeste tidak mencuri secara langsung. Ia hanya “menyesuaikan arah proyek yayasan.” Namun di balik kata-kata manis itu, Axel bisa merasakan aroma manipulasi yang halus tapi tajam.“Bagus sekali idemu, Axel,” ucap Celeste tadi di ruang rapat, dengan senyum yang kini terus terngiang di kepalanya. “Tapi agar proyek ini layak didanai, aku rasa kita harus menyesuaikannya sedikit… kau tahu, demi nama baik yayasan.”“Menyesuaikan,” pikir Axel kesal. Itu bukan penyesuaian, itu pengambilalihan.Hari mulai sore ketika ia berjalan melintasi taman kampus. Dari kejauhan, ia melihat Elena sedang duduk di bawah pohon maple, laptop terbuka di pangkuannya, dikelilingi tumpukan kerta
Dua minggu berlalu sejak pesta di rumah keluarga Reinhardt, dan gosip tentang kedekatan Axel dan Celeste belum juga mereda. Bahkan kini media kampus menulis artikel opini tentang “Dua Otak Brilian yang Akan Mengubah Dunia Sains Jerman.”Judul itu, disertai foto mereka berdua sedang duduk dalam seminar, menjadi perbincangan hangat di kantin dan aula fakultas.Namun di tengah semua hiruk pikuk itu, Elena memilih diam bukan karena kalah, melainkan karena ia sedang menyusun langkahnya sendiri.Ia tidak membalas dengan komentar, tidak mencari pembelaan, tidak membuat drama. Ia justru memusatkan energinya pada kompetisi nasional “Future Energy Challenge” ajang prestisius tempat mahasiswa seluruh Jerman mempresentasikan riset energi bersih. Proyek yang ia kembangkan bersama tim kecilnya, Aurora Cell, merupakan teknologi penyimpanan energi berbasis fotosintesis buatan.Namun siapa sangka, dewan juri kompetisi itu kini disponsori oleh Yayasan Reinhardt tempat Celeste duduk sebagai dewan kehorm
Sejak konferensi di Zurich, nama Celeste makin sering terdengar di lorong kampus. Ia bukan sekadar mahasiswi baru biasa, ia adalah pewaris yayasan riset terbesar di Berlin, cucu dari industrialis legendaris Jürgen Reinhardt. Kehadirannya membawa aura yang membuat banyak orang ingin dekat, tapi juga hati-hati untuk tidak menyinggungnya.Dan tentu saja, gosip paling hangat yang beredar di antara mahasiswa adalah kedekatannya dengan Axel mahasiswa paling jenius sekaligus paling tertutup di fakultas teknik.Axel tak pernah benar-benar mencari perhatian. Namun sejak Celeste mulai sering muncul dalam acara riset, atau sekadar “menitipkan berkas” ke laboratorium tempat Axel bekerja, gosip itu tumbuh dengan cepat. Ia tahu bagaimana media sosial kampus bekerja, satu foto, satu senyum, bisa memicu badai yang sulit dikendalikan.Namun masalahnya, keluarga Axel memiliki hubungan lama dengan keluarga Celeste. Ibu Axel, Irene Krauss pernah bekerja sama dengan keluarga Reinhardt dalam proyek pengemba







