Sketsa itu masih di tangannya. Kertasnya menguning, ujungnya sedikit sobek, tapi garis garisnya tajam. Tidak ada nama pelukis, tapi Averine tahu: itu tangan ibunya. Bukan karena teknik, tapi karena rasa rasa yang hanya bisa datang dari seseorang yang mencintai dengan cara yang terlalu diam.
Ia duduk di kursi dekat jendela kamar hotelnya, Florence berpendar di balik kaca, tapi pikirannya berada di tempat lain. Di masa lalu. Di ruang kerja Camilla. Di antara lemari lukisan yang tak pernah dibuka saat tamu datang. Matanya terpaku pada sketsa itu. Bukan hanya karena bentuknya. Tapi karena pesan diam diam yang terasa seperti warisan tersembunyi. “Aku akan menikah,” bisiknya. “Tapi bukan untuk menjadi istri. Aku menikah untuk menyusup.” Ia bangkit dan berjalan menuju koper kecil di sudut ruangan. Di balik lapisan pakaian, ia menyelipkan sketsa itu dalam map kulit. Di atasnya, ia letakkan catatan kecil: “Jangan percaya semuanya dari Valente.” Bukan untuk orang lain. Tapi untuk dirinya sendiri jika suatu hari ia lupa kenapa ia memulai semua ini. Beberapa hari berikutnya, hidup Averine berubah menjadi serangkaian peran: calon pengantin, anak keluarga Almanda, pusat perhatian media seni. Tapi di balik gaun gaun mahal dan senyum senyum tipis, pikirannya terus bergerak. Mengamati. Menghitung. Saat bertemu Darian untuk diskusi desain pernikahan, ia duduk berseberangan di sebuah ruang galeri pribadi, dikelilingi lukisan abstrak yang seperti menyembunyikan wajah. “Kamu memilih palet warna yang sama dengan ibumu dulu,” ucap Darian, membuka percakapan. Averine tak langsung menjawab. Ia menatapnya lurus. “Kau tahu selera ibuku dengan baik, ya?”tanya Averine “Cukup untuk tahu bahwa ia tidak pernah memilih warna terang. Ia lebih suka bayangan.” jawab Darian Averine menahan napas. Kalimat itu terlalu spesifik. Terlalu akrab. “Kau bicara seolah pernah mendesain pameran dengannya,” kata Averine tenang. Darian hanya mengangkat bahu. “Aku bicara seperti seseorang yang tahu lebih dari yang seharusnya.” Malam itu, gala seni digelar di salah satu gedung tua di pusat kota. Musik klasik mengalun, lampu gantung bergoyang pelan, dan senyum formal mengisi setiap sudut ruangan. Averine berdiri di dekat instalasi seni kaca, rosegold dan biru gelap berpantulan seperti ingatan yang tak bisa disentuh. Darian mendekatinya dari samping. Ia membawa dua gelas anggur, menawarkan satu tanpa bicara. “Kau selalu muncul saat aku sedang diam,” kata Averine. “Karena saat diam, kau paling jujur.”ucap Darian Mereka berdiri dekat, tapi tidak bersentuhan. Seperti bayangan yang saling mengintip di bawah cahaya. “Ada yang ingin kutunjukkan,” kata Darian akhirnya, suaranya nyaris tidak terdengar. “Tapi hanya jika kau siap.” Averine menoleh lalu berkata. “Siap untuk apa?” “Siap untuk melihat sisi ibumu yang bahkan keluargamu pun tak tahu.”jawab Darian. Keesokan malamnya, Averine tiba di Valente tanpa pengawal. Hanya mantel gelap dan sepasang sepatu kulit datar yang tidak bersuara saat menyentuh lantai batu. Di lorong belakang, Darian sudah menunggu. Ia mengenakan setelan hitam tanpa dasi. Matanya tampak lebih letih dari biasanya, tapi juga lebih terbuka. “Di dalam sini,” kata Darian sambil mendorong pintu besi tua. Mereka memasuki ruang arsip bawah tanah. Lampu kuning redup menyinari rak rak kayu penuh folder, sketsa, dan catatan lelang. Udara lembap, tapi tidak mati. Seperti napas rahasia yang belum sempat diungkapkan. Darian menarik satu map besar dari laci. Di dalamnya, sebuah lukisan. Potret seorang gadis remaja. Wajahnya sangat familiar karena itu adalah Averine sendiri. Tapi ia tahu, ia tak pernah duduk untuk lukisan itu. Tidak pernah berpose. Tidak pernah diminta. Tangannya gemetar saat menyentuh pinggir kertas. “Siapa yang melukis ini?” tanya Averine dengan suara serak. “Camilla,” jawab Darian pelan. “Tapi ia tidak pernah mengakuinya secara resmi. Karena lukisan ini diminta oleh seseorang yang… tak seharusnya memintanya.” Averine menatapnya. “Kamu?” Darian menatapnya lama, lalu mengangguk. Tidak sebagai pengakuan. Tapi sebagai penanda bahwa tidak ada gunanya lagi menyembunyikan sebagian cerita. “Kenapa?” tanya Averine Darian menghela napas. “Karena aku ingin menyimpan bagian dari masa itu. Bukan karena aku tahu kamu akan kembali… tapi karena aku tahu masa lalu akan tetap datang, entah kau siap atau tidak.” Averine melangkah mundur. Dadanya berat. “Apa kamu mencintaiku?” tanyanya tiba tiba. “Atau kamu hanya ingin menyentuh bayangan masa lalu yang tak sempat kau miliki?”lanjut Averine Darian tak menjawab. Saat ia kembali ke hotel malam itu, Averine berdiri di depan cermin besar kamar mandinya. Ia membuka kotak sketsa yang ia simpan dari beberapa hari lalu. Menatap lukisan itu. Lalu membuka folder dari Darian. Dan akhirnya melihat dua potongan kertas berdampingan: satu sketsa dari Camilla, satu potret dirinya. Warna... Goresan... Komposisi... Semuanya nyaris identik. Dan di pojok kiri bawah sketsa lama, tertulis inisial samar Benedetta. Nama itu muncul kembali seperti bisikan dari panggilan Tante Liora yang terputus seminggu lalu. Averine meraih pulpen. Di dinding kaca cermin, ia menulis: “Camilla – Darian – Valente – Benedetta – ???” Lalu menggambar garis merah di antaranya. Ia memandangi bayangannya. Kali ini bukan sebagai pengantin. Tapi sebagai seseorang yang akan membuka pintu terakhir dari lukisan-lukisan yang tak pernah dijual. Dan di balik pintu itu, ia tahu, bukan hanya ibunya yang bersembunyi. Tapi kebenaran yang bisa menghancurkan segalanya.Malam itu berakhir dalam pelukan hangat, dua napas yang tak mau lepas.Tidak ada kata-kata berlebihan, hanya rasa cukup.Pagi harinya, mereka sarapan di balkon hotel sambil menatap laut yang bergelombang kecil. Tidak ada agenda terburu-buru Darian hanya ingin menikmati setiap menit sebelum kembali ke rumah. Sesekali, mereka tertawa mengingat tingkah Calia, lalu saling meyakinkan bahwa satu hari “kabur” seperti ini harus jadi rutinitas.Menjelang siang, mereka membereskan barang. Darian menggandeng tangan Averine saat melewati lobi hotel, sama seperti dulu waktu mereka pertama kali pergi berlibur berdua. Mobil melaju santai di jalan pulang, dengan musik pelan dan jendela sedikit terbuka, membiarkan angin sore masuk.Saat sampai di rumah, Calia langsung berlari dari pintu, memeluk keduanya sambil menceritakan semua permainan yang ia lakukan bersama Eira. Averine menatap Darian di atas kepala putri mereka tatapan singkat tapi penuh arti kita pulang, dan kita utuh.Malam itu mereka tidur
Malam itu berakhir dalam keheningan hangat. Averine tidak tahu berapa lama mereka berbaring seperti itu kepalanya bertumpu di dada Darian, napas pria itu teratur, dan tangannya sesekali mengusap punggung Averine tanpa sadar. Bukan untuk menenangkan, bukan pula untuk memulai sesuatu, hanya… menjaga. Dan entah kenapa, ia menyukai cara Darian diam.Esok paginya, Averine bangun lebih dulu. Atau mungkin Darian memang sengaja membiarkannya merasa demikian. Cahaya matahari pagi merayap pelan dari celah tirai, sementara kicau burung terdengar dari luar jendela. Darian masih memejamkan mata, tapi Averine tahu ia belum benar-benar tidur. Gerakan napasnya sedikit lebih dalam tanda khas saat pria itu sedang berpura-pura.“Pagi,” ucap Averine sambil menyenggol bahunya pelan.Darian membuka mata, menyipit sedikit karena cahaya. “Pagi. Kamu udah berapa lama bangun?”“Baru… dua puluh menit,” jawabnya, meski sebenarnya mungkin lebih lama. Ia sengaja diam, menikmati rasa nyaman yang sudah lama tidak da
Malam itu, rumah sudah sepenuhnya tenggelam dalam keheningan. Hujan yang sejak sore tidak berhenti kini tinggal gerimis, menetes lembut di luar jendela kamar. Cahaya lampu tidur berwarna kuning temaram menciptakan bayangan hangat di dinding, seakan ingin menjaga ketenangan ruangan itu.Darian duduk di tepi ranjang, punggungnya sedikit membungkuk. Di pangkuannya ada kain kompres yang baru ia ganti, masih hangat dari air yang tadi ia tuangkan ke baskom. Tangannya bergerak hati-hati saat menempelkan kompres itu ke dahi Averine. Suhu tubuhnya memang sudah turun dari siang tadi, tapi Darian tetap ingin memastikan.“Masih panas sedikit,” gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada diri sendiri.Averine hanya menggumam, matanya setengah terpejam. Ia terlalu nyaman untuk benar-benar menjawab.Darian menarik napas panjang. Seharian ini ia mondar-mandir, menyiapkan teh jahe, mengecek suhu setiap dua jam, memaksa Averine makan bubur walau hanya beberapa se
Hujan sudah berhenti semalaman, tapi udara di rumah itu masih dingin. Sisa-sisa genangan di halaman belakang memantulkan cahaya abu-abu dari langit pagi.Averine bangun dengan kepala berat dan tenggorokan yang kering. Seluruh badannya terasa lemas, seolah semua energi hilang saat ia tidur. Malam sebelumnya, ia memang terlalu lama berada di bawah hujan bersama Darian dan Calia. Waktu itu rasanya menyenangkan, tapi sekarang tubuhnya menagih harga.Ia berusaha duduk di tepi tempat tidur, namun baru saja mengangkat kepala, Darian yang masih setengah tertidur di kursi sebelah langsung tersentak.“Kamu mau kemana?” tanyanya cepat sambil bangkit.“Aku… mau lihat Calia. Dia udah bangun belum?” suaranya serak, bahkan ia sendiri terkejut mendengarnya.Darian mengerutkan dahi, berjalan mendekat. Ia menempelkan punggung tangannya ke kening Averine. “Panas banget,” gumamnya. “Enggak. Kamu enggak boleh kemana-mana. Tidur lagi.”“Aku cuma—
Pagi itu, aroma roti panggang dan wangi kopi memenuhi ruang makan. Calia duduk di kursinya dengan wajah penuh konsentrasi, tangannya sibuk mengoleskan mentega ke roti seperti seorang chef kecil yang sedang mempersiapkan menu sarapan spesial. Semalam, ia sudah membantu Averine menyiapkan makan malam dengan sedikit kekacauan yang membuat mereka bertiga tertawa sampai perut sakit.Darian duduk di ujung meja, mengamati pemandangan itu. Averine memotong buah, sementara Calia tak berhenti bercerita tentang mimpinya yang katanya “sangat ajaib” ia bertemu seekor kelinci yang bisa berbicara.“Ayah, kamu percaya nggak kelinci bisa ngomong?” tanya Calia tiba-tiba, matanya berbinar.Darian tersenyum, menyandarkan punggung di kursi. “Kalau di dunia Calia, semua bisa. Bahkan hujan pun bisa tertawa.”Averine terkekeh, lalu menyuapkan sepotong stroberi ke mulut anak itu. “Kalau hujan bisa tertawa, mungkin hari ini kita bakal dengar,” ujarnya, setengah menggoda.
Pagi itu, cahaya matahari menyusup lembut dari celah tirai, mengguratkan garis tipis ke sprei putih yang sedikit kusut. Suara lembut seperti bisikan memecah keheningan.“Mama… Papa…”Calia sudah bangun lebih dulu. Rambutnya masih berantakan, pipinya hangat seperti roti yang baru keluar dari oven. Ia berdiri di samping ranjang, menatap mereka dengan mata yang setengah mengantuk tapi penuh rasa ingin dekat.Darian mengerjap pelan sebelum tersenyum. Ia menunduk, meraih tubuh mungil itu, lalu mengangkatnya ke atas ranjang. Tanpa banyak kata, Calia menyelip di antara mereka, kecil namun terasa seperti pusat dari seluruh dunia.Averine melingkarkan lengannya, merasakan bagaimana tubuh Darian di sisi lain ikut mendekat. Mereka bertiga terbungkus dalam kehangatan yang sederhana, namun sarat makna. Aroma sabun dari kulit Darian bercampur dengan wangi khas Calia yang masih menyisakan bau bantal tidurnya.Dari ambang pintu, Eira berdiri terdiam. Ada sesu