Beranda / Romansa / Cinta Dalam Sangkar Rahasia / Langkah Pertama ke Dunia Darian

Share

Langkah Pertama ke Dunia Darian

Penulis: Syahhsyy
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-18 21:08:25

Ruangan itu dipenuhi cahaya lembut yang jatuh dari jendela kaca patri, memantul di permukaan marmer dan bingkai emas lukisan antik. Suara langkah Averine teredam karpet Persia yang menutupi sebagian lantai, namun jantungnya berdetak terlalu keras untuk tak terdengar.

Valente Auction House lebih besar, lebih megah, dan... lebih sunyi dari yang ia bayangkan. Seperti museum yang menyimpan lebih dari sekadar seni ia menyimpan masa lalu. Dan di tengah ruang utama, di antara bayangan bingkai dan aroma kayu tua bercampur lemon polish, berdiri seseorang yang membuat waktu seakan melambat.

Darian.

Setelan jas kelabu membingkai sosoknya dengan sempurna, tapi bukan pakaiannya yang membuat Averine berhenti sejenak. Melainkan sorot matanya. Datar, namun menyelam terlalu dalam. Seperti danau tenang yang menyembunyikan sesuatu di dasarnya.

“Averine,” ucapnya akhirnya, dengan nada rendah dan tak tergesa. Ucapan yang seharusnya biasa saja, tapi entah mengapa terasa seperti guncangan kecil di dalam dada.

“Terima kasih sudah mengundangku kemari,” balas Averine, mencoba tetap tenang. “Tempat ini... sangat indah.”

Darian mengangguk. “Indah, tapi penuh rahasia. Seperti seni. Dan mungkin juga seperti kita.”

Perkataan itu membuat langkah Averine nyaris terhenti. Ia menoleh ke lukisan besar di dinding kanan campuran warna tua dan garis kasar. Lukisan itu tampak belum selesai. Justru karena itu, ia terasa jujur. Seperti seseorang yang bicara di tengah ketakutan, lalu berhenti sebelum seluruhnya terbuka.

“Lukisan itu belum pernah dilelangkan,” ujar Darian, berjalan mendekatinya. “Karya pelukis perempuan dari Marseille. Ia meninggal sebelum sempat memberinya nama.”

Averine menatap lukisan itu lama. “Seperti dibiarkan tergantung... tanpa penutup.”

“Dan justru karena itu... ia paling jujur,” jawab Darian. “Seperti kita.”

Averine perlahan menoleh menatap pria itu secara penuh. Sorot matanya mencoba tetap netral, tapi ia bisa merasakan tubuhnya siaga. Diuji. Dicari retaknya.

“Kau tahu banyak tentangku,” kata Averine pelan. “Lebih dari yang kau akui.”

Darian memandang ke jendela tinggi di belakang mereka. Langit mendung menggantung di atas Florence. “Ayahmu tokoh publik. Dan kamu... terlalu tenang untuk seorang Almanda. Itu membuatmu menarik perhatian.”

“Menarik?” tanyanya, separuh menggoda, separuh menantang.

“Atau mencurigakan?”matanya menyipit. Membuat Darian tersenyum tipis.

Senyum itu membuat Averine ingin mundur setapak. Ada sesuatu dalam senyum Darian... bukan hangat, tetapi terlalu terukur. Seolah ia sedang membaca, bukan menyambut. Rasanya dingin, nyaris menghina namun anehnya...membuat jatungnya berdegup lebih cepat. Tapi ia tetap di tempat, menahan diri agar tak terlihat gentar.

“Kamu mengamatiku?” tanya Averine dengan nada yang ia jaga agar tetap datar.

Darian tidak langsung menjawab. Matanya menatap ke suatu ttitik di belakang Averine, seolah sedang berbicara dengan bayangan masalalu yang belum selesai. Ia tampak memilih kata dengan hati hti bukan karena ragu...tapi karena tahu kata katany bisa membuka sesuatu yang belum siap ia tunjukan.

“Kamu mengingatkanku pada seseorang,” katanya akhirnya. Dengan suara yang hampir seperi bisikan yang enggan terucap.

Averine diam tapi tubuhnya merespon terlebih dahulu, tangannya menegang di samping. Seolah ingin tahu siapa sosok itu dan bayangannya masih tertinggal di antara mereka berdua.

“Seseorang yang pernah kamu cintai?” kata itu keluar lebihlembut dari pada yang ia rencanakan, dan justru karena kelembutan itulah terdengan lebih menusuk

Darian menoleh. Sorot matanya berubah...bukan dramatis, Tapi cukup untuk menunjukkan bahwa ada luka itu belum benar-benar sembuh. Sekilas, hanya satu helaan napas yang tertahan. Tapi bagi Averine, itu cukup. Karena ia tahu ekspresi seperti itu tidak datang dari kebohongan tapi dari kehilangan.

“Dia sudah tiada,” ujarnya perlahan, nyaris seperti mengaku pada dirinya sendiri. “Tapi kamu, Averine... kamu punya sesuatu yang serupa. Bukan wajah. Tapi cara diam. Cara menatap dunia seperti kamu sedang mendengarnya berbisik.”

Hening. Seperti udara mendadak menggantung di antara mereka.

Averine menunduk perlahan. Ada rasa sesak yang naik dari dadanya, tanpa tahu asalnya. “Aku tidak tahu... apakah itu pujian atau sekadar pengingat kalau aku bukan orang yang kamu cari.”

“Tapi kamu orang yang sedang berdiri di hadapanku sekarang.” jawabnya pelan, tapi tegas.

Ia mendongak. Dan untuk pertama kalinya, di tengah ruangan penuh karya seni yang bisu, ia merasa seperti dilihat. Bukan dari nama belakangnya, bukan dari reputasi keluarganya, tapi dirinya sendiri.

Untuk sesaat, mereka hanya berdiri. Tidak ada gerak, tidak ada suara selain detak jam antik di ujung ruangan. Tapi justru dalam diam itu, terasa seperti perjanjian diam diam sedang dibuat.

Averine akhirnya melangkah ke sisi lain ruangan. Di sana, sebuah lukisan kecil tergantung nyaris tersembunyi di antara dua karya besar. Goresannya kasar, hampir seperti sketsa. Tapi ia mengenali palet warnanya. Sangat mirip dengan warna yang pernah dilihat dalam kotak kayu peninggalan ibunya

“Siapa pelukisnya?” tanyanya.

Darian berdiri di belakangnya, menjaga jarak. “Tidak diketahui. Tapi lukisan itu masuk ke Valente lewat kolektor pribadi tahun 2004. Tanpa sertifikat. Tanpa histori.”

Tahun itu. Hampir bersamaan dengan tahun wafatnya Camilla. Dada Averine terasa menegang.

“Kenapa kamu tidak melelangkannya?”

Darian mengangkat bahu ringan. “Karena aku menunggu seseorang yang bisa mengenalinya.”

Ia menoleh, dan tatapan mereka bertemu lagi. Tak ada senyum. Hanya keheningan yang dalam. Tapi kali ini, ada rasa saling mengerti walau samar, walau tidak utuh.

Langkah langkah di luar ruangan menggema samar. Mungkin staf. Mungkin hanya pantulan suara. Tapi bagi Averine, kedatangan siapa pun kini terasa seperti ancaman bagi keheningan yang terlalu rapuh.

“Kenapa kamu undang aku ke sini, Darian?” tanyanya akhirnya. “Kalau semua ini hanya tentang masa lalu... kenapa harus aku?”

Darian menatapnya lama. Lalu menjawab tanpa berputar.

“Karena kamu satu satunya yang masih bisa membuka kunci yang ibumu tinggalkan. Dan mungkin, kamu satu satunya yang bisa melihat sisi Valente yang bahkan ayahmu sekalipun tak pernah tahu.”

Averine mengangguk pelan, bukan sebagai tanda setuju, tapi karena ia mulai paham: yang dimulai dari ruang makan malam itu... belum selesai. Dan tidak akan selesai, sampai salah satu dari mereka memutuskan berhenti.

Tapi ia belum berniat berhenti.

Belum sekarang.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cinta Dalam Sangkar Rahasia   Tempat Kita Pulang

    Florence malam itu sepi, dan langitnya begitu jernih hingga bintang bintang tampak seperti titik titik ingatan yang tak pernah padam. Averine berdiri di balkon hotel, membiarkan angin membawa pikirannya menjauh dari segala dokumen, warisan, dan penghapusan.Di tangannya, secarik kertas adendum legal yang sudah ditandatangani. Nama Eira kini telah terdaftar secara resmi sebagai bagian dari sejarah Valente. Ia sudah menyegel masa lalu itu, tapi hatinya belum selesai bicara.Darian datang dari belakang, membawa dua gelas wine merah. Tanpa bicara, ia menyerahkan satu ke Averine. Mereka berdiri berdampingan, menikmati sunyi yang lebih bersahabat malam ini."Ayahku dulu selalu bilang bahwa diam adalah perlindungan," kata Averine, suaranya nyaris dibawa angin. "Tapi diam juga bisa jadi cara paling lembut untuk menghancurkan."Darian tak menjawab. Ia hanya memandang wajah Averine yang diterangi cahaya bulan."Aku tidak tahu kenapa aku masih bisa menangisi seseorang yang tak pernah benar benar

  • Cinta Dalam Sangkar Rahasia   Nama yang ditiadakan

    Langit Florence tampak lebih bersih pagi itu, seolah semesta mencoba menghapus sisa mendung yang tertinggal. Tapi Averine tahu, tak semua hal bisa dibersihkan begitu saja terutama jejak yang sengaja dihapus oleh tangan manusia.Setelah malam sunyi yang dipenuhi bisikan dan diam, ia kembali duduk di ruang kerja peninggalan Camilla. Sisa sisa perenungannya dari pertemuan dengan Eira dan penemuan di studio Benedetta masih menyisakan gema. Lukisan tanpa nama itu burung yang saling berpaling namun terikat oleh satu garis halus masih terbayang dalam pikirannya.Saat Darian masuk dengan dua cangkir teh hangat, Averine masih memegang catatan catatan dari studio Benedetta. Di antara halaman jurnal, ia melihat satu nama yang berulang bukan Camilla, bukan Benedetta melainkan nama ayahnya.“Ayah selalu hadir di sekeliling luka, bukan untuk menyembuhkan... tapi menghilangkan,” gumamnya.“Apa kamu siap menanyakannya langsung?” tanya Darian, menyerahkan teh padanya.Averine menatapnya. “Aku harus. K

  • Cinta Dalam Sangkar Rahasia   Sapuan Tanpa Tanda

    Florence belum sepenuhnya kering dari hujan kemarin. Udara pagi membawa bau tanah basah, dan langit mendung menggantung rendah di atas kota. Di dalam studio kecil tempat lukisan tanpa nama itu dipajang, Eira telah pergi. Averine masih berdiri diam di depan kanvas kosong yang tadi mereka sentuh bersama.Ia belum tahu harus merasa seperti apa setelah pertemuan mereka yang singkat namun mengguncang. Tapi satu hal yang pasti mereka bukan lagi orang asing.Beberapa jam kemudian, sebuah dokumen datang ke meja kerja Averine. Laura, staf lama di arsip Valente, datang membawanya secara pribadi."Kami membersihkan kembali studio Benedetta seperti permintaan Anda. Kami menemukan ini tersembunyi di dalam map berlabel 'arsip latihan pribadi'. Saya pikir... Anda perlu melihatnya."Averine membuka dokumen itu pelan. Di dalamnya, catatan latihan seni dari beberapa murid Benedetta. Tapi salah satu folder menarik perhatiannya: Eira D.Sketsa sketsa kasar, penilaian harian, hingga catatan pendek tangan

  • Cinta Dalam Sangkar Rahasia   Warna yang Tak Pernah Dicampur

    Florence, pagi yang basah. Langit menyisakan awan kelabu, dan udara mengandung dingin yang tak biasa. Tapi bagi Averine, dingin itu bukan dari cuaca melainkan dari sesuatu yang mengendap di dada: penantian akan kepastian. Pagi itu mereka kembali ke klinik, tempat yang sama di mana amplop pertama diterima. Namun kali ini, mereka membawa sesuatu yang jauh lebih penting: harapan untuk membuktikan kebenaran yang tak bisa dilukis dengan perasaan semata.Ruang tunggu klinik sepi. Hanya dentingan jam dinding dan suara mesin printer dari ruang administrasi yang terdengar. Darian duduk di sebelah Averine, tangannya tak henti memainkan kertas pengambilan hasil tes DNA.Averine menatap layar ponselnya, membaca ulang email terakhir dari Eira: “Terima kasih telah tidak bertanya, tapi memahami.”“Kalau hasilnya... negatif,” Darian membuka percakapan pelan, “apa kamu akan tetap mencarinya?”Averine menoleh. “Ya. Karena yang aku cari bukan sekadar kesamaan gen. Tapi jawaban kenapa ibuku menyimpan

  • Cinta Dalam Sangkar Rahasia   Darah yang sama, luka yang berbeda

    Florence mulai menunjukkan senja keemasan ketika Averine dan Darian melangkah ke dalam ruang seni independen di San Spirito. Bangunan tua itu masih mempertahankan dinding batu asli dan jendela kaca patri yang memantulkan cahaya matahari seperti pecahan ingatan. Di dalam, suasana pameran sore itu tenang. Musik piano klasik mengalun samar dari sudut ruangan, menyatu dengan aroma cat minyak dan kayu tua.Di tengah keramaian kecil, mata Averine menyapu tiap lukisan yang tergantung. Semua bergaya kontemporer, namun satu di antaranya membuat langkahnya berhenti. Sebuah kanvas berukuran sedang seorang gadis duduk di tepi danau, langit senja membentang di atas kepalanya. Ada keheningan yang bergemuruh dari lukisan itu, seolah menyimpan jeritan yang ditahan terlalu lama.Langitnya bukan sekadar oranye. Tapi merah darah. Bayangan gadis itu tercermin samar di permukaan air dua versi diri, satu nyata, satu luka. Di sudut kiri bawah, sebuah pohon willow menggantung, rantingnya mirip rambut basah y

  • Cinta Dalam Sangkar Rahasia   Di Balik Tanda Lahir

    Sesampainya di kamar hotel, Averine duduk diam di sofa, amplop putih itu masih di tangannya. Darian membuatkan teh, tapi ia bahkan tidak menyentuhnya. Dengan napas panjang, ia membuka amplop itu perlahan. Di dalamnya, satu lembar surat yang ditulis tangan. Kertasnya sudah agak kusam, seolah telah lama menunggu waktu yang tepat untuk ditemukan. Tulisan itu miring, halus, tidak asing. Ia mengenal bentuk hurufnya. Tangan ibunya. Camilla. Averine, Jika surat ini sampai padamu, itu berarti waktu telah bergerak lebih cepat daripada yang kuduga. Apa yang akan kau temukan selanjutnya mungkin akan membuatmu marah. Mungkin akan menghancurkan gambaran yang selama ini kau pegang tentangku. Tapi ingat satu hal aku tak pernah bermaksud meninggalkan luka. Aku hanya ingin melindungi kalian berdua dengan cara yang kutahu. Ya, kalian berdua. Maafkan aku, Averine. Camilla. Satu kalimat itu "Ya, kalian berdua." menghantam dada Averine seperti badai yang tak bisa ia hindari, meski ia sudah tahu s

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status