Beranda / Romansa / Cinta Dalam Sangkar Rahasia / Di Balik Hujan, Ada Namamu

Share

Di Balik Hujan, Ada Namamu

Penulis: Syahhsyy
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-18 21:22:22

Pagi di Florence tiba dengan kabut tipis dan aroma tanah basah. Di kamar vila lantai dua yang disewa keluarga Almanda, Averine berdiri di depan dinding kosong yang kini tak lagi kosong. Di sana, ia menyusun peta. Bukan rute perjalanan, melainkan benang merah masa lalu.

Gambar gambar kecil tertempel: foto ibunya di tahun 1990an, sketsa yang ia temukan di arsip Valente, potret dirinya saat remaja yang tidak pernah ia kenali. Di tengahnya, tertulis satu kata dengan spidol merah:

BENDETTA.

Ia memejamkan mata, menarik napas panjang. Setiap petunjuk membawa pada satu kesimpulan, ibunya meninggalkan sesuatu. Bukan hanya warisan seni. Tapi semacam jejak rahasia yang sengaja disebar. Dan semua berakhir di tempat yang sama: Valente Auction House.

Suara notifikasi ponsel memecah keheningan. Satu pesan dari Ayah:

“Foto pertunanganmu sudah tayang di tiga media. Jangan lupa siapa kamu, Averine.”

Ia menatap layar beberapa detik, lalu meletakkannya di meja tanpa membalas. Ayah selalu berbicara dengan bahasa reputasi. Tapi hari hari ini, ia lebih tertarik pada bahasa diam ibunya.

Siang harinya, saat membuka laci meja tua di vila, Averine menemukan satu amplop kecil berwarna gading. Di dalamnya, selembar kertas tipis dengan tulisan tangan yang sudah nyaris pudar. Ia mengenali tulisan itu Camilla.

Isi surat itu tak panjang, hanya beberapa kalimat. Tapi baris terakhir membuat tubuhnya membeku.

“…aku harus menemui Benedetta sebelum semuanya terlambat. Lukisan itu tidak boleh jatuh ke tangan yang salah”

Kalimat terputus. Bagian bawahnya robek.

Averine menggenggam kertas itu erat, lalu berjalan ke jendela. Dari kejauhan, kota tua Florence terlihat seperti lukisan pastel yang bergetar di bawah cahaya matahari musim gugur. Tapi di dalam dadanya, sesuatu mulai mengeras.

Benedetta bukan sekadar nama. Ia adalah kunci.

Menjelang sore, sebuah pesan masuk dari Darian. Hanya sebuah foto.

Lukisan sketsa tangan seorang perempuan, mengenakan cincin antik bertuliskan huruf “C.A.” Di bawah foto, hanya ada satu kalimat

“Ini bukan hanya tentang ibumu. Ini tentang apa yang dia sembunyikan dari semua orang. Termasuk kamu.”

Tak ada lokasi. Tak ada ajakan langsung. Tapi ia tahu itu undangan. Dan ia tahu ke mana harus pergi.

Malam turun pelan di Florence. Di atas sebuah gedung galeri tua yang telah lama tutup untuk umum, Averine melangkah pelan di antara atap genteng dan besi tua yang berkarat. Darian sudah menunggu, berdiri di tepi atap dengan tangan di saku.

Langit gelap tapi bersih. Kota memantulkan cahaya oranye dari lampu jalan. Sejenak, suasana terasa damai jika bukan karena jarak tak terlihat yang terbentang di antara mereka.

“Apa ini permainan, Darian?” tanya Averine membuka percakapan.

“Bukan. Ini warisan. Tapi bukan yang bisa kau simpan di brankas.”

“Lalu kenapa kau simpan semua ini dariku? Kenapa seolah olah aku hanya bagian kecil dari teka teki ini?” tanya Averine dengan suara pelan

Darian menatapnya. “Karena kamu lebih dari itu. Kamu... bagian dari jawabannya.”

Ia merogoh saku jasnya dan mengeluarkan satu lembar kertas. Lukisan kecil, sketsa dua perempuan berdiri di depan perapian. Satu lebih tua, berambut panjang. Satunya lagi masih muda, berdiri sedikit di belakang.

Wajah sang perempuan tua adalah wajah ibunya. Wajah yang muda adalah Averine.

“Camilla melukis ini?” bisik Averine

“Ya. Tapi tak pernah dipamerkan. Tak pernah dijual. Bahkan aku pun hanya melihatnya setelah seseorang menitipkannya kembali ke Valente.” jawab Darian pelan.

Averine menggenggam lukisan itu perlahan. Di bagian belakang kertas, tertulis tulisan tangan kecil

“Untuk Benedetta. Jika aku gagal, tolong jaga dia.”

Tangan Averine gemetar.

“Siapa Benedetta?” suaranya serak.

Darian menatapnya lekat. “Seseorang yang tahu lebih banyak dari siapa pun... dan mungkin, satu satunya yang tahu kenapa ibumu tak pernah menandatangani beberapa lukisan terakhirnya.”

Averine memejamkan mata sesaat. Malam ini terasa seperti membuka pintu tua yang sudah terlalu lama dikunci.

“Kenapa kau bawa aku ke sini?”

“Karena kamu sudah terlalu dekat untuk dibiarkan dalam gelap.”

Averine menarik napas dalam dalam. “Kalau ibuku meminta Benedetta untuk menjagaku... itu berarti dia tahu akan ada ancaman. Sesuatu yang cukup besar untuk membuatnya sembunyi.”

“Dan kamu,” lanjut Darian, “mungkin satu satunya yang bisa menemukan sisa jejaknya.”

Mereka berdiri lama dalam diam. Di antara deru angin dan gemuruh samar kota, hanya suara detak jam tua dari gereja di kejauhan yang menandai waktu.

Averine menggenggam sketsa itu lebih erat.

Malam ini, bukan hanya warisan yang dibuka. Tapi luka. mungkin, kebenaran yang tak akan pernah bisa dikembalikan ke tempat semula.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cinta Dalam Sangkar Rahasia   Waktu tidak bisa menang

    Malam itu berakhir dalam pelukan hangat, dua napas yang tak mau lepas.Tidak ada kata-kata berlebihan, hanya rasa cukup.Pagi harinya, mereka sarapan di balkon hotel sambil menatap laut yang bergelombang kecil. Tidak ada agenda terburu-buru Darian hanya ingin menikmati setiap menit sebelum kembali ke rumah. Sesekali, mereka tertawa mengingat tingkah Calia, lalu saling meyakinkan bahwa satu hari “kabur” seperti ini harus jadi rutinitas.Menjelang siang, mereka membereskan barang. Darian menggandeng tangan Averine saat melewati lobi hotel, sama seperti dulu waktu mereka pertama kali pergi berlibur berdua. Mobil melaju santai di jalan pulang, dengan musik pelan dan jendela sedikit terbuka, membiarkan angin sore masuk.Saat sampai di rumah, Calia langsung berlari dari pintu, memeluk keduanya sambil menceritakan semua permainan yang ia lakukan bersama Eira. Averine menatap Darian di atas kepala putri mereka tatapan singkat tapi penuh arti kita pulang, dan kita utuh.Malam itu mereka tidur

  • Cinta Dalam Sangkar Rahasia   Satu Hari di Luar Dunia

    Malam itu berakhir dalam keheningan hangat. Averine tidak tahu berapa lama mereka berbaring seperti itu kepalanya bertumpu di dada Darian, napas pria itu teratur, dan tangannya sesekali mengusap punggung Averine tanpa sadar. Bukan untuk menenangkan, bukan pula untuk memulai sesuatu, hanya… menjaga. Dan entah kenapa, ia menyukai cara Darian diam.Esok paginya, Averine bangun lebih dulu. Atau mungkin Darian memang sengaja membiarkannya merasa demikian. Cahaya matahari pagi merayap pelan dari celah tirai, sementara kicau burung terdengar dari luar jendela. Darian masih memejamkan mata, tapi Averine tahu ia belum benar-benar tidur. Gerakan napasnya sedikit lebih dalam tanda khas saat pria itu sedang berpura-pura.“Pagi,” ucap Averine sambil menyenggol bahunya pelan.Darian membuka mata, menyipit sedikit karena cahaya. “Pagi. Kamu udah berapa lama bangun?”“Baru… dua puluh menit,” jawabnya, meski sebenarnya mungkin lebih lama. Ia sengaja diam, menikmati rasa nyaman yang sudah lama tidak da

  • Cinta Dalam Sangkar Rahasia   pembicaraan di tengah malam

    Malam itu, rumah sudah sepenuhnya tenggelam dalam keheningan. Hujan yang sejak sore tidak berhenti kini tinggal gerimis, menetes lembut di luar jendela kamar. Cahaya lampu tidur berwarna kuning temaram menciptakan bayangan hangat di dinding, seakan ingin menjaga ketenangan ruangan itu.Darian duduk di tepi ranjang, punggungnya sedikit membungkuk. Di pangkuannya ada kain kompres yang baru ia ganti, masih hangat dari air yang tadi ia tuangkan ke baskom. Tangannya bergerak hati-hati saat menempelkan kompres itu ke dahi Averine. Suhu tubuhnya memang sudah turun dari siang tadi, tapi Darian tetap ingin memastikan.“Masih panas sedikit,” gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada diri sendiri.Averine hanya menggumam, matanya setengah terpejam. Ia terlalu nyaman untuk benar-benar menjawab.Darian menarik napas panjang. Seharian ini ia mondar-mandir, menyiapkan teh jahe, mengecek suhu setiap dua jam, memaksa Averine makan bubur walau hanya beberapa se

  • Cinta Dalam Sangkar Rahasia   Averine Sakit

    Hujan sudah berhenti semalaman, tapi udara di rumah itu masih dingin. Sisa-sisa genangan di halaman belakang memantulkan cahaya abu-abu dari langit pagi.Averine bangun dengan kepala berat dan tenggorokan yang kering. Seluruh badannya terasa lemas, seolah semua energi hilang saat ia tidur. Malam sebelumnya, ia memang terlalu lama berada di bawah hujan bersama Darian dan Calia. Waktu itu rasanya menyenangkan, tapi sekarang tubuhnya menagih harga.Ia berusaha duduk di tepi tempat tidur, namun baru saja mengangkat kepala, Darian yang masih setengah tertidur di kursi sebelah langsung tersentak.“Kamu mau kemana?” tanyanya cepat sambil bangkit.“Aku… mau lihat Calia. Dia udah bangun belum?” suaranya serak, bahkan ia sendiri terkejut mendengarnya.Darian mengerutkan dahi, berjalan mendekat. Ia menempelkan punggung tangannya ke kening Averine. “Panas banget,” gumamnya. “Enggak. Kamu enggak boleh kemana-mana. Tidur lagi.”“Aku cuma—

  • Cinta Dalam Sangkar Rahasia   Menari di tengah hujan

    Pagi itu, aroma roti panggang dan wangi kopi memenuhi ruang makan. Calia duduk di kursinya dengan wajah penuh konsentrasi, tangannya sibuk mengoleskan mentega ke roti seperti seorang chef kecil yang sedang mempersiapkan menu sarapan spesial. Semalam, ia sudah membantu Averine menyiapkan makan malam dengan sedikit kekacauan yang membuat mereka bertiga tertawa sampai perut sakit.Darian duduk di ujung meja, mengamati pemandangan itu. Averine memotong buah, sementara Calia tak berhenti bercerita tentang mimpinya yang katanya “sangat ajaib” ia bertemu seekor kelinci yang bisa berbicara.“Ayah, kamu percaya nggak kelinci bisa ngomong?” tanya Calia tiba-tiba, matanya berbinar.Darian tersenyum, menyandarkan punggung di kursi. “Kalau di dunia Calia, semua bisa. Bahkan hujan pun bisa tertawa.”Averine terkekeh, lalu menyuapkan sepotong stroberi ke mulut anak itu. “Kalau hujan bisa tertawa, mungkin hari ini kita bakal dengar,” ujarnya, setengah menggoda.

  • Cinta Dalam Sangkar Rahasia   pelukan pagi

    Pagi itu, cahaya matahari menyusup lembut dari celah tirai, mengguratkan garis tipis ke sprei putih yang sedikit kusut. Suara lembut seperti bisikan memecah keheningan.“Mama… Papa…”Calia sudah bangun lebih dulu. Rambutnya masih berantakan, pipinya hangat seperti roti yang baru keluar dari oven. Ia berdiri di samping ranjang, menatap mereka dengan mata yang setengah mengantuk tapi penuh rasa ingin dekat.Darian mengerjap pelan sebelum tersenyum. Ia menunduk, meraih tubuh mungil itu, lalu mengangkatnya ke atas ranjang. Tanpa banyak kata, Calia menyelip di antara mereka, kecil namun terasa seperti pusat dari seluruh dunia.Averine melingkarkan lengannya, merasakan bagaimana tubuh Darian di sisi lain ikut mendekat. Mereka bertiga terbungkus dalam kehangatan yang sederhana, namun sarat makna. Aroma sabun dari kulit Darian bercampur dengan wangi khas Calia yang masih menyisakan bau bantal tidurnya.Dari ambang pintu, Eira berdiri terdiam. Ada sesu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status