Share

Bab 5. Jalan mulai terbuka.

“Aku akan bekerja dikantor Mamanya Alvin sebagai petugas kebersihan.” ujar Windy ketika ia dan Juned mulai menyantap hidangan makan malam disebuah cafe yang tidak begitu jauh dari tempat kos mereka.

“Apaa...?? Juned hampir saja tersedak dan buru-buru meminum air putih untuk mendorong makanan yang nyangkut dikerongkongannya.

Kamu yakin Win, akan bekerja diperusahaan Mamanya Alvin ?” sambung Juned setelah merasa kerongkongannya sedikir lega.

Windy menganggukkan kepalanya dan mulai menelan makanan suapan pertamanya.

Juned meletakkan sendoknya dan kini menatap Windy sepupunya itu dengan pandangan semakin heran.

“Iya Jun, masa aku main-main sih.” sahut Windy tenang dan terus menyuap makan malamnya disamping Juned.

“Terus kuliahmu bagaimana Oon..!!” ujar Juned sedikit memaki Windy.

“Tenang saja Jun, aku akan bekerja diluar jam kuliah. Mamanya Alvin memberiku sedikit kelonggaran waktu kerja disana.” jawab Windy semakin santai. Sedangkan Juned memandangnya semakin heran dan matanya melotot tidak setuju.

“Aku akan lapor Mak..!” Dengan tergesa Juned menyambar ponselnya dan siap mengadu kepada Farida.

“Eit jangan Oon..! kamu ini dikit-dikit lapor Mak. Jangan nambahin beban pikiran Mak dikampung.” sergap Windy langsung merebut ponsel Juned dan mematikan tombol call sebelum panggilan Juned tersambung ke ponsel Mak Farida.

“Kalau aku tidak lapor terus kuliahmu terbengkalai, aku yang akan dimarahi Mak.” Juned membesarkan matanya kepada Windy.

“Itu kan derita elu.” sahut Windy meleletkan lidahnya dan tertawa puas melihat Juned yang kelimpungan.

“Eh Jun, dengerin..!” Windy merubah nada bicaranya lebih serius. Juned mendekatkan kupingnya ke arah Windy siap untuk mendengar keterangan pers sepupunya itu.

“Ternyata Mamanya Alvin bernama Fatma.”

“Alaaah, jangan mengira kalau Mamanya Alvin adalah perempuan yang ada dalam misimu. Bukan satu orang perempuan yang bernama Fatma. Contohnya di kampus kita banyak juga orang bernama Fatma, Fatmawati, Fatmaini, Fatmasari, Fatmarida daaaan....

“Stoooop...!! Jangan bilang ada Fatmarudin.” sanggah Windy memotong obrolan latah Juned dengan meletakkan jari telunjuk dibibirnya.

“Kamu tahu nggak Jun, nama perusahaan yang tertulis didinding kantor Mamanya Alvin adalah Fatma Advertising.”

“Apaa...?? Serius kamu Win ?” Kali ini Juned mulai memakai akal sehatnya.

“Jangan-jangaaan...!” Juned tidak melanjutkan kalimatnya namun bola matanya berputar petanda ia sedang berfikir serius. Ia meletakkan sendok diatas piring dan menyudahi makan malamnya secara mendadak karena nafsu makannya langsung hilang lenyap.

“Tidak mungkin ada dua kesamaan kan Jun ? Nama dan jenis usahanya menunjukkan satu arah kalau Mamanya Alvin adalah perempuan yang telah merebut Ayah dari Ibu.” tandas Windy yakin.

Juned mengangguk-anggukkan kepalanya tanda ia sependapat dengan Windy.

“Aku juga mulai berfikir kearah sana Win.” Sahut Juned memutar pandangan sekeliling cafe tempat mereka bersantap malam. Sekilas ia melihat sosok yang dikenalnya dari kejauhan.

“Eeeh Win, itu ada Alvin menuju kemari.” ujar Juned setengah berbisik.

“Oke oke...!” Sahut Windy lalu memasang ekpresi tenang agar Alvin tidak curiga. Ia menyantap makan malamnya sembari menukar topik obrolan dengan Juned.

“Hai Al, kok tahu kami disini ?” Juned langsung menyambut kedatangan Alvin yang sudah sampai disisi meja mereka. Windy melemparkan senyuman rindu kearah Alvin.

“Ya Allah, kalau Alvin anaknya Fatma, apakah ia juga anak ayah ?  Kalau iya,  itu artinya dia adalah saudara sedarah denganku ?” Windy mengeluh didalam hatinya. Windy khawatir kalau Alvin adalah darah daging Januar ayahnya. Jika benar begitu maka perasaannya kepada Alvin harus segera ia lenyapkan.

“Aku baru saja ke kos kalian dan teman-teman disana bilang kalian makan disini.” jawab Alvin menjelaskan.

“Ooh.” Windy menjawab singkat dan mempersilahkan pemuda ganteng pujaan hatinya itu duduk disebuah kursi disampingnya.

“Berhubung pengawal yang asli sudah datang, maka sudah saatnya aku undur diri.” ucap Juned sembari berdiri dan bersiap untuk pergi.

“Mau kemana kamu Jun ?” tanya Windy.

“Ah mau tau saja urusan anak muda. Ya ngapelin Melani lah..!” jawab Juned sambil melambaikan tangan dan bergegas pergi. Windy tertawa geli melihat kelakuan sepupunya itu. Nama Melani yang ia sebutkan itu adalah nama seekor kucing milik ibu kos. Karena Juned menyayangi hewan itu makanya Windy sering mengejeknya sebagai pacarnya si kucing manis bernama Melani tersebut.

“Win, aku tidak setuju kalau kamu bekerja dikantor Mama. Kalau toh kamu butuh pekerjaan aku akan mencarikannya ditempat lain. Aku akan mencarikan pekerjaan sebagai staf kantor diperusahaan ayah temanku. Kebetulan ada yang membutuhkan seorang tenaga administrasi.” Alvin langsung memberondong Windy dengan pernyataan berikut menawarkan solusi.

“Tidak apa Al, aku malah bersyukur Mama kamu mau menerimaku bekerja disana. Hitung-hitung bisa mengurangi beban Mak dikampung.” sahut Windy dengan mengemas senyum indahnya dan memperbaiki hijab yang menjulur kekeningnya.

 Hatinya yang tengah kacau balau ia tutupi dengan sikapnya yang tenang dihadapan Alvin.

“Tapi Win, pekerjaan itu tidak cocok untukmu. Setidaknya kamu bisa menjadi staf kantor. Oke kalau begitu aku akan bicara dengan Mama agar ia memberikan pekerjaan yang layak untukmu.” Alvin kemudian mengambil keputusan untuk bicara dengan Farida.

“Jangan Al.” Windy memegang lengan Alvin dan menggelengkan kepalanya menatap Alvin.

“Aku tidak mau kamu berselisih paham dengan Mamamu hanya karena aku.” sambung Windy nelangsa. Windy dapat merasakan sikap Fatma yang terlihat tidak menyukai dirinya. Fatma sangat memandang rendah kepadanya. Windy dapat merasakan itu.

Namun Windy tidak terlalu mempermasalahkan pandangan Fatma kepadanya. Ia lebih memikirkan keadaan Hanum ibunya dikampung.

“Ibu sedang apa ya ?” tanya hati Windy sambil melamun.

“Hei.. diajak ngobrol malah melamun. Intinya aku tidak setuju kamu bekerja sebagai petugas kebersihan. Ooh, atau sebaiknya aku memang harus ngomong sama Mama agar kamu ditempatkan dibagian administrasi. Yaa.. aku rasa lebih baik begitu.” Alvin tidak bisa dibantah lagi. Ia langsung berdiri bangkit dari tempat duduknya dan langsung pergi meninggalkan Windy. Alvin tidak memperdulikan Windy yang terus memanggil namanya dan bahkan berlari kecil mengejarnya sampai ke halaman parkir cafe itu.  Alvin telah menaiki kendaraannya dan lalu melesat pergi menuju pulang kerumahnya.

“Aduh gawat..! Kalau sampai Alvin bertengkar dengan Mamanya lalu membatalkan pekerjaan untukku, maka aku akan kehilangan kesempatan satu-satunya untuk mencari tahu keberadaan Ayah. Hmm, bagaimana ini ?” Windy terlihat resah berputar-putar dilapangan parkir tempat Alvin memarkirkan mobilnya tadi.

“Kenapa Win ?” Tiba-tiba Juned muncul dari balik pohon yang sengaja ditanam sebagai tanaman hias dihalaman parkir cafe itu. Windy mendongakkan kepalanya dan menemukan wajah Juned sudah terpampang didepan matanya.

“Alvin tidak setuju aku bekerja sebagai tenaga kebersihan dikantor Mamanya.” Jawab Windy lesu.

Juned nampak ikut-ikutan berfikir untuk membantu Windy mencari jalan keluarnya.

“Alvin mau bicara dengan Mamanya agar aku ditempatkan dibagian kantor atau administrasi.” Tambah Windy menyambung kalimatnya tadi.

“Malah bagus dong.” Sahut Juned menatap Windy dan mengajaknya pulang ke kos mereka yang tidak begitu jauh dari cafe itu.

“Aku berfikir kalau aku menjadi petugas kebersihan aku akan bebas masuk ruangan mana saja dikantor itu. Aku yakin Fatma pasti menyimpan banyak rahasia disana.” ucap Windy sambil berjalan pelan disamping Juned. Mereka menyusuri trotoar dan sekitar dua ratus meter lagi akan sampai dipintu gerbang perumahan tempat mereka tinggal.

“Kok kamu begitu yakin sih Win ?”  tanya Juned menoleh kepada Windy yang berjalan disisi kirinya.

“Aku sering mendengar ocehan Ibu yang mengatakan kalau perempuan itu telah mengurung Ayah disebuah ruangan.” Windy menyahuti pertanyaan Juned.

“Alaah Wiin..! Kamu masih saja mengambil hati ocehan Ibu. Ibu hanya berhalusinasi Win.” sanggah Juned sambil menendang sebuah kerikil kecil yang menyentuh ujung sepatunya.

“Mungkin iya menurut orang, tapi tidak menurutku. Aku yakin perkataan Ibu bukan halusinasi, tapi adalah naluri seorang istri.” jawab Windy mantap.

Juned hanya menaikkan bahunya. Ia tidak mau berdebat lagi dengan Windy.

******

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status