Seminggu sudah Windy dan Juned berada di Jakarta. Alvin setiap hari datang dan mengajak mereka berkeliling kota Jakarta hingga mereka berdua tidak canggung lagi dengan keramaian kota Jakarta yang hiruk pikuk.
Hari ini adalah hari senin yang merupakan hari pertama kali mereka masuk kuliah. Dikampus mereka berpisah karena jurusan ilmu yang mereka tuntut berbeda. Windy memilih fakultas hukum dengan jurusan hukum pidana karena ia bercita-cita menjadi pengacara. Alvin memilih menjadi mahasiswa kedokteran karena profesi dokter adalah impiannya sejak kecil. Sedangkan Juned mengambil jurusan kontruksi bangunan karena ia ingin menjadi seorang kontraktor bangunan dikampungnya.“Hati-hati ya Win, jaga hati, jangan sampai kepincut mahasiswa senior.” ucap Alvin ketika mereka akan berpisah menuju tempat ospek masing-masing.“Kamu juga Al, jangan tergoda mahasiswi baru. Aku dengar mahasiswi kedokteran cantik-cantik lho.” jawab Windy sedikit resah.“Tidak Windy, kita ada disini untuk mencapai cita-cita dan impian kita berdua. Kalau nanti kita sudah tamat kuliah kita akan bekerja dan menikah.” sahut Alvin sambil menggenggam tangan Windy yang digandengnya. Mereka berdua bertatapan dengan mesra dan saling menggenggam janji didada.“Setelah selesai kita bertemu kembali disini, aku akan mengajakmu bertemu Mamaku.” kata Alvin sebagai kalimat terakhirnya sebelum berpisah.Windy menganggukkan kepalanya dan melepaskan pegangan tangan Alvin dijarinya.Lalu Windy dan Alvin berpisah disebuah persimpangan menuju gedung kampus mereka masing-masing dan siap mengikuti rangkaian acara maba atau mahasiswa baru.****Jam 02.25 siang menjelang sore mereka bertemu kembali dipersimpangan kampus tempat terakhir mereka berpisah tadi pagi. Sedikit kelelahan tapi penuh semangat meronai wajah kedua mahasiswa/i baru kampus yang cukup ternama itu.“Udah lama sayang.” Alvin menyapa Windy yang ternyata telah lebih dahulu datang dan menunggu di bantaran tembok dekat taman yang menjadi pembatas antara kampusnya dengan kampus Alvin.“Hampir setengah jam.” jawab Windy menoleh kepada Alvin dengan memberikan senyum terindahnya.“Duuuh, jangan senyum gitu dong Win. Aku jadi kenyang.” ujar Alvin menggoda Windy hingga wajah gadis itu bersemu merah. Jemari tangannya menggapai ujung kerudung yang ia kenakan dan menutupi separo wajahnya.“Ayolah kita langsung jalan, ntar keburu sore.” ajak Alvin tanpa canggung meraih tangan kanan Windy dan menggandengnya menuju parkiran mobil.Beberapa saat kemudian mereka berdua sudah berada didalam mobil Pajero sport terbaru milik Alvin. Kendaraan mulus itu berjalan membelah keramaian kota Jakarta yang diselingi sedikit kemacetan.Tak sampai satu jam kemudian Alvin membelokkan kendaraannya memasuki halaman sebuah gedung yang cukup besar dan megah. Didinding depan gedung itu terukir tulisan PT. FATMA ADVERTISING.“Fatma...??”“Advertising..?”Windy mengerutkan dahinya ketika matanya menangkap dan membaca tulisan tersebut.“Ayahmu bernama Januar, ia memiliki sebuah perusahaan periklanan yang cukup besar dan ternama di Jakarta. Ayahmu kemudian menghilang dan kabarnya telah menikahi seorang perempuan bekas pelayan dikantornya yang bernama Fatma.” Kata-kata Mak Farida terngiang kembali ditelinga Windy.“Ya Allah, apakah ini suatu kebetulan ?” Desah Windy dalam hati.“Ayo turun Win, kok bengong sih ? Jangan melamun dong, toh orang yang dilamunin ada disini kok. Hahha.” goda Alvin yang telah membukakan pintu mobil untuk Windy.Windy tersentak dari lamunannya dan segera memasang wajah manis agar tidak membuat Alvin bertanya-tanya.“Fatma itu nama Mamamu ya Al ?” tanya Windy ketika mereka berjalan bergandengan memasuki gedung itu. Beberapa karyawan dan karyawati terlihat mengangguk hormat kepada Alvin. Dan Alvin membalas anggukan mereka dengan ramah.“Iya benar sayang. Dan mudah-mudahan Mamaku suatu hari nanti akan jadi Mama mertuamu.” jawab Alvin yang semakin membuat jantung Windy berdebar-debar.“Duh, Alvin memang baik banget.” Desah hati Windy sambil melirik lelaki tampan disampingnya. Berbagai pemikiran berkecamuk dihati Windy. Nama Fatma yang ditulis didinding depan gedung itu benar-benar membuat hatinya menjadi kacau balau.“Hai Al, apa kabar ?” Seorang gadis cantik nan seksi menyapa Alvin yang tengah berjalan menggandeng Windy kekasihnya. Dilihat dari dandanannya yang sempurna pastilah gadis itu seorang model atau artis. Windy merapikan pakaiannya yang terbuat dari bahan murah. Sungguh berbeda dengan pakaian yang dikenakan si gadis cantik yang kini menghadang langkah mereka.“Hai Selova, kabarku baik.” Jawab Alvin menyambut uluran tangan gadis yang ternyata bernama Selova.“Kenalin, ini Windy pacarku.” ujar Alvin tanpa sungkan kemudian meraih tangan Windy dan menyodorkannya ke tangan gadis cantik yang ia panggil Selova itu.Selova agak membuang muka dan ogah-ogahan menerima salaman dari Windy, seakan ia akan menyentuh seonggok najis.“Selova !” ujarnya singkat tanpa memandang ke arah Windy. Gadis itu malah menatap Alvin yang pura-pura tidak melihat tatapan Selova.“Nggak salah nih Al, gadis kampung ini pacarmu?" Tanpa basa-basi Selova bicara dihadapan Windy sambil buru-buru menarik tangannya yang masih bersalaman dengan Windy.“Ooh, justru aku lebih suka gadis kampung yang hatinya masih bersih.” jawab Alvin lembut disertai senyuman tapi jelas menusuk jantung Selova.Selova mendengus tidak suka dengan kalimat Alvin. Ia merasa diremehkan.“Oke Selova, kami jalan dulu.” Alvin kembali menggandeng Windy dan meninggalkan Selova yang menghentakkan kakinya dengan perasaan kesal.Tuk tuk tuk... Suara langkah kaki mereka membentur lantai gedung mewah itu. Alvin membawa Windy menuju sebuah pintu yang bertuliskan tulisan ‘Direktris’.Tok tok tok...Alvin mengetuk pintu.“Masuk..!” Terdengar suara perintah dari dalam ruangan itu.“ Mama..!” sapa Alvin kepada seorang wanita yang duduk dibelakang sebuah meja dan menghadap kepintu. Ruangan itu cukup luas dengan dekorasi yang mewah. Beberapa contoh iklan dipajang didinding ruangan itu. Sebuah layar televisi besar juga tersangkut didinding dengan susunan yang rapi dan memanjakan pandangan.“Oh, kamu Al. Bagaimana hari pertama kuliahmu ?” sahut wanita yang bertitel seorang direktris itu sambil mengangkat dagu memandang Alvin dan Windy yang masih berdiri dihadapan meja kerjanya.“Duduk Win !” Alvin menarik sebuah kursi dihadapan meja dan mempersilahkan Windy duduk sementara Alvinpun ikut duduk dikursi sebelah Windy.“Kenalin Ma, ini Windy !” ujar Alvin dan Windy langsung mengulurkan tangannya untuk menyalami wanita yang dipanggil Mama oleh Alvin tersebut.“Ooh..!” Wanita itu menyambut tangan Windy dan menyebutkan namanya.“Saya Fatma Mamanya Alvin.” sahut Wanita itu dengan nada datar dan matanya menatap penampilan Windy.Windy jadi risih oleh tatapan Fatma, namun ia berusaha bersikap wajar dan sopan.Windy menarik kembali tangannya dan menunduk salah tingkah.“Teman kuliahmu Al ?” tanya Fatma kepada Alvin tanpa terlalu menggubris keberadaan Windy diantara mereka.“Iya Maa.. daaan...”“Oh, jadi dia yang akan melamar jadi cleaning service disini..? Boleh... Boleh..!” Belum sempat Alvin melanjutkan kalimatnya Fatma sudah memotong dan menatap Windy sambil mengangguk-angguk tersenyum dengan pandangan menyeleksi.“Baik, aku akan menerimamu bekerja disini karena kamu adalah teman anakku. Kamu bisa langsung bekerja besok tanpa harus mengikuti tes. Tapi ingat ! jangan karena mentang-mentang kamu temannya Alvin kamu bisa bekerja seenaknya.” papar Fatma tanpa memberi kesempatan kepada Alvin yang sudah membuka mulut untuk menyanggah perkataan Fatma.Windy berfikiran cepat. Ia merasa punya kesempatan untuk lebih leluasa menyelidiki Fatma dan mencari ayahnya.“Iya Nyonya, saya akan bekerja sebaik mungkin.” sahut Windy cepat sebelum Alvin membuka mulutnya untuk bicara.“Taapiii...”Taak...! Windy segera menginjak kaki Alvin agar lelaki itu tidak melanjutkan perkataannya.“Wiiin...!” Alvin menatap Windy tidak mengerti namun Windy tidak mengindahkannya.Windy lebih membayangkan wajah Hanum ibunya dikampung. Gadis itu sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengan Januar ayahnya dan membawanya pulang agar ibunya bisa sembuh. Penawaran kerja dari Fatma adalah jalan terang untuk menembus misinya itu. Windy tersenyum sendiri.“Aku sudah datang Fatma..!!” desis Windy dalam hati sambil menatap lekat-lekat wajah wanita yang terlihat angkuh dihadapannya itu.****“Hak..hak..hak..!”Pak Tua itu kembali tertawa sumbang. Suaranya bercampur serak dan Windy merasa kalau lelaki itu hidup dalam tekanan psikis berat yang cukup lama.Pak Tua kembali berdiri dan kakinya yang gemetar ia seret melangkah menuju sebuah lemari buku yang berdiri di antara ruang tamu dan ruang keluarga. Banyak tersusun buku-buku di sana namun Pak Tua mengambil sebuah saja di dalam laci yang sepertinya adalah album foto.Ia memegang album itu dan menatap benda itu sejenak laluuu..Breeet...Album besar itu ia lemparkan ke arah Windy dan hampir saja mengenai kepala gadis itu.Oouh..Windy menghindar sehingga kepalanya luput dari serangan benda yang datang tiba-tiba tersebut.Bruuuk...Album itu jatuh ke atas lantai dan beberapa lembarannya nampak terbuka.“Lihatlah! Dan kamu akan menemukan jawaban di sana!” perintah Pak Tua dengan tegas menunjuk album yang teronggok di lantai.Windy menatap se
Windy di bawa ke sebuah rumah besar yang mirip dengan sebuah istana mewah.“Di mana ini?” tanya Windy sambil mengedarkan pandangan matanya sekeliling ketika Sandy telah mempersilahkannya turun dan ia menjejakkan kakinya di halaman bangunan yang ternyata sebuah Villa.“Di kediamanku!” jawab Sandy cukup angkuh.“Oh, aktor setaraf Sandy tentu saja mampu membeli rumah nan megah seperti ini.” ucap Windy di dalam hati.Entah mimpi apa ia semalam kok bisa-bisanya ia menjejakkan kaki di rumah aktor tampan itu dan berduaan pula dengannya.“ Di mana Alvin?” tanya Windy tidak sabar.Sandy tidak menjawab namun ia terus berjalan memasuki rumah megahnya tanpa sedikit pun memberikan pelayanan kepada Windy yang merupakan tamu di rumahnya itu.“Dasar manusia aneh!” sungut Windy namun akhirnya ia mengikuti langkah lelaki itu. Windy sedikit mengibaskan ujung kerudungnya yang jatuh ke depan.Sandy
Fatma masuk ke dalam kamar dan mengganti stelan kantornya dengan baju rumahan. Ia mengenakan sebuah daster berwarna lila bercorak kembang sepatu berwarna putih. Fatma kini duduk di meja makan namun bukan makan malam yang ia inginkan. Ia duduk sambil mengutak-atik ponselnya.“Apakah Nyonya mau makan malam?” Tatik datang menanyakan keinginan majikannya.Fatma tidak menjawab, ia hanya mengibaskan tangannya dan itu cukup membuat Tatik terbirit-birit pergi. Tatik hafal sekali sifat majikannya itu. Fatma akan gampang mengamuk apa bila ada orang yang mengganggu ketika dirinya sedang memikirkan sebuah perkara besar.“Mereka sudah datang untuk menuntut balas!” ucap Fatma sedingin es lewat ponselnya entah kepada siapa. Lalu ia nampak mengangguk-angguk.Selova yang kepo terus mengintip dari dapur. Ucapan Fatma barusan mendarat sempurna di pendengaran gadis yang sering di ejek sandal selop oleh Alvin tersebut.“Hah? Menuntut balas?&rd
Adzan Isya bergema dari mesjid yang tidak begitu jauh dari rumah kost Windy. Gadis itu terlonjak kaget dari atas pembaringannya ketika ia menoleh ke jam di dinding kamarnya yang menunjukkan waktu hampir jam 8 malam.“Astaghfirullah.. sudah Isya rupanya. Kok aku bisa ketiduran sepulas ini, sehingga tidak mendengar adzan Magrib?” keluh Windy sembari bergegas menuju ke kamar mandi untuk berwudhu. Lalu ia segera menunaikan sholat Isya yang di jamak dengan sholat Magrib.Selesai melaksanakan rangkaian ibadah malam itu, Windy merapikan kembali mukena dan sejadahnya. Lalu ia mengambil ponselnya yang terletak di atas meja belajarnya.“Aduh, banyak banget panggilan dari Alvin. Dari tadi ponsel aku silence kan sehingga aku tidak mendengar nada panggilan.” ucap Windy jadi tak enak hati. Ia langsung menghubungi nomor kontak Alvin.Ponsel Alvin berbunyi di atas meja makan. Fatma segera mengambil benda pipih itu dan tersenyum sinis ketika melihat siapa
Sampai di rumah hari sudah mulai malam. Alvin bergegas turun dari mobil Selova dan setengah berlari masuk ke dalam. Ia ingin segera menemui Januar.“Apaan ini Bik..??” teriak Alvin langsung gusar ketika ia kebetulan melihat Bik Tatik pembantu rumah tangga, tengah menyusun makanan di atas nampan yang biasa di gunakan untuk memberi makan Januar.Bik Tatik yang tengah berkosentrasi dengan pekerjaannya langsung mengelinjang kaget. Piring yang berisi makanan bekas hampir saja jatuh dari tangannya yang langsung menggigil.“Makanan buat siapa ini?” tanya Alvin dengan suara keras dan mata melotot memandang Bik Tatik yang semakin gemetar. Ia hafal sifat Tuan Mudanya itu kalau sedang marah. Dan satu-satunya alasan yang membuat Alvin marah hanyalah kalau makanan yang di berikan kepada Januar tidak sesuai dengan standar kemanusiaan.“Jawaaaab....!!” bentak Alvin menggema seantreo rumah.“Buuu...buuaat.. Paak.. tuu..tuaa, Deen..!
“Apa kamu mau mempermalukan Mama Alvin?” Fatma langsung bertanya begitu Alvin menghenyakkan bokongnya di atas sebuah kursi tepat di depan meja kerjanya.“Mempermalukan Mama? Maksudnya apa sih Ma?” tanya Alvin tak mengerti.“Jangan pura-pura bodoh kamu Alvin! Ataaau...? Atau memang kamu sudah menjadi bodoh sejak jatuh cinta pada perempuan kampung itu?” jawab Fatma dengan bertanya sengit. Matanya tajam menatap Alvin.“Mama, Mama orang pintar seharusnya tidak wajar berbicara seperti itu. Orang yang terpelajar seharusnya lebih menghargai orang lain.” sanggah Alvin dan membuat wajah Fatma langsung merah padam. Ia jelas tidak suka dengan kalimat yang di lontarkan Alvin barusan.“Oh, hebat kamu sekarang ya, gara-gara membela anak orang gila itu kamu berani menentang Mama!” bentak Fatma marah. Matanya melotot seakan biji matanya mau keluar dari rongganya.“Orang gila? Orang gila siapa Ma?” tanya