Ilya mengikuti langkah Alia menuju ke sebuah kamar. Di sana terlihat Adra yang tengah terbaring dengan tatapan kosong. Bahkan tak menghiraukan kedatangan Alia dan Ilya.
“Adra...”
Suara Ilya bergetar, menahan perasaannya yang mulai kacau. Dia mendekat dengan raut tak percaya. Ada apa dengan Adra? Ilya terus saja bertanya dalam hati.
Di ambang pintu, Alia hanya menghela napas. Masih tetap tegar dengan pemandangan sedih di depannya.
“Adra...,” panggil Ilya sekali lagi, tapi tetap saja tak ada respon.
Lantas Ilya mencoba memposisikan tubuh Adra untuk duduk. Tapi dia justru memeluknya erat, dan tangisnya pun pecah. Terdengar pilu, begitu dalam sampai Alia ikut terbawa suasana.
“Adra, kamu kenapa? Aku di sini? Ini aku Ilya. Tolong jangan seperti ini.”
Kesadaran Adra yang terjebak pada kenangan masa lalu mulai
16 Oktober 2016Pukul 09:30. Setelah Adra selesai bersih-bersih rumah bersama Alia. Dia memutuskan untuk pergi ke toko Ilya. Entah mengapa dia merasa tak enak dan pikirannya terus tertuju pada Ilya. Apalagi jika ingat akan tanda kematian wanita itu, rasanya Adra tak ingin jauh-jauh darinya, agar bisa melindungi Ilya dari maut. Mungkin hal itu terdengar konyol, tapi bagaimana pun Adra tak ingin berpisah dengan Ilya.Apalagi setelah mendengar perkataan malaikat kematian yang beberapa hari lalu muncul. Sejauh apa pun Adra berpikir, dia tak bisa memungkirinya. Jika ucapan malaikat itu memang benar adanya. Api hitam di atas kepala Ilya sudah semakin besar. Adra tak punya banyak waktu lagi. Jika bisa, Adra akan mengorbankan nyawanya sendiri demi Ilya.Suasana langit pagi tiba-tiba menjadi sedikit murung. Adra bisa merasakan udara di sekitarnya mulai terasa lebih dingin. Dia mendongak, menatap nanar ke jalan raya yang sudah ram
Waktu telah kembali mundur.3 Oktober 2016“Ilyaaa!” teriak Adra terbangun dari tidurnya.Detak jantung Adra begitu cepat, napasnya pun tampak memburu. Keringat dingin memenuhi wajahnya. Dia sempat tertegun sesaat sebelum akhirnya tergesa-gesa mencari ponsel. Begitu melihat tanggal yang tertera di sana, Adra merasa aneh. Antara terkejut dan bingung. Kesadaraannya belum sepenuhnya kembali. Lalu dia merasakan denyutan hebat di kepala, memunculkan ingatan terakhirnya tentang kecelakaan Ilya dan malaikat kematian itu. Adra mengingat apa yang sudah dia sepakati dengan malaikat tersebut, sebuah pertukaran yang sulit dijelaskan dengan akal sehat. Tapi pada kenyataannya, Adra benar-benar mundur pada waktu yang sudah berlalu.Alih-alih Adra melihat ibu jari tangan kanannya. Ada sebuah goresan, ini nyata. Karena masih ragu maka dia menampar pipinya sendiri.“Aww,” d
Masih pada hari yang sama. Adra sempat pulang, tapi pikirannya terus saja tertuju pada Ilya. Membuat Adra ingin menemuinya lagi.Langit di atas sana mulai menggelap, mendung berkumpul di beberapa sisi. Udara pun semakin terasa dingin saat Adra berdiri menunggu untuk menyebrang. Di tangan kanannya dia membawa sekantong plastik, ini adalah inisiatifnya agar mempunyai alasan jika nanti ditanya oleh Ilya.Tiba-tiba hujan turun cukup deras dan kebetulan lampu hijau juga telah menyala, maka Adra langsung berlari menyebrang. Dia sungguh tak menduga jika akan sedikit basah karena hujan. Sesaat Adra tersadar, dia merasa ini adalah de javu. Waktu itu dirinya juga sempat terguyur hujan sebelum memasuki toko.Kling...Suara lonceng yang khas menyambut Adra saat membuka pintu toko bunga itu. Padangannya langsung tertuju pada Ilya yang sedang tertegun di belakang meja kasir. Wanita itu menatap Adra dengan sebal, l
Dalam perjalanan pulang, Adra mengingat-ingat lagi penampilan laki-laki yang sebentar lagi akan mengalami kecelakaan. Sebelum waktu mundur, pada hari yang sama Adra melihat kematian seorang laki-laki. Kali ini dia ingin memastikan sesuatu. Apakah sebuah takdir bisa diubah? Adra memikirkan tentang teori sebab dan akibat, semua hal saling terhubung dan menciptakan takdirnya masing-masing. Di dalamnya ada sebab dan akibat yang berperan. Adra ingin mencoba menggagalkan kematian laki-laki itu dengan mengubah sebabnya.Adra yang sejak tadi berdiri di ujung trotoar mulai bereaksi ketika melihat seorang laki-laki bejalan tergesa. Iris mata Adra menyala merah. Dia menatap langit di atas kepala orang itu yang mulai menggelap, membentuk lingkaran awan hitam. Kemudian sekelompok gagak keluar dari lubang di tengahnya, mereka terbang memutar seakan sedang menciptakan sebuah arus udara.Sadar akan apa yang nanti akan terjadi, maka Adra mulai berjalan, memp
“Kamu nggak kerja?” tanya Ilya. Setelah merasa kenyang dia tampak malas dan mulai terkantuk-kantuk di atas meja.Adra yang sedang mencuci gelas di wastafel tertegun. Pekerjaan? Adra teringat, harusnya hari ini adalah wawancara terakhirnya, tapi dia memilih untuk menemui Ilya. Baginya pekerjaan bisa dia cari, tapi waktu mungkin tak bisa kembali dua kali. Kesempatan kedua yang Adra dapatkan ini mungkin akan menjadi kenangan terindah dalam hidupnya. Jujur, dia tak ingin sedetikpun jauh dari Ilya. Saat nanti dia pulang pasti juga akan terus terbayang-bayang.“Baru nganggur aku, gagal interview terus. Sekarang cari kerja kayak cari jodoh, susahnya minta ampun,” jelas Adra. Dia mengeringkan tangannya dengan kain, lalu duduk di samping Ilya.Wanita itu tampak terkantuk-kantuk, Adra tersenyum. Lalu mengulurkan tangannya, ingin meraih kepala Ilya.“Boleh nggak aku sentuh rambut kamu?” ta
Hari semakin sore, Adra masih terduduk di samping Ilya. Wanita itu sudah tenang, namun wajahnya masih terlihat sedih. Perasaan Adra yang terbagi padanya cukup dalam. Sekarang Adra mengerti. Dia harus lebih berhati-hati lagi dengan perasaannya, agar Ilya tak seperti tadi. Memang sulit, tapi Adra akan mencoba menguatkan hatinya. Persetan dengan tanda kematian itu. Dia benar-benar tak peduli sekarang, yang terpenting adalah menjaga agar kesedihannya tak ikut dirasakan oleh Ilya.“Kamu mau aku bantu?” tanya Ilya lirih.“Maksudnya?” Adra tampak kebingungan.“Kemarin ada salah satu pelanggan, namanya Pak Yudi. Dia kerja di RSUD Majalengka, deket sini, kan?”Adra mengangguk. “Lalu?”“Dia kasih info lowongan pekerjaan, tapi di bagian office boy sih. Kalau kamu mau biar aku kasih kartu nama dia,” jelas Ilya.
7 Oktober 2016Sudah beberapa hari Adra membantu Ilya di toko bunganya. Mereka berdua tampak selalu bersemangat, walau terkadang ada pertengkaran kecil. Selebihnya adalah hal baik. Adra bisa lebih dekat dengan Ilya dan wanita itu sendiri terbantu. Akhir-akhir ini banyak sekali pengunjung yang datang, dengan adanya Adra, semua seakan lebih ringan bagi Ilya. Hal itu memberikan kesan jika Adra termasuk pria yang bisa diandalkan dan profesional dalam berkerja.Secara tak langsung, waktu yang mereka habiskan bersama semakin terasa. Apalagi untuk Ilya, dia kini seakan tengah dimabuk asmara. Setiap kali memandang Adra, debar jantungnya selalu saja tak menentu. Tentu Adra hanya santai jika melihat Ilya yang tersipu malu atau salah tingkah. Pemuda itu sudah terbiasa. Tak seperti Ilya, Adra memang sudah cukup mengenal gerak-gerik Ilya, karena kemunduran waktu yang telah dialaminya. Seakan memberikan dua pengalaman dengan satu rasa yang sama. Bahagia.
Sekali lagi Adra gagal. Percobaan keduanya pada salah satu pasien itu sia-sia saja. Sebenarnya sang dokter tak terlambat, bahkan dia sempat melakukan operasi darurat. Namun hasil akhirnya tetap sama seperti yang sudah Adra lihat. Pasien itu tak tertolong.Adra frustasi. Dia terduduk menyedihkan di bangku taman rumah sakit bersama kepulan asap rokok. Jika memang takdir tak bisa diubah, maka kenyataan yang pahit harus dia terima untuk kedua kalinya. Kehilangan Ilya, mampu kah dia melepasnya pergi. Tentu sangat sulit, membayangkannya saja sudah cukup menyakitkan.Adra menghembuskan asap rokoknya, lalu terbawa terbang oleh angin. Daun-daun kering pada pohon di dekatnya berguguran. Terlihat rapuh dan tak berdaya, seperti keadaannya saat ini. Mau bagaimana pun, takdir tetaplah takdir. Andai saja dia tak memiliki mata kutukan itu, mungkin hidupnya tak akan seperti ini. Memahami dan membagi perasaan pada orang lain bukanlah hal yang mudah, bahkan pe