Share

Chapter 9

Pagi-pagi sekali Alia sudah bangun dan melakukan pekerjaan rumah. Setelah selesai, dia beranjak ke kamar Adra, mengamati keadaan kakaknya itu.

“Kak, aku bersihin badan kamu ya, abis itu kita sarapan.”

Adra hanya diam dengan tatapan kosong. Alia semakin kalut dan sedih melihat kakaknya seperti itu. Semalaman Alia berpikir, namun tetap saja tak bisa mengerti dengan apa yang terjadi pada Adra. Jika mengingat masa lalu, Adra memang pernah seperti itu setelah kedua orang tua mereka meninggal. Dan Alia juga yang merawatnya sampai sembuh. Tapi kali ini kasusnya sedikit berbeda. Adra benar-benar tak meresponnya, seakan jiwa kakaknya itu sedang tertidur.

Memang benar. Saat ini jiwa Adra tengah masuk dalam memori masa lalunya sendiri. Dia terjebak di sana, tak akan bisa keluar jika tak ada yang datang menjemputnya. Ketakutan dan luka hati yang teramat dalam membuat Adra menyerah dan lebih memilih untuk hidup di kenangan-kenangan indahnya. Membuat tubuh aslinya menjadi seperti setengah sadar. Lalu apakah dia akan bisa kembali? Entah apa yang akan terjadi nantinya. Jika Alia cepat menyadarinya mungkin akan ada sebuah cara.

Sayangnya sampai saat ini Alia masih berpikir keras. Dia belum mengerti tentang apa yang membuat Adra menjadi seperti itu.

“Kakak duduk aja, buka bajunya, biar aku bersihin badan kakak.”

Dengan sabar Alia merawat Adra. Dia membilas tubuh kakaknya itu dengan handuk yang dibasahi oleh air hangat. Alia mencoba untuk tetap tegar. Setelah berpiasah dengan kakaknya selama dua bulan, rasanya sangat rindu. Tapi situasinya justru seperti ini.

“Pokoknya Kak Adra pasti sembuh,” gumam Alia menyemangati dirinya sendiri.

Alia mengambil handuk kering yang tersampir di pundaknya, lalu dia gunakan untuk mengeringkan tumbuh Adra. Setelah itu Alia memakaikan baju ganti dan membantu kakaknya untuk sarapan. Ya setidaknya Adra masih mau menelan makanan yang dibuatkan oleh Alia. Sebuah bubur ayam, dengan sabar Alia menyuapkannya pada Adra. Sesekali juga menyuapkan teh hangat. Bagi Alia, Adra adalah hidupnya, dia tak bisa membayangkan jika harus kehilangan lagi.

Setelah selesai, Alia pun beranjak keluar agar Adra bisa beristirahat. Dia membawa kemeja kotor milik kakaknya untuk dicuci. Ketika merogoh bagian saku, Alia menemukan sebuah kartu nama yang sedikit mencurigakan.

“Dokter Sa? Spesialis psikologi?” gumam Alia bingung sendiri.

Tiba-tiba Alia teringat sesuatu. Wanita yang kemarin bersikap tak sopan pada kakaknya, tanda pengenal dan mantel putih.

“Kan!” Alia berdecak kesal, “pasti dia tau sesuatu nih.”

Maka Alia segera menghubungi nomer yang tertera di kartu nama itu.

“Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif, atau di luar jangkauan...”

Alia kesal, hampir saja dia membanting ponselnya. Tanpa membuang waktu lagi, Alia mulai bersiap-siap untuk pergi ke rumah sakit yang ada di kartu nama itu. Dia harus segera menemui dokter itu dan meminta penjelasan. Alia sangat yakin bahwa keadaan Adra saat ini ada sangkut pautnya dengan dokter itu. Pasti.

***

RSUD Majalengka. Hari masih pagi ketika Alia sampai di sana. Dia bertanya pada resepsionis tentang Dokter Sa, tapi setelah petugas mengecek data dan bilang ini itu. Alia mulai merasa aneh, bagaimana bisa tak ada yang bernama Dokter Sa. Bahkan Alia sampai menunjukan kartu nama yang dia bawa pada petugas resepsionis. Tetap saja, tak ada data dengan nama Dokter Sa.

“Maaf, mungkin anda salah alamat rumah sakit. Di sini dokter spesialis psikologi hanya ada satu dan bukan orang yang anda cari. Jika masih ingin memastikan, silahkan pergi ke papan informasi kami. Anda bisa melihat informasi tentang nama dokter spesialis yang bertugas di rumah sakit ini. Terima kasih.”

Mendengar penjelasan petugas resepsionis, Alia hanya mengangguk paham dan mulai beranjak pergi dengan wajah kecewa. Jika tak ada di rumah sakit itu, lalu di mana? Padahal jelas-jelas informasi yang tercetak di kartu nama itu menunjukan RSUD Majalengka adalah tempat bekerja Dokter Sa.

Dengan lesu Alia berjalan keluar dari area rumah sakit sambil terus memandangi kartu nama di tangannya. Perlahan Alia merasa ada yang aneh, tanganya terasa panas, seperti terbakar.

Mata Alia terbuka lebar. Dia menjatuhkan kartu nama itu karana tangannya terasa sangat panas. Alia memincingkan matanya, berjongkok, mengamati kartu nama tersebut. Terlihat sebuah api hitam mulai membakar kartu nama itu, lalu menghilang begitu saja tanpa meninggalkan bekas.

“Aku yakin, hal aneh ini saling berhubungan,” gumam Alia tanpa merasa takut sedikitpun.

Rasa takut Alia sudah terkalahkan oleh pikiran rumitnya tentang masalah yang menimpa Adra. Dalam pemikirannya, dia sangat yakin bahwa Dokter Sa adalah dalang dari semua ini. Benar, Alia sangat yakin. Pasti ciuman Dokter Sa tempo hari adalah awal dari semuanya. Seperti sebuah kutukan atau sejenisnya, yang pasti membuat Adra menjadi linglung.

Alia berdecak kesal, mamaki dalam hati. Lalu pergi dengan langkah tergesa. Terpaksa Alia harus pulang terlebih dahulu untuk menenangkan pikiran juga memeriksa keadaan kakaknya.

Saat Alia turun dari halte dan berjalan di trotoar Jalan Majalengka-Cikijing, seorang wanita menyapanya dengan ramah. Wanita itu membawa beberapa bunga yang baru saja dipetik. Tanpa sadar Alia berhenti melangkah, padangannya menyapu beranda toko yang penuh dengan bunga dan tanaman hias. Dia terkagum akan suasana toko tersebut, sesaat waktu seperti melambat dan berhenti. Alia merasakan ada sesuatu yang berbeda.

“Kamu mau bunga?” tanya wanita itu lalu tersenyum ramah.

Alia tersadar, “Maaf saya buru-buru.”

“Gratis loh.”

Langkah Alia terhenti lagi. Dia memalingkan wajahnya dan mengerutkan kening.

“Gratis? Apa ada bunga lily?”

“Tentu ada, ayo masuk. Akan aku petikan untukmu,” ajak wanita itu.

Entah mengapa Alia tak bisa menolak lagi, alhasil dia menurut dan kini sudah terduduk di bangku pelanggan. Tapi jujur, bahkan Alia sampai mengakui bahwa suasana ruang tokonya sangat indah dan rapi.

Terlihat wanita pemilik toko itu berjalan mendekat dengan membawa sepucuk bunga lily.

“Kamu suka bunga lily?” 

Wanita itu memberikan bunga tersebut dengan senyuman manis.

Alia menerimanya dengan senang hati.

“Bunga lily adalah kenangan terindahku,” jawab Alia seakan bernostalgia dengan masa lalunya. Di mana sang ibu selalu menyelipkan bunga lily di telinga putrinya yang masih kecil. Tanpa sadar Alia mulai berkaca-kaca.

“Sepertinya kamu punya ikatan khusus dengan bunga lily ya?”

“Ini adalah bunga kesukaan ibuku, kakakku juga sangat menyukainya. Terkadang dia mereka seperti satu orang yang sama, selalu saja menyelipkan bunga ini ke telingaku. Eh, maaf jadi kebawa suasana aku, kok jadi sedih gini sih.”

Alia mengusap air matanya, lalu tersenyum.

Wanita pemilik toko bunga itu tertegun, seakan menyadari sesuatu. Perkataan Alia terdengar seperti sesuatu yang pernah dia alami bersama seorang pemuda bernama Adra.

“Kamu...”

“Ya ada apa?”

“Punya kakak laki-laki?”

Alia mengangguk bingung.

“Namanya Adra?”

Sontak Alia terkejut bukan main. Kenapa pemilik toko bunga itu mengenal kakaknya? Alia berpikir sambil mengamati penampilan wanita di hadapannya. Cantik.

“Kamu kenal sama kakak aku, temen Kak Adra ya?”

Wanita itu tiba-tiba terlihat sedih dan menggeleng pelan.

“Kami menjalin hubungan,” ucap wanita itu pelan, “Udah dua hari dia nggak ke sini, aku khawatir.”

“Bentar-bentar, kamu pacaran sama Kak Adra?”

“Dia ngelamar aku.”

Tiba-tiba wajah Alia terbengong tak percaya. Memang sulit dipercaya. Setahu Alia, kakaknya saja sangat tertutup dan tak ingin terlibat dengan orang lain. Lalu ini apa? Adra, kakaknya ngelamar seorang wanita dewasa? Ya, ampun! Kepala Alia semakin pusing.

“Beneran?”

Wanita itu mengangguk, tapi Alia masih belum percaya.

“Kok aneh ya, kenapa ambil keputusan sendiri. Aku adik kandungnya saja nggak dikasih tau loh,” jelas Alia.

“Sekarang dia di mana?”

Kepala Alia seperti tersengat listrik, dia teringat jika kakaknya itu sedang mengalami sesuatu. Dia harus cepat-cepat pulang untuk memeriksa keadaannya. Lantas Alia berpamitan dan langsung beranjak pergi dengan langkah terburu-buru.

Ketika ingin menyebrang, ternyata wanita pemilik toko bunga itu mengikutinya.

“Loh?”

“Aku ikut, perasaanku dari kemarin sudah tak enak. Pasti terjadi sesuatu sama Adra, aku cuma pengen mastiin benar atau enggaknya firasatku ini,” jelas wanita itu dengan raut serius.

Alia tertegun. Kenapa dia bisa tahu jika Adra sedang mengalami masalah? Sebenarnya sedekat apa mereka? Pertanyaan lain mulai bermunculan di kepala Alia.

“Yaudah ayo!”

Mereka berdua berjalan beriringan menyebrang jalan. Sesekali Alia tampak melirik wajah wanita itu. Cantik, satu kata itu yang terpikir di kepalanya.

“Nama kamu siapa, Kak?” tanya Alia.

“Namaku Ilya.”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status