Share

Chapter 8

“Wah rasanya kangen banget,” ucap Alia begitu memasuki rumah. Dia beranjak kesana kemarin dengan riang, sedangkan Adra langsung menghaburkan tubuhnya ke sofa.

Entah mengapa rasanya sangat lelah, padahal hari masih cukup pagi. Adra merasa seperti ada sesuatu yang telah terjadi pada dirinya. Tapi apa? Dia sama sekali tak mengingat tentang mata merah Dokter Sa dan ciuman dari wanita itu. Terakhir yang dia ingat adalah pergi ke kafe bersama seorang dokter perempuan, lalu secara tak sengaja bertemu Alia. Kemudian dia tertidur? Tidak, Adra menolak logikanya. Pasti ada sesuatu, dia terus bertanya-tanya tanpa mendapatkan jawaban.

Sampai akhirnya Alia muncul dengan membawa dua gelas es teh, membuat Adra bangkit dari posisi tidurnya.

“Pengertian juga kamu,” ucap Adra langsung mengambil satu gelas es teh dari tangan Alia.

Gadis itu cemberut, ingin memaki tapi tak tega. Pasalnya Adra terlihat masih lelah. Alia juga belum mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi. Tak mungkin kan kalau Adra pinsan hanya karena dicium. Alia menggelengkan kepalanya tak jelas, mengusir ingatannya tadi. Jika ingat wajah wanita itu, seakan kepalanya ingin meledak. Bukan apa-apa, tapi Adra adalah kakaknya, hanya dia keluarga yang Alia punya. Melihat sikap kasar orang lain pada Adra, membuat Alia selalu marah. Walau Adra terkadang mengatakan tak apa-apa, tapi bagi Alia tidak ada kata maaf jika ada orang yang berani mengganggu kakaknya itu.

Memang aneh tapi hubungan kakak beradik mereka sejak kecil sudah seperti itu. Adra yang selalu mengajari Alia berbagai hal. Menemani ke mana pun gadis itu ingin pergi, lalu bersikap manis jika Alia tak sengaja membuat masalah. Bagi Alia, Adra adalah kakak yang selalu baik dan menjadi penyemangatnya. 

Namun pertarungan pendapat diantara mereka dua bulan lalu membuat keduanya sedikit berubah. Alia yang dulu selalu manja, kini tampak sudah mulai lebih dewasa. Adra? Jangan tanya. Tentu saja dirinya sudah banyak berubah, bukan hanya karena Ilya. Kepergian Alia pun membuat Adra bisa lebih belajar banyak hal. Salah satunya adalah mengurus diri dan melakukan pekerjaan rumah. Walau sebenarnya terasa hampa juga.

“Kakak haus? Mau aku buatin lagi?” tanya Alia ketika melihat gelas milik Adra yang sudah kosong.

“Enggak usah, sini duduk. Dari tadi berdiri terus,” jawab Adra dengan wajah mulai serius.

Alia yang tampak polos mulai menurut dan mengambil tempat duduk di depan kakaknya itu. Dia meletakan gelasnya dan menatap bingung pada Adra yang terlihat seperti mengambil sesuatu dari saku celana.

“Kebiasaan deh, kalau mau ngerokok di luar aja, kak,” kata Alia kesal sendiri.

Tapi Adra tak menggubrisnya, dia tetap menyalakan rokoknya lalu mulai menatap Alia lekat-lekat.

“Kenapa kamu nggak pulang?” tanya Adra santai tapi cukup menusuk hati Alia.

“Kakak sendiri yang ngusir aku, ngapain masih tanya?”

“Ya nggak gitu juga, Alia.”

Adra mengisap rokoknya, menunggu tanggapan Alia. Tapi gadis itu hanya diam dan terlihat sangat kesal.

“Ya, untung aja kamu nggak apa-apa. Masih perawan kan?”

Ucapan Adra barusan bagai pedang yang menusuk dada Alia. Apa-apaan kakaknya itu, dia menuduh Alia terjerumus ke dunia malam? Menjual diri? Kepala Alia benar-benar terasa ingin pecah. Panas, darahnya mendidih di ubun-ubun. Rahang gadis itu mengeras menahan emosi yang cukup sulit untuk ditahan. Kalau bukan kakaknya, Alia sudah menyiram Adra dengan minuman di depannya.

“Kenapa tanya kayak gitu?!” teriak Alia, suaranya parau.

“Cuma mau mastiin aja,” jawab Adra sedikit menyesal karena sudah berpikir yang tidak-tidak.

“Kakak nggak percaya sama aku?” suara Alia bergetar, lalu tangisnya pun pecah. Lirih namun sangat menyiksa batin Adra.

“Ya udah, jangan nangis gitulah.”

“Lagian kakak tanya gitu, padahal selama ini aku kerja baik-baik dan dapat temen yang baik. Bisa-bisanya...”

Tak tahan, Adra pun beranjak mendekat. Dia berlutut di depan Alia sambil mengulurkan tangannya, meraih wajah Alia. Tapi gadis itu langsung menepisnya dengan kasar. Kali ini hati Adra yang seakan tertusuk. Dia mulai menyesal atas pertanyaannya tadi.

“Alia...”

“Kakak jahat!”

“Iya-iya, maafin aku, Alia. Kakak percaya kok sama kamu,” ucap Adra mencoba menenangkan Alia. Dia benar-benar tak menduga jika respon gadis itu akan seperti ini. Sebenarnya Adra hanya ingin berbincang santai, mendengarkan cerita Alia.

Alia menatap Adra yang tertunduk, sebenarnya dia sangat rindu, tapi kenapa kakaknya itu merusak suasana dengan pertanyaan konyol. Tangisnya perlahan redam, membuat Adra mendongak. Tatapan mereka bertemu sesaat, sebelum akhirnya Adra bangkit dan duduk di samping Alia.

“Aku khawatir sama kamu, Alia. Nggak ada maksud lain aku tanya kayak tadi,” ucap Adra sedikit ragu, takut salah lagi.

“Tapi kesannya jahat banget, kakak jangan gitu lagi ya,” akhirnya hati Alia luluh. Bukan, lebih tepatnya mengalah. Dia tak ingin membuat masalah sepele menjadi runyam seperti dua bulan yang lalu.

“Iya-iya, maafin kakak,” jawab Adra seraya menghapus air mata adiknya dengan penuh perhatian.

“Kalau nangis kamu jadi jelek kan, haduh Alia-Alia,” gumam Adra, mencoba mencairkan suasana. Dia juga merapikan rambut Alia sesaat.

“Senyum...” Adra menekan dua pipi Alia. Membuat wajah gadis itu tampak lucu.

Tatapan Alia berubah dan Adra menyadarinya, lalu buru-buru menarik tangannya.

Alia menyeringai licik, dia sedang mengintai. Ketika melihat Adra lengah, tanpa pikir panjang Alia langsung melancarkan serangan balik. Gadis itu meraih perut kakaknya. Sontak Adra melompat kaget dan menjaga jarak, Alia berlari mengejar. Seperti itulah mereka. Terkadang saling marah, menyakiti satu sama lain. Tapi pada akhirnya tetap saling membutuhkan.

***

Entah kenapa tiba-tiba saja Alia ingin berkunjung ke makam orang tuanya. Adra yang mendengar permintaan adiknya itu merasa senang dan akhirnya mereka pun pergi pada saat hari sudah mulai sore.

Awalnya biasa-biasa saja. Mereka berdua masuk ke area pemakaman yang tampak terawat. Tapi saat mulai sampai di makan orang tua mereka, ada yang aneh. Adra tiba-tiba merasa sangat pusing dengan padangan yang mulai kabur. Ingatan tentang masa lalunya kembali muncul dan Adra seperti mengulangi kejadian demi kejadian dengan sangat nyata. Alia panik sendiri dan mulai memegangi tubuh Adra, gadis itu tak tahu apa yang sedang terjadi. Dia hanya melihat kakaknya yang tampak kesakitan seperti mendapat sebuah siksaan.

“Kak, Kak Adra?!” teriak Alia, tapi Adra tak bisa mendengarnya.

Kesadaraan Adra semakin dalam masuk ke ingatan di masa lalunya. Dia kembali melihat semua tanda-tanda kematian yang sebenarnya sudah terlupakan. Lalu masuk lebih dalam, dirinya seakan dipaksa untuk melihat kembali saat orang tuanya meninggal. Kata-kata terakhir ibunya dan wajah ayahnya yang pucat. Merah, Adra melihat tangannya berlumuran darah segar. Kemudian dia seperti jatuh ke lubang yang sangat dalam dan gelap. Suara-suara aneh mulai terdengar, membuat Adra semakin ketakutan.

Tubuh Adra melayang di sebuah ruang serba putih, di sana sesosok berjubah hitam muncul dan terbang mendekat. Adra ketakutan bukan main, dia berteriak, ingin lari tapi tak bisa.

“Menyedihkan sekali,” ucap sosok itu dengan suara berat.

Sosok itu mengangkat tangannya yang terbalut jubah. Lalu sebuah tangan hitam pekat terulur, menyentuh kepala Adra. Seketika itu semua rasa sakitnya tiba-tiba lenyap. Dirinya kembali terseret ke tampat lain. Dia melihat tubuhnya yang berubah menjadi seorang anak kecil, tengah berdiri menatap tiga orang yang tak asing. Dua orang dewasa dan seorang anak kecil. Adra mengamati, mereka adalah keluarganya. Ayah, ibu dan Alia.

“Adra, sini nak,” panggil wanita di depan sana. Adra berjalan mendekat dengan ragu.

Pada dunia nyata Adra sudah tenang, tapi dirinya tampak sangat berbeda. Dia terduduk di tanah dengan tatapan kosong. Alia tampak lega, namun dia juga menyadari perubahan diri Adra.

“Kakak nggak apa-apa kan?”

Adra hanya mengangguk kaku.

“Yuk kita pulang aja,” ucap Alia lalu menoleh ke arah dua nisan di sampingnya, “Alia sama kakak pulang dulu ya ma, pa.”

***

Sesampainya di rumah Alia semakin curiga. Adra hanya diam dan tertidur di kamarnya. Sejak tadi pulang dari pemakaman, Alia terus mengawasinya tapi satu kata pun belum dia dengar. Padahal Alia selalu bertanya, namun respon Adra hanya sebatas anggukan dan tatapan kosong.

“Ada yang aneh,” batin Alia sambil berjalan keluar dari kamar Adra.

Kepalanya terasa pusing dan akhirnya dia memutuskan untuk istirahat di ruang santai. Alia terbaring di atas sofa, tubuhnya yang lelah terasa sangat nyaman. Membuat kantuk semakin berkuasa, hingga akhirnya dia terlelap.

Alia bermimpi, dia berada di sebuah ruangan serba putih. Kosong tak ada apa-apa.

“Alia...”

Suara yang sangat dia kenali terdengar dari arah belakang. Alia buru-buru membalikan tubuhnya dan melihat Adra.

“Kakak?” panggil Alia.

Adra tersenyum lalu membalikan tubuhnya, berjalan menjauh meninggalkan Alia.

“Kakak mau ke mana?” teriak Alia.

Dia ingin berlari mengejar Adra, tapi kakinya terasa sangat kaku. Tangannya terulur seakan ingin meraih sosok Adra yang semakin jauh. Lalu air mata mengalir membasahi wajah manisnya.

Alia menangis sesegukan tak jelas. Hatinya terasa sangat sakit. Kenapa kakaknya pergi begitu saja? Apa yang sebenarnya terjadi. Tangis gadis itu semakin jadi, suaranya pilu, menyayat hati.

“Kak Adraaa!” teriaknya.

Tiba-tiba Alia terbangun dari mimpinya dengan mata terbuka lebar. Wajahnya sudah basah oleh air mata. Terasa sesak, dia mencoba menghapusnya tapi justru membuatnya semakin sedih dan Alia menangis lagi.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status