MasukKata-kata Leonard masih menggantung di udara saat langkah kaki terdengar mendekat.
Andrew muncul dari ujung lorong, wajahnya kaku, rahangnya mengeras.“Bos,” ucapnya pelan tapi tegas. “Kita perlu bicara. Sekarang.”Leonard langsung menangkap nada itu. Ia menggenggam tangan Aluna sebentar, seolah memberi isyarat tanpa kata.“Aku nggak ke mana-mana,” bisik Aluna.Leonard mengangguk, lalu mengikuti Andrew menjauh beberapa langkah, cukup jauh agar suara mereka tidak terdengar dari ruang perawatan.“Apa?” tanya Leonard singkat.Andrew menatap sekeliling sebelum menjawab. “Kami lacak pergerakan orang Darma semalam. Ada satu akses yang kebuka tanpa perlawanan. Sistem internal. Dari dalam.”Leonard menyipit. “Orang kita?”Andrew mengangguk perlahan. “Bukan staf biasa. Ini level keluarga, Bos.”“Siapa?”Andrew menarik napas dalam. “Paman Anda. Pak Arman.”Leonard seketika terdiam saatAluna masih menggenggam tangan Leonard saat senyum tipis itu muncul di wajahnya.“Kadang keluarga itu bukan yang satu darah,” ucap Aluna pelan. “Tapi yang satu pilihan.”Leonard menatap Aluna sesaat, lalu mengangguk. “Dan pilihan itu sering kali lebih berat dari ikatan darah.”Langkah kaki kembali terdengar. Kali ini bukan Andrew, melainkan seorang pria berjas rapi dengan map hitam di tangan. Rambutnya memutih di pelipis, wajahnya penuh garis usia.“Pak Leonard,” sapa pria itu. “Saya dari tim legal keluarga. Atas permintaan rumah sakit dan ayah Anda.”Leonard menegang. “Ayah saya sadar?”“Sebagian,” jawab pria itu jujur. “Beliau meminta dokumen ini diserahkan sekarang. Katanya sudah waktunya.”Leonard menerima map itu tanpa berkata apa pun.Aluna memperhatikannya. “Apa isinya Leon?”Leonard membuka map itu perlahan. Di dalamnya ada beberapa dokumen bersegel akta lama, surat keputusan internal, dan satu berkas yan
Kata-kata Leonard masih menggantung di udara saat langkah kaki terdengar mendekat. Andrew muncul dari ujung lorong, wajahnya kaku, rahangnya mengeras.“Bos,” ucapnya pelan tapi tegas. “Kita perlu bicara. Sekarang.”Leonard langsung menangkap nada itu. Ia menggenggam tangan Aluna sebentar, seolah memberi isyarat tanpa kata.“Aku nggak ke mana-mana,” bisik Aluna.Leonard mengangguk, lalu mengikuti Andrew menjauh beberapa langkah, cukup jauh agar suara mereka tidak terdengar dari ruang perawatan.“Apa?” tanya Leonard singkat.Andrew menatap sekeliling sebelum menjawab. “Kami lacak pergerakan orang Darma semalam. Ada satu akses yang kebuka tanpa perlawanan. Sistem internal. Dari dalam.”Leonard menyipit. “Orang kita?”Andrew mengangguk perlahan. “Bukan staf biasa. Ini level keluarga, Bos.”“Siapa?”Andrew menarik napas dalam. “Paman Anda. Pak Arman.”Leonard seketika terdiam saat
Leonard menautkan jemari mereka lebih erat.“Kalau begitu, kita berdiri di tempat yang sama.”Aluna mengangguk. “Bukan di tempat yang aman. Tapi di tempat yang jujur.”ucap Aluna sedangkan Leon hanya tersenyum.Mereka berdua pun duduk berdampingan di sofa.“Aku takut bukan sama Darma. Tapi sama diriku sendiri. Takut aku tergelincir takut aku melukai orang-orang yang aku lindungi.”ucap leonard.Aluna menoleh, menatap wajah Leonard dengan mata yang tenang. “Takut itu bukan tanda kamu akan jatuh. Itu tanda kamu sadar.”“Kalau suatu hari aku salah langkah..”“Aku akan bilang,” potong Aluna lembut. “Bukan buat menjatuhkan kamu. Tapi buat ngingetin siapa kamu sebenarnya.”Leonard menutup mata sejenak, lalu mengangguk. “Itu lebih dari cukup.”Aluna bersandar pelan di bahu Leonard. “Aku nggak tahu akhir cerita kita seperti apa.”Leonard menoleh, mengecup ringan rambut Aluna. “Aku juga.”“Tapi untuk hari
Leonard menatap Aluna lama setelah kalimat itu terucap.“Terima kasih,” ucap Leonard.Aluna tersenyum kecil. “Aku nggak ngelakuin apa-apa.”“Kamu melakukan banyak hal, Kamu bertahan. Dan itu lebih sulit dari kelihatannya.”“Dulu,” Leonard melanjutkan, suaranya lebih tenang, “aku pikir bertahan itu soal seberapa kuat kita menahan rasa sakit. Sekarang aku sadar bertahan itu soal berani mengakuinya.”Aluna menautkan jarinya ke jari Leonard.“Aku nggak tahu bagaimana Darma akan bereaksi nanti,” mungkin dia akan menertawakan niat baikku. Mungkin dia akan semakin beringas.”ucap Leonard. “Tapi kamu nggak akan nyerah kan?.”Leonard mengangguk. “Iya. Karena kalau aku mundur sekarang, aku mengkhianati semua yang sudah aku pahami malam ini.”“Aku nggak bisa janji semuanya akan aman, Aku nggak bisa janji kamu nggak akan takut lagi.”Aluna tersenyum tipis. “Aku sudah takut dari awal, Leon, tapi aku masih di sin
Aluna menerima map itu dengan hati-hati lalu membukanya perlahan.Di dalamnya ada dokumen lama. Akta kelahiran. Surat wasiat sementara. Dan satu lembar laporan tertanggal bertahun-tahun lalu.“Kecelakaan kerja?” gumam Aluna.Leonard mengangguk. “Ibu Darma meninggal karena kecelakaan di salah satu proyek ayah. Resmi disebut kecelakaan. Tapi kompensasi ditahan. Ayah takut itu bakal jadi skandal.”Aluna mendongak. “Dan Darma tahu?”“Dia tau setelah dia diusir. Setelah semuanya terlambat.”Aluna menutup map itu perlahan. Dadanya terasa berat. “Jadi dendamnya bukan cuma soal diakui tapi juga soal kehilangan.”“Iya,” sahut Leonard lirih. “Dan aku, aku tahu ini. Tapi aku tetap diam.”“Leon, kamu nggak bisa memperbaiki masa lalu sendirian. Tapi kamu bisa menghentikan luka ini supaya nggak nambah korban.”Leonard mengangguk. “Itu yang akan aku lakukan Darma ingin aku memilih antara bisnis dan keluarga, tapi dia
Di dalam mobil, suasana sunyi. Lampu kota berkelebat di balik kaca, seperti saksi bisu dari takdir yang sedang menajamkan arahnya."Darma kelihatan yakin.”ucap Aluna.Leonard tersenyum tipis. “Orang yang terlalu yakin biasanya lupa satu hal.”“Apa?”“Bahwa cinta bukan kelemahan,” jawab Leonard sambil menggenggam tangan Aluna. “Cinta itu alasan paling berbahaya untuk bertahan.”Aluna menatap genggaman itu dan tersenyum, karena sekarang ia bisa menjadi seseorang yang bisa menguatkan leonard disaat-saat seperti ini.~~~Leonard melepas jasnya begitu masuk ke dalam Mansion.Aluna memperhatikannya dari ambang pintu ruang keluarga. Ia tahu ekspresi itu. Bukan marah. Bukan tegang.Itu ekspresi seseorang yang sedang menahan sesuatu agar tidak pecah.“Kamu mau minum?” tawar Aluna.Leonard menggeleng. “Aku mau ke ruang kerja sebentar.”“Aku ikut,” kata Aluna tanpa ragu.Leonard berhenti







