Malam itu Andini meminta ijin kepada Lucy untuk kembali ke kampungnya, dia takut jika mantan suaminya itu akan mengambil Raya dari tangan ibunya.
"Aku akan mengantarmu Andini," kata Reynold lalu segera pergi meninggalkan tempat ini.
"Bagaimana dia bisa keluar dari sana bang?" tanya Andini heran karena dia tahu jika Axel mendapatkan hukuman selama 2 tahun.
"Semua ini karena Rio telah membuka luka lama," jawab Reynold dari balik kemudi.
Dua jam perjalanan di tempuh oleh keduanya hingga sampai di kampung halaman Andini. Suasana hening di tempat ini membuat malam semakin mencekam.
Andini segera turun dari kendaraan lalu mengetuk pintu rumah ibunya.
"Bu...," teriak Andini sambil mengintip dari balik jendela, terlihat ada celah kecil dari gordyn yang menjuntai ke bawah.
"Ibu....!" dia kembali memanggil ibunya namun dia tidak mendengar sahutan dari dalam.
Jantungnya Andini berpacu, sementara wajahnya justru memudar seperti
Reynold langsung membuka pintu yang tadinya tertutup rapat, dia melihat Rio masih mengenakan baju pasien melekat di tubuhnya."Apa yang terjadi Rio?" tanya Reynold mendekatinya perlahan."Sepertinya perang ini sudah di mulai Rey," dia menyodorkan ponsel yang berisi ancaman dari Randu.Dari balik layar ponsel dia melihat Axel sedang berada di Club Seven Eight sedang berbicara dengan Lucy."Andini sudah berada di tempat yang aman Rio, jadi kau tak perlu kuatir," ucap Reynold menatapnya dari balik ponsel.***Axel bersama anak buah Randu berusaha untuk mengobrak-abrik kediaman Andini untuk mencari tahu keberadaannya. P
Kali ini semuanya benar-benar kacau, Randu tak hanya mengeluarkan Axel dari penjara. Dia melakukan pengrusakan di tempat-tempat yang sering di kunjungi Rio.Tangan Rio mengepal begitu kuat hingga buku-bukunya memutih. Amarah merayap cepat, memenuhi dada dan kepalanya, namun tak ada satu pun yang bisa menjadi pelampiasan. Ia hanya bisa berdiri di sana, dihantui kemarahan yang tak punya arah."Rey...kau sudah lihat berita di televisi?" tanya Rio, mengirimkan pesan singkat kepadanya."Aku baru mendapat kabar dari Lucy," balas Reynold.***"Kau sudah menemukan Andini?" tanya Randu menatap Axel dari balik meja kerja."Aku yakin, pria itu sedang menyembunyikan putriku," desis Axel, suaranya dingin namun penuh bara. Ia memutar belati di jemarinya, lalu berdiri perlahan seperti singa yang hendak menerkam.Tawa Randu menggelegar seisi ruangan, "aku pikir kau seorang pemburu yang hebat," kata Randu lalu beranjak dari tempat duduknya.
Saat pintu itu terbuka, Archie terhenti sejenak, matanya membelalak. Di hadapannya, tubuh sahabatnya tergeletak kaku di atas lantai, dengan kedua tangan terikat erat di belakang. Mulutnya disumpal kain hitam yang tampak sudah basah, dan darah menggenang di sekitar kepala—sebuah lubang besar yang mengerikan terlihat di dahi, seolah memberikan jawaban tanpa kata-kata atas nasib tragis yang baru saja menimpa."Ups...!" kata Randu, suaranya terdengar ringan, bahkan sedikit sinis, saat tubuh itu terjatuh dan menimpa kaki Archie."Rupanya aku lupa untuk membuang Doyle ke sungai," sambungnya dengan tawa yang seolah ringan, namun ada kekejaman yang tersirat. Matanya meny
Wajah Axel memucat. Kedua matanya terbelalak, liar menelisik kegelapan, seolah mencari sosok pria yang suaranya menggema di antara bayang-bayang. Suara itu seperti bisikan maut yang menyelinap pelan, menghampiri dengan dingin, tapi yang muncul hanyalah sosok tanpa wajah, membatu di lantai seperti bayang-bayang kenangan yang enggan pergi.“Jangan main api denganku, Archie!” desis Axel, matanya menyala marah. Dalam sekejap, senapan ditarik dari balik jaket, dan diarahkan lurus ke bayangan gelap yang mengintai di hadapannya.Tampak raut wajah pria dengan guratan bekal luka di wajah menggunakan penutup kepala berwarna hitam dengan corak berwarna putih."Apa kau yakin dia orangnya?” tanya anak buah Archie, sorot matanya menatap Axel penuh kepura-puraan, seolah peduli, padahal lidahnya menyimpan racun.Axel mengencangkan cengkeramannya pada senjata. Telunjuknya melingkar di pelatuk, siaga melepaskan peluru yang bisa mengakhiri segalanya dalam sekejap.
Pagi hari Rio pergi menuju kantor untuk menemui Reynold, dia meminta Andini untuk tidak meninggalkan rumah apapun alasannya."Rey, apa kau sudah menemukan Lucy?" tanya Rio saat dia memasuki ruangan sahabatnya."Aku sudah berusaha menghubunginya, Rio. Tapi hasilnya nihil," jawab Reynold memperlihatkan sejumlah panggilan dari balik layar ponselnya."Perasaanku benar-benar tidak enak," kata Rio menatap kendaraan berderet, merayapi kemacetan di jalan layang Kota Velmora.Bayangan masa lalu bersama Randu masih jelas tampak di kedua matanya, seorang pria yang pernah menjadi tempat berlindung sekaligus juga malaikat penjaga keluarga Dinata.MASA LALU RIO DAN RANDUSatu tahun setelah Rio memutuskan pergi dari rumah, dia bekerja di sebuah restoran cepat saja yang berada di keramaian kota Velmora."Kau anak baru di sini?" tanya Randu saat Rio baru saja memulai pekerjaannya sebagai pramusaji. Rio hanya mengangguk lal
"Ah, sudahlah..." Randu berkata sambil menepuk bahu Rio dengan gerakan yang terkesan acuh tak acuh. "Sekarang, lebih baik kita pikirkan masa depan kita dengan uang yang ada," lanjutnya sambil membuka lembaran uang di tangannya, menghitungnya dengan teliti, seolah angka-angka itu adalah satu-satunya hal yang penting dalam hidupnya.Sejak saat itu, mereka tinggal dalam satu atap, berbagi setiap langkah dalam mencari pekerjaan, tak peduli seberapa sulit jalan yang mereka tempuh.Randu tak pernah menolak apapun yang diminta Rio, bahkan saat semua itu bertentangan dengan apa yang ia inginkan. Ia rela mengorbankan dirinya, semua impian, harapan, dan keinginan demi Rio. Meski hati kecilnya kadang meronta, ia tahu, tak ada pilihan lain selain terus mendampingi, meskipun jalan yang mereka jalani tak selalu sejalan."Kau tahu, Rio, kenapa aku selalu b
"Kakak!" teriak Laudya langsung meraih tubuh Rio yang sedang terhuyung.Andini kalah cepat, dia hanya bisa menatap Rio dan tak berani mendekat. Dia mengubah langkahnya mendekati Reynold yang terduduk lemas di atas rumput.Para polisi segera menghampiri Rio dan Reynold untuk meminta keterangan. Mereka mendapat laporan dari Andini bahwa telah terjadi penyerangan di rumah Rio oleh sekelompok orang mencurigakan yang diduga hendak melukai sang pemilik rumah.Setelah para polisi itu pergi, Andini langsung masuk ke dalam rumah."Ini semua gara-gara kau, Andini!" teriak Laudya begitu memasuki ruang tamu. Suaranya melengking, penuh amarah yang tak lagi bisa ditahan. Matanya langsung menyorot tajam ke arah perempuan yang berdiri t
"Halo Rio!" gelegar suara seorang pria miterius dari balik telepon."Sepertinya kau sedang memelihara api di balik pintu rumahmu," Axel terkekeh pelan, suaranya terdengar tenang tapi menyimpan racun."Bagaiimana kalau si pirang manis itu tahu… bahwa kau sedang bermain api dengan wanita lain?" Satu detik kemudian, sebuah foto Kayla masuk ke ponsel lawan bicaranya."Brengsek Axel!!" pekik Rio setelah melihat foto Kayla dari balik layar ponselnya.Axel tertawa ringan, penuh kepuasan, begitu mendengar makian dari Rio. Seolah itulah reaksi yang sejak awal ia harapkan."Kau tahu apa yang harus kau lakukan… dan pastikan kau melakukannya dengan benar," ujar Axel dingin, lalu menutup ponselnya dengan penuh kepastian."Arghh!!!" Rio mengeluarkan teriakan kesal, frustrasi karena Axel kini tahu tentang keberadaan Andini.Deng
Bayangan moncong senjata nampak dari balik pintu, Rio mengangkat satu jari ke depan mulutnya.Saat pria itu masuk, Rio langsung menarik senjatanya kemudian mengapit lehernya sambil membekap mulut hingga dia tak bernafas.Rio menyelinap keluar, masih ada dua orang bersenjata sedang mengelilingi kabin tua ini, dia sengaja meninggalkan Andini untuk menjadi umpan."Jangan berge-," belum selesai bicara, Rio langsung memutar kepalanya pemburu tersebut dari belakang.Suara tulang berderak kencang, lehernya patah.Tubuhnya langsung ambruk ke tanah."Rio di belakangmu," Andini memekik menunjuk pemburu lain yang siap menyerangnya.Dengan sigap Rio berguling lalu menarik pisau yang ada di kakinya, kemudian menusuk perutnya berkali-kali hingga tewas.Kedua matanya kembali mengawasi keadaan sekitar, setelah di rasa aman, Rio segera menarik Andini untuk segera keluar dari kabin ini.Kabut tipis
Asap tebal mengepul dari reruntuhan vila, menciptakan kabut kelabu yang mengaburkan pandangan. Rio bangkit dengan tubuh remuk, setiap gerakannya menusuk sakit, tapi dia menahan semua itu. Dia tidak punya pilihan.Matanya liar mencari satu sosok."Andini!" teriaknya, suara serak karena asap.Dia merangkak di antara puing-puing, menahan batuk, hingga akhirnya menemukan Andini tergeletak.Gadis itu masih bernafas, meski wajahnya penuh debu dan darah tipis mengalir di pelipis."Andini, kau dengar aku?" Rio memegang bahunya, mengguncangnya perlahan.Andini membuka mata, pandangannya buram,
Rio langsung melompat berdiri, insting bertahan hidupnya meraung liar."Mereka menemukan kita..." desis Alinda, matanya menyala.Sebelum Rio sempat bertanya siapa "mereka"—BOOM!Ledakan brutal mengguncang vila. Dinding retak, lantai bergetar, dunia Rio berputar keras."Andini!!" Rio meraung, tubuhnya limbung tapi tekadnya keras. Dia merangkak di tengah puing-puing, Alinda menarik bajunya kasar."Ada senjata di bawah kasur!" teriak Alinda sambil melindungi kepala dari reruntuhan yang berjatuhan seperti hujan neraka.
Fajar menguap perlahan di ujung cakrawala, menyusup lewat celah-celah jendela vila reyot itu. Decitan pintu kayu tua terdengar seperti jeritan hantu di pagi buta. Angin dingin dari celah-celah jendela menusuk kulit Rio, sementara aroma darah kering masih samar-samar tercium di udara.Rio duduk di tepi tempat tidur, tatapannya kosong menatap lantai kayu yang penuh debu dan noda darah kering. Di sudut ruangan, Andini masih terlelap, meringkuk di balik jaket yang tadi malam ia selimuti. Ada sesuatu yang mengusik pikirannya. Sesuatu tentang Andini. Tentang kenapa gadis itu begitu familiar di hatinya... tapi asing di pikirannya.Rio menggeram pelan, menepis kegelisahan itu. "Kenapa aku merasa seperti dikhianati meski belum tau apa-apa?" gumamnya dalam hati. Bukan saatnya mempertanyakan. Belum.Untuk saat ini, cukup melihat Andini bernapas dengan damai. Cukup... untuk membuat Rio menunda semua pertanyaan yang membakar tenggorokannya."Rio!" Andini terbangun men
Rio terbangun dengan napas yang terengah-engah. Sekujur tubuhnya berkeringat, dan pikirannya masih kacau. Saat penglihatannya mulai jelas, ia mendapati dirinya berada di ruangan yang sama seperti sebelumnya. Namun kali ini, ada dua sosok terikat di hadapannya—Reynold dan Andini.“Rio… mohon, dengarkan aku,” ucap Reynold dengan suara serak. Wajahnya lebam, darah masih tampak mengering di sudut bibir. “Kau salah paham mengenai semua ini. Aku tidak pernah menyentuh Andini… tidak sekalipun.”Rio menatap kosong. Pandangannya berpindah ke meja di depan, tempat sebuah senapan laras panjang tergeletak—senjata yang sengaja disiapkan, seolah menunggu keputusan akhir.Andini menahan isak. Meski tubuhnya gemetar, sorot matanya tetap tegas. “Rio… semua ini jebakan. Fitnah yang disusun agar k
Pintu kabin terbuka perlahan… dan dari dalam, dua sosok yang tak asing merangkak keluar. Terikat, luka-luka, wajah mereka penuh darah dan debu.Andini.Reynold.Masih hidup.Rio membeku di tempatnya. Matanya membola, bibirnya bergetar tanpa suara. Napasnya tercekat.Andini menatapnya dengan mata berkaca-kaca, penuh luka, penuh permohonan."Rio..." suara Andini serak, patah.Reynold menyusul, meski tubuhnya nyaris roboh. "Kami... kami bukan pengkhianat... kami dijebak."Rio tak bisa berkata apa-apa. Ta
Mata Rio terbuka seketika. Nafasnya memburu. Tubuhnya menggigil setelah disiram air dingin. Kedua tangannya terikat kuat di belakang kursi. Dada telanjangnya membiru dalam dingin. Di tengah ruangan yang remang, hanya satu lampu gantung bergoyang pelan, menciptakan bayangan yang menari di dinding.Seorang pria kurus masuk, lalu melempar koper besi ke atas meja. Dentumannya menggema, menusuk telinga.“Kau ingin tahu siapa yang membuatmu seperti ini?” suara berat menggema dari pengeras suara di sudut ruangan.Pria itu mendekat. Rambut Rio ditarik keras, wajahnya dipaksa menghadap koper. Kunci diputar lalu koper dibuka.Tumpukan foto dilempar ke hadapannya. “Lihat baik-baik foto ini!” tegas pria itu, matanya menyorotkan tekanan ya
Hampir semalaman, Rio terjaga, tak bisa tidur. Tubuhnya bolak-balik di atas kasur, memikirkan setiap detail yang diberikan Viktor. Pikirannya terus menerus mencoba menepis kenyataan pahit yang baru saja dia temui. Ditambah lagi, Kayla hampir tahu bahwa hatinya sudah jatuh cinta pada Andini.Rio membuka lembar demi lembar kertas yang diberikan Viktor, sampai akhirnya ia ingatsaat momen pertama kali bertemu dengan Andini. Ketika dia menyelamatkan Andini dari sekapan Randu di sebuah hotel, dan dibantu oleh Reynold.“Jangan-jangan itu semua hanya permainan mereka berdua,” gumam Rio, pikirannya berputar-putar. Dia kemudian mencari foto yang menunjukkan Andini menerima uang dari Randu.Jarinya berhenti pada sebuah gambar. Di sebelah kanan, ada foto sebuah hotel yang pernah mereka singg
Tiga hari. Rio tak sadarkan diri.Tubuhnya terbaring lemah di atas kasur sempit, seperti sisa hidup yang ditinggal nyawa. Wajahnya pucat, napasnya pelan dan tak beraturan. Meski kelopak matanya terpejam, bola matanya bergerak—seolah sedang menari dalam mimpi buruk yang tak kunjung usai.Hanya Alinda yang setia menunggu di sisi tempat tidur. Sementara Kayla… duduk agak jauh. Wajahnya dingin. Jemarinya sibuk mengetuk layar ponsel, bukan menatap pria yang hampir meregang nyawa demi menyelamatkannya.Malam keempat. Mata Rio terbuka perlahan. Pandangannya kabur, tertutup kabut tipis yang menyelimuti seisi ruangan. Ia melihat sosok wanita berambut ikal duduk di samping tempat tid