Wajah Axel memucat. Kedua matanya terbelalak, liar menelisik kegelapan, seolah mencari sosok pria yang suaranya menggema di antara bayang-bayang. Suara itu seperti bisikan maut yang menyelinap pelan, menghampiri dengan dingin, tapi yang muncul hanyalah sosok tanpa wajah, membatu di lantai seperti bayang-bayang kenangan yang enggan pergi.
“Jangan main api denganku, Archie!” desis Axel, matanya menyala marah. Dalam sekejap, senapan ditarik dari balik jaket, dan diarahkan lurus ke bayangan gelap yang mengintai di hadapannya.
Tampak raut wajah pria dengan guratan bekal luka di wajah menggunakan penutup kepala berwarna hitam dengan corak berwarna putih.
"Apa kau yakin dia orangnya?” tanya anak buah Archie, sorot matanya menatap Axel penuh kepura-puraan, seolah peduli, padahal lidahnya menyimpan racun.
Axel mengencangkan cengkeramannya pada senjata. Telunjuknya melingkar di pelatuk, siaga melepaskan peluru yang bisa mengakhiri segalanya dalam sekejap.
Pagi hari Rio pergi menuju kantor untuk menemui Reynold, dia meminta Andini untuk tidak meninggalkan rumah apapun alasannya."Rey, apa kau sudah menemukan Lucy?" tanya Rio saat dia memasuki ruangan sahabatnya."Aku sudah berusaha menghubunginya, Rio. Tapi hasilnya nihil," jawab Reynold memperlihatkan sejumlah panggilan dari balik layar ponselnya."Perasaanku benar-benar tidak enak," kata Rio menatap kendaraan berderet, merayapi kemacetan di jalan layang Kota Velmora.Bayangan masa lalu bersama Randu masih jelas tampak di kedua matanya, seorang pria yang pernah menjadi tempat berlindung sekaligus juga malaikat penjaga keluarga Dinata.MASA LALU RIO DAN RANDUSatu tahun setelah Rio memutuskan pergi dari rumah, dia bekerja di sebuah restoran cepat saja yang berada di keramaian kota Velmora."Kau anak baru di sini?" tanya Randu saat Rio baru saja memulai pekerjaannya sebagai pramusaji. Rio hanya mengangguk lal
"Ah, sudahlah..." Randu berkata sambil menepuk bahu Rio dengan gerakan yang terkesan acuh tak acuh. "Sekarang, lebih baik kita pikirkan masa depan kita dengan uang yang ada," lanjutnya sambil membuka lembaran uang di tangannya, menghitungnya dengan teliti, seolah angka-angka itu adalah satu-satunya hal yang penting dalam hidupnya.Sejak saat itu, mereka tinggal dalam satu atap, berbagi setiap langkah dalam mencari pekerjaan, tak peduli seberapa sulit jalan yang mereka tempuh.Randu tak pernah menolak apapun yang diminta Rio, bahkan saat semua itu bertentangan dengan apa yang ia inginkan. Ia rela mengorbankan dirinya, semua impian, harapan, dan keinginan demi Rio. Meski hati kecilnya kadang meronta, ia tahu, tak ada pilihan lain selain terus mendampingi, meskipun jalan yang mereka jalani tak selalu sejalan."Kau tahu, Rio, kenapa aku selalu b
"Kakak!" teriak Laudya langsung meraih tubuh Rio yang sedang terhuyung.Andini kalah cepat, dia hanya bisa menatap Rio dan tak berani mendekat. Dia mengubah langkahnya mendekati Reynold yang terduduk lemas di atas rumput.Para polisi segera menghampiri Rio dan Reynold untuk meminta keterangan. Mereka mendapat laporan dari Andini bahwa telah terjadi penyerangan di rumah Rio oleh sekelompok orang mencurigakan yang diduga hendak melukai sang pemilik rumah.Setelah para polisi itu pergi, Andini langsung masuk ke dalam rumah."Ini semua gara-gara kau, Andini!" teriak Laudya begitu memasuki ruang tamu. Suaranya melengking, penuh amarah yang tak lagi bisa ditahan. Matanya langsung menyorot tajam ke arah perempuan yang berdiri t
"Halo Rio!" gelegar suara seorang pria miterius dari balik telepon."Sepertinya kau sedang memelihara api di balik pintu rumahmu," Axel terkekeh pelan, suaranya terdengar tenang tapi menyimpan racun."Bagaiimana kalau si pirang manis itu tahu… bahwa kau sedang bermain api dengan wanita lain?" Satu detik kemudian, sebuah foto Kayla masuk ke ponsel lawan bicaranya."Brengsek Axel!!" pekik Rio setelah melihat foto Kayla dari balik layar ponselnya.Axel tertawa ringan, penuh kepuasan, begitu mendengar makian dari Rio. Seolah itulah reaksi yang sejak awal ia harapkan."Kau tahu apa yang harus kau lakukan… dan pastikan kau melakukannya dengan benar," ujar Axel dingin, lalu menutup ponselnya dengan penuh kepastian."Arghh!!!" Rio mengeluarkan teriakan kesal, frustrasi karena Axel kini tahu tentang keberadaan Andini.Deng
"Kakak pikir aku ini anak kecil yang bisa dibodohi?" seru Laudya, matanya menyala penuh emosi. Ia menatap Rio tajam sambil menekan telunjuknya ke dada sang kakak."Sadar, Kak!" lanjutnya dengan suara yang meninggi. "Kayla jauh lebih baik daripada wanita itu. Dia bahkan rela tinggal bersama Ayah dan Ibu demi melindungi mereka dari ancaman para bajingan itu!" Wajahnya mengeras, sorot matanya menusuk seperti belati."Bukan itu maksudku, Lody...." Rio mencoba menenangkan, tapi suaranya tenggelam oleh ledakan emosi adiknya."Sudah! Cukup! Lebih baik Kakak keluar dari sini!" potong Laudya, lalu mendorong tubuh Rio dengan kasar hingga ia mundur beberapa langkah.Rio tetap berdiri, ingin bicara, ingin menjelaskan segalanya. Tapi yang
Beberapa pria bertopeng mulai berdatangan dari segala arah, langkah mereka terukur, namun mengancam. Di tangan mereka, senjata laras panjang mencuat, siap memuntahkan peluru tanpa ampun.“Sepertinya kita akan mati di sini,” desis Reynold, matanya menyapu liar ke segala penjuru, mencari celah, tetapi yang ia temukan hanyalah jalan buntu dan lingkaran maut. Wajahnya mulai pucat, napasnya memburu.Sementara itu, Rio tetap tenang, meski matanya sibuk mengamati setiap sudut jalan, mencari kemungkinan terkecil untuk kabur dari kepungan.Anak buah Axel makin mendekat. Beberapa dari mereka menghantam kaca depan dengan popor senjata, sementara yang lain memanjat kap mobil, mengarahkan moncong senjata ke arah mereka dengan tatapan dingin dari balik topeng.
Ivanko berjanji akan memberikan Rio perlindungan—setidaknya sampai dia selesai berbicara dengan Alvin. Namun, janji itu terasa seperti sebuah perangkap yang bisa menelan Rio kapan saja. Setelah percakapan singkat namun penuh tekanan itu, Rio langsung meninggalkan tempat itu tanpa banyak bicara. Dia tahu satu hal: waktu tidak berpihak padanya.Rio mengajak Reynold untuk mencari tempat yang lebih tenang, di mana mereka bisa berbicara tanpa takut disadap atau diintai. Udara di luar masih lembap selepas hujan, dan aroma lumpur bercampur aspal menguar di sekitar mereka. Ketegangan tampak jelas di wajah Reynold."Kau gila, Rio!" seru Reynold sambil mengibas-ngibaskan tangannya ke udara, frustrasi. "Kita ini hanya orang biasa! Tidak seperti mereka!" Suaranya sedikit meninggi, meski ia tetap berusaha menjaga nada suaranya agar tidak terdengar oleh orang lain di sekitar.Rio diam, matanya menyapu sekeliling dengan waspada. "Lalu apa rencanamu?" balasnya datar, melangkah
Rio membeku. Informasi dari Alvin baru saja menghantamnya seperti pukulan baja yang menusuk tulang belakangnya. Jari-jemarinya bergetar, menekan nomor Kayla dengan kecepatan putus asa. Satu dering. Dua. Lalu—"Nomor yang Anda tuju tidak aktif," suara operator itu terdengar dingin, menusuk telinganya seperti jarum es."Rio... Kabari aku kalau kau menemukannya." Suara Alvin terputus sebelum Rio sempat menjawab. Layar ponselnya mati, meninggalkan keheningan yang mencekam di ruangan besar itu.Suara langkah kaki. Sebuah klik yang tajam. Ivanko bangkit perlahan dari singgasananya, bayangannya menjulang seperti predator malam yang siap menerkam. Ruangan terasa semakin sempit, udaranya sesak oleh aroma cerutu Havana yang menyengat."Jadi, kau sudah dengar semuanya?" gumam Ivanko, nada suaranya datar namun sarat dengan ancaman. Dia meraih kotak kristal di meja, mengambil satu batang cerutu dengan gerakan elegan, lalu menawarkannya kepada Rio deng
“Aku tahu semua ini berat untukmu, Nona,” kata Xavier dari balik kemudi, menatap Kayla lewat kaca spion. Suaranya pelan tapi penuh makna. “Tapi di dunia ini, tak semua yang terlihat… adalah kebenaran.”Ia kembali menatap jalanan berkabut di depan. Kabut pekat seperti menyelimuti masa lalu mereka yang belum selesai.Sesampainya di markas Lorent’z Base, gerbang besi terbuka perlahan. Viktor sudah menunggu, bersama para petinggi mafia Karnosa.“Kau terlihat rapuh dan menua, Xavier,” ejek Viktor, menatap pria tua itu yang dibantu turun dari mobil oleh Rio.“Itu karena si tua bangka sepertimu membuangku ke pelabuhan berhantu,” balas Xavier setengah tertawa. “Tapi sepertinya si nyonya tua malah makin cantik saja,” ia melirik ke arah
Angin laut menggerakkan rantai kapal yang berkarat, menciptakan dentingan metalik yang menusuk kesunyian. Pelabuhan Southern Karnosa bagai kota hantu—bangunan kapal yang setengah tenggelam memantulkan bayangan mengerikan di air yang tercemar minyak.Kayla melangkah pelan, kulitnya merinding bukan karena dingin, tapi oleh naluri yang berteriak ada yang salah."Tempat ini terlalu sepi,"bisiknya, jari-jarinya menari di atas gagang pistol.Rio menganggap, lalu membagi tim dengan isyarat tangan. Nadia menyusur ke kiri, Kayla ke kanan, sementara ia sendiri menuju bangkai kapal kargo.Tangga besi berderak di bawah berat tubuh Rio. Bau amis ikan busuk bercampur karat memenuhi udara. Melalui jendela kabin yang retak, tak terlihat tanda kehidupan—hanya bayangan furnitur yang berserakan.
"Aku bilang berhenti!"Rio melepaskan tembakan peringatan ke udara.Bang!Suaranya menggema di antara gedung-gedung kosong. Tapi Alinda terus berlari, matanya tertancap pada SUV hitam yang bergerak pelan—sengaja menunggunya.Boom!Granat meluncur dari kejauhan. Mobil pendukung Alinda terlempar ke udara, berubah menjadi bola api raksasa."Sial!"Alinda menggeram, melihat sosok bersenjata berat di atap bangunan—anak buah Viktor."Tunggu, Alinda!"Rio berlari lebih kencang. Jarak mereka semakin dekat setelah Alinda terjatuh akibat ledakan.Alinda menyelip masuk bangunan tua di samping Lorentz Base. Tubuhny
“Kau tidak bisa melakukan ini padaku, Kayla!” seru Alvin. Tangannya terangkat tinggi, matanya terpaku pada jemari putrinya yang gemetar di pelatuk.“Jangan paksa aku, Ayah.” Kayla menggeleng pelan. “Aku tahu apa yang ada dalam pikiranmu. Dan aku tidak akan jatuh lagi ke dalam perangkapmu.”Pelatuk itu mulai bergerak.Perlahan, Alvin meraba sisi pintu, membukanya, lalu turun dari kendaraan.“Di luar sana, dunia tak sebaik yang kau bayangkan,” ucapnya, suaranya pelan namun menusuk. “Kau pikir aku monster? Tunggu sampai mereka yang kau lindungi menunjukkan wajah aslinya.”“Aku siap.” Kayla menatapnya da
Alinda melangkah cepat, membuntuti Nadia menuju ruang interogasi."Apa yang kau sembunyikan di sakumu, Nadia?" tanyanya dingin, matanya mengawasi gerak tangan gadis itu.Nadia menoleh tajam. "Kenapa kau terlihat gelisah? Atau... kau yang sebenarnya menyimpan sesuatu dari kami?" tatapannya lurus menusuk.Langkah Alinda melambat. Tangannya perlahan merogoh sesuatu dibalik tubuh, menggenggam pisau yang kini terangkat setengah ke udara—siap menebas kapan saja."Syukurlah..." suara Rio terdengar dari dalam ruangan. Tubuhnya muncul dari balik pintu. "Aku perlu bicara denganmu. Dan juga Viktor." Suaranya datar, tapi tegas. Ia melirik Nadia, lalu memberi isyarat agar masuk bersamanya.
Rio mengendap, mencoba mengintip melalui jendela kecil yang terlalu tinggi untuk dijangkau. Ia berjinjit, mencari sudut pandang lebih baik.“Aku sudah kirim semua file yang kau minta. Sekarang tinggal kirim uangnya ke rekeningku,” ujar suara terdistorsi dari alat pengubah suara. Rio tak bisa mengenali siapa, tapi pria yang berdiri di balik kendaraan itu…wajahnya tak asing. Rio mengenalnya. Sangat.Ia segera mundur. Harus pergi sebelum Viktor atau anak buahnya menyadari.Saat keluar dari celah itu, dari kejauhan Alinda melihatnya. Tatapannya kosong. Ia hanya memutar koin di tangan kanan, pura-pura tak melihat.
Langkah Viktor bergema saat menghampiri Rio. Wajahnya tenang, tapi sorot matanya gelap. "Kita bertemu Damien. Sekarang," katanya datar, tanpa embel-embel penjelasan.Di halaman depan, iring-iringan kendaraan sudah menunggu. Mesin-mesin menderu pelan, seperti binatang buas yang menahan diri untuk tidak menyerang duluan.Kayla muncul dari belakang, mengenakan jaket hitam dan menenteng tablet. Matanya terus bergerak, membaca situasi."Viktor, kau yakin malam ini tak akan jadi malam terakhir kita?" tanya Kayla suara rendah, menahan keresahan"Jika Damien bicara, kita bergerak. Jika dia diam… berarti kita sudah mati sebelum sempat mulai." jawab Viktor tak menoleh, naik ke kursinya)
Dua anak buah Viktor menyeret Andini dengan kasar menyusuri lorong sempit. Lampu gantung di langit-langit berayun pelan, memantulkan cahaya kuning kusam ke lantai beton yang lembap. Di ujung lorong, pintu baja terbuka perlahan dan interogasi pun dimulai.Andini dijatuhkan ke kursi logam, tangan terikat ke belakang. Nafasnya pendek. Matanya liar.Rio duduk menyamping, diam. Luka di pelipisnya masih merah, tapi sorot matanya lebih tajam dari sebelumnya. Di sisi lain ruangan, Kayla mondar-mandir seperti singa betina yang dikurung.Viktor berdiri menghadap dinding monitor, memutar ulang rekaman ledakan gudang senjata. Suaranya pelan, tapi penuh tekanan. “Ini bukan kebetulan. Seseorang tahu lokasi kita. Tahu rencana kita.”
Malam itu mereka menuju Lorentz Base, tempat dimana Rio akan memulai kembali semuanya tapi dengan bisnis yang lebih mendebarkan.Tempat ini merupakan persembunyian Damien sebelum dia mendekam di penjara.Debu beterbangan setiap kali langkah mereka menginjak lantai beton yang retak. Bau logam tua dan oli sangit menyusup ke hidung Rio, membangkitkan ingatan lama yang tak diundang.Viktor berjalan di depan, membuka gerbang baja dengan suara berderit nyaring."Selamat datang kembali di sarang Damien," gumamnya dingin.Rio melangkah masuk. Matanya menyapu sekeliling — dinding dengan bekas peluru, tangga spiral berkarat, dan peta strategi berjamur yang masih tergantung di dinding, penuh coretan merah."Dulu Damien memulai semuanya dari tempat ini