Langkah Viktor bergema saat menghampiri Rio. Wajahnya tenang, tapi sorot matanya gelap. "Kita bertemu Damien. Sekarang," katanya datar, tanpa embel-embel penjelasan.
Di halaman depan, iring-iringan kendaraan sudah menunggu. Mesin-mesin menderu pelan, seperti binatang buas yang menahan diri untuk tidak menyerang duluan.
Kayla muncul dari belakang, mengenakan jaket hitam dan menenteng tablet. Matanya terus bergerak, membaca situasi.
"Viktor, kau yakin malam ini tak akan jadi malam terakhir kita?" tanya Kayla suara rendah, menahan keresahan
"Jika Damien bicara, kita bergerak. Jika dia diam… berarti kita sudah mati sebelum sempat mulai." jawab Viktor tak menoleh, naik ke kursinya)
<Distrik Cestova bukan hanya miskin—ia nyaris dilupakan sejarah.Terletak di dataran rendah Sorena, dikelilingi rawa, dan terjepit di antara dua tembok industri yang dibangun oleh pemerintahan lama, distrik ini selama bertahun-tahun hanya dikenal sebagai "wilayah beku"—tak berdaya, tanpa sinyal, dan dipenuhi kelaparan.Namun bagi Rio, Cestova adalah awal.Beberapa bulan sebelum konflik meledak, ia diam-diam menanam bibit perubahan di sini.Ia mendirikan koperasi kecil. Mendistribusikan alat pengolahan limbah. Mengirim tim pengajar dari Arca Vault. Dan lebih dari semua itu—ia menanamkan percaya diri pada warga.Dan hari ini, ia kembali. Bukan sebagai pemimpin perang.Tapi sebagai janji yang ditepati. Kendaraan lapis baja Rio melaju pelan melewati gerbang barat Cestova. Tidak ada drone. Tidak ada pasukan Vox. Tapi sunyi itu bukan karena damai. “Pusat distribusi VIREO Core di bawah tanah diaktifkan semalam,” ucap Zaria dari kursi samping, memantau data. “Sistem memperlambat sinyal dan men
Tubuh Penatua Hildra terikat di kursi besi, luka tembak menghiasi bahunya. Nafasnya berat, namun bibirnya tetap menyunggingkan senyuman kecil. Di hadapannya berdiri Rio, Zaria, dan Neya, dengan sorot mata menusuk dan penuh tekanan."Sudah cukup permainan ini," ucap Rio, nadanya datar namun tajam. "Katakan siapa pemimpin terakhir Vox... atau kau mati di tempat."Hildra terkekeh, napasnya tersendat namun nada suaranya tetap mencemooh."Kalian pikir ini semua tentang kami, para penatua? Tentang Randu? Kalian bahkan belum menyentuh intinya."Rio mengepalkan rahangnya, matanya membakar."Katakan siapa!!""Namanya... Noctare," jawab Hildra akhirnya, menatap lurus ke arah Rio. "Dia bukan bagian dari struktur Vox. Dia adalah Vox. Dia hidup di dalam jaringan. Di dalam data. Sistem yang Damien sembunyikan... bahkan dari kalian."Nadia menyela melalui earpiece. "Rio, aku menemukan serpihan log di jaringan Arca Vault. Nama 'Noctare' muncul sebagai root user yang menyatu dengan sistem Vireo."Rio
Lampu-lampu mendadak meredup.Salah satu operator segera berdiri dari meja konsol."Rio! Sistem kita disusupi!"Zaria dan Rio langsung berlari ke pusat komando. "Sumber serangan dari jaringan luar—paket data disisipkan lewat satelit lokal," lapor teknisi. "Mereka tahu Krest ada di sini."Tiba-tiba—DUAR!!Sebuah ledakan mengguncang sayap timur markas. Debu dan percikan api meletup dari ventilasi atas. Alarm meraung panjang."Mereka mencoba menghancurkan ruangan isolasi!" teriak Zaria.Rio mencabut pistolnya dan berlari ke lorong bawah tanah, diikuti Zaria dan dua pengawal. Suara tembakan dan ledakan beruntun terdengar dari ujung bunker.Di ruang sel...Asap memenuhi ruangan. Dua penjaga sudah tergeletak tak bernyawa. Di tengah kabut api, siluet seseorang berdiri memegangi tubuh Panglima Krest yang setengah pingsan."Jangan bergerak!" bentak Rio, mengangkat senjatanya.Namun si penyusup malah menoleh—wajahnya tersembunyi di balik helm hitam bertanda tengkorak perak: salah satu unit elit
RUANG INTEL – BAWAH TANAH PELABUHAN KARNOSA – 08:05Ruang interogasi yang redup. Hanya satu lampu di atas meja baja yang menyala. Dindingnya beton dingin. Di tengah ruangan, Viktor Zien duduk dengan tangan terborgol di kursi baja, tubuhnya setengah roboh, namun sorot matanya masih tajam.Di balik kaca satu arah, Rio, Zaria, dan Matilda mengamati."Kau yakin ingin menginterogasinya sendiri, Rio?" tanya Zaria.Rio tidak menjawab. Dia membuka pintu interogasi dan masuk perlahan. Pintu menutup otomatis di belakangnya. Sunyi."Selamat pagi, Viktor. Sudah sarapan dengan ketakutan?" Rio menarik kursi, duduk di hadapan musuhnya.Viktor tertawa pendek. "Kau terlihat mirip Damien... Terlalu sentimental. Itu akan membunuhmu suatu saat."Rio mencondongkan tubuhnya. "Yang akan terbunuh sekarang bukan aku. Tapi ratusan penduduk jika kau tidak bicara.""Apa yang kau mau dengar, anak kecil? Lokasi Randu? Sudah telat. Dia bukan lagi sekadar manusia. Dia bagian dari Vireo—satu-satunya suar yang tersisa
MALAM ITU – DI TEPI PANTAI VLAMIERERio duduk sendirian di atas batu karang, sebatang rokok menyala di jarinya. Pandangannya kosong menatap langit malam yang kelam, hanya bintang-bintang redup yang menyaksikan pergulatan batinnya. Desir angin membawa aroma laut dan kenangan pahit tentang Kayla... tentang Damien... tentang semua yang telah pergi.Langkah tertatih menghampirinya. Andini muncul dari balik bayang-bayang mercusuar, bertumpu pada tongkat penyanggah di tangan kirinya."Apa kau butuh seseorang untuk diajak bicara?" tanyanya lembut.Rio menoleh, buru-buru memadamkan rokoknya, lalu membantu Andini duduk di sampingnya."Kau seharusnya istirahat, sayang," ucapnya, mengusap rambut Andini dengan lembut.Andini tersenyum tipis. "Dan kau seharusnya berhenti menyiksa tubuhmu sendiri, Rio. Luka itu belum sembuh."Rio menghela napas dalam, menatap ombak yang bergulung malas."Aku hanya ingin semuanya selesai. Aku rindu hidup normal... seperti dulu. Seperti malam itu—saat pertama kali ak
Zaria menarik tubuh Rio keluar dari reservoir yang masih diselimuti asap pekat. Napasnya memburu."Nyaris saja kau jadi abu, Rio," desis Zaria, menggandengnya menjauh dari puing dan api."Rio, bagaimana kondisimu sekarang?" suara Nadia terdengar panik dari earpiece."Aku baik-baik saja, Nadia. Bagaimana dengan Matilda dan tim lainnya?" sahut Rio cepat, meski suaranya terdengar serak dan penuh beban."Mereka berhasil keluar... tapi—" sambungan mendadak terputus."Nadia? Halo?! Nadia!" Rio memukul-mukul earpiece, tapi hanya suara statik yang menjawab.Ia menahan nyeri di dadanya, bangkit dengan susah payah. Bersama Zaria, mereka menuju kendaraan tempur yang tersembunyi di lorong gorong-gorong."Kita harus ke Arca Vault. Sekarang," ucap Rio, melepas jaketnya. Luka besar di dada kirinya menganga, darah masih menetes.Zaria melirik, rautnya menegang melihat tubuh Rio penuh debu, keringat, dan luka. Tapi ia tak berkata apa pun, hanya menginjak pedal gas lebih dalam.Saat mereka sampai, pint