Share

2. Perbedaan

Agni berdiri di samping perahu nelayan yang kata penjaga villanya dimiliki oleh salah satu nelayan senior terbaik di kampung itu. Perahu itu terbuat dari kayu bercat biru tua dan masih berbentuk perahu nelayan tradisional. Ini akan jadi pengalaman pertamanya menaiki perahu kecil seperti itu.

Sejak datang liburan ke daerah ini, dia langsung tertarik saat melihat barisan kapal nelayan yang tertambat di pesisir tak jauh dari villanya. Padahal biasanya, dia selalu menggunakan fasilitas kapal wisata yang sudah lebih modern meski tidak mewah. Tapi, kapal-kapal kecil itu begitu menarik minatnya di liburan kali ini.

Diperhatikannya satu-persatu para nelayan yang sedang sibuk mempersiapkan perjalanan mereka. Dua dari mereka mungkin berusia pertengahan tiga puluhan, bertubuh sama-sama kurus meski yang satu tampak lebih berisi dan mempunyai jenggot.

Pria yang ketiga, tampak sebagai pemimpinnya jelas lebih tua bernama Haji Baron tadi.

Dan yang terakhir yang diperhatikan oleh gadis itu, pria yang terlihat paling muda dari semuanya. Meski jelas usianya tampak jauh lebih tua dari Agni sendiri.

Namun Agni belum begitu jelas melihat wajahnya, karena pemuda itu selalu kebetulan bekerja membelakanginya.

"Nama Mbaknya siapa?"

Agni sedikit tersentak dari kegiatan pengamatannya tadi saat mendengar suara sapaan sopan dari hadapannya.

Salah satu nelayan yang mungkin berusia 30 atau 40 tahunan bertubuh kurus menghampirinya.

"Saya Agni, Pak." Jawab gadis itu ramah.

Bapak itu mengangguk-ngangguk sambil tersenyum sopan.

"Saya Karim, yang ada jenggotnya itu Pak Yono, yang punya perahu Pak Baron, terus yang lagi naurunin peti ikan itu namanya Pasai." Kata bapak itu sambil menunjuki teman-temannya satu persatu.

Agni tersenyum ramah pada mereka yang memebalas dengan senyum canggung ke arahnya.

Saat itu, akhirnya si nelayan yang paling muda berbalik dan turut melempar senyum sopan juga kearahnya.

Gadis itu mengerjap takjub sekilas.

Pemuda itu... lumayan. Malah lebih dari lumayan.

Matahari pagi memang belum muncul, tapi dari cahaya lampu petromak yang cukup terang Agni bisa menangkap sosok tegap tinggi yang kini tersenyum tipis ke arahnya itu.

Pria bernama Pasai itu berkulit coklat, mungkin bahkan lebih gelap. Agni tak begitu yakin sebenarnya. Rambutnya agak berantakan di bagian depan karena tertiup angin pantai dan sebagian tampak lembab menempel karena keringat. Tidak gondrong, hanya saja panjangnya sudah mencapai telinga.

Wajahnya tampak kokoh. Hidungnya mancung, dengan mata menyorot kalem dan misterius. Tubuhnya tinggi tegap khas para pekerja namun tampak gesit dan terlatih. Dan pemuda itu tak sekalipun terdengar berbicara.

Reflek, Agni tersenyum kecil melihatnya.

'Pemuda Samudra' batin Agni.

Dia lalu tersenyum kecil, merasa m begitu konyol menjuluki seorang pria yang baru pertama dia temui.

***

Harusnya Agni jijik dan mual mencium bau ikan menyengat di depannya. Tapi sebaliknya, gadis itu tampak begitu antusias melihat proses penangkapan ikan di perahu kecil itu.

Sampai para  nelayan itu kadang tertawa geli melihat ekspresi penumpangnya yang tampak berbinar-binar setiap mereka memasukkan ikan yang menggelepar-gelepae ke tong atau peti di atas kapal.

Matahari mulai menghangat, dan langit pun sudah tampak biru dengan barisan awan seputih kapas yang berarak dengan indah.

Mereka semua duduk beristirahat sejenak. Saling berbincang basa-basi dengan duduk berhadapan.

Tiba-tiba angin lautan bertindak jahil dengan meniup gaun merah satu-satunya wanita di perahu itu.

Gaun halus itu terangkat tinggi, mempertontonkan sepasang kaki jenjang dan paha putih molek pada para pria selibat itu.

Agni terkesiap panik. Bagaimana tidak, pakaian dalamnya sampai terlihat karena gaunnya terangkat terlalu tinggi.

Dan lagi di hadapannya berjejer laki-laki asing yang tak di ketahui baik atau tidak moralnya.

Ditambah dia berada di tengah lautan yang cukup jauh ke daratan. Jika terjadi hal yang tidak-tidak, maka dia jelas tak akan bisa apa-apa.

Dengan amat panik dan waspada, gadis itu mendongak melihat para pria yang tadi duduk berhadapan dengannya.

Namun akhirnya Agni malah tebelalak penuh takjub, karena semua laki-laki di kapal itu terlihat berpaling.

Tak ada satupun yang menatapnya dengan sorot kurang ajar. Bahkan yang termuda sekalipun. Pemuda itu  malah tampak berbalik menghadap kearah lautan. Padahal tadi orang itu jelas tengah menghadap ke arahnya juga.

Agni tersenyum lega dan kagum diam-diam. Ternyata para nelayan yang tampak sederhana itu malah lebih bisa menghormati wanita dibanding para pria di kalangan atas yang ada di kehidupannya.

Padahal, pria-pria yang dikenalnya jauh lebih berkelas dan tampak lebih terpelajar dari para nelayan sederhana itu.

Tapi mereka yang "hebat" itu tak akan sungkan memperlakukan wanita dengan semena-mena dan kurang ajar. Perbedaan yang cukup mencengangkan sebenarnya.

Tak lama setelah rehat, satu persatu  kembali bekerja seperti semula. Tapi tiba-tiba, pemuda bernama Pasai itu menghampirinya dengan senyum sopan.

"Maaf Mbak, ini ada sarung bersih milik pak Haji Baron. Silahkan dipakai, Mbak!" Ucapnya dengan halus bahkan tak sekalipun pemuda itu menatap matanya lebih dari dua atau tiga detik.

Agni meringis malu. Pasai memang tidak terus terang bilang supaya bajunya yang pendek itu tidak tersingkap lagi, tapi tentu saja gadis itu sangat mengerti isyarat kenapa pria itu sampai memberinya penutup.

"Makasih." Lirih gadis itu dengan malu-malu.

Pasai hanya mengangguk dan meliriknya sekilas dengan cuek.

Dan respon itu jelas mencubit egonya yang biasa mendapat perhatian penuh dari kaum pria.

Tanpa sadar, bibir merahnya mengerucut kecewa sambil melirik lagi pemuda yang kini tampak lebih tertarik pada gabus putih penutup peti ikan daripada dirinya.

"Mas! Itu cumi basah ya?" Agni mencoba basa-basi pada pemuda itu, padahal memang sudah jelas Pasai tengah memasukkan cumi di depannya.

"Iya." Jawabnya singkat saja.

Agni mendengkus tak percaya. Masa cumi bau itu lebih menarik dari dia?

"Habis ini, ikan tangkapan kita dibawa kemana?" tanyanya lagi mencoba menarik perhatian.

Pasai melirik lagi dengan tatapan normal tanpa sirat macam-macam kearahnya.

"Pelelangan ikan, Mbak." Jawabnya lagi, singkat, padat.

"Dimana?" tanya gadis itu.

"Di Pasar ikan." Jawab pemuda itu sambil terus bekerja menarik wadah bulat tempat ikan lain di dekatnya.

Agni mencebik kecewa karena respon singkat dan biasa saja dari pemuda nelayan itu.

Dengan sedikit rasa tak terima, gadis itu akhirnya memilih diam sambil kembali memerhatikan orang-orang itu bekerja, tapi lebih dari sekali matanya melirik kearah Pasai tanpa sadar.

Agni akhirnya memperhatikan pria itu diam-diam.

Ternyata benar, kulitnya memang coklat gelap. Khas laki-laki yang bekerja berjam-jam di bawah sinar matahari.

Tangannya tampak kokoh dan cekatan. Tipe tangan pekerja kasar dengan barisan bekas luka berbagai bentuk.

Punggung dan dada kaos abu-abu kusam yang dipakai Pasai tampak basah oleh keringat.

Tapi anehnya, Agni sama sekali tidak merasa jijik melihat ceceran peluh pria itu yang tampak mengkilat dimana-mana.

Sebaliknya, jantungnya yang biasanya berdetak monoton, terasa berdebar lebih cepat dan lebih kuat dari biasanya.

Gadis cantik itu entah kenapa tampak salah tingkah tak jelas saat melihat pemuda kalem itu bekerja. Padahal pria itu meliriknya saja tidak.

Agni meringis geli dan heran sendiri pada reaksinya. Pasai itu hanya seorang pemuda kampung, dan juga seorang pekerja kasar.

Tapi, kenapa bisa tampak menarik di matanya?

***

Pasai berusaha fokus pada pekerjaannya. Tapi tetap saja, dia merasakan dengan jelas saat gadis cantik asing itu terus mengamatinya.

Dia tak akan munafik. Gadis itu yang tercantik yang pernah dia lihat selama ini.

Kulitnya putih memikat bak model-model iklan di televisi. Rambutnya hitam bersemburat merah terurai sedikit bergelombang sampai punggung, dengan poni menutup sebelah matanya yang berwarna coklat.

Bohong kalau Pasai tidak terpesona. Jika saja kendali dirinya tak kuat, mungkin matanya akan berlama-lama menatap sosok indah yang berada tak jauh darinya itu.

Untungnya logikanya berjalan. Meski dia mungkin tak terpelajar, tapi instingnya tahu kalau objek indah yang menumpang di perahunya itu hidup di sisi dunia yang berbeda dengannya. Hal itulah yang memudahkan perhatiannya lebih terfokus pada cumi basah bau daripada kearah gadis cantik nan wangi itu.

***

Hampir sore hari, perahu mereka merapat ke daratan. Hari ini mereka memang terpaksa melaut lebih sebentar. Tentu saja karena ada penumpang cantik yang mereka bawa. Mana mungkin nelayan-nelayan baik hati itu tega membawa gadis secantik dan sewangi Agni untuk berkubang dengan ikan amis seharian.

Mereka semua beristirahat duduk di pasir putih yang tampak cantik memanjang di pesisir pantai.

Sebagian ada yang merokok dengan wajah lelah.

Sedangkan Pasai hanya meminum teh dingin yang dibawa di termos kecil milik Pak Karim karena dia kebetulan bukan perokok.

"Mau ke pelelangan ikan kan habis ini?" gadis itu memecah keheningan tiba-tiba.

"Iya, Mbak." Jawab pak Yono dengan ramah.

"Saya boleh ikut lagi?" tanya gadis itu dengan binar antusias.

Pasai dan Pak Baron meringis diam-diam. Laki-laki singel mana yang akan nyaman terus dibuntuti sosok penggoda iman seperti itu.

"Gak usah, Mbak. Disana bau." jawab Pasai datar.

Agni mencebik tak terima.

"Tadi juga deket ikan sama baunya." jawab gadis itu cepat.

"Disana juga kotor." Ujar Pasai lagi diselipi sedikit nada gemas dan jengah dalam ucapannya.

"Di perahu juga kotor, Mas Pasai." Jawab gadis itu jelas mulai kesal.

Pasai meringis serba salah sambil menoleh pasrah pada seniornya.

"Ya sudah, Mbak ikut saja kalau mau." Ajak Pak Karim pada akhirnya yang di respon dengan senyum lebar cantik yang membuat keempat laki-laki selibat itu mendesah ngeri karena terpesona.

Pasai hendak berjalan mengikuti para seniornya ke pelelangan ikan saat suara wanita yang terdengar begitu lembut memanggil namanya.

"Mas Pasai!"

Semuanya, termasuk Agni menoleh bersamaan. Di depan mereka kini berdiri seorang perempuan cantik berbaju hitam dan rok putih panjang yang tengah tersenyum malu-malu.

Agni mengerutkan keningnya penasaran. Lalu tiba-tiba dia dikejutkan oleh Pasai yang berjalan melewatinya dengan wajah tampak memerah dan tersenyum salah tingkah.

"Ratri," panggil pemuda itu dengan ramah dan lembut.

Agni terdiam. Entah kenapa terasa cubitan rasa iri di hatinya melihat sikap manis penuh perhatian Pasai pada wanita bernama Ratri itu.

Dia terdiam menatap Ratri dari atas kebawah dan membandingkan dengan kecantikannya sendiri dalam hati. Tentu saja Agni jauh lebih cantik dalam hal apapun.

"Yuk, Mbak! Biarin si Pasai temu kangen aja. Paling juga nanti dia nyusul." Ajak Pak Yono sambil menyentuh sikunya dengan sopan.

Agni tersentak dari lamunannya, lalu tersenyum kaku tanpa sadar.

"Dia... siapa?" tanyanya penasaran.

"Ratri, calon istrinya Pasai." Jawab Pak Yono sambil tersenyum ramah.

"Ooh..." jawab Agni pelan,  dan tak bisa menahan hatinya yang terasa mencelos tiba-tiba.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status