Share

Cinta Dingin Sang Pewaris
Cinta Dingin Sang Pewaris
Penulis: RedSky Note

1. Laut

Angin berdesir pelan. Sejuk sekilas membuai hangat senja hari di Pelabuhan. Rapatan kapal-kapal kayu para nelayan mengisi hening di sela deburan ombak yang mengikis pinggiran.

Bau laut, ombak dan keringnya udara pesisir terasa menyengat setiap indera awam yang mampir di tempat itu. Rasanya nyaman tapi juga menjengahkan.

Di antara samudra, langit senja dan deburan ombak sosok itu berdiri diam di atas pasir putih yang kini tampak memucat disapa gelap.

Angin membelai rambutnya yang tampak terurai berterbangan. Tatapan matanya lurus menantang lautan. Tangannya terlipat angkuh di dadanya yang berlekuk. Tubuhnya tampak tinggi, sekilas tampak tipis tapi juga tampak berukir indah dibeberapa bagian.

Sinar matahari sore membentuk sebentuk wajah bak lukisan antik tanpa cela. Hidung mancung, bibir tebal merekah manis, dan dua iris gelap yang samar terlihat dengan naungan alis tebal alami menambah cantik rupa itu.

"Agni...."

Sapaan lembut bernada ragu membuat sosok yang berdiam diri itu bergerak pada akhirnya.

"Apa yang kamu mau, Gama?" suara anggun namun terdengar dingin menjawab panggilan itu.

Gama menghela napas pelan.

"Pernikahan," jawab pria itu mantap.

Agni diam tak bergeming. Gadis itu malah melirik sekilas dengan senyum tipis pada pria tampan yang kini berdiri bersisian dengannya.

"Aku nggak akan menikah." ucap Agni pelan.

Gama menatapnya diam, "kamu gak pernah punya pacar, dan sekarang kamu bilang gak akan menikah? Jangan gila, Agni! Kamu gak akan bisa hidup sendirian sampai mati nanti!" tukas Gama terdengar kesal.

Senyum kecil samar terselip di bibir Agni sebagai balasan.

"Aku punya banyak teman. Dan mereka setia padaku dua puluh empat jam. Sama sepertimu, Gama," jawabnya dengan tenang.

Gama menggelengkan kepala seraya tertawa pelan.

"Orang-orang yang kamu sebut teman itu cuma akan setia saat tangan kamu dipenuhi kartu kredit dan juga rupiah, Agni. Waktu dua puluh empat jam mereka selalu kamu bayar dengan nominal yang cukup setiap harinya." Gama menekankan dengan ekspresi serius.

Agni menoleh, lalu balas menatapnya datar.

"Apa kamu juga seperti itu?" Gadis itu tersenyum simpul setelah melempar sebuah pertanyaan yang menohok.

Gama terdiam sambil menatap perempuan di sisinya itu dengan tajam.

"Sejak dulu kamu tahu jawabannya," sahut pria itu dengan nada dingin dalam ucapannya.

"Jangan sayang padaku karena aku cantik. Lima tahun lagi wajahku pasti jelek, Gama." Agni menoleh lagi meski tak menunjukkan banyak ekspresi.

Gama terkekeh pelan, "itu urusanku. Bagianmu cukup balas saja perasaanku." Pria itu terdengar mengembuskan napasnya karena kesal.

Gadis berambut panjang itu mendengus pelan. Tanpa bicara lagi, dia beranjak pergi meninggalkan Gama yang tetap berdiri diam menatap malam yang mulai datang.

***

Deritan suara kayu terdengar dari sebuah rumah panggung bilik bambu dengan cat kusen berwarna biru kusam. Rumah bilik dengan penopang batu berlantai kayu yang begitu sederhana tapi tampak hangat.

Mungkin dari kilauan cahaya lampu bohlam kemerahan yang terpancar samar dari sela-sela kecil bilik bambu yang sudah cukup banyak yang renggang, atau dari suara-suara tawa dan cekikikan kecil dari dalam rumah tradisional itu.

"Mas Pasai, tadi Yuning ketemu mbak Ratri. Katanya titip salam buat Mas Pasai yang ganteng." Yuning berceloteh seraya menatap kakaknya dengan seringai jahil.

Pasai mendelik gemas pada adik perempuannya yang kini terkikik geli bersama ibu dan adik laki-laki bungsunya.

Pemuda itu lalu memutar bola matanya dengan jengah karena malas menimpali godaan adiknya yang itu-itu saja.

Tangannya yang tampak kasar dan penuh kapalan bergerak cepat memperbaiki bolong di jaring lebar yang biasa di gunakannya. Jaring lebar dari benang transparan yang lazim di pakai sebagai penjerat ikan itu di gantung dikawat yang menjuntai kuat di sela atap bilik rumahnya.

Hari ini hasil tangkapan dia dan beberapa pria lainnya cukup banyak. Dan tentu saja jaring andalannya itu juga jadi harus bekerja ekstra. Akibatnya, beberapa robek dan bolong di sana-sini terpaksa harus dia perbaiki setelahnya.

"Mas, kata Mbak Ratri lagi tadi ya, katanya Mas Pasai itu mirip laki-laki yang di iklan-iklan susu otot itu loh," celetuk adiknya lagi sambil tersenyum geli ke arahnya.

Kali ini mau tak mau pria bernama Pasai itu tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan adiknya. Dia lantas geleng-geleng sambil tersenyum geli kearah ibu mereka yang kini tampak sedang memijat-mijat kakinya yang mulai renta.

Pasai yang melihatnya, lantas meletakkan pekerjaannya begitu saja.

"Kaki Ibu sakit lagi? Mau Mas pijitin, Bu?" Tanyanya sembari tersenyum penuh sayang pada wanita paruh baya di hadapannya.

Rahayu tersenyum penuh terima kasih pada putra sulungnya itu.

"Gak usah, Mas. Ibu Cuma pegel kok. Nanti habis isya langsung tidur juga ilang pegelnya," jawab wanita itu lembut.

Pasai mengangguk pelan. Pekerjaannya hampir selesai, jaringnya sudah cukup bagus untuk dipakai lagi besok.

Tubuhnya juga sudah sama lelah. Mengangkat peti ikan yang berat berkali-kali tentu saja menguras habis tenaganya. Tapi, tak sekalipun dia merasa ingin mengeluh.

Dia pria dewasa satu-satunya di keluarganya. Takdirnya jelas, berjuang untuk hidup ibu dan masa depan kedua adiknya. Sekali tubuhnya dimanja, maka rasa malaslah yang akan segera menyambutnya.

"Pasai, kamu memang gak tertarik sama Ratri?" Rahayu bertanya dengan hati-hati.

Pasai terdiam, wajahnya tampak berpikir serius.

"Nanti ya, Bu. Belum sekarang." Jawabnya sambil tersenyum menenangkan sang ibu.

"Kamu sudah mau dua puluh sembilan tahun, Mas. Masa gak pengen menikah?" tanya ibunya lagi dengan gusar.

Pasai menghela napas pelan. Diletakkannya seluruh pekerjaannya di lantai, lalu beranjak perlahan kearah sang ibu yang tampak kelelahan.

"Ibu, Mas akan menikah, itu pasti. Tapi nanti, setelah Ranggi selesai sekolah." Jawab pemuda itu sambil memijat pelan kaki sang ibu yang sudah tampak tua dan kurus.

Rahayu menatap putranya nanar. Matanya berkaca-kaca dengan hati perih dan ngilu.

Putra sulungnya mati-matian menyekolahkan kedua adiknya sampai tinggi, tapi Pasai sendiri hanya sekolah hingga kelas tiga SD karena suami pertamanya sekaligus ayah Pasai dan Yuning meninggal tenggelam bersama kapal penangkap ikannya dulu.

Meski tak lama Rahayu menikah lagi dengan nelayan lain sahabat suaminya, tapi takdir belum bersahabat bagi mereka. Suami keduanya meninggal karena serangan jantung hanya berselang satu tahun setelah dia melahirkan Ranggi, putera bungsunya.

Jadilah Pasai yang harus menjadi tulang punggung bagi mereka.

"Do'aku, Nak. Semoga kelak Tuhan memberi jodoh terbaik dari yang terbaik buatmu. Ridho ibu ada di setiap nafas yang kamu tarik. Do'a ibu ada di setiap kedipan mata kamu. Semoga bahagia lekas menjemputmu, Nak." Ucap Rahayu dengan mata berkaca-kaca.

Pasai menatap ibunya penuh terima kasih, lalu mengangguk sambil mengaminkan do'a ibunya dalam hati.

***

Tepat dini hari Pasai berjalan menuju pantai mengikuti ketiga nelayan senior yang akan bekerja bersamanya.

Di bahunya menjuntai jaring yang biasa dibawanya.

Mereka memang tidak akan langsung melaut, karena sebelumnya setiap peralatan dan perbekalan harus dipersiapkan dengan teliti. Termasuk kondisi perahu kayu tua yang akan mereka gunakan melaut.

Dari mulai mesin hingga bahan bakar dan kondisi kayunya sendiri harus diperiksa terlebih dahulu kelayakannya. Jangan sampai kecerobohan kecil kelak membawa mereka kearah celaka.

Karena bagi para nelayan, selain sebagai ladang rezeki, lautan bisa juga berarti kuburan untuk mereka.

"Pasai! Kau bagian tengah hari ini!" Baron, pemilik kapal sekaligus pemimpin tim mereka membagi tugasnya hari ini.

Pemuda itu mengangguk dalam diam. Bersyukur karena dia punya senior yang pengertian. Pasti Baron tahu kalau tangannya masih pegal setelah mengangkat banyak barang kemarin. Hingga dia kebagian tugas memasukkan dan membereskan ikan ke wadah atau kotak khusus dibagian lambung perahu mereka.

Mereka hanya berempat hari ini, satu nelayan tak ikut melaut karena sudah tiga hari sakit muntaber.

"Pak Haji Baron!"

Seorang wanita paruh baya memakai daster panjang dan jilbab hitam berlari tergopoh-gopoh kearah mereka. Keempat pria yang tengah sibuk itu langsung menoleh penasaran.

"Ada apa Mbak Uwi?" tanya Baron keheranan.

"Itu... ada orang dari villa mewah sana yang katanya mau ikutan melaut?" kata ibu itu antusias.

"Hah?!"

Keempat nelayan itu serempak terbengong-bengong tak percaya.

Karena di setiap villa disekitar pantai mereka jelas sudah menyediakan fasilitas kapal yang lebih dari layak untuk berwisata. Jadi tentu saja wacana wisatawan untuk ikut berjubel bersama bau ikan di perahu jelek kontan membuat mereka cukup kaget.

Baron menggaruk kepalanya yang tak gatal. Pria paruh baya itu bingung harus mengizinkan atau tidak permintaan tak biasa itu.

Karena bisa saja wisatawan itu nanti malah muntah-muntah karena jijik dengan bau amis dan lembab perahu mereka.

"Aduh, gimana ya Mbak," gumam Baron seraya menimbang.

Pria berkumis tipis itu lalu melirik ketiga rekannya yang lain.

Dilihatnya Karim yang malah tersenyum miring kearahnya, Yono yang hanya diam dan Pasai yang mengangkat bahunya teserah.

"Kata orangnya dia mau bayar kok, Ji!" ujar ibu itu.

Baron mendesah pasrah.

"Yah bukan soal duitnya sih, Mbak. Tapi ya sudah lah, suruh cepat kesini saja orangnya! Bentar lagi kami berangkat!" jawab Baron pada akhirnya.

Mbak Uwi itu langsung berlari entah kemana. Meninggalkan para nelayan itu yang kini masih ragu-ragu juga meski sudah mengizinkan.

Para nelayan itu sudah kembali sibuk saat wiasatawan yang di tunggu akhirnya datang.

"Pak Haji! Ini orangnya!"

Keempatnya serempak menoleh, lalu terbelalak ngeri.

Di hadapan mereka kini berdiri seorang wanita cantik bergaun pantai merah selutut tanpa tali bahu yang hanya ditutupi sweater rajut berwarna hitam- tengah tersenyum manis kearah mereka.

"Penumpangnya perempuan?" cicit haji Baron, duda paling tua di tim itu sambil melirik cemas kearah tiga rekannya.

Dan perasaannya malah tampak semakin ngeri sendiri saat sadar seluruh kru kapal isinya adalah para pria yang belum punya istri.

'Aduh!'

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status