Share

3. Detak

Langit kelam kebiruan menaungi laut dan debur ombak.

Angin terasa lebih dingin dari biasa. Bertiup cukup kencang menghempas gelombang yang datang semakin pasang.

Di sana, di antara kelip bintang yang tak banyak dan remang cahaya bulan yang muncul sebagian, lagi-lagi gadis itu berdiam diri.

Benaknya kosong. Tak pernah ada hal berarti yang mampir di kepalanya. Hanya laut, ombak dan langit yang tampak indah di pelupuk matanya. Tapi tak lebih.

Karena tak pernah ada yang menggugah hatinya yang kerap terasa hampa dan kosong.

Tak lama, kakinya berjalan. Jauh. Memutari pesisir lalu menapak di antara deretan rumah sederhana. Berkeliling dengan langkah pelan dengan kecantikan samar yang terterpa cahaya bulan.

Gadis itu mengamati satu persatu rumah tradisional di sekelilingnya. Binar penasaran terpercik perlahan di kedua matanya yang cantik.

Senyum kecil tersungging puas saat matanya tertumbuk pada sebuah rumah panggung bergaya paling kuno di sana.

Rumah itu tampak berdinding bilik hias dengan anyaman hitam sebagai polanya. Sepertinya lantainya juga dari bilik bambu atau bahkan kayu. Jendela-jendela kayu dengan cat biru kusam tampak membiasksn cahaya kemerahan dari dalam rumah sana.

Lalu di depannya, tepat di depan pintu rumah itu tampak sebuah tangga kayu tua yang menyambung dengan sebuah bale yang terbuat dari bambu yang di belah dan di susun menyerupai sebuah dipan sederhana.

Gadis itu tersenyum lagi penuh ketertarikan. Rumah itu bagus. Meski tua, entah kenapa dia bisa membayangkan kehangatan di dalam sana. Mungkin dari temaram cahaya bohlam itu yang membuat suasana terasa berbeda.

Rumah itu tak seperti yang lainnnya yang sudah memakai penerangan lampu neon yang terang benderang. Bahkan bohlam yang terlihat pun tampak berwatt kecil.

Gadis itu masih berdiri memandangi rumah itu, saat pintu di depannya terbuka dengan suara derit tua yang memecah malam.

Perlahan, seorang wanita paruh baya melangkah menuruni bale.

Gadis itu memicing penasaran.

Perempuan separuh tua itu tampak mengenakan kebaya bahan berwarna abu-abu tanpa motif. Dipadu dengan lilitan sarung tipis bermotif batik yang hanya dililit sembarang di pinggangnya.

Wanita itu lalu tampak mengambil sebuah sapu lidi yang berdiri bersender di ujung bale.

Saat dia hendak berbalik kembali ke dalam rumah, langkahnya terhenti.

Dengan ragu dia berbalik melihat ke arah gadis berbaju biru muda yang tampak berdiri di depan rumahnya.

"Siapa?" Suara lembut mendayu sampai di telinga gadis berbaju biru itu.

Si gadis melangkah malu karena terpergok mengamati rumah orang.

"Maaf Bu, saya cuma lewat. Liat rumah ini jadi tertarik," Jawab si gadis tak enak.

Wanita paruh baya itu terdiam, lalu melangkah turun dari bale rumahnya dan menghampiri gadis yang sejak tadi samar di tangkap matanya.

"Siapa?" Tanya Ibu tadi lagi.

Gadis itu berjalan mendekat, dan akhirnya jangkauan cahaya lampu mampu menangkap sosoknya cukup jelas.

Pemilik rumah itu tertegun kagum saat melihat gadis muda di depannya itu ternyata amat  cantik, yang semakin membuat keningnya berkerut karena bingung menemukan sosok itu di tengah malam buta. Dan di kampung kecil pula.

"Saya Agni, yang sewa vila Cakrawala di ujung pantai sana, Bu." Jawab gadia itu sambil mengulurkan tangan dengan sopan, yang disambut senyum canggung dari lawan biacaranya.

"Rahayu." Jawab Ibu itu lembut.

"Rumahnya bagus, Bu." Ucap gadis itu tulus.

Rahayu tersenyum kecil.

"Itu gubuk, bukan rumah." Rahayu tersenyum teduh.

Agni terkekeh pelan mendengar jawaban pemilik rumah yang membuatnya tertarik itu.

"Adek, mau lihat ke dalam?" Tanya Rahayu dengan ramah.

Gadis berparas cantik di depannya membelalak antusias.

"Boleh?" tanyanya ragu-ragu.

Ibu itu tersenyum lembut penuh maklum.

"Boleh. Ayo masuk! Di dalam cuma ada anak-anak saya kok."

Ajak Rahayu sambil mengulurkan tangannya yang disambut tanpa ragu oleh tamu dadakannya.

***

Agni menapakkan kakinya di lantai bilik bambu yang tampak mengkilap seperti dipernis.

Senyum merekah penuh takjub saat matanya melihat seluruh isi rumah.

Dugaannya benar. Rumah itu terasa hangat, padahal begitu sederhana. Hanya ada tikar anyam, meja dan lemari kayu kecil di ruangan yang dia masuki.

Dinding biliknya bahkan bersih tanpa hiasan apapun kecuali sebuah jam dinding kayu tua berbentuk persegi yang terdengar berdetak memecah sunyi.

"Rumahnya nyaman," gumam gadis itu takjub.

Rahayu tersenyum di belakangnya. Sedikit geli karena melihat orang yang malah melihat gubuk tuanya itu seolah bangunan yang istimewa.

"Silahkan duduk. Saya ambilkan jamuan seadanya," pinta Rahayu dengan ramah.

Agni hendak melarang, tapi dia juga penasaran apa yang akan disuguhkan pemilik rumah itu,  jadi dia memilih duduk di atas tikar seraya mengulas senyum tipis penuh terima kasih.

Tak berapa lama, Rahayu tampak keluar dari salah satu kamar yang hanya di tutup gorden merah motif angsa dengan di ikuti seorang gadis remaja yang membawa sebuah nampan bulat.

Agni mangamati gadis itu dengan tertarik.

Gadis itu mungkin masih belasan tahun, berkulit sawo matang dengan wajah sedikit bulat namun berparas cukup cantik.

"Diminun, Dek. Saya cuma punya teh panas sama bongko pisang. Tapi masih hangat." Ucap Ibu tadi sambil menyodorkan jamuan dengan ramah.

"Terima kasih, Bu. Maaf merepotkan," ucap Agni sambil tersenyum malu.

"Tidak apa-apa. Jarang ada wisatawan mampir ke kampung sini. Jadi ya... saya senang-senang aja." Jawab Rahayu sambil tertawa.

Agni meminum teh yang tersuguh di cangkir tua berbahan seperti kaleng.

Nikmat sekali. Hangat dengan bau teh melati yang lembut dan menenangkan.

Gadis itu lalu melirik penasaran ke arah remaja yang kini ikut duduk bersama mereka.

"Ini anak kedua saya. Namanya Yuning." ujar Rahayu secara mengejutkan.

Agni mengerjap kaget, lalu tersenyum ramah pada gadis itu.

"Halo! Saya Agni." Sapanya senyum ramah.

"Yuning, Mbak." Jawab gadis itu ramah juga.

Mereka bertiga berbincang dengan hangat. Mengenai pantai, rumah tua, bahkan banyak pertanyaan terlontar tentang para nelayan di sekitar sana.

***

Waktu terus bergulir, hingga jam menunjukkan tepat pukul setengah satu malam. Tak terasa ketiga wanita itu mengobrol dan tertawa sudah selama satu seperempat jam.

Mungkin, obrolan mereka yang tak bertema itu tak akan berhenti jika bukan karena suara derit pintu yang terdengar cukup keras dari arah dapur.

"Ah! Sepertinya anak sulung saya sudah pulang melaut. Kemaleman kayaknya dia." Ucap Rahayu sambil bangkit buru-buru dari duduknya.

"Kakakmu nelayan?" Tanya Agni pada Yuning dengan penasaran.

Yuning mengangguk, "iya, Mbak. Meskipun masih ngikut kerja sama orang." Jawab gadis itu membuat Agni mengangguk-ngangguk.

Dua gadis itu lanjut berbicara dan tertawa-tawa dengan suara pelan. Mereka tampak akrab padahal baru saja saling kenal.

Agni sedang terkikik geli karena cerita Yuning saat dia mendengar suara di ujung dapur sana.

"Siapa yang namu malem-malem gini, Bu?"

Agni tertegun dan sedikit membeku tanpa sebab mendengar suara yang dirasa familiar itu.

Dia tak terlalu fokus pada isi pembicaraan, dan mencoba hanya terfokus pada satu suara laki-laki yang terdengar dalam dan lembut itu.

Agni berpaling menatap lekat ke arah pintu dapur. Pikirannya buntu, tak bisa menebak siapa pemilik suara itu. Tapi entah kenapa dadanya berdesir pelan penuh antisipasi.

Lalu akhirnya sosok itu muncul. Berdiri menjulang dengan kaos hijau tua tersampir di bahu telanjangnya.

Langkah orang itu terhenti di muka pintu. Tertegun dengan mata membelalak tak percaya menatap sosok asing tapi dikenalnya tampak duduk dengan nyaman di atas tikar butut rumah mereka.

Keduanya terdiam saling menatap penuh keterkejutan.

Rahayu memicing tajam melihat puteranya tampak menegang melihat tamunya, begitu juga sebaliknya.

Atmosfir hangat yang tadi terasa kini berubah senyap dan penuh kekakuan.

Agni terbungkam kelu, matanya menatap lurus ke arah pria yang beberapa hari lalu dia perhatikan begitu lekat.

Seperti saat itu, saat ini pria itu juga tampak berantakan. Bahkan dia bertelanjang dada dengan kulit tampak kusam.

Tapi di tempatnya duduk, jantung Agni berdebar tak karuan. Matanya lurus memerangkap kedua mata tajam yang kini menusuk ke arahnya.

Dengan desir gelombang di dalam dadanya yang semakin membesar, gadis itu memanggil dengan pelan dan ragu.

"Pasai...?"

***

Pasai berdehem pelan, berusaha menetralkan ekspresi kaget yang mungkin terlalu kentara di wajahnya.

Ditatapnya kedua mata cantik yang tengah menatapnya di antara kemerahan cahaya lampu.

Sekilas, pria itu menangkap riak malu dan salah tingkah di wajah mulus bak bidadari itu.

Tapi lagi, kewarasannya terlalu kuat hingga dia cepat tersadar dan kembali membersihkan benaknya dari godaan apapun yang hadir karena keindahan taj terduga yang ada di depannya.

"Mbak Agni, kan?" Tanya pria itu basa-basi saja.

Agni merekahkan senyum, merasakan sekilas rasa senang hadir saat tahu dia masih diingat oleh pria itu.

"Hai! Mas... Pasai, ya kan?"

Gadis itu menambah sapaan 'Mas' untuk menjaga kesopanan

saja.

Tidak lucu kalau hanya bertemu satu atau dua kali, dia harus sok akrab dengan langsung menyebut nama orang.

Pasai hanya mengangguk singkat. Tanpa senyum, tanpa kata.

Pria itu lalu melenggang begitu saja kearah meja dan mengambil sebuah gelas kecil yang tertelungkup di atas nampan lain.

Agni menghela nafas pelan, karena pria itu begitu lagi. Cuek dan membuatnya sedikit sebal karena diacuhkan.

"Mas, kenal Dek Agni?" Tanya Rahayu tiba-tiba.

Agni tersenyum serba salah, sambil menanti respon pria yang kini tengah menyeduh kopi hitam di depannya.

"Mbak Agni pernah ikut kami melaut, Bu. Jawab Pasai singkat.

"Hah? Ikut ngelaut pake perahu, Mas?" Tanya Yuning seolah tak percaya.

Agni tersenyum tipis melihat reaksi gadis itu. Dia tak sadar kalau Rahayu dan Pasai tengah melihat kearahnya.

"Iya, sewa." Jawab Pasai sambil menyeruput kopinya yang tampak masih mengepul.

Agni meringis diam-diam. Ngeri sndiri melihat asap yang masih naik dari cangkir itu.

"Mbak lagi ngapain di rumah saya?" Tanya Pasai tanpa basa-basi.

Rahayu mengernyit heran mendengar puteranya yang selalu ramah kini malah terdengar tajam tanpa basa-basi. Tapi dia memilih diam sambil menyimpankan pakaian kotor anaknya itu.

Agni mendengus kecil tak suka pada penerimaan pemilik rumah yang satu ini.

"Aku gak tahu ini rumah kamu loh." Kata gadis itu cuek sambil menyendok bongko pisang manis ke mulutnya.

Pasai menghela napas pelan.

"Ini sudah malam, Mbak. Bukan waktu berwisata lagi." Ucap pria itu baik-baik.

Rahayu yang masih memerhatikan puteranya terdiam. Sedikit tak percaya mendapati sikap Pasai yang super lembut dan ramah berubah dingin tanpa basa-basi.

Memang sebenarnya tamunya itu siapa?

Agni melirik jam dan meringis malu.

"Aduh! Iya, udah malem. Aku pulang aja kayaknya," kata gadis itu tak enak.

Rahayu merenung cemas. Ini sudah larut malam, dan membayangkan gadis secantik Agni jalan melewati kampung dan pesisir sendirian jelas cukup mengkhawatirkan.

Dia melirik ragu ke arah puteranya.

"Anterin dia, Mas!" Pinta Rahayu tegas.

Pasai sontak melirik kaget pada ibunya.

"Gak usah, Bu. Dekat kok," tolak Agni halus.

Rahayu menggeleng tegas sambil menatap puteranya, sampai akhirnya Pasai mendesah kalah.

"Saya antar!"

***

Pesisir malam itu berangin. Tampak pucat memanjang membelah darat dan lautan.

Sepasang manusia berjalan dalam diam. Diantara hempasan ombak yang memelan, dan di antara riuh debaran sepihak di antara keduanya.

Yang satu diam tak peduli, atau berusaha tak peduli.  Dan yang satu menyemai senyum kecil diam-diam.

"Apa kamu selalu seperti itu?" kalimat tanya selembut sutra membelah keheningan.

"Seperti apa maksudnya?" tanya Pasai tak ingin basa-basi.

"Cuek, diam, sedikit tidak ramah dan menyebalkan," ucap gadis itu tiba-tiba merasa sendu tanpa sebab.

Pasai diam karena tak merasa perlu menjawab apapun.

"Aku cuma tertarik liat rumah kamu. Dan aku juga nggak tahu itu rumah kamu," tutur gadis itu.

Pasai melirik ke arahnya. Samar, dia melihat gadis berambut panjang itu mencebik muram.

"Gak apa-apa. Yang penting Mbak pulang, ini sudah malam." Pasai mengalihkan pandangannya ke arah lautan lepas yang tetap terlihat mengombak di kegelapan.

Agni terdiam.

Langkah gadis itu berhenti tiba-tiba.  Dia memilih berbalik menghadap lautan.

"Kenapa berhenti?" Tanya Pasai heran.

"Kamu gak suka aku ya?" tanya gadis itu tiba-tiba.

Pasai sontak menoleh dan melempar senyum kecil.

"Kita nggak saling kenal loh, Mbak. Malah ketemu juga baru dua kali ini," jawab Pasai.

"Tapi kamu cuek. Aku tahu kamu nggak gitu. Ratri buktinya. Kamu ramah sama dia waktu itu," tukas Agni tak terima.

Pasai mengernyit kebingungan. Bagaimana bisa gadis ini mempermasalahkan sikap orang yang tidak mengenalnya?

"Ratri itu... beda, Mbak." gumam laki-laki itu.

Hanya itu saja jawabannya, tapi sukses membuat rasa kesal Agni datang tiba-tiba.

"Aku lebih cantik dari Ratri." Ujar gadis itu mantap.

Pasai terkejut dan menatapnya dengan heran.

"Memang. Mbak sangat cantik. Tapi yang saya kenal itu Ratri, bukan Mbak, kan?" ujar Pasai menohok perasaan.

Agni terdiam, dan hatinya terasa dicubit rasa kesal lagi.

Gadis itu lantas berjalan cepat meninggalkan Pasai yang masih kebingungan karena sikapnya yang seolah merajuk tanpa alasan.

Agni nyaris berlari pulang karena sebal tanpa sebab, tapi tiba-tiba tangannya ditarik dengan lembut oleh orang yang sejak tadi mengikutinya lagi dalam diam.

Gadis itu terpaksa berbalik dan mendongak.  Mereka berada di bawah lampu hias bulat tepat di bawah Vila yang disewa Agni dan keluarganya.

Gadis itu menatap seraut wajah tegas yang menatapnya penuh kecemasan.

"Hati-hati, banyak batu karang kecil di sini. Jangan sampai kamu jatuh dan melukai diri dengan sia-sia," ucap Pasai dengan nada cemas.

Agni terdiam. Bukan karena kalimat pria itu, tapi karena jarak mereka berdua yang kini  terlalu dekat.

Mereka berhadapan hanya dengan jarak beberapa inchi saja.

Lampu di atas mereka yang cukup terang, akhirnya menyoroti dengan jelas pahatan luar biasa di depannya.

Mereka sama-sama terdiam. Saling tenggelam dalam sosok satu dan lainnya. Yang awalnya mencegah mati-matian, kini luruh dalam keterkesimaan.

Dan yang sejak awal tertarik, kini makin memupuk kekaguman.

Tangan Agni terulur perlahan.

Naik dengan gemetar dan menyentuh rahang tegas yang seolah turut membeku di depannya.

Saat akhirnya tersentuh, Pasai yang sejak tadi diam lantas tersentak. Napas yang kerap mengalir tenang, tetiba memburu liar tak beralasan.

Ada yang bergetar bangkit dari keduanya. Perasaan yang sama-sama belum bernama. Bergulung di antara kekaguman dan merayap ke antara saraf gairah dan nalar.

"Pasai..."

Satu sebutan lirih itu mengantarkan getaran tremor kecil di tubuh pria di depannya. Nalarnya nyaris raib karena gadis asing itu hingga membuatnya terlena dan nyaris lupa daratan.

Tapi tiba-tiba pria itu tersadar. Matanya yang kelam mengerjap, lalu mundur mengambil jarak tanpa memutus pandangannya.

"Kembali ke tempatmu, Mbak!"

ujarnya dengan tegas dan dingin, lalu berbalik pergi meninggalkan Agni yang masih terdiam dengan tangan nyaris menggantung di udara.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status