Share

6. Mengambil Jarak

Agni memandang nyalang ke arah laki-laki yang terlihat sedang menggulung tambang besar di atas kapal nelayannya di pagi buta.

"Kenapa kamu menghindar? Kita seperti kembali ke awal?" Agni nyaris berteriak frustasi karena sikap diam orang yang kini seolah tak kenal dengannya.

"Pulanglah, kembali ke tempatmu." Pasai tidak harus bicara apapun lagi, dia tahu Agni akan paham maksudnya.

Agni melangkah maju. Tanpa gentar, kakinya perlahan menaiki kapal nelayan yang masih tertambat di ujung salah satu dari beberapa dermaga kecil yang ada di pesisir pantai.

Dia menghampiri Pasai yang sengaja membelakanginya kali ini.

"Bukannya sikap kamu terlalu kasar pada orang yang mau kenal kamu lebih dekat?" Agni tak bisa menghentikan nada muram di kalimat yang diucapakannya.

Pasai adalah laki-laki pertama yang menarik minatnya sebagai wanita. Bukankah dia berhak menunjukkan minat pada siapapun yang diinginkannya?

"Bisa tidak kamu jadikan aku teman? Seperti Ratri," pinta Agni pelan.

Suara deburan ombak di pagi yang masih gelap menjadi jawaban permintaan sederhana gadis itu.

Tak seperti ombak yang saling bersambut dengan pantai, harapan kecil Agni justru tertolak oleh sikap diam dari orang yang diinginkannya.

Gadis itu menelan ludahnya dengan perasaan kecewa yang pahit.

"Kenapa Ratri bisa, dan aku tidak?" Pertanyaan pelan Agni akhirnya membuat punggung tegap itu berbalik dan menatap kalut ke arahnya.

"Karena Ratri berasal dari dunia yang sama seperti aku," jawab laki-laki itu tegas.

Agni terdiam ingin membantah ucapan pria itu yang dirasanya tak masuk akal. Tapi matanya tidak buta, Pasai memang berasal dari sisi berbeda yang akan sulit masuk ke dunianya.

"Kamu menolak jadi temanku, apa pilihanmu cuma jadi bawahanku?" tanya Agni dengan getir.

Pasai menoleh ke arah perempuan yang hari ini memakai sebuah daster tertutup berwarna hitam. Satu-satunya orang yang membuatnya ingin marah sekaligus bersyukur karena mereka dipertemukan.

"Statusku memang di sana. Dulu atau sekarang, masih tidak berubah." Laki-laki bertubuh tinggi gagah itu mengalihkan pandangannya ke arah langit pagi yang masih gelap.

"Pulanglah, sebelum kamu pergi terlalu jauh ke tempat yang tidak seharusnya kamu jamah." Sepasang mata gelap kini menatap Agni dengan mantap dengan sorot yang seolah menyiratkan perpisahan.

"Aku cuma menawarkan persahabatan, Pasai." Suara serak Agni merebak di antara deburan ombak.

Pasai tertawa pelan dengan ekspresi yang tidak bisa Agni tebak.

"Agni, berhenti mencoba. Kita sama-sama tahu bukan pertemanan yang kita inginkan," ujar Pasai tak ingin basa-basi.

Agni menggigit bibirnya menahan diri agar tidak membenarkan ucapan itu.

Dia memang sudah jatuh hati pada pria santun yang belum dia kenal sama sekali.

Perasaan muram melanda Agni tanpa permisi. Pertama kalinya dia tertarik pada lawan jenis, dan penolakanlah yang pertama langsung dia alami.

Agni menatap sedih ke arah Pasai yang kembali membelakanginya dan memilih menatap samudra di sela pagi yang gelap.

"Bisa kamu tetap diam seperti itu, Pasai?"

Pasai Atreya justru berbalik dan balas memandang perempuan cantik itu dengan datar.

"Apa lagi?" tanya pria itu tak ingin memberi kesempatan pada keduanya.

Agni tersenyum sedih, lalu dengan keberanian terakhirnya dia mendekap tubuh tegap itu dengan erat.

Pasai menegang dengan mata membelalak. Perlahan pandangannya turun ke arah gadis yang masih mendekapnya dengan erat.

"Kamu pemilik hatiku yang pertama. Aku nggak tahu perasaanku akan bertahan berapa lama, tapi setidaknya izinkan aku membawa satu saja kenangan tentang kita." Agni berucap perlahan dengan dekapan yang terasa semakin mengencang.

Perasaan Pasai campur aduk. Seperti gadis itu bilang, pemilik hati pertama yang justru tidak akan berakhir ke mana-mana.

Maka dengan perasaan sakit karena harus menolak gadis pertama yang disukainya, Pasai melepaskan dekapan yang melingkari tubuhnya.

"Kamu hanya tertarik, Agni. Besok setelah kamu pulang dari sini, aku yakin kamu bahkan bakal lupa kalau pernah kenal aku di sini." Pasai menggengam jemari lentik Agni tanpa sadar.

Insting dan perasaan menuntun pria itu mengeratkan genggamannya ke tangan yang seharusnya dia lepaskan.

Agni menatap Pasai yang terlihat begitu dalam saat memandangnya. Senyum kecil tersungging di bibir gadis itu tanpa diminta.

"Kenapa harus kamu yang aku suka pertama kali? Kenapa bukan Gama?" gumam gadis itu dan berhasil membuat Pasai terlempar kembali ke dunia nyata.

Pria itu mundur tanpa banyak bicara. Sorot matanya meredup perlahan dan kembali berbalik menghadap lautan.

"Jangan sakiti orang sebaik Gama. Dia berhak dapat yang terbaik dari kamu," ucap Pasai tiba-tiba.

Agni tertawa kencang dengan ekspresi yang justru terlihat menderita.

"Kamu fikir aku nggak ngerasa bersalah? Gama ngejar aku bertahun-tahun, dan aku malah jatuh cinta sama orang asing yang cuma aku kenal sebatas nama?"

Pasai tetap diam tak bergeming. Ucapan gadis itu justru menguatkan keyakinannya bahwa apapun yang hadir di antara mereka hanya rasa tertarik yang sementara.

Dia yakin esok Agni pasti akan lupa. Tidak akan ada lagi yang tersisa dari kenangannya selama di desa. Karena dunia Agni pasti lebih bisa membuat gadis itu bahagia.

"Pulanglah, jangan ganggu aku bekerja." Pasai berbicara tanpa berbalik lagi pada lawan bicaranya.

Agni sadar dengan pengusiran itu. Gadis itu menelan rasa sakit dibalut harga diri yang masih dia punya.

"Terima kasih atas segalanya, Pasai. Semoga setelah hari ini, kita berdua bisa saling lupa." Ucap Agni sebelum berbalik dan menjauh dari orang yang menolaknya.

Pasai masih berdiri diam dengan perasaan nyeri yang tak menentu. Perasaan pertamanya pada seorang wanita, justru harus berakhir bahkan tanpa sempat memulai.

"Sudah waktunya bangun, Nak. Anggap saja gadis itu cuma ombak yang menyapa daratan."

Pasai tersentak mendengar suara serak Haji Baron yang terdengar mendekat.

"Pak Haji lihat semua?" tanya Pasai dengan gugup.

Haji Baron mengangguk dengan ekspresi bijak.

"Aku lihat kalian dari awal. Dua perahu dari sini," jawab pria paruh baya itu.

Pasai mengerutkan keningnya tampak gelisah.

"Sekarang Bapak tahu perasaan kamu untuk Ratri dan perempuan kota itu jelas berbeda." Haji Baron menghela nafas panjang dengan wajah melamun.

Pasai terdiam menatap matahari yang mulai menerangi darat dan lautan yang terbentang di hadapannya.

"Nggak seperti yang terlihat, Pak. Agni cuma orang lewat di hidup saya," ucap Pasai mantap.

Kekehan pelan terdengar dari pria yang sudah bak keluarga bagi Pasai itu.

"Kamu bukan orang kayak gitu, Pasai. Aku yakin butuh waktu lama kamu bisa lupa, bahkan mungkin bisa saja tidak bisa lupa." Ujar Haji Baron sambil melirik Pasai yang masih terus diam.

"Perbaiki hidupmu, Nak. Bapak sudah puluhan kali minta kamu berhenti ikut melaut," ujar pria paruh baya itu terdengar agak kesal.

"Saya punya kewajiban, Pak. Keluarga lebih penting dari apapun yang saya inginkan." Pasai menatap atasannya dengan tegas.

Haji Baron menganggukkan kepala.

"Ya, tapi kamu bisa mati di laut. Dan akhirnya tetap juga meninggalkan keluarga." ujar nelayan senior itu dengan getir.

Pasai terhenyak karena teringat ayah kandung dan juga ayah tirinya yang sama-sama meninggalkan seluruh keluarganya.

Dengan perasaan takut dan kalut, pria berwajah tampan itu menoleh ke arah pemilik kapal nelayannya.

"Saya tidak tahu bagaimana caranya berhenti, dan apa yang harus saya mulai, Pak," ucap Pasai pada akhirnya.

Haji Baron mengembuskan napas panjang, lalu menepuk bahu pemuda itu dengan sayang.

"Temui Adikku, minta dia mengajarimu menyetir. Perusahaan tempat dia kerja butuh beberapa sopir yang masih muda."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status