Share

5. Rindu Pertama

Harusnya Agni pulang hari ini. Kembali ke kotanya yang ramai, dan kembali ke kehidupannya yang kadang menyenangkan, kadang juga menyesakkan.

Tapi disinilah dia berada. Masih di desa nelayan kampung halaman mendiang Ibunya yang sepi dan sederhana.

Ya, akarnya Agni berasal dari desa ini, dan kini rasanya dia enggan meninggalkan tempat ini juga.

"Kapan pulang?"

Agni menoleh sekilas, lalu tersenyum kecil pada seorang pria tampan bermata sipit yang menatapnya lembut.

"Kamu duluan aja ya. Aku rasanya masih mau disini," jawab gadis itu mencoba ramah.

Gama tersenyum kecil merasakan hatinya senang. Agninya yang selalu tampak ketus, entah kenapa tampak lebih ramah beberapa hari ini.

Mau tidak mau, harapan perlahan bangkit kambali di hatinya yang sudah lama nyaris menyerah.

Gama ingin mencoba lagi meraih hati wanita yang sudah bertahun-tahun dicintainya. Jadi dengan nekad, tangannya mengusap rambut gadis itu penuh kelembutan.

"Kayaknya tempat ini memang bagus ya buat kamu," ucap Gama tiba-tiba.

Agni mengernyit kearahnya.

"Maksudnya?" Tanya gadis itu dengan kernyitan bingung.

Gama terkekeh pelan.

"Tanduk kamu hilang selama disini." Jawabnya dengan senyum ringan pada Agni.

Agni mendengkus singkat, meski tak urung tersenyum kecil setelahnya.

"Aku mau jalan-jalan ke pantai. Pulang sana, Gam!" usir gadis itu halus.

Game memutar matanya sebal.

"Mulai... Baru aku puji loh kamu." Protes laki-laki itu pura-pura kesal.

Tawa ringan terurai dari bibir berwarna pink samar itu yang membuat Gama terpaku sepersekian detik karena terpesona menatapnya.

Gadisnya biasanya jarang tertawa. Wajah cantik itu selalu terlihat serius kapanpun tampak di depan mata.

Biasanya Agni hanya mengernyitkan dahi atau tampak seolah berfikir terus-menerus.

Agni adalah seorang salah satu direktur muda di sebuah perusahaan pakaian dan konveksi yang cukup besar dan sudah berskala nasional. Dan belum lama ini, dibuka lagi sebuah pabrik berskala besar beroprasi di bawah pimpinannya.

Perusahaan tempat Agni bekerja memproduksi banyak produk pakaian sehari-hari dengan target pasar nyaris semua kalangan masyarakat.

Merek hasil produknya bahkan sudah tersebar di berbagai toko dan pusat perbelanjaan dengan akses dan harga yang mudah dijangkau semua orang.

Maka dari itu beban berat seolah tampak di setiap hari-hari Agni.

Seminggu lalu, Agni mengajukan cuti tahunan yang nyaris jarang dia ambil. Itupun setelah ayahnya yang kebetulan pemilik asli dan juga Direksi perusahaan itu mengamuk dan mengatai anaknya sendiri sebagai robot pekerja dan perawan tua.

Gama tersenyum sendiri mengingat bagaimana kesalnya sahabat yang dicintainya itu pada julukan ajaib yang disematkan ayahnya sendiri.

Dan disinilah mereka, di sebuah desa nelayan yang gersang namun tampak damai dan indah.

"Aku ikut!" jawab Gama tegas.

Agni mencebik kesal kearahnya, ekspresi yang sudah sangat sering dilihatnya hingga membuat Gama terbiasa dan hanya meresponnya dengan seulas tawa.

"Bilang aja mau cari mangsa disini," cibir gadis itu.

Gama tertawa pelan, andai saja semudah itu baginya.

"Nggak lah. Udah berhenti di kamu kan akunya." Gama tertawa geli karena ucapannya sendiri.

Agni mendengkus pelan seraya menepuk bahu sahabatnya dengan sayang, yang dibalas dengan tawa puas dari lelaki tampan yang memaksa ikut berjalan bersamanya.

***

Mereka berjalan beriringan di pesisir pantai yang mulai terasa akrab bagi Agni.

Agni memakai sweater berwarna biru tua dengan celana panjang putih gading sore ini. Rambut panjangnya yang halus terurai berantakkan tertiup angin laut.

Dia tampak cantik ditempa cahaya jingga langit yang merayap menuju senja, sehingga Gama beberapa kali menatapnya dengan kagum.

"Kamu cantik," pujinya pelan.

Agni berhenti melangkah, senyum lembut samar melebar di bibirnya yang tampak manis.

"Emang kapan aku ganteng?" jawabnya santai.

Gama terbahak pelan. Agninya yang menyebalkan rupanya masih ada di balik sikap tenangnya beberapa hari ini.

"Kalau kamu ganteng juga mungkin aku tetep mau." canda pria itu dengan senyum lebar menambah sipit matanya.

Agni bergidik sekilas, lalu tertawa ringan.

"Kamu kalo modus ngeri ya." Ujarnya sambil tertawa kecil.

Gama merasakan hatinya mengembang oleh harapan. Dengan senyum lembut, pria itu melangkah lalu menggenggam tangan perempuan yang dicintainya perlahan.

Agni terdiam serba salah.

"Kamu gak pekanya bikin kesel sih. Aku nggak lagi modus loh," protes Gama.

Cebikan sebal membuat wajah Agni yang cantik kembali tampak ketus.

"Kamu ganteng loh, yang mau banyak," ucap gadis itu serius.

"Aku maunya kamu, atau nggak sama sekali," tegas Gama yang sontak membuat gadis itu diam tak berkutik.

Agni cepat-cepat mengalihkan pandangannya kearah lautan.

Warna biru, luas dengan ombak menggebu yang sekilas tampak menakutkan bagi mata awamnya.

Tapi entah sejak kapan, pemandangan itu menjadi salah satu sumber ketenangannya akhir-akhir ini.

"Aku mau hati kamu, Agni." gumam Gama yang masih bisa didengarnya.

Agni menoleh memandang sahabatnya itu dengan sendu.

"Kamu salah satu yang paling aku sayang. Apa itu nggak pernah cukup buat kamu?" tanya gadis itu dengan bingung.

Gama menghela napas panjang.

"Kamu tahu hubungan yang aku mau lebih dari ini, kan?" desak laki-laki itu tak ingin lagi mundur.

Agni terdiam, dialihkannya sekali lagi perhatiannya kearah laut yang tampak berombak cukup besar.

Dalam kediamannya, gadis itu sebenarnya memendam rasa bersalah.

Gama sudah mencintainya bertahun-tahun. Sejak mereka kuliah bersama, dan sama-sama meniti impian hingga kini mereka mapan dan sudah cukup dewasa.

Tapi pria itu tak pernah lebih dari sahabat untuknya. Sudah ratusan kali dia coba membuka hati dan memikirkan Gama sebagai pasangannya, tapi terus saja berakhir sekedar rasa sayang dan persaudaraan yang sangat besar.

"Kasih aku satu bulan! Kita pacaran! Kalo selama itu perasaan kamu masih tetap sama, aku coba disamping kamu seperti seharusnya," ujar Gama tiba-tiba.

Agni tersentak dan menoleh ke arah sahabatnya dengan mata melebar.

"Gila kamu! Pacaran buat apa? Kita tetep sama-sama selama ini," ujar gadis itu kesal.

"Buat kamu mungkin itu cukup. Tapi buatku nggak, Agni. Aku mau lebih, aku mau akses penuh ke segala hal di hidup kamu!" jawab Gama yang tanpa sadar menaikkan nada suaranya.

Agni terhenyak, lalu mendelik tampak mulai marah.

"Kamu mau tidur sama aku? Itu akses penuh yang kamu bilang?" Agni bertanya dengan lantang.

Gama tersentak mundur seolah ditampar. Sekilas sorot terluka nampak tajam dimatanya.

"Iya, salah satunya itu. Kenapa? Gak suka?" sinis laki-laki itu kepalang marah dan sakit hati.

Agni membelalak lalu menggeleng lemah.

"Kamu bukan orang kayak gitu, Gam. Udah ya, tolong berhenti. Aku gak mau kehilangan kamu," ucap gadis itu memilih kalah.

Helaan nafas kasar terdengar dari sahabatnya. Gama ikut mengalah.

Dia berusaha menelan rasa kecewa yang selalu dia rasakan setiap kali Agni menolaknya.

Padahal perasaan cintanya pada gadis itu semakin membesar setiap harinya, tapi persahabatan lama selalu menghalangi segala usahanya membawa gadis itu ke arag masa depan impiannya.

Dengan rasa sesak Gama menarik gadis itu kearahnya.

"Aku mau peluk kamu, ya?" mohon pria itu dengan nada sedih.

Agni tersenyum sendu, lalu tangannya terentang menyambut orang yang paling dia sayangi ke dalam pelukan.

Gama memeluknya begitu erat. Tubuhnya terasa bergetar hingga membuat Agni selalu merasa sakit karena penolakannya sendiri.

Dia frustasi ingin membahagiakan sahabatnya, tapi tahu tak mampu memberi apa yang diinginkannya.

Matanya memejam menahan rasa bersalah yang bercampur dengan rasa sayang.

Dengan sepenuh hati, dia balas memeluk Gama sambil membisikkan kata sayang yang sangat menenangkan.

***

Tak jauh dari pesisir, dibawah sebuah reruntuhan warung yang tak terpakai seorang pemuda tampak duduk dan tersenyum kecil.

Matanya dengan intens menatap sepasang pria dan wanita yang saling larut dalam pelukan.

Hatinya mencelos, dan dia berusaha mati-matian menekan rasa kecewa yang datang tak tahu tempat.

Sore ini, kakinya tiba-tiba bergerak begitu saja membawanya ke deket sebuah villa mewah di pinggir pantai.

Hatinya entah kenapa terasa tak tenang hari ini.

Beberapa kali fokusnya terganggu saat melaut tadi yang membuatnya beberapa kali mendapat teguran karena pekerjaannya melambat.

Saat kakinya menginjak daratan, barulah dia tahu sebabnya.

Di pantai dekat dermaga kecil yang biasa jadi tempat kapal mereka berhenti, tak ada seseorang yang mendatanginya sejak pagi tadi.

Hari ini gadis kota itu tidak datang menyapanya, atau bahkan sekilas bayangannya pun tak nampak di sekitaran pantai.

Tiba-tiba dia khawatir, dan keinginan untuk melihat gadis itu mendesak begitu besar. Hingga akhirnya kakinya bergerak begitu saja kearah berlawanan dari jalan rumahnya.

Dan saat akhirnya sampai ke sebuah ceruk gelap bekas runtuhan kayu-kayu bekas sebuah kedai, matanya menangkap dua sosok yang tengah berjalan beriringan.

Salah satunya adalah gadis yang sejak tadi ingin dilihatnya.

Dan sekarang di sinilah dia, menatap hasil kebodohannya sendiri dengan senyum getir beebalut rindu.

Hatinya terasa bagai tercubit sesuatu yang menyakitkan, saat rasa tertariknya akhirnya berbuah hadiah pelajaran berharga.

Di depannya setelah sekian menitpun tubuh-tubuh itu masih lekat saling memeluk. Jelas mereka dua sepasang manusia dengan perasaan yang saling berbalas.

Dia menghela nafas panjang.

Pria yang memeluk gadis yang disukainya adalah orang yang seluruh kampungnya kenal dengan cukup baik.

Raden Gama Wijaya.

Itu sebutan mereka bagi putera tunggal pemilik rumah sakit pertama di kota kecil mereka, dan pendiri tempat pelelangan ikan pertama di desa mereka. Tempatnya dan seluruh nelayan di desa mencari nafkah setiap harinya.

Mereka jelas berbeda dunia dengan dirinya yang hanya pencari ikan upahan di laut lepas.

Dia terkekeh menertawakan kebodohannya sendiri, hingga akhirnya Tuhan ingin membuka matanya agar jangan sampai terbuai karena kecerobohan.

Tuhan membantunya sadar kembali pada kenyataan jika apa yang terlihat indah memang tidak mungkin dia gapai.

Dengan menekan segala rasa kecewa dan sakitnya, dia bangkit berdiri dan mau tak mau harus melangkahkan kakinya kearah dua pasangan itu.

Kali ini bukan perasaannya yang menggerakannya. Tapi kewajibannyalah melakukan hal yang sebenarnya tak ingin dia lakukan.

***

Saat mata lentik Agni terbuka, satu sosok yang berjalan mendekat membuatnya menegang seketika.

"Pasai..." gumam gadis itu tanpa sadar.

Gama mematung mendengar bisikan lirih wanita yang sejak tadi dipeluknya, lalu dilihatnya Agni tengah menatap sesuatu di belakangnya tanpa berkedip.

Dengan penasaran Gama menoleh kearah yang sama, dan melihat seseorang yang dikenalnya cukup baik tengah berjalan kearah mereka dengan senyum ramah mengembang di wajahnya.

"Pasai...?" Panggil Gama dengan terkejut.

Agni tersentak kaget dan sontak membelalak kearah sahabatnya.

"Kamu kenal Pasai?" tanya perempuan itu dengan nada suara agak tinggi.

Gama mengerjap kaget mendengarnya.

"Iya, kenal. Dia kebetulan..."

"Den Gama!" Panggilan ramah Pasai menghentikan ucapan Gama pada Agni.

Gama menoleh dan tersenyum ramah ke arah pemuda itu.

Lalu secara mengejutkan, Gama maju menerjang pemuda itu dan merangkulnya dengan hangat disertai beberapa kali tepukan di punggung tegap nelayan muda itu.

Pasai tertawa lepas dan balas merangkul Gama tanpa terlihat sungkan sama sekali.

Di dekat mereka, Agni diam membeku dengan wajah pucat dan mata melebar tak percaya.

"Kalian... Saling kenal?" gugup Agni tiba-tiba.

Gama menoleh padanya dan mengernyitkan keningnya heran.

Agni jarang gugup karena apapun, tapi kali ini gadisnya itu tampak menatapnya dengan mata sedikit linglung dan...panik?

Ada apa?

Gama lantas menoleh ke arah teman lama yang masih dirangkulnya.

"Ini Pasai Atreya. Anaknya pegawai Papaku waktu buka pasar ikan dulu," ujar Gama dengan sumringah.

Pasai mengangguk sopan sambil tertawa pelan, tapi teman kecilnya itu tampak beberapa kali membuang pandangannya kearah lautan.

Matanya yang biasanya tampak tegas, beberapa kali tampak goyah dan meredup.

Namun bukan itu yang membuat Gama tiba-tiba berdebar tak nyaman.

Tapi Agni, gadis pujaannya itu terus menatap kearah Pasai dengan tajam. Tak bergerak dan tak bersuara seolah takut Pasai tiba-tiba hilang dari pandangan.

Gama tercekat oleh rasa cemburu tiba-tiba.

Mata ramahnya berubah kelam seketika.

Dengan dingin matanya beralih ke sosok pria yang kini tampak menatap Agni dengan senyum kecil dan tampak sekilas tatapan sedih penuh damba.

Rasa marah mendera Gama dengan hebat pada akhirnya. Hatinya yang selalu baik dan lembut, terasa kelam karena rasa terhina.

"Pasai, ini Agni calon istri saya. Yang berarti kelak jadi atasan kamu juga kedepannya." Gama menarik lengan Agni hingga beranjak ke sisinya.

Pasai tampak tersentak sekejap, sebelum berganti dengan sorot patuh dan anggukkan sopan.

Gama yang menangkap jelas reaksi teman lamanya itu, lantas tersenyum puas diam-diam. Dia hanya menyadarkan kembali posisi Pasai sebelum pemuda desa itu kebablasan.

Tak lama matanya lalu menoleh lagi pada perempuan yang dicintainya, dan Gama langsung bertemu pandang dengan Agni yang menatapnya penuh kemarahan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status