Share

7. Mencuri Hadiah

"Kok aku nangis?" Agni menatap putus asa ke arah bayangannya di cermin.

Mata sembab, hidung memerah disertai suara serak menjadi tanda jika dia memang tidak baik-baik saja.

"Pasai." gumamnya dengan mata melamun sendu.

'Baru satu hari, tapi hati aku sudah sesakit ini. Dosaku apa sampai harus jatuh cinta sama dia, Ya Tuhan,' dalam hati Agni mengeluhkan perasaannya yang tak berbalas.

Tidak, Pasai jelas menyukainya juga. Hanya takdir yang jelas tidak menyukai mereka berdua.

Tok! Tok!

"Agnisha Aryatama!" Suara seruan lantang yang familiar di telinganya membuat Agni seolah membeku tak percaya.

"Ayah?" gumam gadis itu kebingungan.

Dengan ragu-ragu dia bangkit dan berjalan untuk membuka pintu kamar villa yang disewanya.

"Ayah?" Agni berhadapan dengan Ayahnya yang tampak mengernyit kesal ke arah putri semata wayangnya itu.

"Kenapa sewa villa kecil begini sih kamu? Villa keluarga sendiri juga ada." Danureja Aryatama berkacak pinggang dengan ekpresi kesal.

Agni meringis salah tingkah mendengar protes dari ayahnya.

"Nggak lah. Villa kita terlalu besar buat aku pake sendirian," jawab Agni pada ayahnya.

Danu berdecak karena sikap anaknya yang agak susah diatur itu, lalu keningnya mengernyit meski tanpa berkomentar melihat mata sembab dan wajah kusut putri cantiknya itu.

"Ayah kenapa bisa di sini?" tanya Agni basa-basi.

Karena tak ingin Ayahnya rewel jika melihat kamar villanya yang sedikit sederhana dibanding villa mereka, Agni bergegas menggandeng Ayahnya berjalan ke ruang tamu villa yang disewanya itu.

Diam-diam Danu mengamati sorot sedih di mata putrinya yang biasanya tampak tegas namun dingin khas pemimpin sebuah perusahaan.

Sebagai seorang ayah, dia bisa melihat ada sesuatu yang terjadi pada putrinya. Namun, apapun itu dia hanya akan mengamati tanpa ingin mengusik apapun yang sedang Agni alami dalam hidupnya.

"Ayah sedang survey tempat. Ada hotel milik teman kuliah Ayah yang mau dijual karena krisis managemen di pesisir ini," jawab Danu dengan serius.

Agni mengernyit sekilas mendengar liburannya ternyata tetap harus bersinggungan dengan pekerjaan keluarganya.

"Aku mau pulang besok tadinya. Banyak kerjaan yang Agni tinggal di kantor." Agni beranjak membuka lemari es ukuran sedang yang berada di pojok ruang tamu sekaligus ruang tv villa itu.

"Mau soda atau kopi?" tanya Agni pada ayahnya yang hanya dijawab gelengan tegas oleh orang tuanya itu.

"Cuti kamu itu dua minggu, Agni. Ini baru 9 hari, otak kamu sudah diambil alih kerjaan lagi. Ayah suka anak Ayah sukses, tapi bukan berarti Ayah mau kamu berubah jadi manusia gila kerja." Danu lalu menghampiri putrinya dengan sorot cemas, dan berdiri di sebelahnya.

"Aku nggak gitu, Yah. Sekarang masih awal tahun, mau Ramadhan juga. Kebayang kan produksi kita bakal sebesar apa?" kilah gadis itu.

Helaan napas panjang terdengar dari pria paruh baya yang juga atasan Agni itu.

"Menikah, Agni. Ayah mau cucu," ujar Danu dengan tegas.

Agni berbalik dan menatap Ayah kandungnya itu dengan risih.

"Daripada desak aku nikah, kenapa nggak Ayah aja yang nikah lagi, sih?" Delikan kesal terlihat di kedua mata sembab gadis itu pada Ayahnya.

Kening Danu mengerut tanda tak nyaman mendengar ucapan itu meski datang dari putrinya sendiri.

"Kamu tahu Ayah tidak bisa menggantikan posisi Ibu kamu dengan siapapun." Kedua mata orang tua itu meredup saat menyebut tentang mendiang istrinya yang sangat dia cintai.

Agni terdiam, kali ini tak ingin mendebat kekeras kepalaan Ayahnya seperti sebelum-sebelumnya.

Karena kini Agni mulai sedikit bisa meraba, seperih apa rindu yang tak sampai kepada seseorang yang kita inginkan.

"Tumben kamu nggak bawel lagi." Ayahnya tertawa dengan heran.

Decakan pelan terdengar dari gadis cantik berambut panjang itu yang dengan cepat menghindari pandangan curiga dari ayahnya.

"Udah bosen juga nyuruh Ayah cari jodoh." cibir Agni pada ayahnya itu.

"Yah, makanya. Kamu harus nikah, Agni. Setidaknya Ayah tetap punya penerus nantinya," ujar Danu dengan serius.

Agni memutar bola matanya mendengar ucapan sang ayah.

"Tar aku bikin anak aja lah, nggak usah nikah." Cetus Agni asal-asalan.

Danu mengumpat pelan ke arah putrinya yang keras kepala itu.

"Awas kamu berani-berani hamil tanpa nikah, Ayah coret jadi anak." Ancam pria paruh baya itu sambil beranjak pergi dengan wajah kesal.

Agni tersenyum geli diam-diam. Ayahnya adalah seorang konglomerat yang masih memegang nilai-nilai tradisional ketimurab dalam prinsipnya. Dan persoalan jodoh selalu jadi perdebatan alot di antara keduanya yang jarang menemui kata sepakat.

"Ayah mau ke mana?" teriak Agni saat melihat Ayahnya mengeluarkan alas kaki santai dari bagasi mobil jeep mewah pribadinya.

"Ayah mau temui teman sekolah Ibu kamu dulu," jawab Danu.

Agni mengernyit bingung mendengar hal yang baru dia dengar, karena ayahnya itu jarang berkeliling sekalinya mereka mengunjungi desa ini.

Selama ini seringnya ayahnya itu hanya memancing di kolam ikan villa mereka yang menurut Agni terlalu besar dan melelahkan.

"Di sini? Siapa?" tanya Agni penasaran.

"Ada. Juragan perkapalan di desa ini, di sini sering dipanggil Haji Baron." Jawab Danu.

Agni mematung mendengar nama pemilik kapal kecil yang pernah menjadi tempat pertamanya bertemu dengan Pasai.

"Aku ikut, boleh?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari bibirnya, dan Agni baru tersadar beberapa detik kemudian.

Danu menoleh dan tersenyum ke arah anaknya.

"Boleh, Ayah tunggu di pantai depan villa ini kalau kamu mau siap-siap dulu." Jawab Danu yang langsung pergi menuju pagar villa yang disewa putrinya.

***

Sebelumnya Pasai tidak terlalu paham bagaimana rasanya merindukan seseorang. Tapi sejak perpisahannya dengan Agni kemarin, rasanya dia sedikit mulai paham bagaimana tidak enaknya perasaan itu.

Rambut panjang beserta wajah cantik gadis itu seolah menggoda benaknya seharian ini.

Dia masih ikut melaut bersama Haji Baron dan tim nelayannya yang biasa.

Rahayu, ibunya itu belum memberinya izin mengambil langkah baru yang beresiko membawa putra sulungnya itu pergi jauh darinya.

"Kita pulang masih siang nih, Ji?" Karim bertanya dengan bingung ke arah juragannya itu.

Haji Baron mengangguk mantap.

"Ya gitu. Istri saya mau diantar beli gelang baru. Biasa tuh istri kalau ulang tahun suka rada manja sama suaminya." Haji Baron terkekeh karena ucapannya sendiri.

Karim tertawa geli mendengarnya. Haji Baron baru saja menikah minggu lalu dengan seorang janda muda pemilik toko beras di pasar desa mereka.

"Penganten baru mah bebas lah, Ji." Celetuk nelayan empat puluh tahunan itu dengan tawa menggoda ke arah juragannya.

Haji Baron tertawa-tawa mendengar gurauan bawahannya itu.

"Ayo nyusul makanya. Kalian masa nggak ada yang ngiler," ujar Haji Baron.

Karim tergelak pelan.

"Saya belum mau, Ji. Tuh perjaka ting ting lah suruh kawin dulu, Ji. Ngelamun mulu dia." Karim melirik iseng ke arah Pasai yang terlihat lebih pendiam.

Haji Baron tertawa muram. Yah, hanya dia yang tahu penyebab pemuda yang giat itu seolah banyak melamun hari ini.

Saat kapal nelayan bernama Baronesia milik tim itu merapat ke dermaga kecil bernomor 3 di tiang kayunya yang biasa mereka gunakan sebagai perhentian, kening Baron mengernyit heran.

Di dermaga itu berdiri seorang pria sebaya dengannya yang cukup familiar.

"Pak Danu?" Gumam juragan kapal itu.

Pasai yang baru saja meletakkan sekotak ikan hasil tangkapan mereka menoleh ke arah bosnya itu.

"Kenapa, Pak?" tanya pemuda itu.

Baron melirik Pasai dengan kaget.

"Oh enggak, itu suami teman Bapak. Salah satu pemilik hotel Sigma dan Aryatama resort di pantai sebelah barat sana. Kayaknya dia mampir," jawab Baron.

Pasai mengangguk paham, lalu menoleh ke arah pengusaha perhotelan mewah itu dengan kagum.

Orang yang disebut Danu itu masih terlihat gagah dan sehat di usia paruh bayanya. Saat kapal mereka semakin merapat ke daratan, terlihat jelas wajah pria itu.

Danu tampak tersenyum lebar ke arah Haji Baron yang terdengar terkekeh di sebelahnya.

Pasai tersenyum kecil karena kagum melihat persahabatan dua pria tua beda status itu.

"Ayah!"

Jantung Pasai berdebar seketika mendengar suara seorang gadis yang entah sejak kapan terdengar familiar di telinganya.

Dengan hati berdebar, pemuda itu menoleh ke daratan lalu melihat Agni yang tengah berjalan menghampiri Danu yang langsung mengusap puncak kepala gadis itu dengan penuh kasih sayang.

"Agni?" gumam Pasai dengan muram.

Haji Baron melirik pemuda itu dengan iba.

"Lupakan dia, atau dapatkan. Hanya itu pilihan yang kamu punya, Pasai."

***

Sudah sejak awal Pasai sadar jika jaraknya dan Agni tidak akan bisa dijangkau. Mereka terlalu jauh dan terlalu sulit untuk dilanjutkan.

Dia adalah orang harus bersusah payah setiap hari hanya untuk memberi makan seisi rumahnya, sedangkan Agni berasal dari tempat dimana kekayaan sudah menjadi hak miliknya bahkan saat baru dilahirkan.

Pasai menelan ludahnya karena rasa rendah diri hanya dengan berhadapan lagi dengan gadis yang baru kemarin dilepasnya.

"Bapak mau pulang sama Pak Danu. Kamu tolong bersihkan sisanya ya, Nak." Baron menutup tutup peti ikan terakhir yang dikemasnya.

Pasai mengangguk dalam diam dan bergegas menaiki kapal nelayan mereka lagi untuk membersihkan sisa-sisa ikan yang bisa menimbulkan bau menyengat atau terlihat menjijikan nantinya.

"Karim sama Jono Bapak suruh langsung bawa ikan ke kios

Danu yang diajak mampir ke rumah teman lamanya itu berdiri menunggu tanpa ikut berinteraksi dengan para nelayan lain.

Pengusaha paruh baya itu lalu menggamit lengan putri semata wayangnya untuk ikut pergi dari sana.

"Aku... Boleh di sini, Yah?" Suara Agni terdengar samar ke telinga pemuda yang tengah bekerja itu.

Pasai memejamkan matanya frustasi. Gadis itu tidak mempermudah keadaan mereka sama sekali.

Pasai terus menyikat geladak kapal mereka yang terlihat banyak sisa-sisa ikan dan memang terlihat kotor.

"Pasai," suara panggilan lembut bernada ragu membuat pemuda itu nyaris berbalik dengan antusias.

Untungnya dia cepat sadar dan menahan diri agar terus fokus pada pekerjaannya.

"Hei, maaf aku balik lagi," Agni berucap pelan di sela suara deburan ombak sore hari.

"Kamu kayaknya emang betah di sini, nggak usah minta maaf," ujar Pasai senetral mungkin.

"Aku mau ketemu kamu sebelum pulang besok," kata Agni muram.

Pasai menghentikan pekerjaannya, lalu berbalik menghadap ke arah gadis yang menarik perhatiannya itu.

Saat akhirnya bertatapan dengan Agni, keningnya mengernyit tak suka.

"Mata kamu kenapa? Kok bengkak gitu? Kamu sakit?" Pasai mencecar gadis itu dengan banyak tanya tanpa sadar.

Senyum tipis tersungging di bibir tanpa riasan Agni.

"Jangan bikin aku senang dengan seperhatian itu. Aku udah susah nahan diri buat nggak makin suka sama kamu, Pasai." Agni mengembuskan napas panjangnya karena gelisah.

Pasai tertegun menyadari rasa cemas yang muncup hanya karena melihat wajah sembab dan pucat gadis cantik itu.

"Maaf, nggak sengaja." ucap pemuda itu sambil bergegas memalingkan wajah ke arah lain lain.

"Kamu anak pemilik resort mewah di pantai sebelah barat ternyata," gumam Pasai.

Agni menggigit bibir resah karean sedikit bisa menebak arah ucapan laki-laki yang akhir ini membuatnya terpesona itu.

"Iya, itu milik keluarga aku." Ucap Agni seraya menatap diam-diam punggung tegap pria yang terlihat begitu istimewa di matanya.

Pasai mengangguk paham tanpa bicara.

"Kamu cocok dengan Den Gama. Dia orang yang dermawan dan berjasa pada desa ini. Kamu beruntung kalau berjodoh dengan dia." Pasai berbicara bahkan tanpa menatap Agni sama sekali.

Delikan kesal terlihat dari sepasang mata sembab yang sejak tadi menatap Pasai dengan penuh kagum.

"Lucu kamu. Lagi main jodoh-jodohan ya?" sinis Agni kesal.

Pasai berbalik seketika.

"Iya, setidaknya pikiranku lebih jernih daripada kamu, kan?" timpal laki-laki itu dengan dingin.

Agni memicingkan matanya kesal.

"Aku nggak ada rasa seperti itu sama Gama. Aku sukanya kamu." Mata sembab itu menyorot tajam ke arah Pasai yang terlihat begitu tenang.

"Iya, kamu cuma suka. Setelah kamu pulang, rasa suka kamu juga akan ikut hilang seiring waktu. Kamu tertarik sama aku cuma karena terbawa suasana di sini yang jarang kamu temukan." Ujar Pasai kali ini dengan tegas.

Agni mengetatkan rahangnya menahan rasa marah yang dia tahan.

"Ya, sama persis kayak kamu, kan? Kamu memang usir aku terus, tapi kamu terus lihat aku nyaris tanpa berkedip. Dasar munafik!" bentak Agni tanpa sadar.

Pasai mengerjap sekilas. Dia bahkan tidak sadar jika memang terus menerus menatap Agni dengan intens.

Pantas gadis itu menyebutnya munafik.

"Kamu cantik, dan aku punya mata. Salahnya di mana?" sinis Pasai pada akhirnya.

Agni tertawa sinis.

"Udahlah, aku capek harus debat cuma karena rebutan rasa suka sama orang kayak kamu." Agni mendelik tajam pada pemuda nelayan itu.

Pasai menghela napas panjang. Ya, dia juga lelah. Karena minatnya pada gadis yang bahkan belum dikenalnya itu seolah berkembang menjadi rasa yang lebih hidup.

Seperti yang Agni bilang, mungkin sekarang mereka memang saling menyukai.

"Mau kamu apa, Agni?" tanya pemuda itu dengan nada kalah.

Agni menoleh ke arahnya dengan ekspresi bingung tapi sedih lalu menggeleng pelan.

"Nggak ada. Aku nggak akan menyeret kamu ke dalam masalah cuma karena rasa suka," jawab gadis kaya nan jelita itu dengan muram.

Pasai mengangguk lega mendengarnya. Dia takut jika Agni akan bertingkah semaunya dan mengikuti perasaan suka singkatnya pada seorang pemuda tanpa masa depan yang jelas seperti dirinya.

"Pulanglah, nggak pernah ada apapun di antara kita. Kita cuma kenalan yang tidak sengaja bertemu saat kamu liburan. Itu saja." Ucap Pasai dengan lembut.

Agni menatap pemuda itu lama. Dia seolah ingin menyimpan sosok pemuda desa nelayan itu agar tinggal lebih lama dalam benaknya.

Pasai terlihat setampan biasanya. Berkulit gelap dengan tubuh tegap yang jauh lebih tinggi darinya.

Tapi sesuatu berbeda kali ini. Ada seulas senyum tipis di sudut bibir laki-laki itu untuknya, serta sepasang mata yang dulu dia ingat begitu serius kini terlihat menatapnya dengan lembut namun muram.

"Begini lebih baik. Setidaknya aku nggak harus ingat wajah marah kamu di hari terakhir, kan?" Agni tersenyum tipis ke arah laki-laki itu.

Pasai harus mengepalkan tangannya di belakang punggung agar bisa menahan diri untuk tidak merengkuh tubuh gadis cantik itu ke dalam pelukannya.

Apalagi Agni menatapnya dengan sorot yang bisa membuat laki-laki rela melupakan apapun agar bisa diperjuangkan.

Agni memberinya ekspresi penuh harap yang nyaris tidak ingin Pasai tolak.

"Kamu harus pergi, sebentar lagi petang. Aku nggak mau kamu di sini terlalu lama." Pasai langsung menghindar dan memilih menyentuh lagi sebuah alat kebersihan di geladak kapal nelayan itu.

"Kasih aku hadiah perpisahan!"

Suara Agni membuatnya menoleh lagi tanpa sadar.

"Hadiah? Ngaco kamu! Hadiah apa yang bisa aku kasih sama orang yang punya segalanya?" Sinis Pasai terdengar getir.

Agni tersenyum miris mendengarnya. Tentu saja dia setuju dengan orang itu, Pasai tidak mungkin bisa memberinya benda seandainya ada yang Agni inginkan.

"Ada, kamu diam di situ." Agni menunjuk dengan tegas.

Dengkusan pelan terdengar dari pemuda itu meski akhirnya menurut dengan diam dan melihat dengan penasaran.

Agni tersenyun puas, lalu melangkahkan kaki dengan senyum mencurigakan.

"Aku butuh kenang-kenangan dari cinta pertama yang akan aku lupakan," bisik gadis itu sebelum mengalungkan tangan ke leher Pasai dan menarik pria itu ke dalam sebuah ciuman yang mengejutkan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status