“Jadi apa yang perlu aku lakukan dengannya, Madam?” Ramon berkata sambil meliak—liukkan pinggangnya. Memutar tubuh Marla. Menilai Marla dari rambut hingga ujung kaki.
“Pilihkan semua model yang pantas untuk dikenakan di keluarga Austin. Yang terbaik dari butikmu. Nyonya menginginkan yang paling baik untuknya!” “Luar biasa, aku tidak menyangka ini adalah perintah langsung dari nyonya. Baiklah, serahkan pada Ramon, aku pastikan dan jamin, semua barang dari butik Ramon adalah yang terbaik!” “Lakukan yang terbaik, Ramon. Aku akan menunggunya!” Madam Ester dipersilahkan mengikuti satu staf ke ruangan VVIP sedangkan Marla yang setengah jiwanya hilang hanya bisa terpaku memandangi semua isi yang ada di dalam butik. “Pasang tanda close. Hari ini butik hanya melayani satu pelangan!” perintah Ramon membuat wajah Marla spontan menoleh padanya. “Hmmm, harus aku akui. Kalau sedikit saja wajahmu dipoles, semua pria pasti akan memandang ke arahmu!” Gadis bersurai gelombang itu cukup terkejut saat wajahnya disentuh untuk meneliti letak kekurangannya. Ramon membawa Marla mengelilingi semua koleksinya. Memilihkan yang terbaik dari semua jenis model pakaian. Menyesuaikan dari luar saat memilih beberapa item. Dari baju, sepatu, tas, aksesoris dan make up semua dipilihkan yang terbaik oleh Ramon. Sebagai seorang gadis, Marla cukup terkejut, bahwasanya, dia kalah dalam soal penampilan. Seseorang yang melihat Ramon dari kasat mata akan mengira kalau dia adalah jelmaan dewi. Cantik, seksi dan kedua dadanya yang menonjol adalah daya tarik kaum pria. Tapi, ternyata … heuumm …. “Aku sudah menemukan semua yang kau inginkan? Sekarang apalagi yang harus aku lakukan?” ucap Ramon membawa Marla menemui madam Ester yang sedang menikmati jamuan teh dan cemilannya. Mata Marla membulat saat melihat pilihan baju Ramon yang ditumpuknya sudah seperti gunung. “Apa aku nggak salah? Ini semuanya untukku? Nggak, nggak mungkin. Ini pasti ada kesalahan.” Kembali batin Marla bergejolak. “Buktikan dengan beberapa model untuk dicobanya,” perintah madam Ester kembali. “Tu—tunggu, Madam, apa Madam nggak salah, aku nggak mau mencobanya,” Marla menolak saat dua orang staf menghampirinya. “Aku tidak akan membayar apapun jika kau tidak membuktikannya padaku,” sahut madam Ester penuh tekanan pada Ramon. Tentu saja Ramon membulatkan matanya dengan lebar. Dia sudah menghabiskan waktu setengah hari untuk memilihkan semua keperluan Marla dan menutup tokonya. Kesempatan emas seperti itu, tidak akan mungkin pemilik butik itu lewatkan begitu saja. “Kalau dua orang masih kurang, bisa tambahkan dua atau tiga orang lagi untuk membantunya ganti baju!” Marla membulatkan matanya, “Madam, aku nggak mau, tolong, Madam! Arghh!” Tidak ada tanggapan dari madam Ester, dia hanya melanjutkan kembali minum tehnya dengan santai saat gadis itu ditarik paksa ke ruang ganti. Setelah pergulatan cukup panjang. Marla menolak pun sudah tidak berguna. Selain dia menuruti semua perintah dari madam Ester. Gadis itu membeku dengan pantulan cermin di depannya. Dia hampir tidak percaya dengan penglihatannya. Ini mungkin bukan pertama kali dia mencoba beberapa pakaian. Tapi, pakaian yang dibilang staff tadi adalah pakaian sehari—hari, baginya ini adalah pakaian mahal yang hanya bisa dipakai oleh kalangan berada saja. Setelah terpaksa melakukan peragaan busana secara paksaan dihadapan madam Ester. Wanita paruh baya itu hanya mengangguk mengagumi semua yang dipilih Ramon. “Aku ambil semua, bereskan semua barang pada mobil yang menunggu diluar.” Marla baru menyadari kalau mobil yang ikut di belakangnya masih ada dua mobil lagi. “Terima kasih, Madam Ester, jangan lupa aku titip salam untuk nyonya, bila ada waktu mampirlah ke butikku. Aku jamin, akan memberikan potongan khusus untuknya,” wajah sumringah dari Ramon kini terpancar saat dia menerima satu kartu hitam dari madam Ester. Tidak membutuhkan waktu lama, karena semua staff di butik Ramon membantunya. Dan semua barang kini sudah berpindah pada bagasi dan dua mobil dibelakang terisi penuh dengan barang belanjaan Marla. “Ma—af, Madam, apa benar semua barang tadi untukku?” gadis itu merasa tidak nyaman dengan semua kemewahan yang diterimanya. Tidak ada jawaban apapun dari madam Ester. "Aku rasa, ini terlalu berlebihan, Madam, dengan pekerjaanku sebagai seorang pelayan, ini ….” "Kau ini cerewet sekali. Buang semua barang—barang lamamu. Itu tidak akan berguna saat kita kembali nanti!” jawaban ketus yang didapat gadis itu. “Madam menyuruhku membuang nya? Akan kembali? Apa maksud dari ucapannya itu?” Otak Marla seketika ngebleng mendengar perkataan madam Ester. Saat gadis itu menoleh dan ingin mempertanyakan kembali. Madam Ester menutup matanya. Dia seolah tahu kalau gadis itu sedang penasaran dengan apa yang dikatakannya barusan. Marla hanya bisa pasrah dan menyimpan semua gundah di dalam hatinya. Hingga tak terasa hampir menjelang sore mereka kembali ke mansion keluarga Austin. Beberapa pelayan seolah tahu kedatangan madam Ester, saat mobil tiba, semua membantu dan menurunkan semua barang belanjaan. Marla akan membantu, tapi dilarang oleh Batrick. Batrick hanya menyuruh gadis itu beristirahat di kamar. "Batrick." "Iya, Nona." "Kamu tahu nggak?" "Apa, Nona?" Marla membenarkan posisi duduknya, melihat Batrick sedang membongkar beberapa barang di simpan dalam lemari dan yang lainnya di masukkan ke dalam koper. Gadis itu belum menyadari semua. "Pria yang kutabrak tadi pagi, dia siapa?” sesaat Batrick berpikir. "Beliau tuan besar Richard, cucu tertua nyonya, Nona.” "Cucu, nyonya? Maksudku wanita tua yang dipapah olehmu waktu itu?” dengan cepat Batrick mengangguk. "Dia aneh. Angkuh, dingin dan sepertinya sombong. Aku meminta maaf saja boro—boro ditanggapi dengan benar. Setidaknya, selaku cucu dari pemilik rumah ini, ya, sewajarnya sih, dia menyapa. Aku kan pelayan baru, mana mengerti sifatnya,” Marla mengeluarkan keluhannya. “Tidak seperti itu, Nona. Tuan Richard memang seperti itu. Beliau pendiam dan jarang sekali berbicara,” jelas Batrick. “Dia bisu?” "Tidak, Nona, bahkan kami yang disini saja jarang mendengar suaranya. Setiap kali berkunjung, beliau lebih banyak ada di dalam kamar!" "Berkunjung? Maksud kamu?” semakin serius Marla mendengarkan penjelasan dari Batrick. "Mansion ini, seperti yang saya pernah bilang, ini hanya untuk tempat berlibur, beristirahat sementara atau ada hal yang sedang dikerjakan oleh nyonya, tuan atau hal lainnya. Hanya liburan sesaat, mereka pasti akan kembali ke mansion utama, Nona!” “Li—liburan? Ini bukan kediaman mereka?” suara Marla penuh dengan kecemasan dan saat Betrick menoleh, dia melihat gadis itu gelisah. “Memangnya, Nona Marla, berpikir ….” Sekali lagi jelas terlihat di pelupuk mata Batrick bahwasanya Marla sangat terkejut saat mendengar ucapannya. “Nggak. Aku nggak boleh pergi dari tempat ini. Aku harus tetap disini.aku nggak akan mau pergi bersama mereka. Aku harus kembali ke tempat ibu. Harus. Bagaimanapun caranya, aku harus pergi dari tempat ini.” Tekad Marla kuat di dalam hati sambil mengepalkan tangannya. Sementara di ruang kerja nyonya. "Bagaimana?" “Pengacara sedang mengurus semua surat—suratnya. Setelah selesai, semua berkas akan segera ditangan, Nyonya.” “Baiklah, Ester, kau bisa lanjutkan pekerjaanmu.” “Maaf, Nyonya, apa sebaiknya kita perlu menjelaskan? Sepertinya nona Marla menganggap dirinya akan bekerja sebagai pelayan.” “Biarkan, tapi kau tetap harus mengawasinya.” Madam Ester membungkuk dan keluar dari ruang kerja nyonya Margareth. *** Marla berlari keluar dari kamarnya dan berhenti di depan gerbang. Para penjaga tidak memberikan izin gadis itu. Marla kesal dan terus bergerutu dengan batinnya. Gadis itu masih mencari cara untuk melarikan diri dari tempat yang membuatnya makin tidak nyaman. Gadis itu tidak kehilangan akal. Tekadnya sudah bulat untuk keluar dari mansion Austin. Dia terus menyusuri taman belakang. Matanya terus berkeliling hingga gadis itu menemukan arah yang diinginkannya. Bingo! Ada salah satu pohon dengan ranting yang terhubung dengan tembok pembatas. Senyuman langsung tersirat di wajahnya, jalan keluar itu sudah ditemukan olehnya. Yang tidak gadis itu ketahui, gerak-geriknya terus diperhatikan dari kamar gelap itu. Tanpa bersuara atau berkedip, dia seolah tahu apa yang sedang gadis itu pikirkan. Rencana tersembunyinya. Pukul tujuh, makan malam berjalan seperti yang sudah terjadwal. Pintu kamar gadis itu diketuk Batrick yang mengingatkan makan malam. Marla turun dengan tidak bersemangat. Ketika sampai di meja makan, nyonya terus memperlihatkan raut wajah tidak sukanya terhadap Marla. “Ester, apa kau lupa dengan perintahku. Bukankah aku sudah menyuruhmu mencari pakaian yang pantas dikenakan di keluarga ini?” delikan tajam tentu saja langsung memburu pada gadis yang sama sekali pikirannya sudah entah dimana. “Maaf, Nyonya, saya akan menegurnya!” tatapan madam Ester lebih beraromakan kemarahan dibandingkan rasa kesal yang ditunjukkan nyonya tadi. Setelah makan usai dan semua pergi, "Nona Marla, saya sudah katakan pakaian lama—mu sudah tidak berguna," hardiknya, menegur gadis itu tegas. "Baju ini masih bagus kok, aku nyaman memakainya!” "Nona, saya tidak suka mengulangi perkataan. Saya beritahu kembali, selama Nona disini, bersama dengan saya. Aturan Nona adalah saya. Nona tanggung jawab saya. Jadi, demi kebaikan Nona, sebaiknya Nona bekerja sama agar Nona tidak dipersulit ke depannya!” jawaban yang diberikan semakin membuat gadis itu tertekan. “Ini semakin tidak masuk akal. Nona, Nona. Dia terus memanggilku dengan sebutan yang nggak kuinginkan. Belum bekerja saja sudah merepotkan. Baju saja harus diatur harus ini dan itu. Aku hanya menjadi pelayan. Baju sebagus tadi, mana cocok digunakan seorang pelayan. Belum lagi, aku harus mendapatkan izin kalau mau keluar. Aku seperti berada dalam penjara. Ugghhh, kesal.” Di dalam kamar. Gadis itu segera mengganti dengan baju tidur. Sambil memakai baju, semakin gadis itu kehilangan pikirannya. Marla menarik tas yang dibawanya. Memasukkan semua baju yang dibawanya. Sebuah harmonika tua terjatuh tepat di kakinya. Gadis itu memungutnya dan menatap dalam—dalam harmonika tua tadi.Marla jadi salah tingkah dan tidak memberikan jawaban.“Jui, mau tambah lagi nggak?” sedikit kesempatan saat melihat piring anaknya sudah kosong.“Mmm, Aku mau yang itu, Ma!” tunjuk Jui menunjuk ayam goreng. Marla segera mengambilkan dan gadis kecil itu memakannya dengan lahap.Mereka pun mulai larut dengan makannya.Richard terus menatapnya. Marla makan tidak bersemangat. Dia hanya makan beberapa suap. Beberapa kali saat dia ingin mengambilkan makanan untuk Jui, Richard seolah dengan sengaja mengambil makanan yang sama.Kakaknya sedang meminta perhatian.Namun, Marla memang masih belum nyaman dengan pertemuan yang dianggapnya mendadak.Ascar harus memberikan momen berdua. Setelah makan, dia segera mengajak Jui untuk bermain bersama mereka. Membiarkan meja kotor dan berantakan untuk dibersihkan oleh kakaknya juga Marla.Mau tidak mau Marla dan Richard merapikan bersama.Richard terus memepet kemanapun gadis nya pergi. Apalagi dia sudah merasa ada lampu hijau yang diberikan Jui. Pa
“Kau benar—benar tidak mengingatku?” Sebastian tidak sabar dia langsung mengeluarkan suaranya.Marla menggeleng perlahan.“Aku, Sebastian Bernard, pengantin kecilnya Erika. Bukankah kamu dulu sering meledek ku,” ucapnya. Dia sedang berusaha mengingatkan Marla.Namun, wajahnya masih kebingungan.“Hah, benar—benar ya. ternyata Aku orang yang mudah dilupakan,” Sebastian merasa kecewa karena Marla juga tidak mengingatnya.Sebastian melipat kedua tangannya di dada. Sementara Marla melirik Erika meminta bantuannya.“Ah, maafkan Aku, Aku benar—benar lupa. Bagaimana kabarmu?” meski belum sepenuhnya mengingat, Marla tidak ingin membuatnya kecewa lagi. Dia mengulurkan tangan untuk meminta maaf.Tapi, Sebastian malah menariknya ke dalam pelukan.“Kamu benar—benar nggak berubah. Masih saja pelupa seperti dulu,” ejek Sebastian, mengendurkan pelukannya, mencium kening dan mengusap rambut Marla.“Maaf, tadi Aku beneran lupa. Sedang apa kau disini? Ah atau jangan bilang kamu beneran datang untuk me
“Aku rasa, sejak dia kembali dari perjalanan kami waktu itu. Sikapnya mulai berubah. Aku mendengar lagi dia mengoceh kalau dia sudah lelah dan ingin kembali bersama Jodhy.”“Padahal aku benar—benar yakin, dia sudah lama sekali semenjak bertemu Jui, dia nggak pernah mengatakan hal tersebut.” Suara Erika bergetar. Mengeluarkan semua uneg—uneg yang mengganggunya.Richard langsung mengerti dengan pembicaraan tersebut. Dia merasa bersalah. Dia merasa perubahannya kali ini penyebabnya adalah karena dirinya.Guntur besar berbunyi dan dari kamar Jui terdengar tangisan juga panggilannya untuk Marla. Pelayan berlari ke kamar untuk menenangkannya.Namun, suara bantingan pintu pun terdengar keras. Dia melihat Marla keluar kamar. Tatapan matanya kosong. Dia terlihat mondar—mandir di ruangan seperti mencari sesuatu.Lalu, setelah mendapatkan apa yang dia cari, dia berlari keluar rumah.“Marla, kamu mau kemana? Diluar masih hujan!” teriak Erika panik. Dia ikutan berlari dan menarik tangannya.“Kamu
Jeep Ascar berhenti di sebuah rumah mungil bercat putih. Pemandangan menyejukan mata sudah menyapa mereka. Pagar kayu berwarna putih dengan pekarangan bunga mini sudah menyambut mereka.“Kak Chard, kami tinggal dulu. Hubungi Aku kalau kau memang sudah selesai,” ucap Ascar.Namun, sang kakak masih terhanyut dengan lamunan.Ascar tahu, ini momen penting untuk kakaknya. Dia tidak ingin mengganggu. Sudah sangat jelas, kakaknya menantikan ini dari lima tahun lalu.Kakaknya hanya mengangguk. Dan setelah persetujuan itu, Ascar baru membawa Erika dan Jui pergi bersamanya.Dia sudah mendengar cerita dari Erika. Kalau suasana hatinya sedang kalut seperti itu, Erika akan membawa Jui ke panti. Membiarkannya tenang dulu.Telinga Richard mendengar alunan piano yang sedang dimainkan. Kakinya mulai melangkah jalan setapak yang dibuat dengan batu kecil terhampar menuju pintu rumahnya.Dia hampir saja melupakan alunan indah itu. Dia membencinya karena tidak ingin mengingat hal yang menyakitkan. Terny
“Maafkan, Aku, Bas …,” ucap Erika lirih menyentuh tangannya.Erika benar—benar tidak tega melihat tatapan sedih dan penuh luka. Dia juga tidak ingin membohongi perasaannya yang sudah berubah pada Sebastian.“Jangan meminta maaf lagi. Ini sepenuhnya bukan kesalahanmu. Aku juga ikut andil,” tatapan Sebastian penuh haru dan semakin membuat dada Erika menyerinyit.“Selama ini Aku nggak pernah memberikan kamu kabar apapun. Dan hari ini, Aku tiba—tiba datang untuk menjemputmu sebagai pengantin kecil ku. Kamu pasti terkejut dan tidak akan menyangka nya,” tatapannya semakin dalam dengan perasaan yang sudah campur aduk.Erika terhanyut dengan tatapan sendunya, “Ya … ampun, Sebastian … Aku jadi melelehkan. Bagaimana bisa dua laki—laki membuatku frustasi,” bisik Erika di hati yang kalang kabut.Erika tidak menyangka, dulu dia sangat mendambakan cinta. Tidak ada seorangpun. Sekarang dua orang sekaligus menyatakan perasaan cinta dan ketulusan. Mendapatkan perhatian yang berlimpah dari dua laki—lak
Ascar tidak mungkin melepaskan Erika begitu saja. Selama masih ada kesempataan berduaan, dia tidak akan melewatkan.Mobil jeep nya berhenti dipersimpangan jalan. Senyuman nakal sudah tersungging dari wajah tampannya.“Kok berhenti?” Erika meliriknya.“Karena kamu menolak menginap, Aku akan menyelesaikan hukumannya disini,” seringainya.“Hukuman? Apa maksudnya, Ascar? Ayo cepat pulang. Aku sudah berjanji pada Sebastian akan pulang dan nggak enak membuatnya menunggu,” Erika masih sedikit kesal.“Oh, bagus ya. Jadi, kamu ingin segera pulang karena di tunggu si Br3 N953K itu,” nada suara Ascar berubah satu oktaf. Dia meraih tengkuk Erika agar lebih mendekati wajahnya.Erika menahan. Dia tidak ingin sampai Ascar melakukan apapun. Dia juga mengerti kalau sekarang Ascar sedang cemburu.“Ascar, sudah nggak usah bercanda lagi. Aku mau pul—,” belun sempat Erika melanjutkan ucapannya, Ascar sudah mendaratkan bibirnya. Kali ini dia bersikap kasar. Sedikit memaksa karena Erika memberikan perlawan