Marla terpilih sebagai pelayan di keluarga Austin. Tak pernah dia duga kalau itu hanya sebuah alasan dari Margaret untuk menjodohkannya dengan Richard cucu tertua keluarga tersebut. Sosok Richard Branson Austin adalah pria dingin dan jarang sekali berbicara. Berbanding terbalik dengan Ascar Branson Austin yang pembangkang dan pengacau. Dua sisi yang berbeda, akankah Marla bertahan di rumah tersebut atau malah melarikan diri dari perjodohan yang sudah direncanakan sejak pertama kali.
Lihat lebih banyak"Marla!" Teriak seorang gadis dengan surai panjang berlari tergesa menghampiri gadis bersurai gelombang. Gadis itu sedang asik bermain ayunan di taman belakang.
“Ada apa, Erika?” gadis itu berkata dengan kedua tangannya menggerakan ayunan. Tetap tidak mengubah posisinya, terus bermain dengan ayunan kesayangan. "Ibu Anya menyuruh semua untuk berkumpul di aula. Gosip yang beredar, mereka salah satu keluarga terpandang dan sedang mencari seorang pelayan. Ayo, ikut. Ini kesempatan kita ….” Erika menarik lengan gadis itu yang bergeming dengan reaksi berlebihan gadis itu. “Nggak akan menarik buatku. Kamu saja yang pergi. Aku akan tetap disini. Menghirup udara segar pagi ini dengan aroma mawar dan gardenia yang paling kusukai.” Marla tetap menggeleng dan tidak menggerakkan kakinya untuk turun dari ayunan. "Ayolah, Marla, aku tahu, kamu memang tak menginginkan ini, tapi setidaknya kamu temani aku. Aku sudah sangat bosan terkurung disini. Mungkin saja, hari ini adalah hari keberuntunganku.” Erika sedikit menunjukan wajah menyedihkan, gadis itu tahu, teman kecil terbaiknya itu tidak akan pernah sanggup menolak wajahnya. Itu adalah senjata paling ampuh untuk menghadapi teman kecilnya itu. “Hoh, astaga, Erika. Apa itu? Stop! Jangan tunjukan wajah seperti itu. Kamu yakin nggak sedang merayuku? Wajah menyebalkanmu itu benar—benar deh ….” Habis sudah Marla kali ini, gadis itu tidak dapat berkutik lagi. Wajah iba dari teman kecilnya itu sudah membuat frustasi. “Ayolah, aku mohon, Marla, ini ‘kan nggak ada ruginya juga buat kamu ….” Erika masih dengan pendiriannya. “Erika, Erika, seorang pelayan? Heem, sudahlah. Jangan membujuk lagi. Ini nggak akan berhasil. Pergilah. Kamu tahu sendiri, aku nggak perlu izin itu untuk keluar. Aku punya kartu akses bebas kemanapun aku pergi ….” Ya … Gadis itu tidak akan terkecoh oleh godaan sang teman kecil. Dia bahkan tanpa ragu menunjukkan sederet gigi putihnya. “Oke. Aku tahu. Kamu memang yang terbaik. Paling terdepan. Paling beruntung. Paling-paling di antara kami. Kamu punya keahlian melukis dan bermain piano. Ditambah lagi, ibu Anya menyayangimu seperti anak sendiri. Paket komplit. Sedangkan aku? Hem, apapun aku nggak bisa. Nggak punya keahlian sedikitpun!” Marla hanya bisa menghela nafas panjang. Saat mendengar si cerewet Erika menggunakan semua alibi, gadis itu sudah tidak bisa berkata apapun. “Dasar mulut cerewet. Bisa nggak sih, kamu nggak menggunakan alasan itu. Aku juga nggak tahu kenapa aku punya dua keahlian itu. Kamu kan tahu, sejak kecil aku jarang berbicara dan sering sekali menghindari kalian.” Marla tidak ingin mengalah, meskipun pada akhirnya gadis itu akan memenangkan pertarungan mulut kali ini. “Makanya temani aku, oke? Please! Kali ini saja, aku janji. Begini saja … jatah cemilanku saat makan siang nanti akan menjadi milikmu. Bagaimana? Ayolah, temani aku, Marla,” bujuk Erika tidak akan mengalah sampai disitu saja. “Hah, baiklah cerewet, aku temani. Jangan gunakan sogokan kecil seperti itu. Nggak mempan tahu. Tapi, aku nggak mau ikut—ikutan seperti yang lain, oke? Aku akan bersembunyi sampai nggak terlihat, deal?” Erika mengangguk cepat. Rasanya dia sudah tidak tahan untuk melompat kegirangan. “Yes. Kamu memang teman paling baik, Marla. Ayo, pergi!” Erika mengaitkan tangannya dan membawa Marla ke aula. *** Di ruangan ibu Anya seorang wanita sedang berbicara dengan serius. "Sepertinya aku tidak perlu menjelaskannya dengan detail, Anya. Nyonya hanya menginginkan gadis yang pernah datang pada pesta ulang tahun keluarga Christian bulan lalu. Dia, masih tinggal disini kan?” Sejak kedatangan wanita paruh baya itu, Anya tampak gelisah. Tidak biasanya wanita paruh baya itu akan secara khusus mendatangi tempatnya jika memang tidak ada suatu hal yang mendesak. Dan, apapun keinginannya, tetap harus terpenuhi. Wanita itu berpenampilan sederhana, namun itu sama sekali tidak mengurangi sikap anggun dan tegasnya. Anya tidak memberikan jawaban apapun. Wanita itu hanya beranjak dari duduknya. Mencari dalam rak satu buah buku. Tepatnya satu album foto yang berisi semua penghuni di dalam kediamannya. Lalu, meski sedikit ragu, Anya membawa album foto itu ke hadapan wanita tadi. Membukanya, mencarikan sesaat dan menunjuk salah satu foto yang terpasang di dalamnya. "Apa benar, nyonya menginginkannya?” tidak ada jawaban lain selain anggukan cepat dari wanita itu. Satu helaan nafas lembut penuh kegelisahan mungkin saja terdengar oleh wanita itu. “Kau tidak perlu mengkhawatirkan apapun, Anya, nyonya tidak akan melukainya!” “Saya mengerti, kalau begitu, ada baiknya anda melihat anak yang lainnya. Mungkin saja, masih ada anak lain yang memenuhi kriteria nyonya!” bujuk Anya. Sambil mengajak wanita tadi keluar dari ruangan dan memperlihatkan anak—anak lainnya. “Nyonya tidak menginginkan yang lainnya, hanya gadis itu. Dimana dia sekarang?” Anya membawa wanita itu ke aula. Semua anak tampak sudah berkumpul disana. “Aku akan langsung membawanya. Aku harap, kau bisa segera mempersiapkan. Bila perlu, tidak perlu membawa apapun, disana dia tidak akan kekurangan apapun!” tegasnya tanpa memperdulikan saat Anya mengajaknya berkeliling untuk melihat anak lainnya. “Anda yakin tidak ingin melihat yang lainnya Madam Ester? Anak kami, mungkin bisa sekali lagi Madam lihat,” sepertinya Anya sangat berusaha keras membujuk Ester. Ester tidak menjawab. Tetap berkeliling dan mencari keberadaan sosok yang dicarinya. Erika menarik Marla diam—diam di barisan paling belakang. Marla ingin sekali bersembunyi, tapi gandengan tangan dari Erika membuatnya mau tidak mau terseret dalam barisan. Ester masih terus berkeliling. Wajah Anya semakin gelisah saat mendekati barisan paling belakang. Ingin sekali Anya menarik lengan Ester agar kembali, namun sayangnya langkah kaki Ester lebih cepat dalam meneliti satu demi satu anak dalam barisan. “Marla, lihat, dia kemari. Huwaa, semoga saja aku yang terpilih,” bisik Erika antusias dan terdengar tidak sabar. Tangannya terus menyenggol sikut gadis itu yang tidak perduli sama sekali dengan tingkah heboh teman kecilnya. “Um, iya, iya. Semoga kamu yang terpilih. Kamu kan tahu, alasanku tetap berada disini!” sahut Marla, suara seperti bergumam dan hampir tidak terdengar. Kini Ester tepat berdiri di hadapan dua gadis itu. Erika makin gugup dan jantungnya sudah berdebar tidak karuan. Tangannya dingin saat bersentuhan dengan Marla. “Kau!” ucap Ester semakin membuat Erika gugup. “Sa—saya, Nyonya?” sahut Erika, raut wajahnya terlihat sangat bahagia. “O—oo,” Ester menggelengkan kepalanya, “Bukan kau, tapi, kau!” sekali lagi Ester berkata, namun kali ini Ester menunjuk dengan jari telunjuknya tepat ke arah Marla. “Ahh, ba—baiklah,” sorot kecewa dari Erika terlihat jelas, namun itu hanya sesaat, Erika melupakan itu saat teman kecilnya yang terpilih. “Ma—Marla, hei, Marla!” suara Erika setengah berbisik sambil menyenggol lengan gadis di sebelahnya. Marla, tidak peduli. Dia merasa ada di dalam dunianya sendiri. Tidak sadar dengan kehadiran Ester dihadapannya. Anya kehabisan kata. Hanya bisa menghela nafas panjang sebelum tangannya menarik tangan gadis itu. “Aw!” pekik gadis bersurai gelombang lembut itu saat tangannya tiba—tiba ditarik paksa keluar barisan. “Bu, ada apa? Sakit sekali!” “Bodoh! Kenapa kau ada disana?” hardik Anya setengah berbisik. Ester mengikutinya dari belakang. “Lho? Memangnya ada apa, Bu?” Sekali lagi Marla yang sedang bingung mengajukan pertanyaan. “Seperti yang aku bilang tadi, Anya. Bantulah dia bersiap—siap atau aku akan membawanya sekarang?” Ester berkata dengan nada cukup penuh penekanan. Membuat Marla memutar otaknya. Mengingat kembali ucapan Erika beberapa saat lalu dan akhirnya …. “Nggak, Bu? Ini nggak benar kan, Bu? Apa maksud ucapannya?” Wajah pias sudah tergambar dalam wajah gadis bersurai gelombang tadi. Anya tidak menjawab apapun. Perkataan Ester sama halnya dengan perintah nyonya. Anya tidak dapat menolak atau membuat permohonan pengganti. Marla sepenuhnya sadar dengan situasinya. Wanita tadi adalah orang yang diceritakan Erika. Dia yang sedang mencari seorang pelayan dan Marla—lah yang terpilih. “En—nggak, Bu, aku nggak mau pergi. Aku nggak menginginkan tempat ini, Bu. Aku mau tetap disini, Bu. Aku mohon, jangan aku yang pergi, Bu,” pinta gadis bersurai gelombang tadi, kali ini dia sudah benar—benar memohon. Cairan bening itu mulai membasahi wajah cantiknya. "Sayang maafkan Ibu, Ibu pun tidak menginginkan hal ini. Hanya saja, Ibu tidak bisa menolaknya. Ini permintaan langsung dari nyonya, Sayang. Ibu harap kamu mengerti!” “Nggak, Bu. Aku mohon, a—atau, Erika saja, Bu. Biarkan Erika yang pergi. Aku benar—benar nggak mau pergi dari sini, Bu!” Tangis gadis bersurai gelombang itu pecah, baginya, ini adalah hal terburuk yang dialaminya. “Maafkan Ibu, sayang, Ibu tidak bisa!” Anya mencoba menenangkan gadis itu, mencoba menyakinkan semua akan baik—baik saja. “Nggak, Bu. Erika saja, Bu. Dia benar—benar menginginkan ini. Aku mohon, Bu. Biarkan Erika saja yang pergi, Bu!” “Maafkan saya, Nyonya Anya, Madam Ester sudah menunggu, mohon segera!” Suara seorang laki—laki memecah pembicaraan mereka. “Ba—baik, mohon ditunggu sebentar saja!” Anya berbalik dan memohon, “Ayo, Marla, Ibu mohon, jangan membantah lagi!” Anya setengah menyeret paksa tubuh gadis itu karena dia tetap menolak pergi. "Ibu ... tolong, Bu ... aku nggak mau pergi, Bu. Aku mohon, Bu," tangis Marla mengiba. Gadis bersurai gelombang tadi bahkan rela bersujud. Tetapi, saat ini, ibu yang selalu saja bersikap baik padanya mengabaikan. Saat Anya sudah berada di kamar gadis itu. Dia mengeluarkan tas dan memasukan baju gadis itu dengan cepat. Erika yang tidak tega ikut masuk ke kamar. Itu adalah kamar mereka berdua. “Bu, biarkan Erika saja yang pergi, Bu. Jangan Marla. Ibu kan tahu, Marla tidak menginginkan ini. Marla tetap harus disini, Bu!” Gadis yang bernama Erika itu ikut bersujud di samping tubuh Marla. Menyaksikan teman terbaiknya menangis bukan hal yang menyenangkan. Selama ini, Marla jarang sekali menangis, bahkan hampir tidak pernah menangis meski anak lain dulu merundungnya. “Diam, Erika! Kamu tidak berhak ikut campur. Kalau kamu ingin tetap bersujud. Bersujudlah sampai makan malam. Kamu tidak perlu makan siang. Ini adalah hukuman karena kamu mencoba membantah, Ibu!” Marla hampir tidak percaya. Ibunya yang terkenal baik hati sampai tega menghukum. Itu bukan kebiasaannya, ibu tidak akan pernah menghukum anaknya, meskipun anaknya melakukan kesalahan yang besar. Ibu pasti akan memaafkan dan memberikan hukuman yang tidak akan membuat orang lain terlukai. “Ayo, Marla. Jangan biarkan Madam menunggumu. Ini tidak akan baik untukmu!” Marla kembali diseret paksa sampai depan gerbang. Dilihatnya, wanita yang bernama Ester tadi menunggunya tak sabar. Saat melihat gadis itu diseret oleh Anya, Ester segera memerintahkan salah seorang pengawal untuk menjemputnya. “Tu—tunggu dulu, aku mohon, izinkan aku memeluk Ibuku, aku mohon!” pinta gadis bersurai gelombang tadi. Tangisannya tetap tidak berhenti saat dia memeluk Ibu yang selama ini sudah membesarkannya sebagai anak sendiri. “Maafkan Ibu, sayang, maafkan, Ibu ….” Lirih perkataan Anya menyayat kalbu Marla. Pertama kalinya dia berpisah dengan orang yang amat berarti. Dia, wanita itu, wanita yang sudah membesarkannya dengan penuh kasih sayang, kini, gadis itu harus melepaskannya. “Aku nggak mau pergi, Bu, aku mohon ….” Tangisannya sudah tak bisa terbendung. Ester hanya bisa memandangi sambil menyuruh dua orang pengawal menyeret paksa Marla yang tetap menolak masuk mobil. Meski berat, Anya tetap harus melepaskan gadis itu pergi. ***Marla jadi salah tingkah dan tidak memberikan jawaban.“Jui, mau tambah lagi nggak?” sedikit kesempatan saat melihat piring anaknya sudah kosong.“Mmm, Aku mau yang itu, Ma!” tunjuk Jui menunjuk ayam goreng. Marla segera mengambilkan dan gadis kecil itu memakannya dengan lahap.Mereka pun mulai larut dengan makannya.Richard terus menatapnya. Marla makan tidak bersemangat. Dia hanya makan beberapa suap. Beberapa kali saat dia ingin mengambilkan makanan untuk Jui, Richard seolah dengan sengaja mengambil makanan yang sama.Kakaknya sedang meminta perhatian.Namun, Marla memang masih belum nyaman dengan pertemuan yang dianggapnya mendadak.Ascar harus memberikan momen berdua. Setelah makan, dia segera mengajak Jui untuk bermain bersama mereka. Membiarkan meja kotor dan berantakan untuk dibersihkan oleh kakaknya juga Marla.Mau tidak mau Marla dan Richard merapikan bersama.Richard terus memepet kemanapun gadis nya pergi. Apalagi dia sudah merasa ada lampu hijau yang diberikan Jui. Pa
“Kau benar—benar tidak mengingatku?” Sebastian tidak sabar dia langsung mengeluarkan suaranya.Marla menggeleng perlahan.“Aku, Sebastian Bernard, pengantin kecilnya Erika. Bukankah kamu dulu sering meledek ku,” ucapnya. Dia sedang berusaha mengingatkan Marla.Namun, wajahnya masih kebingungan.“Hah, benar—benar ya. ternyata Aku orang yang mudah dilupakan,” Sebastian merasa kecewa karena Marla juga tidak mengingatnya.Sebastian melipat kedua tangannya di dada. Sementara Marla melirik Erika meminta bantuannya.“Ah, maafkan Aku, Aku benar—benar lupa. Bagaimana kabarmu?” meski belum sepenuhnya mengingat, Marla tidak ingin membuatnya kecewa lagi. Dia mengulurkan tangan untuk meminta maaf.Tapi, Sebastian malah menariknya ke dalam pelukan.“Kamu benar—benar nggak berubah. Masih saja pelupa seperti dulu,” ejek Sebastian, mengendurkan pelukannya, mencium kening dan mengusap rambut Marla.“Maaf, tadi Aku beneran lupa. Sedang apa kau disini? Ah atau jangan bilang kamu beneran datang untuk me
“Aku rasa, sejak dia kembali dari perjalanan kami waktu itu. Sikapnya mulai berubah. Aku mendengar lagi dia mengoceh kalau dia sudah lelah dan ingin kembali bersama Jodhy.”“Padahal aku benar—benar yakin, dia sudah lama sekali semenjak bertemu Jui, dia nggak pernah mengatakan hal tersebut.” Suara Erika bergetar. Mengeluarkan semua uneg—uneg yang mengganggunya.Richard langsung mengerti dengan pembicaraan tersebut. Dia merasa bersalah. Dia merasa perubahannya kali ini penyebabnya adalah karena dirinya.Guntur besar berbunyi dan dari kamar Jui terdengar tangisan juga panggilannya untuk Marla. Pelayan berlari ke kamar untuk menenangkannya.Namun, suara bantingan pintu pun terdengar keras. Dia melihat Marla keluar kamar. Tatapan matanya kosong. Dia terlihat mondar—mandir di ruangan seperti mencari sesuatu.Lalu, setelah mendapatkan apa yang dia cari, dia berlari keluar rumah.“Marla, kamu mau kemana? Diluar masih hujan!” teriak Erika panik. Dia ikutan berlari dan menarik tangannya.“Kamu
Jeep Ascar berhenti di sebuah rumah mungil bercat putih. Pemandangan menyejukan mata sudah menyapa mereka. Pagar kayu berwarna putih dengan pekarangan bunga mini sudah menyambut mereka.“Kak Chard, kami tinggal dulu. Hubungi Aku kalau kau memang sudah selesai,” ucap Ascar.Namun, sang kakak masih terhanyut dengan lamunan.Ascar tahu, ini momen penting untuk kakaknya. Dia tidak ingin mengganggu. Sudah sangat jelas, kakaknya menantikan ini dari lima tahun lalu.Kakaknya hanya mengangguk. Dan setelah persetujuan itu, Ascar baru membawa Erika dan Jui pergi bersamanya.Dia sudah mendengar cerita dari Erika. Kalau suasana hatinya sedang kalut seperti itu, Erika akan membawa Jui ke panti. Membiarkannya tenang dulu.Telinga Richard mendengar alunan piano yang sedang dimainkan. Kakinya mulai melangkah jalan setapak yang dibuat dengan batu kecil terhampar menuju pintu rumahnya.Dia hampir saja melupakan alunan indah itu. Dia membencinya karena tidak ingin mengingat hal yang menyakitkan. Terny
“Maafkan, Aku, Bas …,” ucap Erika lirih menyentuh tangannya.Erika benar—benar tidak tega melihat tatapan sedih dan penuh luka. Dia juga tidak ingin membohongi perasaannya yang sudah berubah pada Sebastian.“Jangan meminta maaf lagi. Ini sepenuhnya bukan kesalahanmu. Aku juga ikut andil,” tatapan Sebastian penuh haru dan semakin membuat dada Erika menyerinyit.“Selama ini Aku nggak pernah memberikan kamu kabar apapun. Dan hari ini, Aku tiba—tiba datang untuk menjemputmu sebagai pengantin kecil ku. Kamu pasti terkejut dan tidak akan menyangka nya,” tatapannya semakin dalam dengan perasaan yang sudah campur aduk.Erika terhanyut dengan tatapan sendunya, “Ya … ampun, Sebastian … Aku jadi melelehkan. Bagaimana bisa dua laki—laki membuatku frustasi,” bisik Erika di hati yang kalang kabut.Erika tidak menyangka, dulu dia sangat mendambakan cinta. Tidak ada seorangpun. Sekarang dua orang sekaligus menyatakan perasaan cinta dan ketulusan. Mendapatkan perhatian yang berlimpah dari dua laki—lak
Ascar tidak mungkin melepaskan Erika begitu saja. Selama masih ada kesempataan berduaan, dia tidak akan melewatkan.Mobil jeep nya berhenti dipersimpangan jalan. Senyuman nakal sudah tersungging dari wajah tampannya.“Kok berhenti?” Erika meliriknya.“Karena kamu menolak menginap, Aku akan menyelesaikan hukumannya disini,” seringainya.“Hukuman? Apa maksudnya, Ascar? Ayo cepat pulang. Aku sudah berjanji pada Sebastian akan pulang dan nggak enak membuatnya menunggu,” Erika masih sedikit kesal.“Oh, bagus ya. Jadi, kamu ingin segera pulang karena di tunggu si Br3 N953K itu,” nada suara Ascar berubah satu oktaf. Dia meraih tengkuk Erika agar lebih mendekati wajahnya.Erika menahan. Dia tidak ingin sampai Ascar melakukan apapun. Dia juga mengerti kalau sekarang Ascar sedang cemburu.“Ascar, sudah nggak usah bercanda lagi. Aku mau pul—,” belun sempat Erika melanjutkan ucapannya, Ascar sudah mendaratkan bibirnya. Kali ini dia bersikap kasar. Sedikit memaksa karena Erika memberikan perlawan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen