Share

Emas Kesayangan

đź’“Sudah sampai bab 3!? tambahkan ke pustaka. Terima kasih dan selamat Membacađź’“

"Tolong!" teriak Vikka.

Dirinya tengah berlari menyusuri jalanan  yang asing. Mendadak nabastala berubah segelap arang, kilat beradu  hingga membuat dunia berkedip. Malam itu, ia tersesat di antara beberapa pohon besar yang daunnya melambai dihempas angin. Gemuruh petir kembali, kali ini memercikkan api yang menyambar salah satu pohon hingga tumbang. 

Vika kembali berlari. Pikirnya bimbang, ke mana jalan yang harus ditempuh? Dirinya teramat takut. Bagaimana jika nasibnya senaas pohon tadi? 

Mendadak kabut memunuhi ruang penglihatan. Terkepung sudah. Berjongkok pun menjadi pilihan. Tangis mulai pecah, isakan beradu dengan guntur yang kunjung berhenti. Saat itulah, hangat sentuhan merangkulnya. Gadis itu menoleh, terlihat sosok pria berdiri di belakang. 

Vika langsung bangkit dan memeluk sosok yang dirindukannya. Namun, belum ada satu menit, tinggallah bayang transparan yang perlahan lenyap. Vika pun berlari, mengikuti embusan angin yang berlalu menembus kabut hingga terjungkal.

Tubuh sintalnya membentur batu. Ia bergeliat sambil merintih. Setelah itu, duduk dan mengusap lengan bersimbah darah sambil bertanya, "Ayah di mana?"

"Vivi, bangun. Ayo bangun."

Terkejut. Saat netra dibuka, terlihat Risa dengan wajah pucat. Tangan menggoyang-goyangkan tubuh si keponakan. "Sampai jatuh dari kasur kok nggak sadar, sih?"

"Tante Risa?" Masih setengah sadar, gadis itu memandang dengan pandangan yang sesekali memburam. 

"Kamu mimpi buruk, ya, Vi?"

Vika duduk. Sambil menunduk, ia mengembuskan napas berat. Jelas sekali mimpi tersebut amat menguras tenaga. "Tante, kapan bisa ketemu Ayah?"

Deg! 

Jantung Risa serasa dihantam baja ketika mendapat pertanyaan itu. Biarpun tahu jika segera sang kemenakan akan meminta bertemu ayahnya, tapi Risa tak menyangka jika secepat ini. Ia terbata, bingung harus memberi jawaban apa. Dipalingkan muka dan menatap bingkai foto di meja. 

"Kapan, Tante?" Risau gadis manis itu berulang kalimat. Hampir saja air mata pecah. Namun, ia bukan anak manja yang menangis hanya karena tak mendapat hal yang diinginkan.

"Besok." Refleks adik Aris menjawab. "Em, maksudku, besok kalau waktunya sudah tepat."

Mendapati lawan bicara hanya diam, ia mulai mengalihkan topik. Apa pun diceritakan, asal bisa membuat Vika berhenti menanyakan soal ayahnya. Perih dirasakan. Andai dahulu ia tahu jika sang kakak terlilit hutang, pasti akan dihentikan sebelum melilit mereka. 

"Ini masih jam dua, kamu tidur lagi, ya."

Gadis yang dipanggil Vivi oleh tantenya, mengangguk. Dalam hati, ia menginginkan kejelasan. Namun, enggan untuk menambah beban orang yang coba menolong. Vika pun kembali membaringkan tubuh dan menyembunyikan raut kecewa dengan selimut bermotif bunga.

Tiga puluh menit Risa menunggu. Akhirnya, ia mematikan lampu dan tidur di kamar tersebut. Keduanya tak kunjung terlelap. Gelisah dirasakan sambil memunggungi satu sama lain. Hingga jam ponsel menampilkan angka tiga, barulah mereka masuk ke alam mimpi. 

***

Aroma lezat perlahan memasuki kamar Vika. Anak sulung Aris pun membuka netra. Hal pertama yang diingat, tak lain adalah ayah yang tak jelas kapan ditemui. Tak ingin bangun, tapi aroma tersebut membangunkan keinginannya untuk makan. 

"Selamat pagi, Vi."

"Pagi, Tante," jawabnya sambil menarik kursi kayu.

Vika duduk, memperhatikan wanita di depannya membolak-balik ikan di penggorengan. Gadis tujuh belas tahun itu terpukau, sang tante amat lihai sebagai koki. Padahal, biasanya seorang wanita karir terlalu sibuk bekerja hingga tak ada waktu untuk bergelut di dapur. 

"Ambilin piring." 

Dengan satu titah, Vika membuka lemari kaca dan mengambil dua piring persegi yang kemudian diisi dengan nasi hangat dan tumis kangkung. "Aku jarang makan ikan, ayah nggak pintar membersihkannya."

Risa tertawa. Sebenarnya alasan Aris tak memasak ikan bukanlah karena tak bisa membuang sisik dan kotoran. Namun, karena memiliki trauma. Saat kecil, ia terjebur di kolam lele milik saudaranya. Tanla sengaja, tangannya tersentuh licinnya hewan beringsan dan meninggalkan sensasi aneh. Sejak itu, Aris enggan menyentuh ikan mentah. 

"Selama aku di sini, kamu bakal sering makan ikan nila," tutur Risa. 

Jemari Vika berhenti menjumput daging ikan. Nasi yang tersisa di mulut, dikunyah terlebih dahulu, sebelum memberi jawaban. "Apa Tante lama di sini?"

"Eh ... kenapa? Tidak suka kalau lama-lama menginap, ya?"

"Bukan begitu, Tante Risa." 

"Lalu kenapa?"

"Kalau Tante lama, berarti Ayah dipenjara juga lama."

Tenggorok Risa teramat kering. Ia tahu jika sang keponakan bukan lagi anak kecil yang akan percaya jika ayahnya sedang baik-baik saja. Lebih-lebih, penjara sangat berbeda dengan tempat wisata. Ia pun mengambil jeda. Air direguk. Gelas kaca ditaruh kembali ke meja. "Tante akan tetap di sini dulu, walaupun Kakak sudah pulang."

"Iya." Singkat jawaban Vika mengakhiri obrolan pagi yang menyayat hati. 

***

Kini udara tak lagi dingin. Sinar mentari menyengat kulit putih Risa. Wanita itu berjalan menuju toko di mana dahulu ia membeli perhiasan.

"Ada yang bisa dibantu, Kak?"

"Ah, iya." Risa mengangkat tas jinjingnya dan merosok ke dalam. Sebuah dompet kuning  bertuliskan nama toko dikeluarkan. "Saya mau jual ini."

"Baik, Kak. Tolong tunggu sebentar."

Risa duduk di sofa sambil menerka jumlah uang yang akan didapat. Ia menekan menu kalkulator di ponsel dan menambahkan nominal dari tiga kalung dan dua antingnya. 

Usai pelayan toko mengecek keaslian barang, ia kembali mendekat. "Bagaimana?"

"Semua totalnya dua puluh enam juta, Kak. Cincin yang satu ada bekas gores. Jadi, harga turun."

"Iya, tidak apa-apa."

Pelayan tersebut memberikan beberapa lembar uang. Tak lupa, Risa menghitung ulang. Saat nominalnya telah pas, ia berterima kasih dan meninggalkan toko. Wanita yang satu ini memang menyukai emas layaknya orang lain. Oleh karena itu, ia memiliki beberapa logam mulia. Seharusnya semua disimpan agar koleksinya bertambah. Sayang, harus direlakan demi keluarga tercinta.

Risa mendekati jalan raya lalu melambai, sebuah taksi berhenti tepat di depan.  Heels-nya melangkah masuk secara pelan. Ia pun menutup pintu dan memberi tahu alamat yang dituju. Beberapa saat dihabiskan untuk melamun. Dua hari ini, otaknya sibuk memikirkan cara agar dapat melunasi hutang Aris. 

"Masih kurang tujuh puluh juta lagi."

"Apa, Mbak?" tanya si sopir. 

"Eh, enggak apa-apa, Pak." Tak disangka monolognya terdengar. 

Jika saja kakaknya mau sedikit menurunkan ego dan meminta bantuan orang tua, mungkin tak akan serumit ini. Namun, itu mendekati mustahil. Pria tersebut tak pernah mau melibatkan orang lain dalam kesulitan yang tengah dihadapi. Sepelik apa pun itu, coba diarungi sendiri. 

Sikap itulah yang tak disukai keluarga inti, terlebih sang ayah yang selalu beranggapan jika anak adalah tanggungan yang tak mungkin dilepas begitu saja. Semua rasa bingung, berdesakan hingga membuat kepalanya sakit. Risa pun mulai memijat kepalanya sambil menatap jendela.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status