Share

Isak yang Tertahan

Butuh waktu lama untuk menawarkan rumah yang terkesan biasa juga tanpa keunikan. Kondisi ini membuat gelisah makin menyelimuti perasaan wanita itu, belum lagi bicara pada anggota keluarga, entah bagaimana cara menjelaskan situasi saat ini?  

Diam-diam Vika mengamati. Bukannya tidak curiga dengan gerik sang tante yang selalu bepergian hingga larut malam dan menggenggam gawai tiap saat, banyak pertanyaan yang mengganjal benak gadis yang akan berulang tahun dua bulan lagi itu. Namun, ia memilih diam, berharap Risa angkat suara secara sukarela. 

Hari terus berganti, rembulan yang pemalu kembali menyembunyikan diri, sayang mereka masih saling menutupi gundah. Hingga sampai pada suatu titik, anak sulung Aris tidak lagi kuasa memendam penasaran. Dihentikannya Risa tepat ketika hendak melangkah ke luar.

"Sepagi ini Tante mau ke mana?"

"Ka--kamu udah bangun?" Terkejut mendengar suara, sontak berbalik. 

Vika telah mengamping di depan kamar dengan balutan jaket rajut. "Habis salat Subuh, aku nggak tidur lagi, Tan."

"Tumben."

"Jadi ... Tante mau ke mana?" ulangnya. 

Risa menutup kembali pintu yang setengah terbuka. Kaki jenjangnya melangkah sangat anggun, mendekati sang keponakan yang menanti jawaban. Tangan Vika diraih lalu digandeng hingga tiba di ruang tamu. Mereka duduk berdampingan pada sofa usang, pundak keduanya pun bersentuhan.

"Sebenarnya aku nggak tega, tapi kamu layak tahu," lirihnya pada remaja itu. 

"Tahu apa, Tante?"

Napas panjang dihela. "Tahu kalau rumah ini akan dijual. Hutang ayahmu sudah terlalu banyak. Kakak memintaku untuk melakukan ini. Jangan khawatir, Vi, aku pasti akan cari tempat tinggal untukmu."

Netra adik Aris menatap lantai, tidak ada keberanian untuk melirik ke arah lain. Cairan saliva ditenggak, meninggal rasa kering yang memenuhi tenggorokan. 

"Oh, begitu." 

Singkat jawaban Vika membuatnya tercengang. Ia tahu benar jika gadis ini memiliki pemikiran lebih panjang dari remaja seusia, tapi reaksinya tidak terprediksi. Marah atau barang kali menyuarakan kontra, itulah yang diharapkan Risa. Sikap terlalu baik dan penurut membuat sang tante khawatir. 

"Harusnya Tante bilang lebih awal, aku bisa membantu. Temanku di F******k lumayan banyak, apalagi ...."

"Vi! Kenapa langsung setuju? Yang dijual bukanlah baju, tapi rumah! Bagaimana bisa wajahmu datar? Apa kamu tidak malu karena harus kehilangan rumah?" Netra Risa berembun, siapa yang pernah menyangka jika cobaan bisa sepahit ini. 

"Aku tahu, Tante, tapi dibanding malu, aku lebih mengkhawatirkan Ayah. Dia tidak tahan dingin dan musim hujan sudah dimulai."

Tanpa ada aksara yang terucap, lengan Risa langsung merengkuh sosok bijaksana. Entah dari mana Vika mendapat kekuatan. Akan tetapi, kebijaksanaan melekat kuat di hati yang tidak memiliki celah untuk menyimpan dendam. Tangisnya pecah, orang dewasa yang seharusnya menjadi tiang sandaran, justru berderai air mata. 

"Kenapa Tante nangis?" tanyanya polos. 

"Kamu yang kenapa." Jemari berkutek orange itu naik, membelai rambut Vika yang terurai. "Vivi, kamu itu masih kecil, tidak perlu menyembunyikan perasaan seperti itu."

"Tidak, Tante. Jika aku tidak kokoh, bagaimana bisa menguatkan keluarga? Tante jangan merasa sedih, kalau nangis terus, nanti aku ikutan nangis!"

Tutur si keponakan tercinta menghentikan laju isak. Risa menyeka sisa air di tepi netra lalu tersenyum. Sungguh dirinya bersyukur karena memiliki keponakan semanis itu. 

'Tenanglah, Tante. Vika pasti akan membangun rumah baru agar kita bisa tinggal bersama,' gumam sang gadis tanpa suara.

***

Sinar menembus genting kaca, rumah itu sesak oleh kenangan. Namun, kondisi pelik memberi rasa tidak berdaya. Risa berdiri, hendak melanjutkan pekerjaan yang belum dimulai. Klaskon telah menggema, taksi online yang dipesan setengah jam lalu, akhirnya sampai. 

Dirahnya tas dan memasukkan gawai ke dalam. Vika pun meninggalkan sebuah kecupan pada punggung tangan sang tante. Lega. Kini Risa dapat berpamitan dan mengarungi hari berteman damai. Sebelum memasuki taksi, ia melambai, Vika masih menunggui di depan pintu. Setelah tantenya pergi, gadis memilih masuk. Dipikirkannya ulang semua hal dan mulai membereskan rumah. Biar kata hatinya memar, tidak ada alasan untuk menambah keruh pikiran orang tua. 

Vika mulai menyapu, tiap sudut tidak luput dari sapuan. Selanjutnya, lantai berkeramik cokelat itu dipel. Anak sulung Aris besimpuh sambil memeras kain perca lalu kembali menggosoknya. Lelah dirasakan, keringat sesekali menetes, mengharuskan untuk menyeka dengan lengan. Pada pertengahan aktivitas, terdengar suara bising. Gadis dengan tubuh memal itu meletakkan kain pada ember dan berjinjit untuk mencari asal suara. Dipandanginya dengan seksama hingga menemukan gawai yang tergeletak di meja, memunculkan sinar. Di sana, terdapat tulisan panggilan masuk dari sang nenek yang tidak pernah berkunjung sekali pun.

"Assalamualikum, Nek." Gembira sangat dirasakan. Jarinya sampai gemetar dikala mengangkat panggilan yang tidak pasti didapat setiap tiga bulan sekali.

"Waalaikumsalam. Di mana si Aris?" tanya seseorang di seberang.

"A--ayahku sedang pergi, apa Nenek sehat?"

"Sehat. Tapi mau pergi ke mana sepagi ini?"

"Ayah sebentar lagi akan pulang. Nanti Vika akan sampaikan pesan Nenek. Jadi, Nenek bisa bicara padaku dahulu." Vika menggeser posisi gawai. Sekarang tangan kirinya bergantian mendekap alat komunikasi. 

"Tidak perlu! Aku akan telepon nanti saja."

Wanita tiga per empat baya itu sama sekali tidak menunjukkan ekspresi ketertarikan pada cucu sulung. Sejak masih kecil, Vika hampir tidak mendapat kasih sayang dari orang tua Aris karena alasan yang belum diketahui. Padahal, seperti cucu lain, gadis SMA itu juga memimpikan sosok nenek penuh kasih yang memberi dongeng di siang hari.

"Nenek, apa boleh aku bicara pada Adik?"

"Dia sedang tidur," sahutnya. 

Alasan itu memang terdengar masuk akal. Akan tetapi, di sembilan panggilan terakhir, selalu muncul kalimat tersebut. Vika pun hanya bisa mempercayai dengan setengah hati.

"Kakak, aku di sini!" teriak anak bungsu Aris. Dirinya tahu jika sang nenek tengah bicara pada keluarga yang jarang ia temui. Alhasil, direbutlah gawai yang tergenggam dan berlari menjauh.

"Amora? Bagaimana kabarmu?" Si kakak terkejut sekaligus bahagia mendengar suara manis yang mengalahkan anggur.

"Baik. Kakak bagaimana?  Aku sangat merindukan kalian, kenapa tidak pernah berkunjung?" Terdengar bentakan dari sang nenek yang tidak terganggu.

"Kami pasti akan berkunjung. Kamu jangan lupa, ya, selalu doa kan Ayah agar sehat."

"Pasti. Pasti aku doakan, Kakak juga harus selalu sehat!" balasnya. "Maaf, Kak. Aku harus pergi les. Bye-bye."

Amora mematikan panggilan.

Bibir Vika terhiasi lekuk manis di antara dua lesung yang mengapit. Tidak disangka jika hari ini berkesempatan bicara pada anggota keluarga yang sangat dirindukan.

Berkat sifat keras ibu Aris, kakak dan adik itu terpisah oleh tembok kokoh yang tidak tertembus. Namun, itu tidak pernah membuat kasih di hati keduanya berkurang, justru kerinduan selalu mekar tiap saat. Keduanya juga selalu mengirim doa menjelang tidur.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status