Galuh menerima hadiah dari Alfa dengan kikuk, sementara sang kakak angkat hanya memamerkan senyum tipisnya. Beruntung Alfa memiliki karakter cool, irit ngomong dan segala sifat yang dimiliki oleh kulkas dua pintu, sehingga menyamarkan ketidaksukaan Alfa pada Galuh.
“Makasih, Gus,” ucap Galuh lirih. Dia menatap kerudung motif segi empat berwarna hijau toska pemberian sang kakak angkat. Ada keharuan yang menyelimuti hati Galuh. Meski sikap Alfa padanya memang bisa dikatakan kurang bersahabat, tapi kakak angkatnya memang selalu memberinya hadiah kemana pun dia berada. Dan bagi Galuh itu sudah cukup, dia tak akan meminta lebih.“Buatku mana Mas?” rajuk Alwi.Alfa menatap adik sepupunya, “Bukannya sudah tak kasih banyak?”“Kurang.”“Kamu gak minta aku beliin jilbab kayak Galuh kan?”“Astaghfirullah, ya gak gitu juga ngasih hadiahnya, Mas!” pekik Alwi sementara yang lain hanya tertawa mendengar celetukan Alfa yang lucu. Ya lucu karena saat mengatakannya, ekspresi muka Alfa adalah tanpa ekspresi cenderung datar dengan suara yang datar juga.“Aih nyebelin sumpah.”Alwi memanyunkan bibir dan memilih memakan kacang rebus yang ada di meja ruang tengah. Sementara itu, Kyai Baihaki, Bu Nyai Khomsah dan Bu Nyai Latifah terus mengobrol. Alfa sendiri hanya sesekali ikutan ngobrol, selebihnya dia hanya menyimak. Alwi sendiri kadang-kadang ikut nimbrung obrolan namun mulutnya tak berhenti mengunyah makanan. Galuh? Dia lebih banyak diam dan menunduk.Kehangatan keluarga Kyai Baihaki terinterupsi dengan kehadiran Jauza dan kedua orang tuanya. Kyai Baihaki menyambut hangat keluarga adik sepupunya. Mereka pun mengobrol bersama, Galuh dengan sigap menyiapkan tambahan minuman dan setelah itu undur diri dari ndalem, karena dia merasa tugasnya sudah selesai.Sampai di kamarnya, Galuh menatap kerudung yang diberikan Alfa dengan air mata berlinang. Hatinya terasa sakit menyadari rasa yang sejak remaja dia sadari telah tumbuh untuk Alfa kembali menguncup dan mulai bersemi. Padahal Galuh sudah mencoba melupakan cinta pertamanya kepada sang kakak angkat, ternyata? Dia gagal total.“Lupakan cinta ini, Galuh. Lelaki itu tak mencintaimu, bahkan keberadaanmu saja tak ia sukai. Semua yang ada padamu tak ia sukai. Sudahlah Luh, jangan mewek, lupakan cinta ini. Cinta itu kata haram buat kamu.”Setetes air mata Galuh jatuh menimpa ujung jilbabnya. Galuh mendongak, berharap air matanya tak jatuh lebih banyak. Dia tak mau menangis, baginya tangis adalah kekalahan. Dan dia tak mau kalah. Meski seluruh dunia mengacuhkannya, menghinanya dan menganggap keberadaannya tak penting, dia tak mau hancur lebur. Tidak!Galuh mengusap bekas air mata yang masih membekas di area mata dan pipi. Dia segera membuka sebuah koper kecil, lalu memasukkan kerudung pemberian Alfa di sana. Galuh menatap banyak kerudung yang lain, yang semuanya adalah pemberian Alfa juga. Total ada lebih dari dua puluh belum lagi ada tasbih, sajadah dan lain-lain. Galuh tersenyum miris, menyadari dia tak pernah memakai pemberian sang kakak.“Gimana bisa aku pakai, kalau kamu ngasihnya aja kayak gak ikhlas, Gus,” lirihnya.Galuh menutup kembali koper miliknya, kini dia memilih duduk sambil menyandar di tembok. Berpikir bagaimana caranya bisa segera pergi dari tempat ini. Dia sudah merasa tak nyaman. Entahlah, sejak dulu, menatap Alfa hanya akan membuatnya berdebar, gelisah dan takut menjadi satu rasa.“Entah bagaimana nasibku kelak, aku pasrah ya Allah.”Jika Galuh sedang merenung di kamarnya, Jauza justru sedang khawatir dengan tema obrolan sang abah dan Kyai Baihaki yang sudah menjurus ke pasal jodoh. Ayahnya bahkan terang-terangan menanyakan pada Alfa apakah Alfa sudah punya calon apa belum. Pertanyaan yang langsung membuat Jauza diam karena kaget dan juga rasa takut yang mendominasi. Jauza melirik pada Alwi yang dalam mode giling kacang rebus. Alwi tampak cuek dan fokus makan. Jauza melirik ibunya yang terlihat antusias juga, Jauza jadi memilih menunduk dan berdoa semoga saja kakak sepupunya sudah punya calon.Sejalan dengan Jauza, Bu Nyai Latifah juga terlihat khawatir. Karena dia juga sangat berharap Jauza menjadi menantunya.“Alhamdulillah, Alfa sudah punya Pak Lik, doakan bulan depan mau melamar.” Ucapan Alfa bagai oase bagi Jauza. Dia tersenyum simpul, Bu Nyai Latifah juga terlihat lega.Hal yang berbanding terbalik dengan wajah kedua orang tua Jauza.“Oh, begitu, selamat ya Alfa,” ucap Ayahnya Jauza seakan ada nada tak rela, pria yang dia harapkan ada jodoh dengan sang putri malah melipir ke lain hati.“Makasih, Pak Lik.”Setelah ungkapan Alfa kalau dia sudah punya calon, membuat suasana yang tadinya terlihat hangat jadi sedikit kaku. Kyai Baihaki dan Bu Nyai Khomsah sadar jika kedua orang tua Jauza jadi lebih banyak diam dan tak sehangat ketika pertama kali datang. Alfa pun merasakan demikian namun dia cuek, ya mau gimana lagi orang dia gak suka sama Jauza kok dipaksa.Setelah dirasa cukup bertandang, keluarga Jauza pamit. Sebelum pamit, Kyai Baihaki membisiki telinga sang adik dan mengucap kata maaf karena tidak bisa menyambung tali kekeluargaan lebih erat lagi dengan adik sepupunya.Ayah Jauza yang paham pun hanya mengatakan ‘tidak apa-apa, mungkin belum jodoh’ membuat dua bersaudara sepupu saling tersenyum sebagai tanda pemahaman.Keluarga Kyai Baihaki mengantar keluarga Jauza hingga mobil mereka menghilang di balik pagar. Bu Nyai Latifah langsung pamit dan menyeret sang anak.“Umi, Alwi masih betah di sini, mau ngobrol sama Mas Alfa.”“Halah, besok lagi, temani umi.”Dengan sedikit menyeret sang putra, Bu Nyai Latifah berhasil membuat Alwi memutar kunci motor, membonceng ibunya dan mereka pun pamit pulang setelah sebelumnya mengucap salam. Ketiga anggota keluarga pun segera masuk ke dalam rumah.“Kamu sudah yakin mau melamar Nak Shadiqah bulan depan, Al?” tanya Kyai Baihaki serius begitu mereka sudah berada di dalam rumah, duduk nyaman di ruang tengah.“Insya Allah Bah.”“Sudah sholat?”“Sudah.”“Hasilnya?” cecar Kyai Baihaki.Alfa diam, dia tak langsung menjawab.“Alfa.” Sang Abah kembali bertanya pada putranya, pandangannya terasa menghujam hingga menembus jantung Alfa.“Kalau Alfa gak yakin, Alfa gak mungkin melamar, Bah," ucap Alfa dengan sorot keyakinan.“Baiklah, abah pegang keyakinan dan tekad kamu. Asal apa pun hasilnya, kamu harus berani tanggung resiko.”Alfa mengangguk dan berusaha tersenyum. Namun ketika sang abah dan sang umi sedang berbincang-bincang, tatapan Alfa terlihat kelam. Dan beberapa detik kemudian menjadi semacam amarah.***Galuh sedang sibuk menyusun agenda kegiatan untuk perayaan ulang tahun MA Al Kautsar di perpustakaan sekolah. Dia tampak fokus sekali sampai tak menyadari di depannya ada sosok Alfa yang menatapnya dengan tatapan tajam.“Ekhem!”Suara deheman membuat Galuh kaget dan refleks mendongak.“Gus. Ada apa?"“Ikut saya!”Alfa berbalik dan menuju ke luar perpus dan menuju ke ruang pertemuan, Galuh menghembuskan napasnya pelan. Dia sudah yakin kalau dia pasti akan terkena semprot dari Alfa. Dan benar saja, begitu dia duduk di depan Alfa dan terhalang meja, Alfa sudah mencecarnya dengan banyak pertanyaan dan juga omelan tentang rancangan kegiatan yang dia susun untuk acara ulang tahun MA. Galuh hanya mengucap maaf berkali-kali dan mendengarkan saja semua omelan yang keluar dari mulut Alfa.‘Anggap saja burung sedang berkicau, Luh. Mau kamu jadi bidadari bagi Gus Alfa kamu tuh kayak Memedi, Kunti, Setan, Nini Lampir, udah jangan masukin hati.’“Ngerti apa yang saya maksud kan?”“Nggih Gus, semoga saya gak salah lagi.”“Harus! Masak ustazah gak mudeng-mudeng?”“Ya mau gimana lagi, Gus. Mungkin karena saya lulusan UT, makanya gak pinter gak kayak ustazah yang lain,” jawab Galuh kalem.“Jadi besok-besok kan Gus Alfa yang sudah ngambil alih semua lini di pondok dan sekolah, sudah bisa memulai perombakan dengan mendelete saya dari semua lini. Dari kurikulum, kepanitiaan, PMR, Pramuka dan Olimpiade Sains. Saya kan kata guse, gak punya kemampuan, jadi buat apa dipertahankan. Ya kan Gus? Saya kan bodoh!” lanjut Galuh, menyerang Alfa balik namun dengan tutur kata lembut namun menusuk.Glek. Alfa diam saja, dia tak bisa bersuara. Alfa menatap gadis di depannya dengan tatapan nyalang sementara Galuh balas menatap dengan tatapan sayunya.“Saya kan bukan murid berprestasi jadi gak akan bisa menghasilkan anak-anak berprestasi, jadi singkirkan saya saja Gus, gampang kok!”Galuh kembali tersenyum. Alfa membanting proposal di depannya dengan keras, dia pergi begitu saja tanpa bisa membalas ucapan Galuh. Galuh sendiri masih duduk diam di kursinya. Semalaman merenung, membuatnya berpikir untuk tidak mau lagi ditindas. Tidak! Jika pun dia akan terusir dari Al Kaustar, akan dia pastikan dia tak akan ditindas dan diperlakukan semena-mena oleh Gus Alfa, tidak akan pernah.Alfa sendiri keluar dari gedung MA dengan kemarahan luar biasa. Dia berdiri diam agar kemarahannya tak kentara. Namun justru tatapannya jadi tertuju pada deretan pohon angsana di sekitar lapangan MA. Bayangan sekelebat wanita berkerudung hijau toska kembali mampir di kepalanya. Alfa menggelengkan kepala.“Bukan dia! Bukan,” desis Alfa.Alfa memilih segera meninggalkan halaman MA namun lagi-lagi Alfa menoleh ke arah rimbunan pohon angsana.“Gak! Gak boleh! Masa dia, gak mungkin. Ini cuma bujukan setan, bukan. Bukan dia,” gumamnya.Alfa segera melajukan motornya meninggalkan halaman MA.Galuh, Ibu Anjani dan kedua orang tua Zahra menatap Zahra dengan tatapan kesedihan. Mereka benar-benar tak menyangka acara yang niatnya Zahra hadiri untuk bisa berjumpa dengan kawan lama, malah berakhir dia pingsan akibat obat bius yang dia konsumsi cukup banyak."Zahra gak papa, kan Pak?""Kata dokter gak papa, Bu. Sebentar lagi pasti dia sadar.""Jahat sekali mereka. Gimana dengan Fairuz ya, Pak?""Alfa sedang mencarinya. Kamu tenang saja. Kemarin saja dia berhasil menemukan Fay, sekarang pasti juga bisa."Aiman berusaha memberikan ketenangan untuk sang istri sementara Galuh sejak tadi hanya diam saja. Ada rasa khawatir dalam hatinya. Namun, dia tidak bisa membantu apa pun selain mendoakan keselamatan sang putri.Sementara itu, Alfa dan beberapa anggota polisi yang dia mintai tolong tengah melaju membelah arus jalan untuk menemukan Fairuz. "Alfa, kamu yakin, mereka ada di sana?" tanya Aba Faris yang juga ikut dalam usaha menemukan sang cucu."Iya, Ba. Meski mereka berusaha mengecoh
Zahra yang sudah selesai sholat sedang menggunakan kaos kaki sementara Fairuz berada di sampingnya sambil sesekali berceloteh. Zahra dan yang lain memutuskan sholat terlebih dahulu di salah satu masjid yang dilewati ketika jam menunjuk ke arah empat sore. Kebetulan kompleks masjid dekat dengan alun-alun kecamatan. "Onty, Fay mau beli cilok."Fairuz segera berdiri dan menggunakan sandalnya. Dia berlari menuju ke pedagang cilok yang mangkal di area halaman depan kompleks masjid tempat Zahra dan yang lain menunaikan sholat ashar. Karena pedagang itu dikerumuni banyak pembeli, Fairuz mau tak mau antri. Zahra yang sudah selesai memakai kaos kaki dan sandalnya, segera ikut menghampiri. Dia dan Fairuz dengan sabar menunggu antrian. Alwi yang melihat tingkah Fairuz dan Zahra berdecak kesal. "Malah jajan. Apa masih kurang tadi makannya di Rita. Gak tahu apa aku udah capek pengen segera rebahan di kasur," gerutu Alwi yang didengar oleh dua kang dalem. "Biarkan saja Gus. Toh tinggal pulang
Alwi mengusap peluh dari dahinya. Hari itu, panas terasa menyengat meski matahari belum tepat di atas kepala. Ia baru saja keluar dari kantor Badan Pertanahan, membawa map cokelat berisi dokumen ganti rugi tanah milik warga yang akan dilewati proyek jalan tol. Prosesnya melelahkan, tapi berakhir membahagiakan. Ya melelahkan bagi yang membantunya, sebab Alwi dan sang umi hanya terima beres. Semua diurusi oleh Alfa. Berkat Alfa, dia dan sang ibu mendapatkan kompensasi yang menguntungkan untuk tanah warisan sang abah. Mau tak mau dia harus mengakui relasi sang kakak sepupu maupun kemampuannya dalam bernegosiasi. Dan kalau sesuai adab kesopanan, Alwi dan sang umi harusnya berterima kasih kepada Alfa. Tapi berterima kasih? Enak saja. Tidak ada dalam kamus Alwi setidaknya untuk saat ini. Saat hatinya masih diselubungi rasa iri dan cemburu. Alwi menoleh ke beberapa orang yang mengalami nasib sama dengan dia. Beberapa ada yang marah, ada yang menangis, dan ada pula yang terlihat bahagia.
Kabar kebakaran di rumah Bawazier telah sampai ke telinga Alfa dan keluarganya mendekati bada dhuhur. Alfa segera mengkonfirmasi pada Aidan yang juga sudah mendapat berita lebih dulu."Diduga sebagai upaya pembunuhan. Korban berjumlah depalan orang. Tiga pembantu wanita, satu tukang kebun, dua satpam, dan dua orang yang diduga Bawazier dan Hasina. Hanya saja, ini yang masih perlu dikonfirmasi apakah benar Hasina apa bukan. Sebab, setelah kejadian Fairuz terluka, dia sudah diceraikan oleh Bawazier. Hasina juga sudah diusir dari rumah," ucap Aidan dari seberang telepon."Apa menurutmu wanita yang ditemukan di kamar Bawazier bukan Hasina?""Bisa iya bisa bukan. Tergantung hasil Tes DNA.""Hasil Tes DNA kapan keluarnya?""Tergantung. Tapi bisa kemungkinan cepat. Mengingat keluarga Bawazier termasuk keluarga kaya raya pun Hasina.""Semoga saja ada titik terang.""Iya semoga saja."Aidan dan Alfa terus mengobrol cukup lama. Sebelum mengakhiri percakapan, Aidan meminta Alfa untuk tetap waspa
Galuh memeluk sayang sang putri, beberapa kali dia menciumi pipi Fairuz dengan sorot mata yang sendu."Mereka jahat sekali," bisiknya lirih.Sebuah pelukan melingkar di perutnya. Galuh sedikit menoleh tapi tidak mengubah posisi rebahannya. Kecupan hangat mendarat di keningnya, diikuti usapan lembut di perut."Kalian baik-baik saja, kan?""Kami baik. Njenengan?""Sudah lebih baik. Bisa meluk kamu, dedek di perut baik-baik saja dan melihat Fay bisa tertidur lelap, membuatku tenang."Alfa kini ikut merebahkan diri di samping sang istri. Dia tak banyak bicara, hanya diam. Galuh pun paham jika suaminya pasti terlalu lelah. Dengan perlahan dia berbalik dan menghadap ke sang suami. Galuh menyerukkan wajahnya di dada bidang sang suami. Mencari kenyamanan yang selalu dia dapatkan. "Tidurlah. Kamu pasti capek.""Mas pasti juga sama capeknya. Jadi, ayok kita tidur."Alfa mengulas senyum tipis, mengecup kening sang istri lagi dan mengeratkan pelukan. Setelah melafalkan doa, Alfa mencoba tidur. S
Alfa menatap putri kesayangannya dengan air mata berlinang. Putrinya yang datang secara tiba-tiba di saat dia kehilangan Galuh. Penyejuk hatinya, pelipur laranya, kini terbaring dengan mata yang masih tertutup. Meski tidak membahayakan nyawa, tetap saja pukulan-pululan yang Fairuz terima dari Hasina, membuat gadis cilik itu tak berdaya. Mana ada beberapa luka sayat yang harus diterima Fairuz juga. Sungguh ingin sekali Alfa juga membalas Hasina seperti yang dia lakukan pada Fairuz."Kejam sekali. Padahal Fay cuma gadis tiga tahun yang gak ngerti apa-apa," lirih Alfa sambil membelai rambut sang putri."Padahal di rumahku dia layaknya Tuan Putri yang selalu kujaga dengan sepenuh hati. Abah sama Umi bahkan sayang banget sama Fay. Udah nganggap cucu kandung. Tapi ... sama kakek nenek kandung, Fay malah disiksa."Alfa mengusap kepala sang putri, lalu membelai ke arah pipi, dahi, di mana luka-luka lebam dan sayatan tampak di wajah cantik Fairuz. "Aku pengen hajar wanita tua itu, Mas. Sumpah