Share

5. Dianggap Musuh

Galuh masih shock. Dia diam saja dalam posisi bak ala-ala aktris dan aktor Korea yang sedang melakoni drama romansa. Sayangnya antara Galuh dan Alfa bukannya terlibat dalam sebuah romansa, yang ada keduanya terikat pada realita ya realita. Terutama setelah kata-kata pedas dari sang pria, langsung menyadarkan Galuh untuk kembali menapak ke bumi jangan ke dunia mimpi apalagi halu.

"Kamu mau melakoni adegan macam ginian sampai kapan?" Suara Alfa terdengar sinis membuat Galuh meringis dan segera bangkit, melepaskan diri dari cekalan tangan Alfa.

"Hehehe, Gus." Galuh mencoba memberikan senyum seindah melati sewangi Kasturi. Sayang segala bentuk tindak tanduk Galuh tidak diapresiasi.

"Hehehe, ha he ha he, ceroboh! Kamu mau nambah usia berapa pun tetep ceroboh," sinis Alfa.

"Maaf, Gus."

Galuh menunduk, sementara Alfa masuk ke dalam rumah. Baru tiga langkah, Alfa berbalik.

"Bawain koperku, tuh udah diturunin sama sopir grab," titah Alfa dengan suara ketus.

"Nggih, Gus."

"Taruh depan kamar, jangan masuk!"

"Nggih, Gus."

"Hati-hati, jangan ceroboh lagi!"

"Nggih."

Galuh hanya menunduk sementara Alfa sudah kembali berjalan. Begitu sosok Alfa sudah tak terlihat, Galuh menghembuskan napas lega, dia segera berbalik dan menuju ke halaman, tempat dimana koper Alfa berada.

Sampai di sana, Galuh hanya bisa melongo melihat banyaknya barang yang dibawa Alfa. Satu koper besar dan dua tas ransel besar. Belum lagi satu tas jinjing besar. Galuh menarik napas sebentar dan menghembuskannya. Lalu dia pun langsung mengaitkan satu ransel di kedua bahu kanan kirinya. Dan tas jinjing dia bawa dengan tangan kiri, sementara tangan kanan menyeret koper. Dia berjalan dengan tertatih-tatih menuju ke kamar Alfa yang ada di dekat perpustakaan. Galuh bersyukur, rumah orang tua angkatnya berlantai satu, bukan dua apalagi tiga.

Suara renyah Bu Nyai Khomsah di teras belakang menjadi bukti kalau Alfa dan kedua orang tuanya baru saja bertemu dan sedang melepas kerinduan. Seulas senyum terbit di bibir Galuh namun senyum itu segera surut menyadari posisinya saat ini sudah tak aman. Dan sebentar lagi, sang pangeran pasti akan membuatnya merasa tersingkirkan seperti biasanya.

Sejak dulu, Alfa tak pernah menyukai Galuh. Meski sikap Alfa cenderung cuek dan tidak pernah mengajak konfrontasi langsung, tapi Galuh tahu, jika Alfa tak menyukainya. Perasaan yang kian terlihat saat Galuh berhasil menyabet juara kelas saat dia masih kelas satu SD. Sejak saat itulah Galuh memilih tidak menunjukkan bakatnya. Dia memilih dianggap bodoh, makanya memilih kuliah di UT. Namun, untuk urusan hapalan Quran dan kitab, Galuh selalu menunjukkan usaha yang mati-matian agar semua orang terutama Alfa tahu kalau meski dia bodoh, dia adalah orang yang pantang menyerah.  

Galuh bersyukur, rentang usia mereka yang berjarak tiga tahun, menyebabkan keduanya jarang berinteraksi di sekolah. Bahkan semenjak MTs, Alfa sudah mondok di Jombang. Menyebabkan Galuh tidak perlu sering bertemu Alfa, dan tak perlu merasa tertekan.

“Sabar ya, Luh. Suatu hari nanti pasti akan ada yang mau menikahi kamu dan membawamu pergi dari sini, dan Gus Alfa gak perlu lagi mendeliki kamu, tiap ketemu,” gumamnya lirih diantara usahanya membawa barang bawaan milik Alfa.

Galuh sudah selesai membawa barang-barang Alfa di depan kamarnya. Dia kemudian berjalan kembali ke ruang tengah. Galuh tersenyum menyadari Alfa masih di belakang bersama kedua orang tuanya. Galuh ingin sekali menghidangkan teh, kopi atau sajian apa pun untuk kakak angkatnya. Namun urung karena sadar, justru tingkahnya akan diartikan oleh Alfa sebagai ajang cari muka pada kedua orang tuanya.  

Merasa jika niat baiknya akan selalu salah di mata Alfa, Galuh memilih menyingkir saja menuju ke pondok. Tempat paling aman untuknya, saat ini dan untuk waktu-waktu yang akan datang. Karena keberadaan sang pangeran pondok akan semakin membuatnya tersingkir.

Di teras belakang, Bu Nyai Khomsah dan Kyai Baihaki masih melepas rindu dengan sang putra. Sesekali terdengar tawa ketiganya.

“Kamu sudah makan, Nang?”  

“Sudah Umi.”

“Mau tak buatkan minum?”

“Gak usah, Alfa mau langsung mandi dan istirahat.”

“Ya sudah, tak minta Galuh buat masakin makanan kesukaan kamu saja.”

“Gak usah Umi, Alfa gak pengin makan apa-apa, beneran.”

Satu hal yang Alfa hindari sejak dulu adalah bersinggungan dengan adik angkatnya. Meski tak pernah menunjukkan kebencian secara langsung, tapi Alfa memang tidak menyukai Galuh. Bagi Alfa, Galuh adalah perebut kasih sayang kedua orang tuanya untuk Althafunisa, adiknya yang meninggal ketika berusia satu tahun. Ego Alfa selalu tidak bisa menerima, jika kedua orang tuanya dengan mudahnya melupakan kesedihan ditinggal Althaf, gara-gara Galuh. Alfa tak mempermasalahkan Galuh adalah anak pungut atau statusnya yang tidak jelas. Dia tak sepicik itu, tapi intinya dia tak menyukai Galuh karena menurut dia, Galuh adalah alasan kedua orang tuanya melupakan sang adik, itu saja.

“Oh, ya sudah.”

Alfa memberikan senyum manisnya lalu berjalan menuju ke kamar. Sampai di depan kamar, Alfa tertegun. Dia pikir galuh masih OTW mengangkut tasnya satu per satu, ternyata semuanya sudah berada di depan kamarnya.

“Ck, paling dia minta tolong sama santri atau mbak khadamah. Makanya cepat.”

Alfa membawa satu per satu barang miliknya ke dalam kamar. Dia membiarkan saja barang-barang miliknya bergeletakan di samping ranjang. Alfa memutuskan akan membereskan nanti saja setelah rasa letihnya berkurang.

***

Kesibukan di kediaman Kyai Baihaki tampak begitu kentara. Lalu lalang tamu berdatangan demi bisa bertemu dengan sang putra mahkota dari pondok Al Kautsar.

Alwi sangat senang sepupunya pulang, dia bahkan sampai menghabiskan satu malam tidur di kamar sepupunya. Berbagi cerita dan bercanda seperti biasa. 

Kedatangan Alfa juga menghebohkan dunia para santriwati maupun ustazah yang mengajar di MTs maupun MA-nya. Rata-rata mengagumi ketampanan sosok Alfa. Ratna termasuk yang ikut heboh. Dimana pun dia berada, topik obrolan tak jauh-jauh dari Alfa, Alfa dan Alfa lagi. Galuh sampai harus tutup kuping saking bosannya mendengarkan pembicaraan sang sahabat tentang pangeran pondok. Seperti saat ini, saat keduanya sedang sibuk memasukkan snack ke dalam kardus untuk dibagikan pada peserta pengajian rutin di malam minggu.

"Luh, Gus Alfa tambah ganteng ya? Duh! Udah punya calon belum ya? Aih, jadi pengen jadi istrinya. Huwaaa." 

Galuh hanya menanggapi celetukan sahabatnya dengan senyum tipis. Namun tangannya tetap lihai menata dan memasukkan camilan ke dalam kardus.

"Luh."

"Hem."

"Kamu gak ada minat gitu buat—"

"Dia kakakku. Kakak angkatku, kayak Gus Alwi. Udah titik dan please jangan dibahas. Cukup aku sudah sering jadi buah bibir yang enggak-enggak di sini, tolong jangan ditambahi. Oke!" Ada binar permohonan di mata Galuh membuat Ratna hanya bisa mengangguk. 

Tentu saja Ratna tahu. Ratna adalah satu-satunya orang yang menjadi tempat Galuh berbagi cerita, kesedihan, tangisan dan semua hal. Semua rahasia Galuh, Ratna lah yang pegang.

"Kamu kok kuat ya Luh," celetuk Ratna tiba-tiba.

"Karena aku gak punya tempat lain lagi, Ratna. Aku belum menemukan rumah yang lain. Dan entahlah, mungkin aku gak akan pernah menemukan rumah mana pun buat aku tinggali," lirih Galuh.

Ratna yang mendengar suara Galuh bisa menangkap ada nada kegetiran, putus asa dan kekecewaan. Ratna tak bisa berkata-kata. Yang dia lakukan hanyalah mengatakan kalau bagiamana pun keadaan Galuh, dia akan tetap menjadi sahabat Galuh. Dalam suka maupun duka. 

"Makasih," ucap Galuh tulus.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Onycha Shanum
jan kasih kabur ni cerita novel bagus pk bngt
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status