Bukan hanya sekali ini Aisha mengajak Adrian makan di restoran Syahlana. Hampir setiap beberapa hari sekali. Makan siang atau makan malam. Setiap kali itu juga, Aisha selalu menyertakan Syahlana dalam obrolan mereka. Lama-lama, Adrian bisa membaca niat Aisha.
"Sha, jujur sama aku. Apa tujuan kamu?" Akhirnya pertanyaan itu terlontar pada istrinya.
"Tujuan apa sih, Mas?" Aisha balik bertanya demi menghindari prasangka. Demi mengamankan niat sesungguhnya. "Kan makanan di sana lezat. Aku sendiri gak pandai masak. Jadi, gak ada salahnya dong, aku ngajakin kamu makan di sana."
"Tapi ini keseringan loh. Seminggu, kita bisa tiga kali makan di sana. Pernah gak, sekali aja kamu ngajak ke restoran lain, kalau emang tujuannya buat makan aja?" Rupanya Adrian begitu teliti mengamati gerak-gerik Aisha.
Aisha mendesah. Belum saatnya ia mengungkapkan yang sebenarnya. "Ah, kamu nih, kebanyakan mikir ke mana, sih? Menu di restorannya Syahlana itu banyak. Banyak juga yang belum aku cobain, makanya sering banget dateng ke sana. Udahlah, gak usah mikir yang aneh-aneh."
"Ya udah, kalo kamu gak mau terus terang. Lain kali, aku gak mau makan di sana lagi." Sebenarnya apa yang Adrian hindari? Dirinya juga tidak mengerti.
Aisha tidak peduli. Ia harus memuluskan rencananya.
Suatu hari.
Rosana menghubungi Syahlana melalui telepon. "Sayang, akhir pekan ini sibuk, gak?"
"Engga juga, Tante. Kenapa?" tanya Syahlana.
"Tante mau undang kamu dateng di makan malam di rumah kami. Dateng, ya?"
"Insya Allah, Tante. Boleh Lana ajak adik?"
"Boleh banget."
Rosana masih melanjutkan rencanaya mencari calon istri kedua buat Adrian, agar bisa memberikan keturunan pada keluarga Sudiro. Kandidat terkuatnya saat ini adalah Syahlana.
"Ian, malam minggu besok jangan ke mana-mana. Mama mau ngenalin kamu sama anak temen Mama."
"Astaga. Mama masih aja dengan rencana itu?" keluh Adrian.
"Masih. Mama sangat mendambakan cucu, Ian. Kamu jangan merusak harapan Mama. Bisa, kan?"
"Tapi, Ma..."
"Kalau memang Mama gak diizinkan punya cucu, buat apa hidup lebih lama dengan membosankan? Lebih baik Mama mati aja."
"Ma, jangan ngomong begitu. Bukankah Adrian udah setuju untuk menikah lagi. Cuma, apakah ini gak terlalu cepat?"
"Kamu mau tunggu sampai kapan? Mama sudah tua. Entah kapan hidup Mama akan berakhir dimakan usia. Lebih cepat, lebih baik, bukan?"
Aisha mendengar perdebatan antara Adrian dan Rosana di ruang keluarga. Suaranya keras, sampai terdengar ke kamarnya di lantai dua. Mama mau ngenalin Adrian ke siapa? Aisha tidak boleh telat langkah. Ia buru-buru menelepon Syahlana.
"Lana, akhir pekan ini ada acara gak?" tanya Aisha.
"Ada, Sha," jawab Syahlana. "Emang kenapa?"
"Rencananya mau ngajakin jalan. Sebenernya pengen ke salon. Kita me time gitu, loh." Aisha menjelaskan.
"Waduh, kamu telat, Sha. Aku udah terlanjur ada janji sama orang. Kapan-kapan aja gimana? Gak mesti akhir pekan juga bisa."
Aisha benar-benar terlambat. Syahlana mungkin sibuk dengan orang-orang di restorannya pada akhir pekan. Semoga saja, Adrian bisa menolak wanita pilihan Rosana.
Syahlana mengajak Zivara datang ke kediaman Sudiro. Rupanya rumah Rosana ini tidak jauh dari CDM. Hanya beberapa kilometer. Menyetir beberapa menit saja sudah sampai.
"Kak, kata Mama, anaknya Tante Rosana itu temen TK nya Kakak, ya?" tanya Zivara.
"Iya. Kakak juga akhirnya inget sama ini Tante," jawab Syahlana. "Mereka pindah ke Amrik, sebelum kamu lahir."
Zivara manggut-manggut. "Jangan-jangan, itu Tante, mau ngejodohin Kakak sama anaknya," seloroh Zivara.
"Gak mungkin! Kata Mama, anaknya itu udah menikah, kok."
Zivara tertawa. "Ada sodaranya, kali."
"Ih, kamu... maksain kemungkinan yang gak mungkin."
Zivara terus menggoda kakaknya yang masih saja jomblo di usia segini.
Di rumahnya, Rosana sibuk menyiapkan menu makan malam. Dibantu Sumi, asisten rumah tangga. Ia sengaja tidak memanggil Aisha. Melihat wajah menantunya itu saja sudah enggan. Tidak sebanding, bila dibandingkan dengan tamunya kali ini.
Tidak lama kemudian, tamu yang dinanti-nanti sejak sore tadi datang.
Rosana sendiri yang membukakan pintu. "Ya ampun, mimpi apa sih Tante tadi malam, didatengin sama bidadari-bidadari cantik gini?" Lalu ia memperhatikan Zivara. "Dua-duanya cantik semua. Adikmu ini persis Akasma, deh."
"Kalo Mama bilang, aku mirip sama Nenek," kata Zivara.
"Oh iya. Tante pernah lihat foto nenek kalian." Sejurus kemudian, Rosana mengajak kedua tamu cantiknya masuk ke dalam rumah. Mempersilakan duduk di ruang tamu.
Baru saja mereka duduk, keluarlah Sumi, menyajikan minuman berupa teh hangat dalam wadah cangkir kristal.
"Kalau Zivara, sibuk apa sekarang?" tanya Rosana. Agar tidak melulu menanyai Syahlana, juga agar rencananya tidak terlalu kentara.
"Kuliah aja, Tante," jawab Zivara. "Ambil hukum, kayak Mama."
"Keren, deh."
Kemudian...
"Syahlana?" Aisha terkejut melihat sahabatnya berada di rumah ini, dan merupakan tamu Rosana.
Rasa terkejut itu sedikit menghampiri benak Adrian. Memang benar, dia Syahlana, yang saat kecil merupakan anak pemberani dan melankolis. Suka membela dan menolongnya saat ditindas anak-anak lain.
"A-aisha?" Syahlana pun turut terkejut.
Lebih kaget lagi, Rosana. "Kalian sudah kenal?" tanyanya.
Syahlana tersenyum. Ia menjelaskan pada Rosana. "Sudah, Tante. Kenal dengan baik. Bahkan dengan Adrian."
Rasa terkejut Rosana diikut rasa bahagia. "Memang ya, jodoh itu bukan hanya untuk sejoli, tapi buat sahabat juga. Ian, kamu inget gak, temen TK kamu dulu? Ya, Syahlana ini. Anaknya Tante Akasma."
"Jadi, kamu Adrian yang itu?" tanya Syahlana, tanpa maksud apapun. Hanya sebagai teman lama.
"K-kamu... Syahlana yang... itu?" Adrian balik bertanya. Tetapi dirinya enggan menatap Syahlana. Apalagi matanya. Ia menghindar.
Obrolan mereka lanjut di ruang makan.
"Lana, ini Tante masak sendiri loh," kata Rosana. "Gak sebanding sama masakan di CDM."
"Ah, Tante. Semua makanan itu sebenernya lezat," ujar Syahlana. "Tergantung selera masing-masing orang."
"Kalo gitu, semoga cocok dengan selera kalian. Ayo, silakan disantap."
Rosana adalah keturunan Jawa. Asli Solo. Beliau menyajikan aneka menu makanan khas Jawa Tengah. Sebagai pembuka, ada lumpia basah.
Zivara yang paling doyan makan, berbanding terbalik dengan kakaknya yang tukang masak, terlihat begitu menikmati kue basah itu. "Ini lezat banget, Tante. Zi baru ini makan lumpia basah."
"Ayo, nambah lagi, Zi. Masih banyak. Nanti Tante suruh Sumi kemas buat bawa pulang."
"Ih, Tante, jangan repot-repot," kata Syahlana. "Zi emang gini kalau makan nomor satu."
"Gak papa, lah... Tante tuh gak ada anak perempuan. Jadi suka gitu kalau ada yang minta dimanjain." Rosana begitu mengakrabi Zivara.
Sesaat kemudian, Sumi mulai menyajikan menu utamanya yaitu Selat Solo. Sebuah hidangan khas Jawa yang memiliki pengaruh hidangan Eropa dan berasal dari Jawa Tengah, terutama kota Solo. Makanan ini terdiri dari daging sapi has luar yang direbus dalam kuah encer yang terbuat dari bawang putih, cuka, kecap manis, kecap Inggris, air serta dibumbui dengan pala dan merica.
"Oh ya, aku baru tahu loh, kalau Mas Ian dan Lana ternyata temen waktu TK," kata Aisha membuka pembicaraan. Topik itu tidak diharapkan Adrian.
"Iya, bener. Bener-bener baru hari ini tahunya."
"Cerita dong, waktu kecil Mas Ian seperti apa?" tanya Aisha.
Adrian berharap, Syahlana tidak menceritakan apapun.
"Apa, ya? Udah terlalu lama, mana ingat." Sebenarnya ada beberapa hal yang diingatnya, cuma tidak mungkin mengungkapkannya di depan Aisha.
Saat kecil, sesuatu yang paling Syahlana ingat adalah ketika suatu hari ia dan Adrian bermain di taman rumah lama keluarga Sudiro.
"Nanti kalau sudah besar, kita jadi mama dan papa. Aku papanya, kamu mamanya." Begitu kata Adrian kecil.
Syahlana kecil langsung menolak. "Gak mau! Ian kan suka ngompol!"
"Pokoknya, aku papanya, kamu mamanya!"
"Gak mau!!"
Adrian kecil menangis karena ditolak. Karena tidak tega, Syahlana pun berkata, "Iya, iyaaa. Jangan nangis, dong!"
Barulah Adrian kecil berhenti menangis. "Janji, ya?" Ia mengajak Lana melakukan janji kelingking.
Karena tidak ingin membuat temannya menangis lagi, Syahlana pun mengaitkan kelingkingnya. "Janji, janjiii...."
Tidak lama setelah itu, keluarga Sudiro harus pindah ke Amerika.
Hal ini tidak mungkin Syahlana ceritakan di depan Aisha. Walau hanya janji anak kecil.
"Kalo kamu, Mas? Ingat gak, waktu kecil Lana seperti apa?"
Apa tujuan Aisha menanyakan hal ini? "Ee, seingetku... dia pemberani tapi juga cengeng. Dia suka permen kapas. Kalau sudah makan itu, dia gak akan mau berbagi."
"Masa sih, aku gitu?" Syahlana tidak menyangka, Adrian mengingatnya.
"Ya. Seingetku gitu," jawab Adrian.
"Sampe sekarang masih, Kak!" sahut Zivara. "Kak Lana tuh rela berantem sama Zi, kalo soal permen kapas. Pelit banget."
"Ih, apaan, Zi!" tegur Syahlana.
Zivara cengengesan. Lantas ia berbisik pada kakaknya. "Dari tadi Kak Ian itu ngeliatin Kakak terus."
Syahlana tidak peduli.
Sebagai makanan penutup, Sumi menyajikan es dawet ireng, yaitu dessert khas Jawa Tengah. Es dawet ireng adalah minuman dari tepung beras berwarna hitam pekat. Berbeda dengan es dawet biasa yang berwarna hijau karena memakai daun suji, dawet yang satu ini memakai abu merang atau jerami yang alami, sehingga menghasilkan warna hitam pekat atau keabu-abuan.
Lagi-lagi, yang paling menikmati sajian itu adalah Zivara.
"Oh ya, Lana, kenapa sih, sampai sekarang belum punya cowok? Mamamu khawatir kamu gila kerja, jadi gak kepikiran menikah." Pertanyaan Rosana sekaligus ingin membuka mata Adrian, bahwa ada calon istri yang luar biasa baik.
"Belum ketemu jodohnya aja, Tante. Bukannya Lana gak mau menikah. Mama dan Papa aja yang terlalu khawatir."
"Iya sih. Suatu saat pastilah ketemu jodohnya. Lana cantik dan baik. Pasti banyak yang suka," pungkas Rosana.
Usai makan malam, mereka semua kembali ke ruang tengah.
Tidak sengaja, Zivara melihat koleksi tanaman bunga milik Rosana di teras belakang. "Wah, bunganya bagus-bagus ya, Tante. Zi boleh lihat?" Anak itu memang rada tomboi, tapi juga suka bunga seperti mamanya.
"Boleh dong, yuk, Tante kasih lihat." Rosana mengajak Zivara ke teras belakang.
Lalu, ponsel Aisha berdering. "Ini dari sepupu aku. Aku jawab dulu." Ia membawa ponselnya ke ruangan lain.
Tinggallah Syahlana dan Adrian berdua di ruang tengah.
Syahlana menyesap tehnya yang sudah dingin. Adrian duduk tidak jauh darinya. Berjarak beberapa sofa.
"Terima kasih, kamu gak cerita soal masa kecil kita tadi," ucap Adrian.
"Sesuatu yang gak penting, gak perlu diceritakan," kata Syahlana. "Apalagi jika menimbulkan perasaan tidak enak hati."
"Kamu bener."
"Maaf, aku gak langsung mengenali kamu, Ian. Wajah kamu banyak berubah."
Adrian mengangguk. "Gak papa."
Dahulu, hubungan persahabatan Adrian dan Syahlana saat kecil sangat dekat dan erat. Walau sering berantem dan rebutan sesuatu, keduanya tetaplah sahabat baik yang tidak bisa dipisahkan. Ketika keluarga Sudiro membawa putra mereka pindah ke Amerika, Adrian sempat jatuh sakit karena tidak bisa lagi bertemu dengan sahabat baiknya. Saat itu komunikasi tidak semudah sekarang. Belum ada WhatsApp, apalagi melakukan panggilan video.Kala itu, Adrian kecil sampai mengalami tantrum. Tantrum biasanya disebabkan oleh terbatasnya kemampuan anak untuk mengekspresikan perasaannya. Karena itu, mereka hanya bisa meluapkan emosinya dengan cara menangis, berteriak-teriak dan menjerit. Tidak hanya anak-anak yang masih kecil, anak yang lebih besar pun juga bisa mengalami tantrum. Begitulah yang terjadi kepada Adrian. Setiap hari tidak pernah absen mencari sahabatnya.Dengan bantuan psikolog anak di Amerika tempat mereka tinggal, yaitu di Los Angeles, Rosana dan Ramadhan mengatasinya.
Pagi itu. Adrian sengaja berangkat ke kantor agak siang. Katanya ada pekerjaan yang mesti segera ia selesaikan menggunakan laptop. Aisha tidak banyak menanyainya. Melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh, barulah Adrian mengungkapkan pada Aisha alasannya berangkat siang.Begitu mengetahui rencana Adrian, Aisha agak sebal. "Kok kamu gak bilang dari tadi sih, Mas? Tahu gitu aku kan bisa ikutan.""Biar kamu juga ikut merasakan kejutan ini," kata Adrian. "Yuk, kita mulai!" Ia mengajak Aisha menemui Rosana di teras belakang, sambil membawa sesuatu yang sejak kemarin Adrian simpan di dalam kulkas pribadinya di ruang kerja.Rosana sibuk merangkai bunga untuk hiasan baru di ruang tamu. Karena yang lama sudah pada layu. Sebenarnya ia sudah tahu ini hari apa, tetapi tidak satu pun orang di rumah mengingatnya. Dirinya merasa dilupakan. "Andai aku punya cucu, gak akan sebegini nelangsanya."Tiba-tiba..."Happy Birthda
Di kediaman Keluarga Sudiro malam itu, juga terjadi pembicaraan yang hampir sama. Bedanya, ini keluar dari mulut Aisha."Aku mengizinkan kamu menikah lagi, hanya dengan Syahlana. Aku gak akan rela jika posisi itu diberikan ke orang lain.""Engga, Sha. Jangan paksa aku menikah lagi hanya karena ingin punya anak. Aku gak bisa menyakiti hati kamu." Adrian masih menolak."Mas, demi aku, demi Mama, demi masa depan keluarga ini, gak ada yang tersakiti. Aku gak akan sakit hati. Sebenarnya udah lama aku menyiapkan hatiku. Menyiapkan Lana buat kamu. Aku mohon.""Gak bisa, aku gak bisa, Sayang..." Adrian terus menolak."Ayolah, Mas... Jangan menolak dulu. Kamu pikirin baik-baik. Kamu melakukannya bukan cuma buat aku."Adrian menggeleng."Kalau kamu cinta dan sayang sama aku, tolong lakukan. Nikahi Syahlana." Aisha terpaksa mengucapkan kalimat seperti ini. Agar Adrian berhenti menolak.Adrian mendekapnya. "Kalau kamu bilang Syahlana itu b
Persiapan pernikahan kedua Adrian dengan Syahlana dimulai. Aisha mendamping kedua calon mempelai ke pengadilan agama, guna mengurus pendaftaran pernikahan kedua ini. Tidak ada obrolan khusus antara Adrian dan Syahlana.Ketika ditanya mengenai kesiapan Adrian menjadi suami yang adil, dirinya terdiam sejenak, lalu berkata, "Saya akan berusaha seadil-adilnya."Kemudian, Aisha menandatangani persetujuan atas pernikahan kedua suaminya.Usai dari pengadilan agama, mereka mengantar Syahlana ke restoran, karena masih harus bekerja hari itu.Rupanya, setelah mengantar Aisha pulang, Adrian kembali mampir ke restoran Syahlana. Tadinya, Adrian mau mengajaknya bicara berdua di dalam ruang kerjanya. Tetapi Syahlana menolak."Kita belum sah menjadi suami-istri," katanya. Lantas ia memanggil Lia untuk mendampingi.Tetapi Adrian memintanya memakain headset agar tidak mendengar obrolan mereka dengan jelas."Tenang aja, Mas," kata Lia. "Li
Susai sholat subuh, Syahlana tidak lantas kembali tidur. Ia coba melakukan apa yang biasa mamanya lakukan saat pagi hari. Mengaji sebentar, lalu membuat sarapan. Ia memeriksa apa saja isi lemari es dan bahan makanan di dapur. Sumi melihat nyonya muda baru itu begitu sibuk di dapur. "Non, biar saya aja yang kerjakan." "Gak papa, Mbak. Kamu kerjakan yang lain aja," kata Syahlana. "Biasanya mereka sarapan jam berapa?" "Biasanya jam tujuh sudah pada siap, Non," jawab Sumi. "Karena Den Adrian berangkat ke kantro jam delapan." "Oh, oke." Karena tidak terlalu banyak bahan makanan yang bisa Syahlana temukan, ia berinisiatif memasak nasi goreng untuk sarapan keluarga ini. Dibantu Sumi. Aroma lezat makanan sampai ke indera penciuman setiap orang di rumah ini. Rosana, Adrian, juga Aisha. Saat bangun, Adrian tidak melihat istri barunya di sisi. Sepertinya, seusai sholat subuh tadi, Syahlana tidak kembali ke kamar. Ia segera
Setelah menikah ini, memang, Syahlana masih aktif di restoran, seperti saat belum menikah. Ia baru menyadari hal ini, ketika mengobrol dengan Akasma lewat video call."Meskipun istri muda, bakti dan tugasnya sebagai istri tetep sama, Lana," kata Akasma."Iya, Ma. Lana akan atur, supaya dua-duanya berjalan dengan baik," jawab Syahlana."Gimana dengan program kehamilan?" tanya Akasma."Baik, Ma. Lancar."Seusai bicara di telepon, Syahlana berinisiatif menghubungi Zivara. Menyuruhnya datang ke restoran. Sang adik baru bisa datang setelah jam kuliahnya selesai."Ada apa sih, Kak?" tanya Zivara. "Gak biasanya nyuruh dateng.""Kakak mau minta bantuan kamu," jawab Zivara. "Ini penting.""Bantuan apa, Kak?" tanya Zivara lagi. "Kakak mulai ditindas?" Ia malah asal menebak."Duh, asal ngejeplak!" omel Syahlana. "Makanya dengerin dulu.""Iya, iya, kenapa sih emangnya?"Syahlana mulai menjelaskan
Syahlana semakin mahir mengerjakan urusan rumah tangga. Belajar pada Aisha, Rosana, bahkan Sumi. Seperti pagi ini. Seusai sholat shubuh, ia tidak lantas kembali tidur. Ia menyiapkan sarapan, mencuci pakaian, dan menjemurnya. Semua dikerjakan dengan dibantu Sumi. Masih ada waktu, ketika menunggu semua orang bangun. Syahlana berinisiatif membersihkan daun-daun yang mengambang di kolam renang, dengan gala dan jaring di ujungnya.Sebenarnya, Adrian juga tidak lanjut tidur. Diam-diam, ia memperhatikan apa yang dikerjakan istri mudanya. Sampai, ia melihat Syahlana begitu fokus membersihkan daun di kolam renang. Lalu ia berpura-pura baru bangun tidur. Mengendap-endap di belakangnya, dan... "Aku bantuin, ya!!"Suara Adrian yang mengejutkan, membuat Syahlana hilang fokus dan keseimbangan. Dirinya tercebur ke kolam renang.Adrian malah tertawa. "Sini, aku bantu naik."Iseng, Syahlana membalasnya, dengan menariknya hingga tercebur juga. "Rasain,
Eliza mengomel. "Kamu tuh baiknya aja boleh kebangetan. Tapi bodoh jangan ikut kebangetan pula, lah!""Aku cuma gak mau jadi obat nyamuk saat mereka bulan madu, Za," kilah Aisha."Tapi kamu punya perasaan gak rela kan, membiarkan mereka pergi berdua sejauh itu, selama itu? Dua minggu, loh!" Eliza benar-benar jadi kompor dalam pikiran Aisha."Udah, ya, Za," kata Aisha, yang masih waras. "Aku gak mau lagi denger kamu ngerecokin rumah tangga kami. Keputusanku bulat. Aku gak akan ikut mereka."Tibalah saatnya Adrian dan Syahlana berangkat berbulan madu ke Singapura. Sumi dibantu Ujang memasukkan tas koper bawaan mereka ke bagasi mobil. Rosana dan Aisha sama-sama mengantar mereka ke mobil."Pokoknya, Mama akan menunggu kabar baiknya!" pesan Rosana.Mereka hanya tersenyum, tidak mengatakan apapun. Lalu, Adrian menghampiri Aisha. "Kamu baik-baik di rumah ya, Sayang."Aisha mengangguk. "Iya. Kalian juga bersenang-senanglah."