Share

7. Enggan Mengingat, Sulit Melupakan

Dahulu, hubungan persahabatan Adrian dan Syahlana saat kecil sangat dekat dan erat. Walau sering berantem dan rebutan sesuatu, keduanya tetaplah sahabat baik yang tidak bisa dipisahkan. Ketika keluarga Sudiro membawa putra mereka pindah ke Amerika, Adrian sempat jatuh sakit karena tidak bisa lagi bertemu dengan sahabat baiknya. Saat itu komunikasi tidak semudah sekarang. Belum ada W******p, apalagi melakukan panggilan video.

Kala itu, Adrian kecil sampai mengalami tantrum. Tantrum biasanya disebabkan oleh terbatasnya kemampuan anak untuk mengekspresikan perasaannya. Karena itu, mereka hanya bisa meluapkan emosinya dengan cara menangis, berteriak-teriak dan menjerit. Tidak hanya anak-anak yang masih kecil, anak yang lebih besar pun juga bisa mengalami tantrum. Begitulah yang terjadi kepada Adrian. Setiap hari tidak pernah absen mencari sahabatnya. 

Dengan bantuan psikolog anak di Amerika tempat mereka tinggal, yaitu di Los Angeles, Rosana dan Ramadhan mengatasinya. Salah satunya mengalihkan perhatian Adrian yang setiap hari hanya mencari Syahlana, sahabatnya. Bertemu teman-teman baru seusianya. Awalnya tidak mudah. Adrian pernah punya pengalaman diganggu teman sekolahnya saat masih di Jakarta. Namun, ia bertemu beberapa teman bulai yang baik. Akhirnya, perlahan Adrian bisa melupakan Syahlana, sampai benar-benar lupa sepenuhnya. 

Berbeda dengan Syahlana kecil. Meski baginya Adrian adalah sahabat terbaik, dan sempat sedih juga ketika tahu sahabatnya itu pindah jauh ke luar negeri, berkat pengertian dari mamanya, Lana tidak terlalu sedih juga. Apalagi memasuki sekolah dasar, Syahlana punya lebih banyak teman. Ditambah dengan kehadiran adiknya. Ia memang menyimpan kenangan tentang Adrian kecil di dalam hati terdalam, sampai tidak terlalu mengingatnya lagi.

Kini kedua sahabat kembali dipertemukan, seperti ada yang menyentil hati masing-masing. Perasaan apa ini?

Adrian buru-buru menepisnya. Ia tidak boleh kembali ke ingatan masa kecil itu. Dirinya sudah beristri dan harus menjaga perasaan Aisha. Kalau pun ingin kembali akrab dengan wanita itu, hanya sekedar bekas teman masa kecil. Tidak lebih.

Begitu pun Syahlana. Demi tidak lagi mengingat masa kecil mereka yang pernah berharga, ia kerap menghindari pertemuan dengan Adrian. Ketika Aisha mengajak suaminya makan siang atau makan malam di restorannya, Syahlana selalu punya alasan untuk menghindari keduanya.

"Buat apa sih dihindari, Kak?" tanya Zivara, ketika sang kakak curhat.

"Gak tahu ya, Zi," jawab Syahlana. "Kakak tuh sempet ngelupain semuanya. Tetapi semenjak tahu bahwa dia Adrian yang itu... semua kenangan masa kecil kami bermunculan di benak Kakak."

"Kak, jujur sama Zi..." Ia menatap Syahlana. "Selama ini beneran melupakan dia, atau pernah terselip ingatan soal dia tanpa sengaja?"

Syahlana menggeleng. Bukan karena jawaban tidak pernah. Tetapi dirinya menyesali, karena pernah teringat seseorang yang telah dilupakan namanya. Tidak menyangka, sudah menjadi suami sahabat baiknya. Tanpa dikatakan pun, Zivara mengerti.

"Keputusan Kakak buat menjauhi mereka akan tepat untuk saat ini."

Syahlana pun mengangguk.

Di ruang kerjanya di rumah.

Adrian sendirian. Beralasan pada Aisha, bahwa masih ada pekerjaan yang belum selesai. Ia menarik laci paling bawah, di mana ia menyimpan album fotonya semasa kanak-kanak. Dibukanya album itu. Ingatlah dirinya sekarang, anak-anak di dalam foto itu adalah dirinya dan Syahlana kecil.

Ada foto, saat kedua anak bermain pasir di pantai.

"Ian, itu tinggiin lagi pasirnya, biar bisa taruh air!" perintah Syahlana kecil, yang berpakaian kaos putih dan celana pendek. Badannya sudah basah kena air laut.

"Gak mau ah. Kamu bikin sendiri, dong." Adrian kecil menolak. Anak itu bertelanjang dada, dan hanya mengenakan celana renang.

"Ian nakal, deh! Tadi ngajakin!" Kesal, ia melamurkan pasir pantai ke tubuh Adrian.

Adrian kecil membalas. Jadilah lempar-lemparan pasir pantai. Malah tertawa-tawa senang.

Adrian tersenyum mengingatnya. Ia memperhatikan anak perempuan dalam foto itu. Benar. Sepasang mata belo itu tidak berubah. Anak perempuan paling cantik di sekolahnya, keturunan Sunda-Uighur. Ia juga ingat, Syahlana kecil adalah anak perempuan pemberani sekaligus cengeng. Berani melawan anak-anak nakal. Mudah menangis jika melihat kesusahan orang lain. Hatinya yang baik, rupanya terbawa hingga dewasa.

Suatu hari.

Aisha hendak mengantarkan pakaian baru untuk Nala, yaitu adiknya Gala. Sebenarnya sudah janjian dengan Syahlana. Tetapi, tiba-tiba ia mendapat telepon dari panti asuhan tempatnya tinggal dulu, kalau ibu asuhnya sakit.

"Mas, bisa minta tolong kamu gak, ya?" tanya Aisha setelah menceritakan kesusahannya.

"Ini darurat banget emangnya?" tanya Adrian balik.

"Iya. Nala itu bajunya udah kekecilan dan banyak yang gak layak pakai," jawab Aisha.

"Ya udah."

Sengaja, Aisha tidak memberi tahu Adrian, kalau Syahlana juga akan bertandang ke rumah keluarganya Gala, mengantarkan sedikit sembako dan melihat kondisi Ibu Wati.

Setelah Adrian lebih dulu berangkat ke kantor, Aisha kembali masuk ke dalam rumah. Rosana sudah berdiri dengan tampang juteknya, seperti biasa. Menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

"Menurut kamu, Syahlana itu gimana?" tanya Rosana dengan nada ketus.

"Dia baik, Ma," jawab Aisha. "Mama inget gak, waktu itu aku bilang, kenal dengan wanita berhati mulia?"

"Apa dia orangnya?"

Aisha tersenyum dan berkata. "Iya, Ma. Dia orangnya."

"Ya udah. Kalo udah tahu dia berhati mulia, jangan rusak rencana Mama buat menjodohkan Adrian dengan Syahlana. Paham?"

"Tujuan kita sama, Ma. Aisha yakin, Mas Ian akan bahagia, kalau istri keduanya adalah Syahlana."

"Baguslah!" Kemudian Rosana meninggalkan Aisha sendiri.

Selain sebagai sahabat, Syahlana bisa menjadi jalan bagi Aisha mendapatkan kasih sayang mertua, juga membahagiakan Adrian.

Syahlana telah lebih dulu sampai di rumah baru Gala. Siang itu, tentu saja Gala sedang bekerja di CDM. Di rumah itu hanya ada Ibu Wati dan Nala. Ibu Wati sendiri terbaring di ranjangnya. Sedikit-sedikit sudah mulai bisa bicara, berkat terapinya akhir-akhir ini. Sedangkan Nala asyik bermain boneka yang dibelikan Aisha tempo hari.

"Te...i...ma...a...sih...," ucap Ibu Wati masih terbata-bata, dan pengucapannya belum lengkap.

Syahlana bisa mengerti. "Saya udah anggap Ibu Wati sebagai keluarga sendiri. Tidak perlu berterima kasih." Ia datang tidak dengan tangan kosong. Ia membawakan bubur gurih untuk Ibu Wati, dan makanan untuk Nala. Karena belum bisa makan sendiri, ia bantu menyuapi. Selama ini, kalau makan, pas Gala sedang bekerja, Aisha sudah memasrahkan ke tetangga sebelah, yang bersedia membantu. Tidak gratisan. Aisha dan Syahlana gantian memberinya upah.

Kemudian, terdengar suara pintu rumah diketuk. Syahlana segera membukakannya. Mungkin Aisha yang datang. Tetapi, ketika pintu terbuka.

"Telat banget sih, Ai..." Kalimatnya terhenti. "Ya Tuhan," gumam Syahlana pelan. Ternyata Adrian.

"E, tadi Aisha bilang, gak bisa datang. Jadi, meminta aku yang mengantarkan titipannya." Adrian menjelaskan. Seraya menyerahkan titipan Aisha itu.

"Oh, begitu." Syahlana menerimanya. Ia menundukkan kepala, tidak mau menatap wajah Adrian.

Adrian memperhatikan sikap Syahlana yang terkesan menjauhinya. Ia paham, tapi.... "Ibu Wati ya, namanya?" Ia coba bersikap ramah pada Syahlana. Berbasa-basi. Bagaimana pun, mereka teman sekolah dulunya. Duluuu sekali.

"Ya. Namanya Ibu Wati," jawab Syahlana. Ia berjalan ke ruangan, di mana Ibu Wati berbaring. Tidak menyangka, Adrian juga ikut masuk, melihat kondisi Ibu Wati.

"Ibunya sudah makan?" tanya Adrian lagi. Kali ini sudah bukan basa-basi. Sepertinya ia salah memulai topik. Bagaimana menyudahinya dengan sopan?

"Ini, lagi disuapin," jawab Syahlana, sambil menunjukkan mangkuk berisi bubur. "Ibu Wati belum bisa makan sendiri."

"Oh, begitu. Kamu gak berubah, ya. Dari kecil sudah suka menolong orang lain." Pujian, atau sekedar lanjutan bicara, entahlah. Adrian sendiri bingung.

Syahlana tidak menjawabnya lagi. Berharap Adrian segera pergi dari sini. Rupanya, Adrian juga merasa, dirinya tidak diinginkan di sini. Suatu kebetulan, sebenarnya.

"Karena barang sudah diantar, aku sebaiknya permisi," kata Adrian.

"Iya," sahut Syahlana pelan. Ia membiarkan Adrian pergi.

Hari beranjak sore, Syahlana sudah selesai merawat Ibu Wati. Lalu datanglah tetangga baik hati itu. Namanya Mbak Marni. "Biar ganti saya yang jaga, Mbak."

"Terima kasih ya, Mbak," ucap Syahlana. "Bentar lagi Gala juga sudah pulang kerja."

"Iya, Mbak."

"Kalau begitu, saya pamit pulang. Assalaamu 'alaikum." Syahlana pun berjalan keluar dari rumah Ibu Wati.

Tidak menyangka, di tempat parkir perumahan ini, Adrian belum benar-benar pergi. Pria itu keluar dari mobilnya. "Lana!" panggilnya, ketika melihat Syahlana muncul.

"A-adrian?" Syahlana cukup terkejut. "Kamu belum pergi?"

"Ada hal yang sepertinya perlu kita bahas," kata Adrian.

"Soal apa?" tanya Syahlana. Ia sendiri tidak memiliki utang penjelasan apapun.

"Aku ingin minta maaf, karena sempat melupakan kamu," jawab Adrian.

Syahlana tersenyum. "Kupikir, apa yang mau dibahas." Kali ini Syahlana memberanikan diri menatap Adrian. "Kita pernah saling melupakan dalam waktu yang cukup lama. Dua puluh tahunan. Itu bukan kesalahan siapapun. Memang sudah jalan hidup kita begitu. Untuk apa kamu minta maaf?"

"Jujur, setelah bertemu kamu kembali, aku bahagia. Kamu pernah jadi sahabat baikku. Kamu sering menolongku. Selamanya, kamu adalah sahabat terbaik yang pernah aku punya. Bisakah kita kembali bersahabat seperti dulu?"

Sekali lagi, Syahlana menatap Adrian. "Aku bukan orang yang suka memutuskan tali silaturrahmi," katanya. Kalimat itu hampir menciptakan senyum di wajah Adrian. "Tapi situasinya berbeda. Ada hati yang harus kita jaga. Maaf, aku gak bisa lagi jadi sahabat kamu."

Senyum itu urung mengembang. Penolakan ini lebih sakit daripada penolakan cinta. Adrian merasa sedih. Tetapi wanita muslimah sholehah seperti Syahlana, sudah pasti menolak bersahabat dengan suami orang. Apalagi orang itu adalah sahabat baiknya sendiri. Adrian mengangguk. Ia paham. "Baik. Aku bisa mengerti." Lantas, ia masuk ke mobilnya, dan pergi.

"Seandainya kamu belum beristri, persahabatan kita bisa saja terjalin kembali seperti seharusnya," kata Syahlana sembari menatap mobil Adrian yang telah menjauh.

Adrian menelan kekecewaan dan kesedihan. Teringat kembali bagaimana sedihnya dulu ia berpisah jauh dari Syahlana, saat kecil. Perasaan seperti itu, bisa-bisanya kembali datang. Sesampainya di rumah, dengan alasan sibuk, Adrian mendekam di dalam ruang kerjanya. Kembali membuka album foto masa kecilnya. Ia baru menyadari, satu album itu isinya hanya foto dirinya dan Syahlana saat masih TK. Segitu dekatnya mereka berdua dahulu. Tiba-tiba, muncul dalam pikirannya, "Seandainya aku tahu kita akan dipertemukan kembali..." Ia meremas-remas kepalanya sendiri. "Pergi! Pikiran kayak gini gak boleh tinggal di kepalaku! Ayo, Ian! Kamu sudah beristri! Lupain Lana! Lupain!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status