Masuk"Mau jodohin Lily pa?”
“Kamu lihat dulu yang mana wajahnya sesuai dengan kriteriamu. Sisanya papa yang mengatur.” “Berkas ini biar Lily bawa dulu, kasih Lily waktu seminggu untuk menentukan.” “Ok, kamu bawa saja berkas itu. Kakakmu menanyakan kamu nggak ada niat kembali ke perusahaan?” “Pa, jangan bebani kakak soal pembagian perusahaan. Lily tidak masalah seluruh perusahaan jatuh ke tangan kakak. Lily yakin jika di masa depan kehidupan Lily berat, kakak pasti akan menolong. Selain itu Lily juga punya perusahaan sendiri. Kakak juga banyak membantu mengenalkan perusahaan Lily kepada kliennya.” “Kalau kamu rela, papa lega mendengarnya. Mama dan papa tidak ingin kalian ribut karena harta.” “Tidak akan pa, mama dan papa tidak perlu khawatir, kami saling menyayangi. Kakak bahkan berpesan jika perusahaan Lily mengalami masalah, Lily harus memberitahukan ke kakak.” “Bagus, kalau begitu kami sebagai orang tua kalian bisa tenang.” Mereka melanjutkan perbincangan sampai Lily berpamitan untuk tidur. Keesokan hari, Griselle datang menjemput Lily di kediamannya. Dari jauh Griselle melihat Lily yang berdiri seorang diri, ia menghentikan mobilnya di samping Lily. "Adriana nggak bisa ikut, masih ada acara keluarga." Ucap Lily sambil masuk ke dalam mobil. Mobil Griselle menuju ke sebuab mall elit di ibukota. Saat Griselle dan Lily sedang berjalan-jalan.. "Liii..." Sebuah suara panggilan dari seorang wanita memanggil Lily dari arah belakang. Griselle dan Lily membalikkan tubuh mereka, keduanya mengernyit menatap sosok yang memanggil Lily. Sherli, teman Sma mereka yang kini menjadi istri Riko, mantan suami Griselle dan Viona, adik perempuan Riko, mendatangi mereka. "aku kira siapa yang jalan sama Lily, ternyata Griselle. Aku pikir Lily sudah punya sahabat baru." Kata Sherli dengan wajah penuh senyum, sementara Viona yang di sampingnya menunjukan wajah sinis. "Iya, ada perlu sama Lily? Kalau ada, aku bisa pergi dulu." Balas Griselle acuh. "Oh nggak kok, karena kebetulan ketemu, kenapa kita nggak jalan bareng?" Tanya Sherli sambil menatap Griselle masih dengan wajah senyum ramahnya. "Buat apa kak? Kita jalan berdua juga nggak papa." Kata Viona menyela sebelum Griselle dan Lily menjawab "Tidak apa-apa, mereka itu teman lama, iya nggak?" Ucap Sherli sambil menatap Griselle dan Lily bergantian. "Dengerkan adik iparmu saja, kalau sampai dia sewot, nanti kamu bisa berurusan sama kakaknya, suamimu." Kata Lily dengan wajah menunjukkan ketidaksukaan. "Iya kak, ayo pergi. Buat apa dekat sama cewek yang cuma bisa tergantung orang tuanya." Kata Viona. Griselle hanya diam, sudut bibirnya terlihat melengkung, rupanya ini anak minta ditampar, kata Griselle dan Lily dalam hati. "Kalau kamu nggak bisa jaga mulutmu, jangan salahkan aku kasar." Lily mulai marah dan jarinya menunjuk ke arah wajah Viona. Griselle segera segera memegang lengan Lily dan mengelengkan kepalanya sebagai tanda agar Lily tenang. "Aku bicara kenyataan, kenapa kamu yang sewot. Kakakku dari dulu nggak mau sama dia, karena dia merasa orang tuanya kaya maka memaksa kakakku menerima dia." Jawab Viona ketus, Sherli hanya tersenyum mendengar kata-kata Viona. "Kalau bukan karena dia, kak Sherli sudah menjadi kekasih kakakku dari dulu dan...." Viona melanjutkan perkataannya, Sherli memegang lengan Viona. "Sudah Vi, itu hanya cerita masa lalu. Selain itu kakakmu dan aku sudah bersama, kamu nggak perlu marah apalagi sampai mendendam." Sherli menyela dengan bijak, mencoba menenangkan Viona. "Sudah selesai? Kalau sudah, aku mau jalan." Kata Griselle masih dengan wajah acuh. "Kita jalan sama-sama saja Griselle." Sherli berusaha meraih lengan Griselle, tetapi Griselle menghindarinya. "Aku nggak minat. Nanti muncul gosip bahwa aku merayu mantan adik ipar agar bisa rujuk sama Riko." Tolak Griselle dengan tegas. "Benar, lebih baik jalan sendiri-sendiri. Kita nggak suka kalian, kalian juga nggak suka kita, buat apa pura-pura baik." Lily membenarkan perkataan Griselle. "Bukan masalah suka nggak suka, bagaimana pun kita dulu teman sekolah. Apalagi lama nggak ketemu." Balas Sherli menatap ke arah Lily. "Kalau aku nggak mau?" Tanya Griselle dengan tatapan tajam ke arah Sherli. "Griselle, aku tahu kamu cemburu. Riko dulu memilih kamu dan sekarang dia memilih aku, nggak seharusnya kamu merasa marah sama aku kan? Lagian kalian sudah bercerai selama lima tahun lebih, atau kamu masih cinta sama Riko?" Balas Sherli dengan nada sedikit tinggi. Griselle melangkah mendekati Sherli, ia baru berhenti ketika jarak diantara mereka tinggal selangkah. Griselle menatap tajam ke arah Sherli. "Kalau kamu suka drama, itu urusanmu, cuma jangan bawa-bawa aku. Dari matamu, aku tahu, kamu punya niat dengan pura-pura baik sama kita. Jadi nggak usah berpura-pura lagi..mengerti?" Kata Griselle sambil memajukan wajahnya mendekat ke wajah Sherli. Melihat tindakan Griselle, Viona segera mendorongnya," Kamu mau apa? Cemburu kah sama kak Sherli? Mencoba mengancam?" Griselle tersenyum mendengar perkataan Viona. "Cemburu? Sama dia? Dia cuma dapat barang bekasku, apa yang mesti di cemburuin? Ingat Viona, aku yang menceraikan kakakmu, yang artinya aku yang membuang kakakmu. Dan aku nggak suka memungut kembali sampah yang aku buang." "Ayo Li , jalan." Griselle menyeret Lily tetapi dia berhenti, sambil menatap mereka berdua, "ingat, lain kali kalau bertemu, pura-pura nggak kenal saja. Bicara dengan kalian membuat kualitas otakku berkurang dua puluh lima persen." Griselle dan Lily melangkah pergi dengan senyum kemenangan, akan tetapi Viona mengejar, sambil menarik lengan Griselle dan menunjukkan jarinya ke wajah Giselle, "Hey, kakakku yang membuang kamu, masih sok memutar balikkan fakta." "Tanya saja sama kakakmu." Sahut Lily setelah ia melihat Griselle terdiam mengacuhkan Viona. "Kakakku yang bilang kalau dia yang menceraikan temanmu ini. Dulu kalau bukan karena dia mengancam memakai nama keluarganya dan juga mengancam mau bunuh diri, nggak mungkin kakakku mau, juga..." Kata-kata Viona terputus ketika melihat Sherli yang sudah di sampingnya. Saat itu Sherli memegang erat lengannya sambil mengelengkan kepala, tanda agar Viona tidak melanjutkan perkataannya. "Bunuh diri?" Lily dengan wajah bingung menatap wajah Griselle. "Kamu percaya aku akan bunuh diri gara-gara yang namanya cowok. Apa aku serapuh itu?" Kata Griselle sambil mengedipkan sebelah matanya pada Lily. Sherli yang takut Viona mengatakan hal-hal yang tidak perlu, berusaha mengakhiri permasalahan ini. "Sudah, itu hanya masa lalu. Seperti kata Griselle lebih baik kita berpisah, jangan berdekatan." "Bukan itu, yang mengatakan Griselle mau bunuh diri siapa? Kakakmu? Atau kamu sherli" Tanya Lily dengan tatapan tajam ke arah kedua wanita di depannya. "Iya, kak Sherli juga tahu kalau dia mau bunuh diri gara-gara di tolak kakakku, benarkan kak Sherli?" Tanya Viona dengan menatap ke arah Sherli. Wajah Sherli berubah kelam, mendengar perkataan Viona...Pukul tujuh tiga puluh malam, mobil Griselle terlihat keluar dari kediaman orang tuanya.Griselle memasuki cafe milik Andre, dia menemukan meja di mana Lily dan Adriana sedang duduk. Di samping mereka ada dua pria yang menemani, Griselle segera menghampiri mereka."Sorry ya semua, aku terlambat. Jalanan agak macet tadi." Sapa Griselle dengan sedikit melirik ke arah ke dua pria itu. Tampan, kata Griselle dalam hati.Kedua pria itu segera berdiri dan mengulurkan tangan mereka."Santai say, sini aku kenalin.”Lily memperkenalkan kedua pria itu kepadaGriselle. Griselle akhirnya tahu yang mana bernama Joshua, teman kencan Lily. Sedangkan pria yang lain bernama Teddy yang terlihat berbincang akrab dengan Adriana. Mereka lalu duduk, saat Griselle hendak duduk, Lily menahannya.Lily menunjuk ke arah sebuah meja, di mana ada seorang pria bertopi yang sedang membaca buku duduk di meja lain tidak jauh dari mereka." Teman Joshua dan Teddy, lihat dia terpikat nggak sama kamu, Joshua bilang ngga mu
David mengeluarkan sebatang rokok, lalu berdiri dan meletakkan rokok itu ke bibir orang gila. David menyalakan api untuknya, dan orang gila mulai merokok. David memberi tanda agar orang gila duduk sambil menunjukkan gelas kopi.Orang gila itu duduk tetapi David bergerak menarik rambutnya keras ke bawah sehingga menghantam meja. Selanjut sebuah tinju menghantam rahang orang gila itu dan dia pingsan. David kembali duduk dan memesan ulang kopi hitam karena kopi sebelumnya tumpah saat kepala orang gila itu menghantam meja."Ini bukan orang gila cuma orang stres, orang gila masa mengerti cara merokok." Ucap David asal sambil melirik ke arah dua sahabatnya. Akhirnya orang gila dibawa pergi oleh satpam komplek apartemen. Teddy dan Joshua hanya menggelengkan kepalanya melihat tindakan sahabatnya itu, lalu mereka kembali duduk."Mau sampai kapan kamu begini Vid? Kamu nggak merasa kalau kamu terlalu dingin dengan keadaan sekitarmu?" Tanya Joshua sambil mengambil sebatang rokok David, lalu men
"Temui Hendri, jangan keras terhadap dia, juga jangan memberi harapan." Kata papa dengan tenang, lalu ia berbalik pergi ke ruang kerjanya. Adriana terpaksa menemui Hendri.Belum sempat Adriana melangkah, mama memegang lengannya,"Papamu tidak akan pernah lupa akan penderitaanmu karena Hendri, percayalah, papa pasti punya alasan untuk ini." Sambil melangkah ke ruang tamu, Adriana mengernyitkan kening memikirkan perkataan mama."Kamu sudah pulang? Aku dengar dari papamu kalau kamu menginap di rumah Lily." Hendri berdiri saat melihat Adriana menghampirinya."Ada perlu apa?""Hanya ingin menemuimu.""Sekarang sudah ketemu, kamu bisa pulang." Sahut Adriana acuh sambil membalikkan tubuhnya. Hendri segera meraih lengan Adriana dan Adriana menepisnya dengan kasar."Apa maumu sebenarnya?" Wajah Adriana tampak dipenuhi kemarahan."Adriana, bisa kita duduk dan membicarakannya, please?" Tanya Hendri dengan nada memohon. Adriana teringat perkataan mama, lalu ia duduk tanpa mau memandang wajah Hend
"Bungkusmu sampai kebuka? Berarti kamu nggak dingin seperti kata mantanmu dong?” Lily dengan mulut penuh cemilan terus bertanya."Sebenernya aku nggak pernah merasakan apa yang dilakukan Heri. Di cium sana sini dan di belai. Jujur aku menikmatinya.” Griselle berhenti dan mengambil minum, setelah minum dua teguk." Oh pantas..." Adriana dan Lily mengangguk-anggukkan kepalanya."Makanya saat kalian bilang enak, aku juga bingung awalnya. Tetapi tadi sama Heri memang rasanya menyenangkan, tapi hatiku nggak ingin melakukanya." Griselle mengingat kembali kejadian di kamar."Terus? Kamu tinggal pergi?" Kembali Adriana bertanya dan Griselle menganggukkan kepalanya sebagai tanda jawaban."Tubuhku memang menginginkannya tetapi aku sebenar berusaha untuk tetap sadar, hatiku benar-benar nolak. Makanya pas dia mau buka bungkus bawahanku, aku sadar dan teringat perkataan Lily sebelumnya untuk memegang kendali.”"Terus kok kamu bisa tahu ukurannya?" Tanya Lily penuh penasaran, Adriana juga menganggu
Kain yang menutupi bagian bawahnya kini semakin basah, benda yang berada di balik kain itu tercetak dengan jelas. Tangan Heri dengan terampil bermain di area sensitifnya, Griselle menggigit bibirnya keras. Dia masih berusaha untuk mengembalikan kesadarannya.Tangan Heri mengait pinggiran kain segitiga berwarna kuning itu dan ciuman Heri mulai turun ke arah perutnya. Salah satu tangan Griselle segera menghentikan gerakan tangan Heri, ia menutup rapat kedua pahanya.Griselle menyingkirkan kepala Heri dari tubuhnya dan terduduk di atas tempat tidur. Nafas Griselle tersenggal-senggal, tanganya berusaha meraih kain penutup dadanya dan gaunnya."Sori, stop dulu Her." Kata Griselle sambil beranjak bangkit, tanpa menunggu persetujuan Heri. Griselle mengambil pakaian dan tasnya lalu menuju ke kamar mandi. Ia membersihkan bagian bawahnya, lalu memasukkan kain segitiga yang telah basah itu ke dalam kantong plastik, lalu Griselle mengeluarkan yang baru dari dalam tasnya, dan memakainya.Griselle
Griselle kini hanya berdua dengan pria itu, Heri."Kenapa cerai?" Tanya Heri membuka pembicaraan."Yaaa...udah ga cocok aja. Kalau kamu?""Sama..nggak kesepian?""Nggak, hidupku ramai saja." Balas Griselle santai."Maksudku waktu berada di kamar. Biasa ada pasangan di samping, sekarang nggak ada.""Nggak juga, itu hanya kebiasaan. Seiring waktu juga terbiasa. Kenapa? Kamu merasa kesepian?"tanya Griselle sambil menatap ke arah wajah Heri. Griselle menyadari Heri mencoba menggiring perkataan ke arah lebih dalam.“Terkadang rasa sepi itu datang, apalagi kalau lagi pas sehabis mengurus proyek. Pulang kerja dalam kondisi fisik dan mental lelah tetapi nggak ada yang di ajak ngobrol di rumah." Jawab Heri dengan membalas menatap tajam ke arah Griselle.“Oh, tinggal sendiri? Orang tua dimana?”“Iya sendiri, orang tuaku di kota lain. Di kota ini hanya ada adik perempuanku yang sudah menikah.” Jawab Heri sambil menyebut salah satu kota, tempat orang tuanya tinggal."Sudah berapa lama cerai?" Tan







