LOGIN"Kalau begitu, aku pergi dulu. Jaga dirimu dan istirahatlah."Vanesa balas mengangguk. "Iya."…Alex turun ke bawah dan langsung menuju dapur untuk mencari Steven.Steven sedang memasak bubur.Pria itu mengenakan celana jins gelap dan kemeja putih lengan pendek, satu lengannya dibalut perban.Steven berdiri di depan kompor. Bahunya yang lebar dan pinggangnya yang ramping membuat sosoknya sudah tampak begitu memukau meski dari belakang.Alex mendecakkan lidahnya dua kali dan menyilangkan lengannya, lalu bersandar di kusen pintu sambil menatap Steven yang sekarang telah menjadi pria penyayang keluarga. Alex menghela napas dan berkata, "Bahkan orang yang benar-benar membentuk ulang dirinya saja nggak sampai begini!"Steven menoleh ke arah Alex. "Sudah bertemu Vanesa?""Iya." Alex berjalan menghampiri. "Aku sudah memberi laporan padanya. Kurasa dia baik-baik saja. Terlebih lagi, menurutku dia punya pola pikir yang cukup baik."Steven menatap bubur putih yang menggelegak di dalam panci. "Di
Stella langsung terpaku di tempat.'Apakah Alex mendengarnya?'Vanesa juga tampak bingung."Eh ... Kebetulan sekali, aku baru saja datang, kamu sudah menyusul ..." ujar Stella sambil menatap Alex dan tertawa canggung.Raut wajah Alex datar tanpa ekspresi saat melangkah masuk, di tangannya ada hasil pemeriksaan laboratorium.Alex tidak menatap Stella sama sekali. Dia hanya menatap Vanesa dan berkata dengan suara tenang, "Selama kamu koma kemarin, aku dan Dokter Beni sudah melakukan pemeriksaan menyeluruh lagi. Ini hasil tes darahmu. Kemarin kami juga sudah berdiskusi dengan beberapa dokter dari bagian pengobatan tradisional. Untuk saat ini, rencananya adalah menggabungkan pengobatan barat dan tradisional. Kita tunda dulu kemoterapinya karena tubuhmu terlalu lemah untuk menahan efek sampingnya."Vanesa sudah menerima penyakit yang dideritanya dengan lapang dada.Setelah semua yang dialaminya di Negara Nasar, dia pun sudah pasrah pada takdirnya.Namun, karena masih memiliki dua orang anak
Sebagai seorang sahabat, Stella pun tidak bisa menebak isi hati Vanesa."Vanesa, seandainya kalian bercerai baik-baik dan masing-masing segera menemukan pasangan baru, maka aku yakin kalian sudah nggak punya peluang sama sekali. Tapi ....""Sekarang kondisimu adalah nggak ingin berurusan dengan pria, hanya fokus mengejar uang. Sedangkan Steven jelas-jelas sudah tersadar karena cinta. Sekarang, dia memposisikan diri sebagai kesatria yang melindungi. Aku bisa melihat, dia nggak akan memaksakan rujuk, tapi dia ingin menjagamu diam-diam atas nama ayah dari anakmu. Kalau kamu bilang dalam perlindungan ini nggak ada sedikit pun harapan, itu pasti nggak mungkin! Selama masih ada cinta, pasti masih ada harapan. Ini seperti katak yang direbus dalam air hangat, perlahan-lahan terperangkap tanpa disadari. Menghadapi perlindungan seperti ini, mungkin kamu bisa dengan sadar menolaknya selama setahun, dua tahun, bahkan lima tahun. Tapi, kalau dia pantang menyerah, sampai kapan kamu bisa bertahan? Se
Vanesa mengernyit. "Aku bisa saja menyewa perawat ....""Kalau mau sewa, sewa perawat perempuan saja karena ada beberapa hal yang memang nggak etis kalau aku, sebagai mantan suami, yang melakukannya."Vanesa terdiam.Steven menghela napas, nadanya sedikit melunak. "Vanesa, coba pikirkan dari sudut pandang lain. Aku adalah ayah dari anak-anak. Kalau aku merawatmu dengan baik, kamu akan pulih dan sehat, lalu kamu bisa mendampingi anak-anak dengan lebih baik. Dengan merawatmu, sebenarnya aku juga membantu diriku sendiri. Jadi, kamu nggak perlu merasa canggung."Vanesa kembali terdiam.Memang pantas Steven menjadi seorang pengacara. Jika harus berdebat, Vanesa merasa dirinya tidak akan bisa mengalahkan Steven, baik dalam hal logika maupun dalih!Saat keduanya masih bersikeras enggan mengalah, terdengar ketukan di pintu kamar.Steven segera berdiri dan membuka pintunya.Stella berdiri di luar."Apa Vanesa sudah sadar?"Steven bergeser memberi jalan. "Dia baru saja bangun dan belum makan. Ak
Vanesa tidak nafsu makan, jadi dia menggelengkan kepala.Steven menatap pipi Vanesa yang pucat dan kurus, hatinya terasa sakit. Namun, dia tahu Vanesa sedang sakit dan tak punya selera makan, jadi Steven tidak tega memaksanya.Semua urusan perawatan Steven tangani sendiri. Setelah perawat mengganti infus dan memberi beberapa instruksi, perawat itu pun pergi.Ruang perawatan itu menjadi hening.Steven duduk di sisi ranjang, memandangi Vanesa dalam diam.Tatapan itu membuat Vanesa agak canggung.Suasana terasa kikuk.Vanesa berdeham, lalu bertanya, "Berapa lama aku tertidur?"Steven duduk di tepi tempat tidur, menatapnya dengan sorot mata lembut. "Kamu sudah tidur sehari semalam."Vanesa kembali bertanya, "Dua anak kita nggak rewel, 'kan?""Nggak. Mereka sangat pengertian. Aku juga sempat melakukan panggilan video dengan mereka, bilang kalau kamu masih harus bekerja beberapa hari dan belum bisa pulang. Mereka bahkan menyuruhku mengingatkanmu supaya jangan lupa makan."Hati Vanesa terasa
Stella dengan nada agak menyindir berkata, "Sayang sekali, Vanesa kita sudah move on. Dia nggak akan menoleh ke belakang lagi."Alex menatapnya. "Aku juga nggak ngomong apa-apa, kok!""Sebaiknya nggak usah ngomong. Aku kasih tahu ya, aku seratus persen di pihak Vanesa.""Kalian para perempuan itu selalu menyuruh pisah, bukannya rujuk. Kami para laki-laki beda, apalagi mereka sudah punya anak ....""Stop!" seru Stella sambil mengangkat tangan. "Alex, kita nggak usah membahas topik ini lagi."Alex mengatupkan bibir, menatap Stella, dengan sorot mata yang juga tampak sedikit sedih.Stella melirik jam dan bertanya, "Kapan Vanesa dipindahkan ke ruang perawatan?""Nggak secepat itu, dia harus diobservasi di ICU selama 24 jam.""Kalau begitu, aku pulang dulu ke rumahnya buat ambil barang-barang keperluannya," katanya sambil melambaikan tangan. "Aku pergi dulu, ya."Alex berteriak dari belakang, "Santai saja, nggak perlu buru-buru ambil barang. Kamu sudah keluar setengah hari, mending pulang d







